3.09.2025

[4] Karimunjawa : Eksplor Pulau Menjangan Besar, Pulau Cemara Kecil, dan Pulau Menjangan Kecil

Hoammm... Pagi telah menyapa di Pulau Karimunjawa 🙂. Tidur kami semalam cukup nyenyak. Well, mungkin karena efek kurang tidur akibat perjalanan panjang dengan bus kemarin malam dari Surabaya ke Jepara. Aku melirik ke arah Ega dan Arin yang terlihat sudah bangun juga. Hari ini agenda kami - yang juga merupakan agenda utama setiap orang yang berkunjung ke Karimunjawa - yakni akan melaksanakan Island Hopping yaitu berkeliling pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Karimunjawa. Island Hopping ini sendiri aku booking dari agen tour lokal di Karimunjawa sini, dengan biaya yang sangat terjangkau yakni Rp 170.000/orang.

"Nanti gabung dengan traveler lainnya, Mbak, kumpul jam 9 di Pelabuhan Rakyat di sebelah barat Alun-Alun. Pulau yang dikunjungi ada Pulau Menjangan Besar untuk melihat penangkaran hiu, sehabis itu bergeser ke Pulau Cemara Kecil untuk makan siang menu ikan bakar dan setelahnya waktu bebas, kemudian setelahnya bergeser ke Pulau Menjangan Kecil untuk snorkeling. Nanti selesainya sekitar jam 5 sore," penjelasan Pak Arif - agen tour - via WA sewaktu aku booking untuk 3 orang.

"Siaap pak. Saya booking ya pak untuk 3 orang," jawabku bersemangat.

Well, melihat itinerary-nya memang sangat menarik. Apalagi penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. Aku sudah sering melihatnya di media sosial, dan benar-benar pengen berenang langsung dengan hiu-hiu jinak tersebut.

"Siapa mau mandi duluan nih?" Tanyaku ke Arin dan Ega. 

"Aku duluan ya," jawab Arin.

"Iya Rin, habis itu kamu ya Ga. Terakhir aku," jawabku.

Setelah mandi dan bersiap, sekitar jam 6.30 kami keluar penginapan untuk mencari sarapan. Jalanan masih cukup sepi, hanya beberapa warung yang mulai buka. Kami berjalan santai sambil menikmati suasana pagi di pulau ini—orang-orang lokal yang ramah menyapa, beberapa wisatawan lain tampak baru keluar dari penginapan mereka. Kami akhirnya memilih sarapan di sebuah warung kecil yang menjual nasi campur. Rasanya sederhana, tapi nikmat. Kami juga sempat mampir ke Pelabuhan Karimunjawa untuk berfoto dengan sign "Selamat Datang di Karimunjawa", yaa sebagai kenang-kenangan. Maklum kemarin sampainya sini malam sehingga belum sempat foto. 


Setelah sarapan, kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang yang diperlukan untuk berkeliling pulau. Kami sudah mempersiapkan tas kecil berisi sunblock, kacamata hitam, air minum, dan beberapa camilan. Tak lupa, kamera dan HP untuk mengabadikan momen di nanti. Khusus untuk momen dibawah laut, agen tour mengatakan bahwa nanti masing-masing dari kami akan diberikan foto underwater. Setelah semuanya siap, kami bertiga jalan menuju Pelabuhan Rakyat sebagai titik pertemuan dengan Pak Arif, agen tour kami.


Sekitar jam 9 pagi, kami tiba di pelabuhan. Suasana di sana sudah cukup ramai oleh para peserta tour yang hari ini mempunyai jadwal yang sama dengan kami yakni keliling pulau. Tidak sulit bagi kami menemukan Pak Arif  setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang. Ternyata hampir semua peserta trip Pak Arif terlihat sudah berkumpul. Setelah diberi arahan sejenak, dan diberi pelampung yang wajib dipakai selama perjalanan, kami dipersilahkan naik ke perahu kayu motor berwarna biru putih. 

Setelah semua peserta naik, tepat jam 9 pagi kapal pun mulai berangkat meninggalkan Pulau Karimunjawa. Raungan mesin kapal menandai dimulainya perjalanan kami menuju pulau pertama: Pulau Menjangan Besar. Angin laut berhembus sejuk, membawa serta aroma khas asin yang menenangkan. Kami duduk di sisi kapal, menikmati pemandangan laut yang luas, dengan pulau-pulau kecil di kejauhan mulai terlihat. Air laut di sekitar kami tampak bergradasi dari biru tua ke biru muda,  pertanda bahwa perairan di sini cukup dangkal dan jernih.

Perjalanan ke Pulau Menjangan Besar ditempuh dalam waktu 20 menit saja. Begitu kapal merapat di dermaga kayu, kami langsung disambut pantai dangkal dengan air berwarna biru kristal yang begitu jernih hingga dasar berpasir putihnya terlihat jelas. Air laut tersebut membentuk riak-riak kecil yang pecah perlahan di area pesisir. Cahaya matahari yang jatuh ke permukaan air juga menciptakan kilauan yang indah, seperti serpihan kaca yang berkilau di atas biru laut. Di sekitarnya, pohon kelapa dan cemara laut melambai-lambai tertiup angin, menciptakan suasana tropis yang hangat.

Pulau Menjangan Besar ini paling terkenal dengan penangkaran hiu-nya. Sesampainya di sana, kami disambut oleh pemandu lokal yang menjelaskan tentang konservasi hiu yang ada di tempat ini. Kolam-kolam besar berisi hiu sirip hitam terlihat jelas. Meskipun kami datang cukup pagi, namun suasana penangkaran sudah cukup ramai dengan wisatawan dari agen tour lain. Beberapa peserta trip dengan berani masuk ke kolam untuk berenang dan berfoto bersama hiu. 

Sedikit cerita, penangkaran hiu ini mulai didirikan tahun 2002, dimana awalnya dibuat untuk konservasi dan pemeliharaan hiu, tetapi kemudian berkembang menjadi destinasi wisata, dimana pengelolanya adalah pihak swasta. Fungsi spesifi pendiriannya sendiri yaitu sebagai : 1) tempat konservasi dan pemeliharaan dimana penangkaran ini berfungsi untuk menjaga populasi hiu, terutama yang terancam akibat perburuan dan perdagangan sirip hiu 2) Sarana edukasi yakni pengunjung dapat belajar lebih banyak tentang hiu, kebiasaan hidupnya, serta pentingnya menjaga ekosistem laut selain itu 3)Wisata dan Interaksi dimana Wisatawan bisa berenang bersama hiu jinak di kolam penangkaran, sehingga menjadi pengalaman unik dan menarik.

Beberapa jenis hiu yang umum dijumpai di penangkaran ini ada 2 yakni Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus) yang memiliki karakter memiliki ujung sirip hitam, umumnya jinak dan sering terlihat di perairan dangkal; serta Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus) yang memiliki karakter Hidup di perairan dangkal berbatu, termasuk hiu yang cukup tenang dan tidak agresif.

Hiu Blacktip Reef (Carcharhinus melanopterus)

Hiu Sirip Putih (Triaenodon obesus)

Lantas, apa sebenarnya fungsi Hiu Blacktip Reef dan Hiu Sirip Putih di Ekosistem Laut? Setelah aku browsing, beginilah jawabannya:


Sebelum kami turun, pemandu penangkaran memberi beberapa arahan. "Jari-jari tangan diusahakan harus tetap di atas air. Soalnya kalau masuk kedalam air dan bergerak-gerak bisa dikira umpan/ikan kecil," katanya serius. "Jangan kecipak-cipuk air, tetap tenang."

Kami mendengarkan arahan dengan seksama. Well, meskipun hiu-hiu di penangkaran ini ukurannya masih relatif kecil—rata-rata kurang dari 1 meter —tetapi bagaimanapun mereka tetaplah predator. Naluri berburu mereka masih ada, dan itu yang membuat pengalaman ini bakal terasa sedikit menegangkan.

Setelah berdiskusi sejenak bertiga, akhirnya aku memutuskan untuk masuk lebih dulu ke kolam hiu. Aku menarik napas dalam, lalu jalan perlahan menuruni anak tangga kayu. Begitu kakiku menyentuh air, sensasi dingin bercampur hangat langsung terasa, kontras dengan teriknya matahari pagi ini.

Menunggu beberapa saat di kolam, beberapa hiu kecil langsung terlihat berenang di sekitarku. Tubuh mereka ramping, gerakannya begitu anggun di dalam air. Aku mengingat instruksi pemandu: tetap tenang, jangan bergerak tiba-tiba, dan yang paling penting—usahakan jari tangan tetap diatas air. Maka, aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, memastikan tidak ada gerakan yang bisa menarik perhatian mereka secara agresif.

Hiu-hiu itu hanya melintas santai di dekatku, seolah mengamatiku sebentar sebelum kembali berputar ke arah lain. Aku bisa melihat sirip mereka naik sedikit ke permukaan, menciptakan gelombang kecil yang pecah perlahan di sekitar tubuhku. Sensasinya… luar biasa. Ada ketegangan, tapi juga keindahan melihat mereka begitu dekat tanpa sekat.

"Fotoin ya, Ga," kataku ke Ega, yang sedang berdiri di atas dermaga dengan ponselku.

"Siaaap!" jawabnya antusias, langsung mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Aku sempat melirik ke atas, melihatnya berkonsentrasi mencari angle terbaik. Aku berusaha tersenyum sewaktu foto, namun bisa dibilang, senyum dengan ketakutan. Hahaha...

Selama sekitar 10 menit aku menikmati pengalaman ini, membiarkan adrenalinku mengalir sementara hiu-hiu itu terus berenang di sekitarku. Akhirnya, aku kembali naik ke dermaga, meminta gantian dengan Arin dan Ega. "Oke, giliran kalian!" kataku sambil mengulurkan tangan untuk memberikan semangat.

Sebenarnya di penangkaran hiu ini ada beberapa kolam, dimana masing-masing kolam terisi oleh beberapa hiu kecil. Ada yang kolam kecil dan kolam besar. Namun kami memutuskan masuk ke satu kolam besar aja, "yang penting udah ada fotonya" itu prinsip kami bertiga hehe.


Selanjutnya sembari menunggu peserta trip lain mengambil foto, kami duduk-duduk santai di sekitar Pulau Menjangan Besar. Hari ini wisatawan terlihat cukup ramai. Ya tidak heran sih, soalnya ini lagi libur panjang.


Sekitar pukul 09.45, Pak Arif mulai memanggil dan mengumpulkan kami kembali. "Kita geser ke Pulau Cemara Kecil ya. Nanti makan siang disana," katanya ke seluruh peserta trip.

Beda dengan sebelumnya, kali ini perjalanan dari Pulau Menjangan Besar ke Pulau Cemara Kecil cukup jauh. Menurut peta jaraknya sekitar 10 km, dan kami tempuh dalam 30 menit. Air laut yang semua biru kristal secara perlahan mulai berubah menjadi biru tua semakin perahu melaju, menandakan laut yang semakin dalam. Ombak di sekitar perahu mulai terasa lebih kuat dibanding sebelumnya. Tidak sampai membuat kami oleng, tapi cukup untuk membuat perahu sedikit terayun-ayun. Aku duduk di tepi kapal, menikmati semilir angin yang membawa aroma laut yang khas. Matahari mulai terasa lebih terik, tapi angin laut membuat udara tetap sejuk.

Perahu terus melaju membelah laut, meninggalkan jejak buih putih di belakangnya. Dari kejauhan, kami mulai bisa melihat garis pantai Pulau Cemara Kecil—pulau kecil yang dikelilingi pasir putih dengan jejeran pohon cemara yang menjulang. Air di sekitar pulau itu tampak lebih tenang, berkilauan di bawah sinar matahari, kembali memancarkan gradasi biru kehijauan yang menenangkan. Dasar laut terlihat jelas, dihiasi oleh hamparan rumput laut yang menjulur lembut diatas pasir putih, bergoyang perlahan mengikuti arus yang nyaris tak terasa.

Pulau Cemara Kecil menyambut kami dengan pasir putihnya yang halus, berpadu dengan pantai dangkal dengan air laut yang memantulkan warna biru kehijauan. Di sepanjang pantainya, deretan pohon kelapa menjulang, daunnya melambai-lambai ditiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut yang khas. Dari tepi pantai, kami bisa melihat perbukitan menjulang yang sepertinya merupakan Pulau Cemara Besar.

"Jam 12 nanti berkumpul disini ya untuk makan siang. Sekarang jam bebas boleh keliling pulau atau foto-foto," pesan Pak Arif kepada kami peserta tour sesaat setelah turun dari kapal.

Tak jauh dari bibir pantai, sebuah warung sederhana berdiri di bawah naungan pohon besar, menawarkan kelapa muda dan camilan ringan bagi para pengunjung yang ingin bersantai sejenak. Beberapa meter dari sana, ayunan kayu tergantung di antara dua batang pohon, memberikan tempat yang sempurna untuk menikmati suasana sambil mengayunkan kaki di atas pasir.

Di sisi lain pulau, sebuah dermaga kayu menjorok ke laut, tempat perahu-perahu wisata berlabuh. Dari ujung dermaga, pandangan terbuka luas ke arah lautan, di mana pulau-pulau kecil lain terlihat samar di kejauhan, membentuk lanskap tropis yang menenangkan. Kami bertiga berjalan menyusuri pantai, mengabadikan momen dalam foto, dan sesekali bermain air di tepian sebelum akhirnya waktu makan siang tiba.

Kami segera bergabung dengan peserta trip lainnya yang sudah duduk melingkar di atas tikar yang dibentangkan di pasir. Angin pantai yang sejuk berhembus perlahan, membawa aroma ikan bakar yang menggoda selera. Asap tipis masih mengepul dari panggangan, menandakan ikan baru saja matang dengan sempurna.

Di tengah lingkaran, agen tour dengan cekatan membagikan porsi makan siang kami—nasi hangat yang mengepul, ikan bakar dengan bumbu meresap, serta sambal segar yang menggiurkan. Tak lupa, ada juga potongan timun dan sayur sebagai pelengkap. Di sebelahnya, es batu berjejer dalam wadah besar, siap dicampur dengan minuman segar untuk menyejukkan dahaga setelah seharian beraktivitas di bawah matahari.

Aku, Arin, dan Ega langsung mengambil tempat dan menikmati hidangan dengan lahap. Suasana santai dan kebersamaan terasa begitu hangat, dengan suara deburan ombak sebagai latar belakang alami. Makan siang di pinggir pantai seperti ini benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.


Kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Menjangan Kecil dengan perahu kecil yang melaju di atas air yang jernih. Angin terasa lebih segar saat perahu meluncur, dan pemandangan laut yang luas di sekeliling kami memberi sensasi ketenangan. Sesampainya di sekitar pulau, agen tour mengarahkan perahu ke titik snorkeling yang sudah ditentukan, dan dengan cepat kami melompat ke dalam air.

Begitu masuk ke dalam air, pemandangan bawah laut langsung memukau kami. Di kedalaman beberapa meter, terumbu karang yang berwarna-warni tampak hidup dengan segala keindahannya. Salah satu yang paling mencolok adalah karang cabang yang tumbuh rimbun, berwarna coklat kekuningan, membentuk semacam hutan bawah laut yang dihuni berbagai jenis ikan. Di antara karang-karang tersebut, aku bisa melihat ikan-ikan kecil seperti ikan Nemo yang ceria berenang di antara terumbu karang, bermain-main dengan warna oranye cerah tubuh mereka.

Ikan-ikan lain yang tak kalah menakjubkan, seperti ikan biru kuning dengan warna tubuh yang mencolok, juga tampak berenang bebas, bergerak lincah di sekitar karang. Terkadang, ikan-ikan tersebut berkelompok, menciptakan gerakan yang begitu harmonis, seolah menyatu dengan lingkungan mereka. Karang keras dengan berbagai bentuk juga terlihat, menciptakan tempat berlindung bagi banyak makhluk laut kecil. Terumbu karang ini begitu indah dan terjaga, dengan kehidupan laut yang beragam, memberi sensasi seolah berada di dunia lain, jauh dari hiruk-pikuk.

Snorkeling di sini benar-benar seperti berada di dalam akuarium raksasa yang alami, dengan warna-warni karang dan ikan-ikan yang begitu hidup, menciptakan pengalaman yang tak bisa dilupakan.

[3] Ambon - Ora : Kota Ambon, Rujak Natsepa dan Kepulangan (Finished)

Desa Mata Air Belanda, 1 Januari 2018

Pagi itu, embun belum sepenuhnya menguap dan matahari masih mengintip malu-malu ketika kami sudah bersiap untuk kembali menuju Desa Saleman. Suara ombak yang memecah keheningan subuh menemani langkah kami menuju dermaga kecil tempat bapak kapal sudah menunggu. Ada sesuatu yang selalu bikin berat setiap kali harus meninggalkan tempat seindah ini. Tapi perjalanan harus terus berlanjut. 

Kami menaiki kapal kayu yang selama beberapa hari terakhir telah menjadi bagian dari petualangan kami. Mesin kapal meraung pelan, lalu perlahan mulai bergerak meninggalkan keheningan desa, melintasi perairan yang tenang di bawah langit yang masih berwarna jingga. Angin laut mengusap wajah kami, membawa aroma asin yang khas—aroma yang akan selalu mengingatkan kami pada tempat ini.

Selama perjalanan menuju Desa Saleman, kami lebih banyak diam. Mungkin karena masih mengantuk, mungkin juga karena masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada rasa sayang untuk pergi, tapi juga ada semacam kesadaran bahwa setiap perjalanan memang harus punya akhirnya.

Sesampainya di Desa Saleman, bapak driver yang kemarin mengantar kami sudah menunggu dengan mobilnya. Kami tidak bisa berlama-lama, waktu terus berjalan, dan kami harus memastikan semuanya sesuai rencana. Pelabuhan Amahai masih cukup jauh, dan kami berencana naik kapal cepat menuju Ambon yang dijadwalkan berangkat pukul 08.00 WIT. Tak ada ruang untuk kesalahan atau keterlambatan, atau resikonya ketinggalan pesawat.

Perjalanan darat terasa lebih cepat dari sebelumnya, mungkin karena kami sudah melaluinya sebelumnya. Setiap tikungan, setiap jembatan yang kami lewati, rasanya seperti menandai kedekatan kami dengan "peradaban". Dan akhirnya, setelah hampir satu jam perjalanan, kami telah mendekati kota Amahai. Hal pertama yang langsung kami lakukan adalah..... mengecek ponsel masing-masing. Tiba-tiba, dunia kembali terasa ramai. Notifikasi pesan mulai berdatangan, update dari dunia luar yang sempat terputus selama kami di sana. 

Begitu sampai Pelabuhan Amahai, tanpa menunggu lama kami segera menuju ke loket pembelian tiket. Ternyata hari itu cukup banyak masyarakat lokal yang hendak menuju Ambon.  Awalnya, semuanya tampak berjalan lancar. Kami berdiri dalam antrean yang tertib, membentuk barisan yang memanjang ke belakang seperti seharusnya sementara menunggu loket dibuka.

Tapi rupanya, kedamaian itu tak bertahan lama. Begitu loket dibuka, entah dari mana, orang-orang mulai menyerbu dari segala arah—kanan, kiri, bahkan dari belakang. Barisan yang tadinya rapi tiba-tiba berubah menjadi lautan manusia yang bergerak tanpa aturan. Dorongan demi dorongan membuat kami nyaris kehilangan tempat. Aku heran. Bukankah sudah ada antrean yang jelas? Kenapa tiba-tiba banyak yang menyerobot dari samping? Huft, benar-benar tidak tertib. Seakan-akan aturan antrean itu hanya formalitas awal sebelum semuanya berubah menjadi siapa yang paling kuat dan cepat, dialah yang menang.

Kami tak mau kalah. Dengan segala daya upaya, kami mempertahankan posisi, berusaha tidak terdorong ke samping. Beberapa kali kaki hampir terinjak, tapi semangat dan keharusan untuk tetap mendapatkan tiket membuat kami bertahan. Untunglah perjuangan itu tidak berlangsung lama. Setelah beberapa menit menahan dorongan, masing-masing dari kami akhirnya berhasil menggenggam tiket di tangan. Dengan napas sedikit terengah, kami berjalan menjauh dari kerumunan, merasa lega karena satu langkah penting sudah berhasil dilalui.

"Cari sarapan dulu yuk," kataku ke mereka. 

"Boleh, yuk," jawab mereka.

Seperti kuceritakan sebelumnya, perjalanan Pelabuhan Amahai ke Pelabuhan Tulehu bakal menempuh waktu 3-4 jam. Ini penting banget bagi kami untuk mencari sarapan dulu supaya perut tidak kosong dan berakibat bisa mabuk laut.

Pelabuhan Amahai, Pulau Seram

Tidak lama kemudian kami sudah diperbolehkan masuk kapal. Kali ini, mungkin karena laut cukup tenang, perjalanan kembali ke Ambon ditempuh hanya dalam 3 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan pikiranku masih melayang-layang mengenang tiga hari terakhir—memutar ulang setiap momen, dari keindahan alam yang kami jelajahi. Serta rasa puas yang entah kenapa datang setiap kali aku memikirkan bahwa aku mengawali tahun 2018 ini dengan mengunjungi tempat yang sangat indah!

Kapal Express Bahari Rute Pelabuhan Amahai - Pelabuhan Tulehu

Sekitar pukul 11 siang, akhirnya kapal kami - Express Bahari 9C - merapat di Pelabuhan Tulehu, Ambon. Kami telah resmi kembali ke hiruk-pikuk perkotaan. Dari suasana tenang dan alami di pulau, kini kami kembali ke dunia yang lebih ramai, lebih sibuk, dan lebih bising. Sebelum memutuskan langkah selanjutnya, kami memutuskan untuk makan siang di area pelabuhan. Setelah perjalanan panjang, rasanya makanan di depan kami terasa lebih nikmat.

Selesai makan, sekitar jam 11.30 kami bersiap memulai eksplorasi Kota Ambon. Tujuan pertama kami adalah Pantai Natsepa, salah satu pantai yang terkenal di timur Kota Ambon, terutama dengan rujak Natsepa yang legendaris. Dari pelabuhan, kami naik angkot dengan musik menggelegar—ciri khas transportasi di Ambon, yang selalu memberikan hiburan sepanjang perjalanan. Begitu sampai di Natsepa, suasana terlihat cukup ramai. Banyak keluarga dan anak-anak berenang di tepi laut, beberapa orang duduk santai di bawah pohon sambil menikmati makanan, dan yang lainnya berjalan di sepanjang garis pantai. Angin sepoi-sepoi dari laut membawa hawa sejuk meskipun matahari masih cukup terik.

Pantai Natsepa, Ambon

Pantai Natsepa, Ambon

Air lautnya tampak jernih dengan gradasi warna biru muda dan biru tua, sementara pasirnya berwarna putih kecoklatan, lembut di kaki. Di sepanjang pantai, banyak penjual makanan dan minuman berjejer di bawah tenda-tenda sederhana. Sangat berbeda dengan Ora yang kami kunjungi sebelumnya yang lebih sepi dan alami, di sini nuansa wisata lebih terasa—dengan penjual es, pentol, Pop Mie, dan berbagai jajanan khas lainnya yang menggoda selera. Khas Indonesia banget ya hehehehe... Tapi itu menyenangkan, karena banyak pilihan jajanan😁.

Pedagang yang menjajakan dagangannya di sepanjang Pantai Natsepa, Ambon

Pemandangan sekitar Pantai Natsepa, Ambon

Tentu saja, sudah sampai sini, kami tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencoba rujak Natsepa yang sudah terkenal. Kami mendekati salah satu penjual dan memesan satu porsi. Harganya cukup murah, hanya Rp7.000 per porsi. Ketika rujaknya disajikan, tampilannya langsung menggugah selera. Dalam satu piring besar, ada potongan berbagai macam buah segar seperti mangga muda, nanas, pepaya, bengkuang, kedondong, dan jambu air. Yang membuatnya khas adalah bumbu rujaknya—berwarna coklat pekat, kental, dan menggoda dengan aroma khas gula merah dan kacang tanah yang diulek halus. Aku memakannya berdua dengan Fredo karena porsinya cukup besar.

Rujak Natsepa dengan sambelnya yang khas

Begitu suapan pertama masuk ke mulut rasanya langsung unik dan nikmat. Kombinasi manis dari gula merah, sedikit asin dari garam, pedas dari cabai, dan gurih dari kacang menciptakan harmoni rasa yang sempurna. Ditambah dengan buah-buahan segar yang renyah dan asam-manis, sensasinya benar-benar segar. Kami menikmati setiap gigitan sambil duduk di tepi pantai, menikmati pemandangan laut yang luas dan deburan ombak yang menenangkan. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman.

"Enak ya sambelnya ini, khas banget," kataku ke Fredo.

"Iyo setuju."

Dari Pantai Natsepa, karena waktu kami terbatas, kami memutuskan langsung bergeser ke tempat selanjutnya. Sebenarnya kami masing-masing tidak ada klue mau mengunjungi mana lagi. Berbekal sedikit browsing di Google Maps, aku menemukan area ini, Patung Pattimura - Monumen Gong Perdamaian Dunia - Lapangan Merdeka - Benteng Nieuw Victoria - Kantor Gubernur Maluku - Kantor Walikota Ambon yang terletak di satu kawasan yang sama, yaitu di sekitar Lapangan Merdeka. Aku rasa ini sangat cocok dikunjungi mengingat waktu kita yang mepet. Akhirnya, kami sepakat untuk ke sana dengan naik angkot.

Sebagian wisata Kota Ambon terletak di titik ini. Jika punya waktu transit yang singkat di Kota Ambon bisa mengunjungi tempat ini.

Dalam perjalanan, kami melewati Jembatan Merah Putih, jembatan ikonik yang membentang di atas Teluk Ambon. Dari dalam angkot, kami bisa melihat betapa megahnya jembatan ini, menghubungkan dua sisi kota dan menjadi salah satu landmark utama di Ambon. Jembatan ini juga punya makna historis, melambangkan persatuan dan rekonsiliasi pasca-konflik yang pernah melanda Ambon di masa lalu.

Jembatan Merah Putih, Ambon 

Sumber Gambar : disini

Lalu lintas di Kota Ambon

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di pemberhentian pertama, Patung Pattimura. Monumen ini didirikan pada 14 Mei 1982 untuk mengenang jasa-jasa pahlawan nasional, Thomas Matulessy (atau lebih dikenal dengan nama Pattimura), dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Monumen ini menjadi simbol penghormatan atas perjuangan dan keberanian Pattimura dalam memimpin perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1817. "Pattimura" sendiri adalah nama gelar atau julukan yang diberikan oleh masyarakat setempat yang berarti "pejuang" atau "pemimpin perlawanan"Ia memimpin perjuangan dengan berani melawan pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih kuat. Meskipun akhirnya perlawanan Pattimura kalah, namun semangat juangnya tetap dikenang sebagai simbol perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Monumen Pattimura

Jasa besar Pattimura untuk Indonesia adalah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, serta inspirasi yang ia berikan kepada bangsa Indonesia untuk terus berjuang hingga meraih kemerdekaan. Di monumen ini, kami bisa merasakan semangat perjuangan dan keberanian Pattimura yang luar biasa.

Jalanan di Kota Ambon, di sekitar Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Monumen Pattimura, kami bergeser ke arah barat menuju Monumen Gong Perdamaian Dunia. Monumen ini didirikan sebagai pengingat akan pentingnya hidup berdampingan dengan harmonis setelah konflik sosial yang pernah terjadi di Maluku. Monumen ini berbentuk gong besar dengan diameter sekitar 2 meter, dihiasi berbagai simbol agama dan bendera dari banyak negara di dunia, menandakan semangat perdamaian universal. Gong ini ditempatkan di tengah alun-alun yang cukup luas, dengan latar belakang kota Ambon yang terlihat jelas. Di bagian bawahnya, terdapat tulisan "World Peace Gong", sebuah pengingat akan pentingnya persatuan dan toleransi. Bagiku, Fredo dan Arin, tentulah ini menjadi Gong Perdamaian kedua yang kami kunjungi. Gong Perdamaian pertama kami adalah yang kami kunjungi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat kami traveling di tahun 2014 lalu.

Monumen Gong Perdamaian Dunia

FYI di Indonesia sendiri, terdapat beberapa Monumen Gong Perdamaian Dunia yang tersebar di berbagai kota. Gong Perdamaian ini merupakan simbol persatuan dan harmoni, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kedamaian. Berikut adalah beberapa lokasi Gong Perdamaian di Indonesia:

  1. Gong Perdamaian Dunia – Ambon, Maluku

    • Diresmikan pada tahun 2009 setelah konflik sosial di Maluku.
    • Menjadi simbol perdamaian dan toleransi antarumat beragama.
  2. Gong Perdamaian Dunia – Palu, Sulawesi Tengah

    • Diresmikan pada tahun 2009.
    • Berada di Kota Palu sebagai simbol perdamaian pasca-konflik di Poso dan sekitarnya.
  3. Gong Perdamaian Dunia – Jepara, Jawa Tengah

    • Berada di Desa Plajan, Kecamatan Pakis Aji.
    • Dibangun di kawasan wisata Gong Perdamaian Dunia, Jepara.
  4. Gong Perdamaian Dunia – Yogyakarta

    • Berlokasi di Taman Balai Kota Yogyakarta.
    • Simbol keberagaman dan toleransi di kota budaya ini.
  5. Gong Perdamaian Dunia – Bali

    • Berada di Kertalangu Cultural Village, Denpasar.
    • Simbol perdamaian yang menguatkan Bali sebagai destinasi wisata dunia.
  6. Gong Perdamaian Dunia – Blitar, Jawa Timur

    • Diresmikan pada tahun 2013.
    • Terletak di kawasan makam Presiden Soekarno, menambah nilai historisnya.
  7. Gong Perdamaian Dunia – Morowali, Sulawesi Tengah

    • Dibangun untuk memperkuat semangat toleransi dan persaudaraan di daerah ini.

Totalnya ada setidaknya 7 monumen Gong Perdamaian di Indonesia, yang semuanya memiliki tujuan sama—mengingatkan pentingnya persatuan, toleransi, dan perdamaian di tengah keberagaman bangsa.

Berpose dengan Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Gong Perdamaian, kami hanya perlu berjalan kaki sebentar ke Tulisan "AMBON MANISE" besar yang juga menjadi ikon kota ini. Tulisan ini cukup mencolok, berwarna merah terang dan berdiri kokoh di area terbuka. Lagi-lagi, ini jadi spot foto wajib. "Ambon Manise" sendiri adalah sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang berarti "Ambon yang cantik" atau "Ambon yang manis." Frasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan alam atau karakteristik yang menarik dari kota Ambon, yang terletak di Provinsi Maluku. "Manise" sendiri dalam bahasa setempat berarti "cantik" atau "indah." Jadi, frasa ini mencerminkan kesan positif terhadap kota Ambon, yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang memukau dan keramahan penduduknya.

Berpose dengan "AMBON MANISE"

Di sekitar area ini, juga terdapat Kantor Gubernur Maluku dan Kantor Wali Kota Ambon. Bangunan-bangunan ini berdiri megah dengan arsitektur khas pemerintahan yang cukup modern. Meskipun kami tidak masuk ke dalam, melihat dari luar saja sudah cukup untuk merasakan atmosfer Kota Ambon.

Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Kantor Walikota Ambon. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Setelah puas berfoto dan menikmati suasana pusat kota, kami sadar bahwa waktu sudah semakin sore sehingga harus segera ke tempat selanjutnya, yaitu rumah Om Arin. Btw Arin memang punya om yang berdomisili di Kota Ambon. Sejak awal tahu kalau Arin dan Mbak Hayu akan ke sini, beliau sudah berpesan agar mereka mampir ke rumah. Sekarang sudah jam 14.30, dan dengan jadwal penerbangan kami yang jam 16.30, artinya kami masih punya spare waktu 2 jam. Tapi sebelumnya masing-masing dari kami sudah melakukan web check-in untuk meminimalisir jika terburu-buru. Rencana Om Arin juga yang akan mengantarkan kita berempat ke Bandara Pattimura dari rumahnya.

Bertanya-tanya kepada warga lokal, untuk naik angkot menuju ke arah rumahnya Om Arin, kami disarankan naik kapal dahulu untuk menyeberang dari lokasi kami (Ambon bagian selatan) untuk menuju ke Ambon bagian Utara; baru disambung naik angkot.

Penyeberangan kami yang garis merah. Cukup menghemat waktu.

Seperti diketahui, Kota Ambon terbagi menjadi bagian Utara dan Selatan, yang dipisahkan oleh Teluk Ambon. Selain melalui Jembatan Merah Putih, masyarakat juga bisa menggunakan kapal lokal atau perahu motor (speedboat dan ketinting) untuk menyeberang dari satu sisi ke sisi lainnya. Kami mendapatkan info dari orang lokal. Transportasi ini biasanya lebih cepat dan murah, terutama bagi mereka yang ingin menghindari kemacetan atau menghemat waktu perjalanan dibanding harus memutar jauh lewat Jembatan Merah Putih. Bagi kami, naik kapal lokal ini juga bisa menjadi pengalaman menarik untuk melihat pemandangan Teluk Ambon.

Kami tiba di Pelabuhan Lateri, di mana deretan kapal motor berwarna-warni bersandar di tepi dermaga. Suasananya cukup ramai—beberapa warga lokal tampak menunggu giliran, ada yang membawa barang belanjaan, ada juga anak-anak sekolah yang baru pulang. Aroma khas laut bercampur dengan bau solar dari mesin kapal yang menyala.

Suasana di sekitar Pelabuhan Lateri

Begitu kapal kami siap berangkat, kami segera naik dan memilih tempat duduk di bagian belakang agar lebih leluasa menikmati pemandangan. Tak lama, derungan mesin kapal terdengar menggelegar, menggema di atas permukaan air teluk yang tenang. Perlahan kapal mulai bergerak, membelah lautan biru dengan riak kecil yang terbentuk di belakangnya. Angin laut bertiup sepoi-sepoi, memberikan rasa segar di tengah teriknya matahari sore. Dari kejauhan, Jembatan Merah Putih tampak megah membentang, menghubungkan dua sisi kota yang dipisahkan teluk. Di sepanjang perjalanan, kami juga bisa melihat perahu nelayan kecil yang terapung-apung, serta beberapa rumah panggung di tepi pantai dengan perbukitan hijau sebagai latarnya.

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Tak sampai 15 menit, kapal sudah mulai mendekati dermaga di seberang (Dermaga Wayame). Mesin kapal perlahan mengurangi kecepatan, suara deruannya melemah seiring kapal bersandar. Kami segera turun dan mengabadikan beberapa memori dalam bentuk foto berlatar Teluk Ambon.

Dermaga Wayame

Dari sini kami langsung bergegas naik angkot ke rumah Om-nya Arin. Tidak butuh waktu lama untuk sampai, dan ternyata disana kami sudah ditunggu oleh Om-nya Arin dan disambut dengan ramah. Aku dan Fredo juga sempat memperkenalkan diri. Setelahnya beliau banyak ngobrol dengan Arin dan Mabk Hayu. Mungkin lama ga ketemu jadinya pangling dan banyak topik yang diceritakan satu sama lain. Tidak lama kemudian Om-nya Arin meminta  kami untuk segera bersiap karena harus sudah berangkat. Di dalam mobil, kami berbincang-bincang ringan, merasa sedikit sayang meninggalkan Ambon, tapi juga merasa senang bisa pulang dengan kenangan yang begitu berkesan.

Angkot Kota Ambon yang berjasa mengantarkan kita keliling kota

Setelah melewati jalan-jalan kota Ambon, kami tiba di Bandara Pattimura sekitar pukul 15.30 sore. Begitu turun dari mobil, kami berpamitan dengan Om Arin, berterima kasih sekali lagi atas bantuan dan kebaikannya. Kami langsung masuk untuk check-in dan mengurus segala kebutuhan sebelum keberangkatan. 

Tidak menunggu lama, kami dipersilahkan boarding dan pesawat lepas landas perlahan meninggalkan Ambon, meninggalkan teluk yang indah dan seluruh kenangan yang akan selalu kami simpan. Menurut jadwal, kami akan landing di Makassar jam 18.30. Dari Makassar, kami berempat akan terbang ke tujuan masing-masing yaitu Aku dan Arin ke Surabaya, Fredo ke Yogyakarta dan Mbak Hayu ke Jakarta. Sesuai formasi awal sewaktu kami tiba disini hehehe...

Bye Ambon! I'll see you soon!


Surabaya, 1 Januari 2018

Singkat cerita, setelah transit kurang lebih 1 jam di Makassar, jam 8 atau 9 malam, aku dan Arin tiba di Surabaya. Begitu turun dari pesawat, kami langsung disambut oleh suasana kota yang sudah kembali sibuk dengan lalu lintas yang padat dan asap kendaraan yang khas. Here we go, kenyataan menanti di depan mata. Besok aku dan Arin - dimana kami bekerja di kantor yang sama - sudah harus kembali bekerja. Kami memesan grab menuju kos dan bersiap untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Dengan rasa lelah tentunya, tapi juga penuh semangat untuk menghadapi hari baru setelah petualangan yang luar biasa di awal tahun 2018 ini.

FINISHED...

3.08.2025

[2] Ambon - Ora : Pantai ORA, Primadona Pulau Seram!

Part Sebelumnya : Disini

Making memories together di Resort Ora..

Desa Mata Air Belanda, Pulau Seram, 31 Desember 2017

Aku terbangun perlahan saat jam di ponselku menunjukkan pukul tujuh pagi. Udara sejuk menyelusup ke dalam penginapan, membawa aroma asin laut yang samar. Aku menarik selimut sebentar, menikmati kehangatan sisa tidur sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju luar kamar.

Matahari sudah naik, tapi sinarnya masih lembut, hanya memberi semburat keemasan di ujung cakrawala. Angin pagi bertiup pelan, membelai wajahku dengan kesejukan yang sedikit dingin. Di kejauhan, suara air laut berulang kali menghempas pasir putih dengan ritme yang tenang. Aku menghirup udara dalam-dalam. Suara burung-burung kecil dari pepohonan di belakang penginapan menambah ketenangan pagi itu. Tak ada hiruk-pikuk, hanya suara alam yang berpadu sempurna—hembusan angin, ombak yang malas menyapa daratan. Penginapanku berbentuk penginapan yg selalu kuidam-idamkan tentang rumah di pinggir pantai, di depannya langsung pantai dangkal yang luas dan pemandangannya? Tidak perlu kata-kata untuk menggambarkannya, setiap sudutnya seperti lukisan hidup yang memanjakan mata. 

Suasana pagi hari di Desa Mata Air Belanda yang penuh ketenangan. Tiada suara lain selain deburan ringan ombak yang penuh irama dan siulan burung.

Pantai bersih, dangkal dan arusnya tenang di depan Desa Mata Air Belanda

Pandanganku tertuju pada Arin, travelmate-ku, yang sudah lebih dulu duduk di gubuk kecil depan penginapan. Ia tampak asyik membaca buku, sesekali membalik halaman dengan tenang. Aku berjalan ke arahnya, membiarkan kaki menyentuh pasir pantai yang masih dingin sisa embun malam. Teksturnya lembut di bawah telapak kakiku, sedikit lembap, seperti belum sepenuhnya tersentuh hangatnya matahari pagi.

Tanpa banyak bicara, aku duduk di sebelahnya, menikmati suasana. Setelah beberapa saat, Fredo dan Mbak Hayu terlihat keluar dari kamar juga. Agenda kami hari ini adalah akan mengunjungi pantai dan resort Ora, sebagai salah satu tujuan primadona disini. Namun kemarin sore bapak pemilik kapal bilang bahwa akan datang menjemput kami jam 10 pagi. 

"Ada yang mau ngopi nggak?" Tanyaku riang. Karena suasana pagi ini akan lebih sempurna dengan sesapan kopi.

"Mau dong," jawab Arin.

"Mau juga," jawab Fredo.

Aku bangkit dan berjalan ke rumah pemilik penginapan, melihat pemiliknya yang sedang sibuk di dapur kecil. Sepertinya menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Kami memang mengambil paket sarapan karena disini agak susah untuk mencari makan sendiri.

"Permisi mama, boleh minta air panas? Untuk buat kopi mama" tanyaku. 

"Oh iya ada kak. Tunggu sebentar ya. Nanti kami antarin," jawab mama dengan sopan.

Tidak butuh waktu lama mama kembali datang membawa seteko air panas. Beberapa gelas kopi segera kami buat. Pagi itu suasana terasa menyenangkan dan kegiatan kami isi dengan ngobrol banyak topik . Menurutku memang traveling nggak wajib diisi dengan jalan-jalan terus. Banyak hal yang bisa kita lakukan selama traveling, bahkan hal tersebut sebenarnya mirip dengan aktivitas kita sehari-hari sewaktu tidak traveling. Seperti memasak, minum kopi, baca buku, mainan air, ejek-ejekan. Yang membedakan adalah... Suasananya... Ritmenya... Atmosfernya...


Tidak menunggu lama, mama pemilik penginapan membawakan kami sarapan pagi. Menunya cukup sederhana namun terasa sangat nikmat, nasi sayur, sambal dan ikan goreng. Setelah ngopi dan sarapan, aku, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu mendapat informasi menarik dari pemilik penginapan. Katanya, setiap pagi, mata air Belanda akan meninggi hingga airnya meluap ke pasir pantai. 

"Itu bisa langsung diminum kok kak, bersih airnya. Kakak bisa lihat disana, nanti sebentar lagi muncul dari pasir airnya. Tapi dia cuma muncul sebentar aja kak, satu jam-an" tambah mama pemilik penginapan.

Tanpa pikir panjang, kami langsung bergegas menuju pesisir pantai. Sesampainya di sana dan menunggu sejenak, kami melihat sendiri bagaimana pusaran kecil air jernih itu perlahan-lahan mulai muncul dari dalam pasir, mengalir lembut menuju laut. Lima menit menunggu, sepuluh menit menunggu, dua puluh menit menunggu, kami semakin antusias karena volume mata air yang keluar dari pasir semakin banyak. Fredo segera mengambil botol air minum Club yang kosong, mengisinya dengan mata air segar itu, lalu kami bergantian meneguknya. Dingin, segar, dan benar-benar tidak ada rasa seperti air mineral kemasan! 

Sesuai penuturan Mama pemilik penginapan, mendekati jam 10, debit mata air itu mulai berkurang... berkurang... dan berkurang. Lama kelamaan, sudah tidak ada lagi air bersih yang keluar. Yaa... pertunjukan pun akhirnya berakhir, hehehe. Untungnya, tidak butuh waktu lama, bapak kapal sudah datang menjemput kami. Tepat pukul 10, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Hari ini, kami akan menuju Pantai Ora. Benar-benar nggak sabar untuk segera sampai dan menikmati keindahannya.

Perjalanan ke Pantai Ora hanya memakan waktu sekitar 15 menit, tapi rasanya seperti melayang di atas lautan biru kehijauan yang begitu bening. Sesampainya di sana, aku langsung dibuat takjub. Pantai Ora ini benar-benar seperti Maldives-nya Indonesia! Resort apung, salah satu ikon terkenal, tampak jelas di depan mata dengan warna coklat yang kontras dengan keindahan warna laut di sekitarnya. Air laut yang berwarna biru kehijauan begitu jernih, sehingga dasar laut yang penuh dengan karang berwarna gelap bisa terlihat jelas dari atas perahu. Resort dan lautan ini dikelilingi oleh perbukitan yang meliuk-liuk indah dan berwarna hijau tosca.

Sambutan pemandangan di Resort Ora...

Sambutan pemandangan di Resort Ora...Tidak bisa berkata-kata...

Wow.. Just Wow...

Bapak kapal akhirnya menurunkan kami di dermaga kecil milik Resort Ora. Dermaga itu bercabang menjadi dua, masing-masing dihubungkan ke bungalow yang sengaja dibangun untuk para pengunjung yang ingin berfoto-foto.

Dermaga Resort Ora..

"Registrasi dulu disana ya kak. Nanti bayar dulu untuk tiket masuk dan berenang. Bisa sewa alat snorkeling dan pelampung juga," pesan bapak kapal.

Resort Ora ini sendiri terletak tepat di tepi pantai, menawarkan pilihan akomodasi baik yang berada di pesisir pantai maupun hotel apung yang mengapung di atas laut. Hotel apung tersebut terlihat dihubungkan oleh jembatan kayu yang tembus ke pesisir pantai, memberikan kesan fotogenik yang selama ini dicari traveler ketika berkunjung kesini. Untuk para pengunjung yang hendak berenang dan berfoto-foto, kami masih diizinkan untuk berfoto dengan hotel yang ada di pesisir, namun tidak diperkenankan untuk memasuki hotel apung via jembatan kayu karena itu khusus untuk tamu hotel apung saja.

'Tenang dan damai banget pasti ya nginap di hotel apung itu', kataku dalam hati. Hihihi.. next time lah..

Kami berjalan menuju bagian registrasi resort yang terletak di ujung dermaga. Kami membayar Rp 25.000 per-orang untuk tiket berenang dan foto-foto. Selain itu aku juga sewa alat snorkel dan pelampung seharga Rp 50.000. Cukup terjangkau sih menurutku.

"Sebelum renang kita foto-foto dulu yuk, biar ga keliatan basah," usulku ke Fredo, Arin, dan Mbak Hayu.

"Setujuu, ayoo!" Jawab Fredo.

Kami berjalan kembali ke bungalow dekat kami diturunkan bapak kapal tadi. Disitu terdapat sebuah kursi yang menjadi spot foto dengan background yang sempurna, yaitu laut biru kehijauan, hotel apung, dan perbukitan hijau yang puncaknya tertutup kabut. Benar-benar pemandangan yang sempurna. Kami tidak bosan berfoto dengan berbagai macam gaya disini, karena ini akan menjadi kenangan abadi yang sangat indah.

Foto bareng...

Foto sendiri.. hehehe..

Puas berfoto, kami mulai turun ke laut perlahan untuk memulai snorkeling. Begitu wajahku menyentuh air, aku langsung disambut oleh segarnya air laut dan dunia bawah laut yang seakan-akan menarikku ke dunia yang sama sekali beda dengan diatas air. Terumbu karang warna-warni terbentang, dihiasi ikan-ikan kecil yang berenang riang. Ada ikan berwarna kuning cerah, biru kehijauan, hingga ikan kecil bergaris-garis hitam-putih yang bergerombol seakan penasaran dengan kehadiran kami. Selain itu aku juga menjumpai ikan nemo berwarna oranye yang berenang lincah kesana kemari. Meski kuakui, pemandangan bawah laut ini bukan ter-thebest yang pernah aku lihat, tapi aku cukup menikmatinya.

Sebelum turun snorkeling..

Mulai snorkeling..

Cukup lama aku melakukan snorkeling, salah satu aktivitas laut yang paling kusukai ini. Aku berenang berputar kesana kemari berusaha merekam sebanyak mungkin pemandangan bawah laut yang bisa kulihat. Fredo, Arin, Mbak Hayu kulihat juga sama, masing-masing asyik dengan dunia bawah laut mereka sendiri. 

Puas melihat dunia bawah laut, aku putar tubuhku menghadap keatas. Ke langit biru yang cerah. Aku memejamkan mata dan membiarkan gelombang air laut membawaku kesana kemari. Aku seperti.. melepaskan beban. Dalam hati aku mengucapkan syukur. Bahwa sepanjang tahun 2017 ini aku diberi kesempatan dan kemampuan untuk mengunjungi beberapa tempat, termasuk tempat impianku. Bahkan di penghujung 2017 ini aku lagi-lagi diizinkan mengunjungi tempat seindah ini.

Feel thankfull for 2017...

Sekitar 1,5 jam berada di air, aku merasa lelah dan segera naik ke atas. Arin dan Mbak Hayu sudah lebih dulu keluar dari air, sementara Fredo masih asyik berenang di kejauhan.

"Eh, tadi aku liat ular laut lo," kata Arin tiba-tiba, dengan wajah serius.

"Hah, masak Rin? Dimana?" Tanyaku, merasa terkejut dan penasaran.

"Itu disana, nggak jauh kok. Warnanya belang-belang putih hitam," kata Arin sambil menunjuk ke spot yang berjarak sekitar 3 meter dari tempat kami duduk di jembatan kayu.

"Wah, ngeri juga ya. Aku nggak lihat tadi," ujarku, sedikit terkejut membayangkan ular laut yang ada di dekat kami. Meskipun aku merasa lega karena tidak melihatnya, tetap saja ada rasa was-was yang tiba-tiba muncul.

Btw ular laut  sebenarnya bukan hewan yang agresif terhadap manusia. Mereka cenderung menjauh jika merasa terganggu atau melihat kehadiran manusia. Meskipun begitu, sebagian besar spesies ular laut memiliki bisa yang sangat kuat, bahkan lebih beracun dibandingkan ular darat seperti kobra.

Namun, ular laut biasanya tidak menggigit manusia kecuali merasa terancam atau terpojok. Gigitan mereka juga sering kali tidak terasa sakit karena taringnya kecil dan sering kali tidak menembus kulit tebal. Meski begitu, jika seseorang tergigit dan bisanya masuk ke dalam tubuh, racunnya bisa menyebabkan kelumpuhan otot, gangguan pernapasan, hingga kematian jika tidak segera ditangani. Oleh karena itu, meskipun ular laut tampak jinak, tetap disarankan untuk tidak mengganggu atau mencoba menyentuhnya.

Beberapa saat kemudian, Fredo akhirnya bergabung dengan kami, dan lagi-lagi kami membahas soal ular laut yang dilihat Arin tadi. Mungkin karena itu, kami akhirnya memutuskan untuk menyudahi snorkeling.

"Foto-foto di resortnya yuk, yang di pesisir," ajak Arin.

"Yukk," jawab kami kompak.

Kami berjalan ke arah daratan, menuju Resort Ora dan pantai di sekitarnya. Kuakui, resort ini benar-benar punya konsep yang keren banget, pasti bakal nyaman dan damai banget kalau bisa menginap di sini.

Resort Ora yang di pesisir...

Namun, aku tak bisa menahan diri untuk kembali masuk ke dalam air melalui pantai di sekitar resort. Air laut yang begitu memikat, dengan gradasi warna yang sempurna, membuatku tergoda. Dari biru kehijauan muda, biru kehijauan yang sedikit lebih tua, hingga biru kehijauan yang dalam, dengan latar perbukitan yang meliuk-liuk dan tertutup kabut di bagian atasnya, benar-benar menciptakan pemandangan yang luar biasa. Hasil fotonya bahkan terlihat sangat fotogenik

Foto dari pantai di depan Resort Ora

Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam di Resort Ora. Sekitar jam 1 siang, karena perut sudah mulai keroncongan, kami memutuskan kembali ke penginapan di Desa Mata Air Belanda, dimana disana kami sudah akan ditunggu makan siang lezat yang disiapkan oleh mama pemilik penginapan. Namun apakah kami rela? Oh tentu saja tidaaak... Dari foto-foto diatas bisa terlihat kan... Sangat tidak mudah menggerakkan kaki untuk meninggalkan tempat seindah itu huhuhu....

Bagaimanapun, kami harus tetap melangkah maju kan. Segera kami kembali ke arah dermaga untuk mencari bapak kapal. Tidak sulit bagi kami menemukannya. Dengan berat hati kami naik keatas kapal dan mesin kapal yang meraung menandakan kami mulai berjalan perlahan meninggalkan Resort dan Pantai Ora, salah satu tempat terindah yang pernah kukunjungi. Bye Ora.... 🥰🥰

Perjalanan menempuh waktu 20 menit, dan sesaat setelah sampai penginapan, seperti dugaan kami mama pemilik penginapan langsung mengatur makan siang kami di meja makan. Hari ini menunya sayur kangkung bunga pepaya, ikan laut goreng dan sambal. Kami makan dengan sedikit rakus karena seharian berenang membuat perut benar-benar kelaparan hehehe..Bahkan kami makan siang dengan kondisi baju masih basah.

Makan siang sangat nikmat..

"Renang dulu yuk di mata air, sekalian bilas," kata Fredo setelah kita semua selesai makan. Kebetulan tubuh memang berasa lengket semua karena air laut.

"Yukkk..," kata kami berbarengan.

Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, tempat kami menginap yang bernama Desa Mata Air Belanda mendapatkan namanya dari aliran mata air yang berasal dari perbukitan tinggi di belakangnya. Konon, mata air ini pertama kali ditemukan oleh orang Belanda, sehingga dinamakan Mata Air Belanda.

Sungai ini terbentuk saking besarnya debit mata air

Saking besarnya debit air, alirannya bahkan membentuk sungai kecil yang mengalir hingga ke laut. Kedalaman sungainya sekitar 30–50 cm, cukup dangkal untuk berenang, tetapi tetap memberikan sensasi segar saat masuk dan merebahkan badan. Berbeda dengan air laut yang hangat dan asin, air dari mata air ini terasa dingin dan segar. Maklum, karena keluar langsung dari bebatuan di bawah permukaan. Kami pun tak bisa menahan diri untuk berenang kesana kemari dan menikmati kesejukannya. Fredo bahkan menggunakan snorkel, padahal sungainya dangkal dan bawahnya pasir putih.. hahahaha..

Di sekitar sungai, suasana juga terasa begitu damai. Pepohonan hijau menjulang di tepiannya, memberikan keteduhan alami. Beberapa burung kecil terlihat terbang rendah di antara ranting-ranting, seolah menikmati sejuknya udara siang ini. Angin berembus pelan, membawa aroma air tawar yang bercampur dengan hembusan laut dari kejauhan.

"Eh, aku mau naik ayunan dong," kata Arin tiba-tiba, matanya berbinar saat melihat sebuah ayunan kayu yang tergantung di bawah pohon besar di tepi sungai.

"Ayoo, Rin! Tak dorong!" sahut Fredo semangat.

Bermain ayunan..

Arin langsung berjalan menuju ayunan dan duduk di sana, kakinya menggantung di atas permukaan air yang jernih. Fredo mendorongnya perlahan, membuat ayunan bergerak maju mundur dengan lembut. Tawa Arin pecah saat aku dan Fredo memercik-merciknya dengan air dingin.

Kami benar-benar menikmati momen ini—suasana yang tenang, air yang jernih, dan kebersamaan yang terasa begitu hangat. Rasanya ingin waktu berhenti sejenak, melupakan semua masalah yang ada di kehidupan nyata sehari-hari. 

Bagaimanapun, ini adalah malam terakhir kami di sini. Besok pagi-pagi sekali, bapak kapal akan menjemput kami untuk kembali ke Desa Saleman, dan setelahny memulai perjalanan panjang kembali ke Ambon. Rasanya waktu berlalu begitu cepat, seakan-akan kami baru saja tiba, namun kini harus bersiap meninggalkan tempat indah ini.

Karena itu, kami bertekad untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada sebaik mungkin—menciptakan kenangan yang tak terlupakan. 

Di bawah langit yang mulai gelap, kami duduk bersama di tepi sungai kecil, merendam kaki sambil berbincang santai. Cahaya lampu dari penginapan mulai menyala, menciptakan suasana yang tenang dan hangat. Suara jangkrik dan gemericik air menjadi latar belakang yang sempurna.

"Besok kita udah pulang, ya?" kataku.

"Iya... Rasanya masih pengen tinggal lebih lama," sahut Fredo.

Kami semua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang penuh makna. Malam ini adalah kesempatan terakhir kami untuk benar-benar menyatu dengan keindahan tempat ini, menghirup udara segarnya, merasakan ketenangannya, dan menyimpan semua itu dalam ingatan.

Tak ingin membuang waktu, kami pun memutuskan segera mandi dan bersih-bersih. Setelahnya sembari menunggu mama pemilik penginapan menyiapkan makan malam, kami duduk-duduk di gubuk menikmati angin malam yang sejuk ditemani obrolan ringan. Bintang satu persatu mulai muncul di langit seakan ikut menemani obrolan kami. Malam ini bukan sekadar malam terakhir di 2017, tapi juga malam perpisahan yang manis dengan tempat yang telah memberi kami begitu banyak cerita dan kebahagiaan.

Part Selanjutnya : Disini