3.09.2025

[3] Ambon - Ora : Kota Ambon, Rujak Natsepa dan Kepulangan (Finished)

Desa Mata Air Belanda, 1 Januari 2018

Pagi itu, embun belum sepenuhnya menguap dan matahari masih mengintip malu-malu ketika kami sudah bersiap untuk kembali menuju Desa Saleman. Suara ombak yang memecah keheningan subuh menemani langkah kami menuju dermaga kecil tempat bapak kapal sudah menunggu. Ada sesuatu yang selalu bikin berat setiap kali harus meninggalkan tempat seindah ini. Tapi perjalanan harus terus berlanjut. 

Kami menaiki kapal kayu yang selama beberapa hari terakhir telah menjadi bagian dari petualangan kami. Mesin kapal meraung pelan, lalu perlahan mulai bergerak meninggalkan keheningan desa, melintasi perairan yang tenang di bawah langit yang masih berwarna jingga. Angin laut mengusap wajah kami, membawa aroma asin yang khas—aroma yang akan selalu mengingatkan kami pada tempat ini.

Selama perjalanan menuju Desa Saleman, kami lebih banyak diam. Mungkin karena masih mengantuk, mungkin juga karena masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada rasa sayang untuk pergi, tapi juga ada semacam kesadaran bahwa setiap perjalanan memang harus punya akhirnya.

Sesampainya di Desa Saleman, bapak driver yang kemarin mengantar kami sudah menunggu dengan mobilnya. Kami tidak bisa berlama-lama, waktu terus berjalan, dan kami harus memastikan semuanya sesuai rencana. Pelabuhan Amahai masih cukup jauh, dan kami berencana naik kapal cepat menuju Ambon yang dijadwalkan berangkat pukul 08.00 WIT. Tak ada ruang untuk kesalahan atau keterlambatan, atau resikonya ketinggalan pesawat.

Perjalanan darat terasa lebih cepat dari sebelumnya, mungkin karena kami sudah melaluinya sebelumnya. Setiap tikungan, setiap jembatan yang kami lewati, rasanya seperti menandai kedekatan kami dengan "peradaban". Dan akhirnya, setelah hampir satu jam perjalanan, kami telah mendekati kota Amahai. Hal pertama yang langsung kami lakukan adalah..... mengecek ponsel masing-masing. Tiba-tiba, dunia kembali terasa ramai. Notifikasi pesan mulai berdatangan, update dari dunia luar yang sempat terputus selama kami di sana. 

Begitu sampai Pelabuhan Amahai, tanpa menunggu lama kami segera menuju ke loket pembelian tiket. Ternyata hari itu cukup banyak masyarakat lokal yang hendak menuju Ambon.  Awalnya, semuanya tampak berjalan lancar. Kami berdiri dalam antrean yang tertib, membentuk barisan yang memanjang ke belakang seperti seharusnya sementara menunggu loket dibuka.

Tapi rupanya, kedamaian itu tak bertahan lama. Begitu loket dibuka, entah dari mana, orang-orang mulai menyerbu dari segala arah—kanan, kiri, bahkan dari belakang. Barisan yang tadinya rapi tiba-tiba berubah menjadi lautan manusia yang bergerak tanpa aturan. Dorongan demi dorongan membuat kami nyaris kehilangan tempat. Aku heran. Bukankah sudah ada antrean yang jelas? Kenapa tiba-tiba banyak yang menyerobot dari samping? Huft, benar-benar tidak tertib. Seakan-akan aturan antrean itu hanya formalitas awal sebelum semuanya berubah menjadi siapa yang paling kuat dan cepat, dialah yang menang.

Kami tak mau kalah. Dengan segala daya upaya, kami mempertahankan posisi, berusaha tidak terdorong ke samping. Beberapa kali kaki hampir terinjak, tapi semangat dan keharusan untuk tetap mendapatkan tiket membuat kami bertahan. Untunglah perjuangan itu tidak berlangsung lama. Setelah beberapa menit menahan dorongan, masing-masing dari kami akhirnya berhasil menggenggam tiket di tangan. Dengan napas sedikit terengah, kami berjalan menjauh dari kerumunan, merasa lega karena satu langkah penting sudah berhasil dilalui.

"Cari sarapan dulu yuk," kataku ke mereka. 

"Boleh, yuk," jawab mereka.

Seperti kuceritakan sebelumnya, perjalanan Pelabuhan Amahai ke Pelabuhan Tulehu bakal menempuh waktu 3-4 jam. Ini penting banget bagi kami untuk mencari sarapan dulu supaya perut tidak kosong dan berakibat bisa mabuk laut.

Pelabuhan Amahai, Pulau Seram

Tidak lama kemudian kami sudah diperbolehkan masuk kapal. Kali ini, mungkin karena laut cukup tenang, perjalanan kembali ke Ambon ditempuh hanya dalam 3 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan pikiranku masih melayang-layang mengenang tiga hari terakhir—memutar ulang setiap momen, dari keindahan alam yang kami jelajahi. Serta rasa puas yang entah kenapa datang setiap kali aku memikirkan bahwa aku mengawali tahun 2018 ini dengan mengunjungi tempat yang sangat indah!

Kapal Express Bahari Rute Pelabuhan Amahai - Pelabuhan Tulehu

Sekitar pukul 11 siang, akhirnya kapal kami - Express Bahari 9C - merapat di Pelabuhan Tulehu, Ambon. Kami telah resmi kembali ke hiruk-pikuk perkotaan. Dari suasana tenang dan alami di pulau, kini kami kembali ke dunia yang lebih ramai, lebih sibuk, dan lebih bising. Sebelum memutuskan langkah selanjutnya, kami memutuskan untuk makan siang di area pelabuhan. Setelah perjalanan panjang, rasanya makanan di depan kami terasa lebih nikmat.

Selesai makan, sekitar jam 11.30 kami bersiap memulai eksplorasi Kota Ambon. Tujuan pertama kami adalah Pantai Natsepa, salah satu pantai yang terkenal di timur Kota Ambon, terutama dengan rujak Natsepa yang legendaris. Dari pelabuhan, kami naik angkot dengan musik menggelegar—ciri khas transportasi di Ambon, yang selalu memberikan hiburan sepanjang perjalanan. Begitu sampai di Natsepa, suasana terlihat cukup ramai. Banyak keluarga dan anak-anak berenang di tepi laut, beberapa orang duduk santai di bawah pohon sambil menikmati makanan, dan yang lainnya berjalan di sepanjang garis pantai. Angin sepoi-sepoi dari laut membawa hawa sejuk meskipun matahari masih cukup terik.

Pantai Natsepa, Ambon

Pantai Natsepa, Ambon

Air lautnya tampak jernih dengan gradasi warna biru muda dan biru tua, sementara pasirnya berwarna putih kecoklatan, lembut di kaki. Di sepanjang pantai, banyak penjual makanan dan minuman berjejer di bawah tenda-tenda sederhana. Sangat berbeda dengan Ora yang kami kunjungi sebelumnya yang lebih sepi dan alami, di sini nuansa wisata lebih terasa—dengan penjual es, pentol, Pop Mie, dan berbagai jajanan khas lainnya yang menggoda selera. Khas Indonesia banget ya hehehehe... Tapi itu menyenangkan, karena banyak pilihan jajanan😁.

Pedagang yang menjajakan dagangannya di sepanjang Pantai Natsepa, Ambon

Pemandangan sekitar Pantai Natsepa, Ambon

Tentu saja, sudah sampai sini, kami tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencoba rujak Natsepa yang sudah terkenal. Kami mendekati salah satu penjual dan memesan satu porsi. Harganya cukup murah, hanya Rp7.000 per porsi. Ketika rujaknya disajikan, tampilannya langsung menggugah selera. Dalam satu piring besar, ada potongan berbagai macam buah segar seperti mangga muda, nanas, pepaya, bengkuang, kedondong, dan jambu air. Yang membuatnya khas adalah bumbu rujaknya—berwarna coklat pekat, kental, dan menggoda dengan aroma khas gula merah dan kacang tanah yang diulek halus. Aku memakannya berdua dengan Fredo karena porsinya cukup besar.

Rujak Natsepa dengan sambelnya yang khas

Begitu suapan pertama masuk ke mulut rasanya langsung unik dan nikmat. Kombinasi manis dari gula merah, sedikit asin dari garam, pedas dari cabai, dan gurih dari kacang menciptakan harmoni rasa yang sempurna. Ditambah dengan buah-buahan segar yang renyah dan asam-manis, sensasinya benar-benar segar. Kami menikmati setiap gigitan sambil duduk di tepi pantai, menikmati pemandangan laut yang luas dan deburan ombak yang menenangkan. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman.

"Enak ya sambelnya ini, khas banget," kataku ke Fredo.

"Iyo setuju."

Dari Pantai Natsepa, karena waktu kami terbatas, kami memutuskan langsung bergeser ke tempat selanjutnya. Sebenarnya kami masing-masing tidak ada klue mau mengunjungi mana lagi. Berbekal sedikit browsing di Google Maps, aku menemukan area ini, Patung Pattimura - Monumen Gong Perdamaian Dunia - Lapangan Merdeka - Benteng Nieuw Victoria - Kantor Gubernur Maluku - Kantor Walikota Ambon yang terletak di satu kawasan yang sama, yaitu di sekitar Lapangan Merdeka. Aku rasa ini sangat cocok dikunjungi mengingat waktu kita yang mepet. Akhirnya, kami sepakat untuk ke sana dengan naik angkot.

Sebagian wisata Kota Ambon terletak di titik ini. Jika punya waktu transit yang singkat di Kota Ambon bisa mengunjungi tempat ini.

Dalam perjalanan, kami melewati Jembatan Merah Putih, jembatan ikonik yang membentang di atas Teluk Ambon. Dari dalam angkot, kami bisa melihat betapa megahnya jembatan ini, menghubungkan dua sisi kota dan menjadi salah satu landmark utama di Ambon. Jembatan ini juga punya makna historis, melambangkan persatuan dan rekonsiliasi pasca-konflik yang pernah melanda Ambon di masa lalu.

Jembatan Merah Putih, Ambon 

Sumber Gambar : disini

Lalu lintas di Kota Ambon

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di pemberhentian pertama, Patung Pattimura. Monumen ini didirikan pada 14 Mei 1982 untuk mengenang jasa-jasa pahlawan nasional, Thomas Matulessy (atau lebih dikenal dengan nama Pattimura), dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Monumen ini menjadi simbol penghormatan atas perjuangan dan keberanian Pattimura dalam memimpin perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1817. "Pattimura" sendiri adalah nama gelar atau julukan yang diberikan oleh masyarakat setempat yang berarti "pejuang" atau "pemimpin perlawanan"Ia memimpin perjuangan dengan berani melawan pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih kuat. Meskipun akhirnya perlawanan Pattimura kalah, namun semangat juangnya tetap dikenang sebagai simbol perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Monumen Pattimura

Jasa besar Pattimura untuk Indonesia adalah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, serta inspirasi yang ia berikan kepada bangsa Indonesia untuk terus berjuang hingga meraih kemerdekaan. Di monumen ini, kami bisa merasakan semangat perjuangan dan keberanian Pattimura yang luar biasa.

Jalanan di Kota Ambon, di sekitar Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Monumen Pattimura, kami bergeser ke arah barat menuju Monumen Gong Perdamaian Dunia. Monumen ini didirikan sebagai pengingat akan pentingnya hidup berdampingan dengan harmonis setelah konflik sosial yang pernah terjadi di Maluku. Monumen ini berbentuk gong besar dengan diameter sekitar 2 meter, dihiasi berbagai simbol agama dan bendera dari banyak negara di dunia, menandakan semangat perdamaian universal. Gong ini ditempatkan di tengah alun-alun yang cukup luas, dengan latar belakang kota Ambon yang terlihat jelas. Di bagian bawahnya, terdapat tulisan "World Peace Gong", sebuah pengingat akan pentingnya persatuan dan toleransi. Bagiku, Fredo dan Arin, tentulah ini menjadi Gong Perdamaian kedua yang kami kunjungi. Gong Perdamaian pertama kami adalah yang kami kunjungi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat kami traveling di tahun 2014 lalu.

Monumen Gong Perdamaian Dunia

FYI di Indonesia sendiri, terdapat beberapa Monumen Gong Perdamaian Dunia yang tersebar di berbagai kota. Gong Perdamaian ini merupakan simbol persatuan dan harmoni, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga kedamaian. Berikut adalah beberapa lokasi Gong Perdamaian di Indonesia:

  1. Gong Perdamaian Dunia – Ambon, Maluku

    • Diresmikan pada tahun 2009 setelah konflik sosial di Maluku.
    • Menjadi simbol perdamaian dan toleransi antarumat beragama.
  2. Gong Perdamaian Dunia – Palu, Sulawesi Tengah

    • Diresmikan pada tahun 2009.
    • Berada di Kota Palu sebagai simbol perdamaian pasca-konflik di Poso dan sekitarnya.
  3. Gong Perdamaian Dunia – Jepara, Jawa Tengah

    • Berada di Desa Plajan, Kecamatan Pakis Aji.
    • Dibangun di kawasan wisata Gong Perdamaian Dunia, Jepara.
  4. Gong Perdamaian Dunia – Yogyakarta

    • Berlokasi di Taman Balai Kota Yogyakarta.
    • Simbol keberagaman dan toleransi di kota budaya ini.
  5. Gong Perdamaian Dunia – Bali

    • Berada di Kertalangu Cultural Village, Denpasar.
    • Simbol perdamaian yang menguatkan Bali sebagai destinasi wisata dunia.
  6. Gong Perdamaian Dunia – Blitar, Jawa Timur

    • Diresmikan pada tahun 2013.
    • Terletak di kawasan makam Presiden Soekarno, menambah nilai historisnya.
  7. Gong Perdamaian Dunia – Morowali, Sulawesi Tengah

    • Dibangun untuk memperkuat semangat toleransi dan persaudaraan di daerah ini.

Totalnya ada setidaknya 7 monumen Gong Perdamaian di Indonesia, yang semuanya memiliki tujuan sama—mengingatkan pentingnya persatuan, toleransi, dan perdamaian di tengah keberagaman bangsa.

Berpose dengan Monumen Gong Perdamaian Dunia

Dari Gong Perdamaian, kami hanya perlu berjalan kaki sebentar ke Tulisan "AMBON MANISE" besar yang juga menjadi ikon kota ini. Tulisan ini cukup mencolok, berwarna merah terang dan berdiri kokoh di area terbuka. Lagi-lagi, ini jadi spot foto wajib. "Ambon Manise" sendiri adalah sebuah frasa dalam bahasa Indonesia yang berarti "Ambon yang cantik" atau "Ambon yang manis." Frasa ini biasanya digunakan untuk menggambarkan keindahan alam atau karakteristik yang menarik dari kota Ambon, yang terletak di Provinsi Maluku. "Manise" sendiri dalam bahasa setempat berarti "cantik" atau "indah." Jadi, frasa ini mencerminkan kesan positif terhadap kota Ambon, yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang memukau dan keramahan penduduknya.

Berpose dengan "AMBON MANISE"

Di sekitar area ini, juga terdapat Kantor Gubernur Maluku dan Kantor Wali Kota Ambon. Bangunan-bangunan ini berdiri megah dengan arsitektur khas pemerintahan yang cukup modern. Meskipun kami tidak masuk ke dalam, melihat dari luar saja sudah cukup untuk merasakan atmosfer Kota Ambon.

Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Kantor Walikota Ambon. Didepannya adalah Lapangan Merdeka.

Setelah puas berfoto dan menikmati suasana pusat kota, kami sadar bahwa waktu sudah semakin sore sehingga harus segera ke tempat selanjutnya, yaitu rumah Om Arin. Btw Arin memang punya om yang berdomisili di Kota Ambon. Sejak awal tahu kalau Arin dan Mbak Hayu akan ke sini, beliau sudah berpesan agar mereka mampir ke rumah. Sekarang sudah jam 14.30, dan dengan jadwal penerbangan kami yang jam 16.30, artinya kami masih punya spare waktu 2 jam. Tapi sebelumnya masing-masing dari kami sudah melakukan web check-in untuk meminimalisir jika terburu-buru. Rencana Om Arin juga yang akan mengantarkan kita berempat ke Bandara Pattimura dari rumahnya.

Bertanya-tanya kepada warga lokal, untuk naik angkot menuju ke arah rumahnya Om Arin, kami disarankan naik kapal dahulu untuk menyeberang dari lokasi kami (Ambon bagian selatan) untuk menuju ke Ambon bagian Utara; baru disambung naik angkot.

Penyeberangan kami yang garis merah. Cukup menghemat waktu.

Seperti diketahui, Kota Ambon terbagi menjadi bagian Utara dan Selatan, yang dipisahkan oleh Teluk Ambon. Selain melalui Jembatan Merah Putih, masyarakat juga bisa menggunakan kapal lokal atau perahu motor (speedboat dan ketinting) untuk menyeberang dari satu sisi ke sisi lainnya. Kami mendapatkan info dari orang lokal. Transportasi ini biasanya lebih cepat dan murah, terutama bagi mereka yang ingin menghindari kemacetan atau menghemat waktu perjalanan dibanding harus memutar jauh lewat Jembatan Merah Putih. Bagi kami, naik kapal lokal ini juga bisa menjadi pengalaman menarik untuk melihat pemandangan Teluk Ambon.

Kami tiba di Pelabuhan Lateri, di mana deretan kapal motor berwarna-warni bersandar di tepi dermaga. Suasananya cukup ramai—beberapa warga lokal tampak menunggu giliran, ada yang membawa barang belanjaan, ada juga anak-anak sekolah yang baru pulang. Aroma khas laut bercampur dengan bau solar dari mesin kapal yang menyala.

Suasana di sekitar Pelabuhan Lateri

Begitu kapal kami siap berangkat, kami segera naik dan memilih tempat duduk di bagian belakang agar lebih leluasa menikmati pemandangan. Tak lama, derungan mesin kapal terdengar menggelegar, menggema di atas permukaan air teluk yang tenang. Perlahan kapal mulai bergerak, membelah lautan biru dengan riak kecil yang terbentuk di belakangnya. Angin laut bertiup sepoi-sepoi, memberikan rasa segar di tengah teriknya matahari sore. Dari kejauhan, Jembatan Merah Putih tampak megah membentang, menghubungkan dua sisi kota yang dipisahkan teluk. Di sepanjang perjalanan, kami juga bisa melihat perahu nelayan kecil yang terapung-apung, serta beberapa rumah panggung di tepi pantai dengan perbukitan hijau sebagai latarnya.

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Pemandangan Teluk Ambon dari kapal penyeberangan

Tak sampai 15 menit, kapal sudah mulai mendekati dermaga di seberang (Dermaga Wayame). Mesin kapal perlahan mengurangi kecepatan, suara deruannya melemah seiring kapal bersandar. Kami segera turun dan mengabadikan beberapa memori dalam bentuk foto berlatar Teluk Ambon.

Dermaga Wayame

Dari sini kami langsung bergegas naik angkot ke rumah Om-nya Arin. Tidak butuh waktu lama untuk sampai, dan ternyata disana kami sudah ditunggu oleh Om-nya Arin dan disambut dengan ramah. Aku dan Fredo juga sempat memperkenalkan diri. Setelahnya beliau banyak ngobrol dengan Arin dan Mabk Hayu. Mungkin lama ga ketemu jadinya pangling dan banyak topik yang diceritakan satu sama lain. Tidak lama kemudian Om-nya Arin meminta  kami untuk segera bersiap karena harus sudah berangkat. Di dalam mobil, kami berbincang-bincang ringan, merasa sedikit sayang meninggalkan Ambon, tapi juga merasa senang bisa pulang dengan kenangan yang begitu berkesan.

Angkot Kota Ambon yang berjasa mengantarkan kita keliling kota

Setelah melewati jalan-jalan kota Ambon, kami tiba di Bandara Pattimura sekitar pukul 15.30 sore. Begitu turun dari mobil, kami berpamitan dengan Om Arin, berterima kasih sekali lagi atas bantuan dan kebaikannya. Kami langsung masuk untuk check-in dan mengurus segala kebutuhan sebelum keberangkatan. 

Tidak menunggu lama, kami dipersilahkan boarding dan pesawat lepas landas perlahan meninggalkan Ambon, meninggalkan teluk yang indah dan seluruh kenangan yang akan selalu kami simpan. Menurut jadwal, kami akan landing di Makassar jam 18.30. Dari Makassar, kami berempat akan terbang ke tujuan masing-masing yaitu Aku dan Arin ke Surabaya, Fredo ke Yogyakarta dan Mbak Hayu ke Jakarta. Sesuai formasi awal sewaktu kami tiba disini hehehe...

Bye Ambon! I'll see you soon!


Surabaya, 1 Januari 2018

Singkat cerita, setelah transit kurang lebih 1 jam di Makassar, jam 8 atau 9 malam, aku dan Arin tiba di Surabaya. Begitu turun dari pesawat, kami langsung disambut oleh suasana kota yang sudah kembali sibuk dengan lalu lintas yang padat dan asap kendaraan yang khas. Here we go, kenyataan menanti di depan mata. Besok aku dan Arin - dimana kami bekerja di kantor yang sama - sudah harus kembali bekerja. Kami memesan grab menuju kos dan bersiap untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Dengan rasa lelah tentunya, tapi juga penuh semangat untuk menghadapi hari baru setelah petualangan yang luar biasa di awal tahun 2018 ini.

FINISHED...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar