Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

3.09.2025

[4] Karimunjawa : Eksplor Pulau Menjangan Besar, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Menjangan Kecil

Hoammm... Pagi telah menyapa di Pulau Karimunjawa 🙂. Tidur kami semalam cukup nyenyak. Well, mungkin karena efek kurang tidur akibat perjalanan panjang dengan bus kemarin malam dari Surabaya ke Jepara. Aku melirik ke arah Ega dan Arin yang terlihat sudah bangun juga. Hari ini agenda kami - yang juga merupakan agenda utama setiap orang yang berkunjung ke Karimunjawa - yakni akan melaksanakan Island Hopping yaitu berkeliling pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Karimunjawa. Island Hopping ini sendiri aku booking dari agen tour lokal di Karimunjawa sini, dengan biaya yang sangat terjangkau yakni Rp 170.000/orang.

"Nanti gabung dengan traveler lainnya, Mbak, kumpul jam 9 di Pelabuhan Rakyat di sebelah barat Alun-Alun. Pulau yang dikunjungi ada Pulau Menjangan Besar untuk melihat penangkaran hiu, sehabis itu bergeser ke Pulau Cemara Kecil untuk makan siang menu ikan bakar dan setelahnya waktu bebas, kemudian setelahnya bergeser ke Pulau Menjangan Kecil untuk snorkeling. Nanti selesainya sekitar jam 5 sore," penjelasan Pak Arif - agen tour - via WA sewaktu aku booking untuk 3 orang.

"Siaap pak. Saya booking ya pak untuk 3 orang," jawabku bersemangat.

Well, melihat itinerary-nya memang sangat menarik. Apalagi penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. Aku sudah sering melihatnya di media sosial, dan benar-benar pengen berenang langsung dengan hiu-hiu jinak tersebut.

"Siapa mau mandi duluan nih?" Tanyaku ke Arin dan Ega. 

"Aku duluan ya," jawab Arin.

"Iya Rin, habis itu kamu ya Ga. Terakhir aku," jawabku.

Setelah mandi dan bersiap, sekitar jam 6.30 kami keluar penginapan untuk mencari sarapan. Jalanan masih cukup sepi, hanya beberapa warung yang mulai buka. Kami berjalan santai sambil menikmati suasana pagi di pulau ini—orang-orang lokal yang ramah menyapa, beberapa wisatawan lain tampak baru keluar dari penginapan mereka. Kami akhirnya memilih sarapan di sebuah warung kecil yang menjual nasi campur. Rasanya sederhana, tapi nikmat. Kami juga sempat mampir ke Pelabuhan Karimunjawa untuk berfoto dengan sign "Selamat Datang di Karimunjawa", yaa sebagai kenang-kenangan. Maklum kemarin sampainya sini malam sehingga belum sempat foto. 


Setelah sarapan, kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang yang diperlukan untuk berkeliling pulau. Kami sudah mempersiapkan tas kecil berisi sunblock, kacamata hitam, air minum, dan beberapa camilan. Tak lupa, kamera dan HP untuk mengabadikan momen di nanti. Khusus untuk momen dibawah laut, agen tour mengatakan bahwa nanti masing-masing dari kami akan diberikan foto underwater. Setelah semuanya siap, kami bertiga jalan menuju Pelabuhan Rakyat sebagai titik pertemuan dengan Pak Arif, agen tour kami.


Sekitar jam 9 pagi, kami tiba di pelabuhan. Suasana di sana sudah cukup ramai oleh para peserta tour yang hari ini mempunyai jadwal yang sama dengan kami yakni keliling pulau. Tidak sulit bagi kami menemukan Pak Arif  setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang. Ternyata hampir semua peserta trip Pak Arif terlihat sudah berkumpul. Setelah diberi arahan sejenak, dan diberi pelampung yang wajib dipakai selama perjalanan, kami dipersilahkan naik ke perahu kayu motor berwarna biru putih. 

Setelah semua peserta naik, tepat jam 9 pagi kapal pun mulai berangkat meninggalkan Pulau Karimunjawa. Raungan mesin kapal menandai dimulainya perjalanan kami menuju pulau pertama: Pulau Menjangan Besar. Angin laut berhembus sejuk, membawa serta aroma khas asin yang menenangkan. Kami duduk di sisi kapal, menikmati pemandangan laut yang luas, dengan pulau-pulau kecil di kejauhan mulai terlihat. Air laut di sekitar kami tampak bergradasi dari biru tua ke biru muda,  pertanda bahwa perairan di sini cukup dangkal dan jernih.

Perjalanan ke Pulau Menjangan Besar ditempuh dalam waktu 20 menit saja. Begitu kapal merapat di dermaga kayu, kami langsung disambut pantai dangkal dengan air berwarna biru kristal yang begitu jernih hingga dasar berpasir putihnya terlihat jelas. Air laut tersebut membentuk riak-riak kecil yang pecah perlahan di area pesisir. Cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air juga menciptakan kilauan yang indah, seperti serpihan kaca yang berkilau di atas biru laut. Di sekitarnya, pohon kelapa dan cemara laut melambai-lambai tertiup angin, menciptakan suasana tropis yang hangat.

Pulau Menjangan Besar ini paling terkenal dengan penangkaran hiu-nya. Sesampainya di sana, kami disambut oleh pemandu lokal yang menjelaskan tentang konservasi hiu yang ada di tempat ini. Kolam-kolam besar berisi hiu sirip hitam terlihat jelas. Meskipun kami datang cukup pagi, namun suasana penangkaran sudah cukup ramai dengan wisatawan dari agen tour lain. Beberapa peserta trip dengan berani masuk ke kolam untuk berenang dan berfoto bersama hiu. 

Sedikit cerita, penangkaran hiu ini mulai didirikan tahun 2002, dimana awalnya dibuat untuk konservasi dan pemeliharaan hiu, tetapi kemudian berkembang menjadi destinasi wisata, dimana pengelolanya adalah pihak swasta. Fungsi spesifi pendiriannya sendiri yaitu sebagai : 1) tempat konservasi dan pemeliharaan dimana penangkaran ini berfungsi untuk menjaga populasi hiu, terutama yang terancam akibat perburuan dan perdagangan sirip hiu 2) Sarana edukasi yakni pengunjung dapat belajar lebih banyak tentang hiu, kebiasaan hidupnya, serta pentingnya menjaga ekosistem laut selain itu 3)Wisata dan Interaksi dimana Wisatawan bisa berenang bersama hiu jinak di kolam penangkaran, sehingga menjadi pengalaman unik dan menarik.

Beberapa jenis hiu yang umum dijumpai di penangkaran ini ada 2 yakni Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus) yang memiliki karakter memiliki ujung sirip hitam, umumnya jinak dan sering terlihat di perairan dangkal; serta Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus) yang memiliki karakter Hidup di perairan dangkal berbatu, termasuk hiu yang cukup tenang dan tidak agresif.

Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus)

Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus)

Lantas, apa sebenarnya fungsi Hiu Blacktip Reef dan Hiu Sirip Putih di Ekosistem Laut? Setelah aku browsing, beginilah jawabannya:


Sebelum kami turun, pemandu penangkaran memberi beberapa arahan. "Jari-jari tangan diusahakan harus tetap di atas air. Soalnya kalau masuk kedalam air dan bergerak-gerak bisa dikira umpan/ikan kecil," katanya serius. "Jangan kecipak-cipuk air, tetap tenang."

Kami mendengarkan arahan dengan seksama. Well, meskipun hiu-hiu di penangkaran ini ukurannya masih relatif kecil—rata-rata kurang dari 1 meter —tetapi bagaimanapun mereka tetaplah predator. Naluri berburu mereka masih ada, dan itu yang membuat pengalaman ini bakal terasa sedikit menegangkan.

Setelah berdiskusi sejenak bertiga, akhirnya aku memutuskan untuk masuk lebih dulu ke kolam hiu. Aku menarik napas dalam, lalu jalan perlahan menuruni anak tangga kayu. Begitu kakiku menyentuh air, sensasi dingin bercampur hangat langsung terasa, kontras dengan teriknya matahari pagi ini.

Menunggu beberapa saat di kolam, beberapa hiu kecil langsung terlihat berenang di sekitarku. Tubuh mereka ramping, gerakannya begitu anggun di dalam air. Aku mengingat instruksi pemandu: tetap tenang, jangan bergerak tiba-tiba, dan yang paling penting—usahakan jari tangan tetap diatas air. Maka, aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, memastikan tidak ada gerakan yang bisa menarik perhatian mereka secara agresif.

Hiu-hiu itu hanya melintas santai di dekatku, seolah mengamatiku sebentar sebelum kembali berputar ke arah lain. Aku bisa melihat sirip mereka naik sedikit ke permukaan, menciptakan gelombang kecil yang pecah perlahan di sekitar tubuhku. Sensasinya… luar biasa. Ada ketegangan, tapi juga keindahan melihat mereka begitu dekat tanpa sekat.

"Fotoin ya, Ga," kataku ke Ega, yang sedang berdiri di atas dermaga dengan ponselku.

"Siaaap!" jawabnya antusias, langsung mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Aku sempat melirik ke atas, melihatnya berkonsentrasi mencari angle terbaik. Aku berusaha tersenyum sewaktu foto, namun bisa dibilang, senyum dengan ketakutan. Hahaha...

Selama sekitar 10 menit aku menikmati pengalaman ini, membiarkan adrenalinku mengalir sementara hiu-hiu itu terus berenang di sekitarku. Akhirnya, aku kembali naik ke dermaga, meminta gantian dengan Arin dan Ega. "Oke, giliran kalian!" kataku sambil mengulurkan tangan untuk memberikan semangat.

Sebenarnya di penangkaran hiu ini ada beberapa kolam, dimana masing-masing kolam terisi oleh beberapa hiu kecil. Ada yang kolam kecil dan kolam besar. Namun kami memutuskan masuk ke satu kolam besar aja, "yang penting udah ada fotonya" itu prinsip kami bertiga hehe.


Selanjutnya sembari menunggu peserta trip lain mengambil foto, kami duduk-duduk santai di sekitar Pulau Menjangan Besar. Hari ini wisatawan terlihat cukup ramai. Ya tidak heran sih, soalnya ini lagi libur panjang.


Sekitar pukul 09.45, Pak Arif mulai memanggil dan mengumpulkan kami kembali. "Kita geser ke Pulau Cemara Kecil ya. Nanti makan siang disana," katanya ke seluruh peserta trip.

Beda dengan sebelumnya, kali ini perjalanan dari Pulau Menjangan Besar ke Pulau Cemara Kecil cukup jauh. Menurut peta jaraknya sekitar 10 km, dan kami tempuh dalam 30 menit. Air laut yang semua biru kristal secara perlahan mulai berubah menjadi biru tua semakin perahu melaju, menandakan laut yang semakin dalam. Ombak di sekitar perahu mulai terasa lebih kuat dibanding sebelumnya. Tidak sampai membuat kami oleng, tapi cukup untuk membuat perahu sedikit terayun-ayun. Aku duduk di tepi kapal, menikmati semilir angin yang membawa aroma laut yang khas. Matahari mulai terasa lebih terik, tapi angin laut membuat udara tetap sejuk.

Perahu terus melaju membelah laut, meninggalkan jejak buih putih di belakangnya. Dari kejauhan, kami mulai bisa melihat garis pantai Pulau Cemara Kecil—pulau kecil yang dikelilingi pasir putih dengan jejeran pohon cemara yang menjulang. Air di sekitar pulau itu tampak lebih tenang, berkilauan di bawah sinar matahari, kembali memancarkan gradasi biru kehijauan yang menenangkan. Dasar laut terlihat jelas, dihiasi oleh hamparan rumput laut yang menjulur lembut diatas pasir putih, bergoyang perlahan mengikuti arus yang nyaris tak terasa.

Pulau Cemara Kecil menyambut kami dengan pasir putihnya yang halus, berpadu dengan pantai dangkal dengan air laut yang memantulkan warna biru kehijauan. Di sepanjang pantainya, deretan pohon kelapa menjulang, daunnya melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut yang khas. Dari tepi pantai, kami bisa melihat perbukitan menjulang yang sepertinya merupakan Pulau Cemara Besar.

"Jam 12 nanti berkumpul disini ya untuk makan siang. Sekarang jam bebas boleh keliling pulau atau foto-foto," pesan Pak Arif kepada kami peserta tour sesaat setelah turun dari kapal.

"Jalan-jalan aja dulu yuk foto-foto," kata Ega kepada kami berdua.

Kami langsung mengangguk setuju. Pantai di Pulau Cemara Kecil ini memang luar biasa indah—pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, serta suasana yang begitu tenang membuat kami ingin menikmati setiap sudutnya. 



Selain garis pantainya, bagian dalam Pulau Cemara Kecil ini sendiri tak kalah indah. Deretan pohon kelapa, pohon cemara, warung-warung yang terbuat dari anyaman bambu beratapkan daun kelapa membuat suasana sejuk yang entah kenapa terasa nyaman di hati.


Sesaat kemudian Pak Arif memanggil kami para peserta tour untuk makan siang. Kami segera bergabung dengan peserta trip lainnya yang sudah duduk melingkar di atas tikar yang dibentangkan di pasir. Angin pantai yang sejuk berhembus perlahan, membawa aroma ikan bakar yang menggoda selera. Asap tipis masih mengepul dari panggangan, menandakan ikan baru saja matang dengan sempurna.

Di tengah lingkaran, agen tour dengan cekatan membagikan porsi makan siang kami—nasi hangat yang mengepul, ikan bakar dengan bumbu meresap, serta sambal segar yang menggiurkan. Tak lupa, ada juga potongan timun dan sayur sebagai pelengkap. Di sebelahnya, es batu berjejer dalam wadah besar, siap dicampur dengan minuman segar untuk menyejukkan dahaga setelah seharian beraktivitas di bawah matahari.

Kami bertiga langsung mengambil tempat dan menikmati hidangan dengan lahap. Suasana santai dan kebersamaan terasa begitu hangat, dengan suara deburan ombak sebagai latar belakang alami. 

"Setelah selesai makan kita akan snorkeling ya. Nanti kalau sudah selesai langsung menuju ke kapal saja," pesan Pak Arif kepada kami peserta tour.

"Siaap pak," jawab kami kompak.

Sekitar jam 2 siang kami melanjutkan perjalanan menuju spot snorkeling dengan mengendarai kapal selama kurang lebih 20 menit. Saking jernihnya air, bahkan sebelum turun dari kapal kami sudah bisa melihat beberapa karang yang membentuk ekosistem laut dangkal disini, dimana yang paling utama adalah koral keras (hard coral) jenis karang bercabang (branching koral).

Begitu masuk ke dalam air, pemandangan bawah laut langsung memukau kami. Di kedalaman beberapa meter, terumbu karang yang berwarna-warni tampak hidup dengan segala keindahannya. Salah satu yang paling mencolok adalah karang bercabang (branching koral) yang tumbuh rimbun, berwarna coklat kekuningan, membentuk semacam hutan bawah laut yang dihuni berbagai jenis ikan. Di antara karang-karang tersebut, aku bisa melihat ikan-ikan kecil seperti ikan Nemo, ikan putih belang hitam, ikan oranye, ikan hitam, yang ceria berenang di antara terumbu karang. Terkadang, ikan-ikan tersebut berkelompok, menciptakan gerakan yang begitu harmonis, seolah menyatu dengan lingkungan mereka. 



[3] Ambon - Ora : Kota Ambon, Rujak Natsepa dan Kepulangan (Finished)

Desa Mata Air Belanda, 1 Januari 2018

Pagi itu, embun belum sepenuhnya menguap dan matahari masih mengintip malu-malu ketika kami sudah bersiap untuk kembali menuju Desa Saleman. Suara ombak yang memecah keheningan subuh menemani langkah kami menuju dermaga kecil tempat bapak kapal sudah menunggu. Ada sesuatu yang selalu bikin berat setiap kali harus meninggalkan tempat seindah ini. Tapi perjalanan harus terus berlanjut. 

Kami menaiki kapal kayu yang selama beberapa hari terakhir telah menjadi bagian dari petualangan kami. Mesin kapal meraung pelan, lalu perlahan mulai bergerak meninggalkan keheningan desa, melintasi perairan yang tenang di bawah langit yang masih berwarna jingga. Angin laut mengusap wajah kami, membawa aroma asin yang khas—aroma yang akan selalu mengingatkan kami pada tempat ini.

Selama perjalanan menuju Desa Saleman, kami lebih banyak diam. Mungkin karena masih mengantuk, mungkin juga karena masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada rasa sayang untuk pergi, tapi juga ada semacam kesadaran bahwa setiap perjalanan memang harus punya akhirnya.

Sesampainya di Desa Saleman, bapak driver yang kemarin mengantar kami sudah menunggu dengan mobilnya. Kami tidak bisa berlama-lama, waktu terus berjalan, dan kami harus memastikan semuanya sesuai rencana. Pelabuhan Amahai masih cukup jauh, dan kami berencana naik kapal cepat menuju Ambon yang dijadwalkan berangkat pukul 08.00 WIT. Tak ada ruang untuk kesalahan atau keterlambatan, atau resikonya ketinggalan pesawat.

Perjalanan darat terasa lebih cepat dari sebelumnya, mungkin karena kami sudah melaluinya sebelumnya. Setiap tikungan, setiap jembatan yang kami lewati, rasanya seperti menandai kedekatan kami dengan "peradaban". Dan akhirnya, setelah hampir satu jam perjalanan, kami telah mendekati kota Amahai. Hal pertama yang langsung kami lakukan adalah..... mengecek ponsel masing-masing. Tiba-tiba, dunia kembali terasa ramai. Notifikasi pesan mulai berdatangan, update dari dunia luar yang sempat terputus selama kami di sana. 

Begitu sampai Pelabuhan Amahai, tanpa menunggu lama kami segera menuju ke loket pembelian tiket. Ternyata hari itu cukup banyak masyarakat lokal yang hendak menuju Ambon.  Awalnya, semuanya tampak berjalan lancar. Kami berdiri dalam antrean yang tertib, membentuk barisan yang memanjang ke belakang seperti seharusnya sementara menunggu loket dibuka.

Tapi rupanya, kedamaian itu tak bertahan lama. Begitu loket dibuka, entah dari mana, orang-orang mulai menyerbu dari segala arah—kanan, kiri, bahkan dari belakang. Barisan yang tadinya rapi tiba-tiba berubah menjadi lautan manusia yang bergerak tanpa aturan. Dorongan demi dorongan membuat kami nyaris kehilangan tempat. Aku heran. Bukankah sudah ada antrean yang jelas? Kenapa tiba-tiba banyak yang menyerobot dari samping? Huft, benar-benar tidak tertib. Seakan-akan aturan antrean itu hanya formalitas awal sebelum semuanya berubah menjadi siapa yang paling kuat dan cepat, dialah yang menang.

Kami tak mau kalah. Dengan segala daya upaya, kami mempertahankan posisi, berusaha tidak terdorong ke samping. Beberapa kali kaki hampir terinjak, tapi semangat dan keharusan untuk tetap mendapatkan tiket membuat kami bertahan. Untunglah perjuangan itu tidak berlangsung lama. Setelah beberapa menit menahan dorongan, masing-masing dari kami akhirnya berhasil menggenggam tiket di tangan. Dengan napas sedikit terengah, kami berjalan menjauh dari kerumunan, merasa lega karena satu langkah penting sudah berhasil dilalui.

"Cari sarapan dulu yuk," kataku ke mereka. 

"Boleh, yuk," jawab mereka.

Seperti kuceritakan sebelumnya, perjalanan Pelabuhan Amahai ke Pelabuhan Tulehu bakal menempuh waktu 3-4 jam. Ini penting banget bagi kami untuk mencari sarapan dulu supaya perut tidak kosong dan berakibat bisa mabuk laut.

Pelabuhan Amahai, Pulau Seram

Tidak lama kemudian kami sudah diperbolehkan masuk kapal. Kali ini, mungkin karena laut cukup tenang, perjalanan kembali ke Ambon ditempuh hanya dalam 3 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan pikiranku masih melayang-layang mengenang tiga hari terakhir—memutar ulang setiap momen, dari keindahan alam yang kami jelajahi. Serta rasa puas yang entah kenapa datang setiap kali aku memikirkan bahwa aku mengawali tahun 2018 ini dengan mengunjungi tempat yang sangat indah!

Kapal Express Bahari Rute Pelabuhan Amahai - Pelabuhan Tulehu

Sekitar pukul 11 siang, akhirnya kapal kami - Express Bahari 9C - merapat di Pelabuhan Tulehu, Ambon. Kami telah resmi kembali ke hiruk-pikuk perkotaan. Dari suasana tenang dan alami di pulau, kini kami kembali ke dunia yang lebih ramai, lebih sibuk, dan lebih bising. Sebelum memutuskan langkah selanjutnya, kami memutuskan untuk makan siang di area pelabuhan. Setelah perjalanan panjang, rasanya makanan di depan kami terasa lebih nikmat.

Selesai makan, sekitar jam 11.30 kami bersiap memulai eksplorasi Kota Ambon. Tujuan pertama kami adalah Pantai Natsepa, salah satu pantai yang terkenal di timur Kota Ambon, terutama dengan rujak Natsepa yang legendaris. Dari pelabuhan, kami naik angkot dengan musik menggelegar—ciri khas transportasi di Ambon, yang selalu memberikan hiburan sepanjang perjalanan. Begitu sampai di Natsepa, suasana terlihat cukup ramai. Banyak keluarga dan anak-anak berenang di tepi laut, beberapa orang duduk santai di bawah pohon sambil menikmati makanan, dan yang lainnya berjalan di sepanjang garis pantai. Angin sepoi-sepoi dari laut membawa hawa sejuk meskipun matahari masih cukup terik.

Pantai Natsepa, Ambon

Pantai Natsepa, Ambon

Air lautnya tampak jernih dengan gradasi warna biru muda dan biru tua, sementara pasirnya berwarna putih kecoklatan, lembut di kaki. Di sepanjang pantai, banyak penjual makanan dan minuman berjejer di bawah tenda-tenda sederhana. Sangat berbeda dengan Ora yang kami kunjungi sebelumnya yang lebih sepi dan alami, di sini nuansa wisata lebih terasa—dengan penjual es, pentol, Pop Mie, dan berbagai jajanan khas lainnya yang menggoda selera. Khas Indonesia banget ya hehehehe... Tapi itu menyenangkan, karena banyak pilihan jajanan😁.

Pedagang yang menjajakan dagangannya di sepanjang Pantai Natsepa, Ambon

Pemandangan sekitar Pantai Natsepa, Ambon

Tentu saja, sudah sampai sini, kami tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencoba rujak Natsepa yang sudah terkenal. Kami mendekati salah satu penjual dan memesan satu porsi. Harganya cukup murah, hanya Rp7.000 per porsi. Ketika rujaknya disajikan, tampilannya langsung menggugah selera. Dalam satu piring besar, ada potongan berbagai macam buah segar seperti mangga muda, nanas, pepaya, bengkuang, kedondong, dan jambu air. Yang membuatnya khas adalah bumbu rujaknya—berwarna coklat pekat, kental, dan menggoda dengan aroma khas gula merah dan kacang tanah yang diulek halus. Aku memakannya berdua dengan Fredo karena porsinya cukup besar.

Rujak Natsepa dengan sambelnya yang khas

Begitu suapan pertama masuk ke mulut rasanya langsung unik dan nikmat. Kombinasi manis dari gula merah, sedikit asin dari garam, pedas dari cabai, dan gurih dari kacang menciptakan harmoni rasa yang sempurna. Ditambah dengan buah-buahan segar yang renyah dan asam-manis, sensasinya benar-benar segar. Kami menikmati setiap gigitan sambil duduk di tepi pantai, menikmati pemandangan laut yang luas dan deburan ombak yang menenangkan. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman.

"Enak ya sambelnya ini, khas banget," kataku ke Fredo.

"Iyo setuju."

Dari Pantai Natsepa, karena waktu kami terbatas, kami memutuskan langsung bergeser ke tempat selanjutnya. Sebenarnya kami masing-masing tidak ada klue mau mengunjungi mana lagi. Berbekal sedikit browsing di Google Maps, aku menemukan area ini, Patung Pattimura - Monumen Gong Perdamaian Dunia - Lapangan Merdeka - Benteng Nieuw Victoria - Kantor Gubernur Maluku - Kantor Walikota Ambon yang terletak di satu kawasan yang sama, yaitu di sekitar Lapangan Merdeka. Aku rasa ini sangat cocok dikunjungi mengingat waktu kita yang mepet. Akhirnya, kami sepakat untuk ke sana dengan naik angkot.

Sebagian wisata Kota Ambon terletak di titik ini. Jika punya waktu transit yang singkat di Kota Ambon bisa mengunjungi tempat ini.

Dalam perjalanan, kami melewati Jembatan Merah Putih, jembatan ikonik yang membentang di atas Teluk Ambon. Dari dalam angkot, kami bisa melihat betapa megahnya jembatan ini, menghubungkan dua sisi kota dan menjadi salah satu landmark utama di Ambon. Jembatan ini juga punya makna historis, melambangkan persatuan dan rekonsiliasi pasca-konflik yang pernah melanda Ambon di masa lalu.

Jembatan Merah Putih, Ambon 

Sumber Gambar : disini

Lalu lintas di Kota Ambon

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di pemberhentian pertama, Patung Pattimura. Monumen ini didirikan pada 14 Mei 1982 untuk mengenang jasa-jasa pahlawan nasional, Thomas Matulessy (atau lebih dikenal dengan nama Pattimura), dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Monumen ini menjadi simbol penghormatan atas perjuangan dan keberanian Pattimura dalam memimpin perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1817. "Pattimura" sendiri adalah nama gelar atau julukan yang diberikan oleh masyarakat setempat yang berarti "pejuang" atau "pemimpin perlawanan"Ia memimpin perjuangan dengan berani melawan pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih kuat. Meskipun akhirnya perlawanan Pattimura kalah, namun semangat juangnya tetap dikenang sebagai simbol perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Monumen Pattimura

Jasa besar Pattimura untuk Indonesia adalah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, serta inspirasi yang ia berikan kepada bangsa Indonesia untuk terus berjuang hingga meraih kemerdekaan. Di monumen ini, kami bisa merasakan semangat perjuangan dan keberanian Pattimura yang luar biasa.

Jalanan di Kota Ambon, di sekitar Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Monumen Pattimura, kami bergeser ke arah barat menuju Monumen Gong Perdamaian Dunia. Monumen ini didirikan sebagai pengingat akan pentingnya hidup berdampingan dengan harmonis setelah konflik sosial yang pernah terjadi di Maluku. Monumen ini berbentuk gong besar dengan diameter sekitar 2 meter, dihiasi berbagai simbol agama dan bendera dari banyak negara di dunia, menandakan semangat perdamaian universal. Gong ini ditempatkan di tengah alun-alun yang cukup luas, dengan latar belakang kota Ambon yang terlihat jelas. Di bagian bawahnya, terdapat tulisan "World Peace Gong", sebuah pengingat akan pentingnya persatuan dan toleransi. Bagiku, Fredo dan Arin, tentulah ini menjadi Gong Perdamaian kedua yang kami kunjungi. Gong Perdamaian pertama kami adalah yang kami kunjungi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat kami traveling di tahun 2014 lalu.

Monumen Gong Perdamaian Dunia

FYI di Indonesia sendiri, terdapat beberapa Monumen Gong Perdamaian Dunia yang tersebar di berbagai kota. Gong Perdamaian ini merupakan simbol persatuan dan harmoni, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kedamaian. Berikut adalah beberapa lokasi Gong Perdamaian di Indonesia:

  1. Gong Perdamaian Dunia – Ambon, Maluku

    • Diresmikan pada tahun 2009 setelah konflik sosial di Maluku.
    • Menjadi simbol perdamaian dan toleransi antarumat beragama.
  2. Gong Perdamaian Dunia – Palu, Sulawesi Tengah

    • Diresmikan pada tahun 2009.
    • Berada di Kota Palu sebagai simbol perdamaian pasca-konflik di Poso dan sekitarnya.
  3. Gong Perdamaian Dunia – Jepara, Jawa Tengah

    • Berada di Desa Plajan, Kecamatan Pakis Aji.
    • Dibangun di kawasan wisata Gong Perdamaian Dunia, Jepara.
  4. Gong Perdamaian Dunia – Yogyakarta

    • Berlokasi di Taman Balai Kota Yogyakarta.
    • Simbol keberagaman dan toleransi di kota budaya ini.
  5. Gong Perdamaian Dunia – Bali

    • Berada di Kertalangu Cultural Village, Denpasar.
    • Simbol perdamaian yang menguatkan Bali sebagai destinasi wisata dunia.
  6. Gong Perdamaian Dunia – Blitar, Jawa Timur

    • Diresmikan pada tahun 2013.
    • Terletak di kawasan makam Presiden Soekarno, menambah nilai historisnya.
  7. Gong Perdamaian Dunia – Morowali, Sulawesi Tengah

    • Dibangun untuk memperkuat semangat toleransi dan persaudaraan di daerah ini.

Totalnya ada setidaknya 7 monumen Gong Perdamaian di Indonesia, yang semuanya memiliki tujuan sama—mengingatkan pentingnya persatuan, toleransi, dan perdamaian di tengah keberagaman bangsa.

Berpose dengan Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Gong Perdamaian, kami hanya perlu berjalan kaki sebentar ke Tulisan "AMBON MANISE" besar yang juga menjadi ikon kota ini. Tulisan ini cukup mencolok, berwarna merah terang dan berdiri kokoh di area terbuka. Lagi-lagi, ini jadi spot foto wajib. "Ambon Manise" sendiri adalah sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang berarti "Ambon yang cantik" atau "Ambon yang manis." Frasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan alam atau karakteristik yang menarik dari kota Ambon, yang terletak di Provinsi Maluku. "Manise" sendiri dalam bahasa setempat berarti "cantik" atau "indah." Jadi, frasa ini mencerminkan kesan positif terhadap kota Ambon, yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang memukau dan keramahan penduduknya.

Berpose dengan "AMBON MANISE"

Di sekitar area ini, juga terdapat Kantor Gubernur Maluku dan Kantor Wali Kota Ambon. Bangunan-bangunan ini berdiri megah dengan arsitektur khas pemerintahan yang cukup modern. Meskipun kami tidak masuk ke dalam, melihat dari luar saja sudah cukup untuk merasakan atmosfer Kota Ambon.

Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Kantor Walikota Ambon. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Setelah puas berfoto dan menikmati suasana pusat kota, kami sadar bahwa waktu sudah semakin sore sehingga harus segera ke tempat selanjutnya, yaitu rumah Om Arin. Btw Arin memang punya om yang berdomisili di Kota Ambon. Sejak awal tahu kalau Arin dan Mbak Hayu akan ke sini, beliau sudah berpesan agar mereka mampir ke rumah. Sekarang sudah jam 14.30, dan dengan jadwal penerbangan kami yang jam 16.30, artinya kami masih punya spare waktu 2 jam. Tapi sebelumnya masing-masing dari kami sudah melakukan web check-in untuk meminimalisir jika terburu-buru. Rencana Om Arin juga yang akan mengantarkan kita berempat ke Bandara Pattimura dari rumahnya.

Bertanya-tanya kepada warga lokal, untuk naik angkot menuju ke arah rumahnya Om Arin, kami disarankan naik kapal dahulu untuk menyeberang dari lokasi kami (Ambon bagian selatan) untuk menuju ke Ambon bagian Utara; baru disambung naik angkot.

Penyeberangan kami yang garis merah. Cukup menghemat waktu.

Seperti diketahui, Kota Ambon terbagi menjadi bagian Utara dan Selatan, yang dipisahkan oleh Teluk Ambon. Selain melalui Jembatan Merah Putih, masyarakat juga bisa menggunakan kapal lokal atau perahu motor (speedboat dan ketinting) untuk menyeberang dari satu sisi ke sisi lainnya. Kami mendapatkan info dari orang lokal. Transportasi ini biasanya lebih cepat dan murah, terutama bagi mereka yang ingin menghindari kemacetan atau menghemat waktu perjalanan dibanding harus memutar jauh lewat Jembatan Merah Putih. Bagi kami, naik kapal lokal ini juga bisa menjadi pengalaman menarik untuk melihat pemandangan Teluk Ambon.

Kami tiba di Pelabuhan Lateri, di mana deretan kapal motor berwarna-warni bersandar di tepi dermaga. Suasananya cukup ramai—beberapa warga lokal tampak menunggu giliran, ada yang membawa barang belanjaan, ada juga anak-anak sekolah yang baru pulang. Aroma khas laut bercampur dengan bau solar dari mesin kapal yang menyala.

Suasana di sekitar Pelabuhan Lateri

Begitu kapal kami siap berangkat, kami segera naik dan memilih tempat duduk di bagian belakang agar lebih leluasa menikmati pemandangan. Tak lama, derungan mesin kapal terdengar menggelegar, menggema di atas permukaan air teluk yang tenang. Perlahan kapal mulai bergerak, membelah lautan biru dengan riak kecil yang terbentuk di belakangnya. Angin laut bertiup sepoi-sepoi, memberikan rasa segar di tengah teriknya matahari sore. Dari kejauhan, Jembatan Merah Putih tampak megah membentang, menghubungkan dua sisi kota yang dipisahkan teluk. Di sepanjang perjalanan, kami juga bisa melihat perahu nelayan kecil yang terapung-apung, serta beberapa rumah panggung di tepi pantai dengan perbukitan hijau sebagai latarnya.

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Tak sampai 15 menit, kapal sudah mulai mendekati dermaga di seberang (Dermaga Wayame). Mesin kapal perlahan mengurangi kecepatan, suara deruannya melemah seiring kapal bersandar. Kami segera turun dan mengabadikan beberapa memori dalam bentuk foto berlatar Teluk Ambon.

Dermaga Wayame

Dari sini kami langsung bergegas naik angkot ke rumah Om-nya Arin. Tidak butuh waktu lama untuk sampai, dan ternyata disana kami sudah ditunggu oleh Om-nya Arin dan disambut dengan ramah. Aku dan Fredo juga sempat memperkenalkan diri. Setelahnya beliau banyak ngobrol dengan Arin dan Mabk Hayu. Mungkin lama ga ketemu jadinya pangling dan banyak topik yang diceritakan satu sama lain. Tidak lama kemudian Om-nya Arin meminta  kami untuk segera bersiap karena harus sudah berangkat. Di dalam mobil, kami berbincang-bincang ringan, merasa sedikit sayang meninggalkan Ambon, tapi juga merasa senang bisa pulang dengan kenangan yang begitu berkesan.

Angkot Kota Ambon yang berjasa mengantarkan kita keliling kota

Setelah melewati jalan-jalan kota Ambon, kami tiba di Bandara Pattimura sekitar pukul 15.30 sore. Begitu turun dari mobil, kami berpamitan dengan Om Arin, berterima kasih sekali lagi atas bantuan dan kebaikannya. Kami langsung masuk untuk check-in dan mengurus segala kebutuhan sebelum keberangkatan. 

Tidak menunggu lama, kami dipersilahkan boarding dan pesawat lepas landas perlahan meninggalkan Ambon, meninggalkan teluk yang indah dan seluruh kenangan yang akan selalu kami simpan. Menurut jadwal, kami akan landing di Makassar jam 18.30. Dari Makassar, kami berempat akan terbang ke tujuan masing-masing yaitu Aku dan Arin ke Surabaya, Fredo ke Yogyakarta dan Mbak Hayu ke Jakarta. Sesuai formasi awal sewaktu kami tiba disini hehehe...

Bye Ambon! I'll see you soon!


Surabaya, 1 Januari 2018

Singkat cerita, setelah transit kurang lebih 1 jam di Makassar, jam 8 atau 9 malam, aku dan Arin tiba di Surabaya. Begitu turun dari pesawat, kami langsung disambut oleh suasana kota yang sudah kembali sibuk dengan lalu lintas yang padat dan asap kendaraan yang khas. Here we go, kenyataan menanti di depan mata. Besok aku dan Arin - dimana kami bekerja di kantor yang sama - sudah harus kembali bekerja. Kami memesan grab menuju kos dan bersiap untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Dengan rasa lelah tentunya, tapi juga penuh semangat untuk menghadapi hari baru setelah petualangan yang luar biasa di awal tahun 2018 ini.

FINISHED...