3.08.2025

[2] Ambon - Ora : Pantai ORA, Primadona Pulau Seram!

Part Sebelumnya : Disini

Making memories together di Resort Ora..

Desa Mata Air Belanda, Pulau Seram, 31 Desember 2017

Aku terbangun perlahan saat jam di ponselku menunjukkan pukul tujuh pagi. Udara sejuk menyelusup ke dalam penginapan, membawa aroma asin laut yang samar. Aku menarik selimut sebentar, menikmati kehangatan sisa tidur sebelum akhirnya bangkit dan berjalan menuju luar kamar.

Matahari sudah naik, tapi sinarnya masih lembut, hanya memberi semburat keemasan di ujung cakrawala. Angin pagi bertiup pelan, membelai wajahku dengan kesejukan yang sedikit dingin. Di kejauhan, suara air laut berulang kali menghempas pasir putih dengan ritme yang tenang. Aku menghirup udara dalam-dalam. Suara burung-burung kecil dari pepohonan di belakang penginapan menambah ketenangan pagi itu. Tak ada hiruk-pikuk, hanya suara alam yang berpadu sempurna—hembusan angin, ombak yang malas menyapa daratan. Penginapanku berbentuk penginapan yg selalu kuidam-idamkan tentang rumah di pinggir pantai, di depannya langsung pantai dangkal yang luas dan pemandangannya? Tidak perlu kata-kata untuk menggambarkannya, setiap sudutnya seperti lukisan hidup yang memanjakan mata. 

Suasana pagi hari di Desa Mata Air Belanda yang penuh ketenangan. Tiada suara lain selain deburan ringan ombak yang penuh irama dan siulan burung.

Pantai bersih, dangkal dan arusnya tenang di depan Desa Mata Air Belanda

Pandanganku tertuju pada Arin, travelmate-ku, yang sudah lebih dulu duduk di gubuk kecil depan penginapan. Ia tampak asyik membaca buku, sesekali membalik halaman dengan tenang. Aku berjalan ke arahnya, membiarkan kaki menyentuh pasir pantai yang masih dingin sisa embun malam. Teksturnya lembut di bawah telapak kakiku, sedikit lembap, seperti belum sepenuhnya tersentuh hangatnya matahari pagi.

Tanpa banyak bicara, aku duduk di sebelahnya, menikmati suasana. Setelah beberapa saat, Fredo dan Mbak Hayu terlihat keluar dari kamar juga. Agenda kami hari ini adalah akan mengunjungi pantai dan resort Ora, sebagai salah satu tujuan primadona disini. Namun kemarin sore bapak pemilik kapal bilang bahwa akan datang menjemput kami jam 10 pagi. 

"Ada yang mau ngopi nggak?" Tanyaku riang. Karena suasana pagi ini akan lebih sempurna dengan sesapan kopi.

"Mau dong," jawab Arin.

"Mau juga," jawab Fredo.

Aku bangkit dan berjalan ke rumah pemilik penginapan, melihat pemiliknya yang sedang sibuk di dapur kecil. Sepertinya menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Kami memang mengambil paket sarapan karena disini agak susah untuk mencari makan sendiri.

"Permisi mama, boleh minta air panas? Untuk buat kopi mama" tanyaku. 

"Oh iya ada kak. Tunggu sebentar ya. Nanti kami antarin," jawab mama dengan sopan.

Tidak butuh waktu lama mama kembali datang membawa seteko air panas. Beberapa gelas kopi segera kami buat. Pagi itu suasana terasa menyenangkan dan kegiatan kami isi dengan ngobrol banyak topik . Menurutku memang traveling nggak wajib diisi dengan jalan-jalan terus. Banyak hal yang bisa kita lakukan selama traveling, bahkan hal tersebut sebenarnya mirip dengan aktivitas kita sehari-hari sewaktu tidak traveling. Seperti memasak, minum kopi, baca buku, mainan air, ejek-ejekan. Yang membedakan adalah... Suasananya... Ritmenya... Atmosfernya...


Tidak menunggu lama, mama pemilik penginapan membawakan kami sarapan pagi. Menunya cukup sederhana namun terasa sangat nikmat, nasi sayur, sambal dan ikan goreng. Setelah ngopi dan sarapan, aku, Fredo, Arin, dan Mbak Hayu mendapat informasi menarik dari pemilik penginapan. Katanya, setiap pagi, mata air Belanda akan meninggi hingga airnya meluap ke pasir pantai. 

"Itu bisa langsung diminum kok kak, bersih airnya. Kakak bisa lihat disana, nanti sebentar lagi muncul dari pasir airnya. Tapi dia cuma muncul sebentar aja kak, satu jam-an" tambah mama pemilik penginapan.

Tanpa pikir panjang, kami langsung bergegas menuju pesisir pantai. Sesampainya di sana dan menunggu sejenak, kami melihat sendiri bagaimana pusaran kecil air jernih itu perlahan-lahan mulai muncul dari dalam pasir, mengalir lembut menuju laut. Lima menit menunggu, sepuluh menit menunggu, dua puluh menit menunggu, kami semakin antusias karena volume mata air yang keluar dari pasir semakin banyak. Fredo segera mengambil botol air minum Club yang kosong, mengisinya dengan mata air segar itu, lalu kami bergantian meneguknya. Dingin, segar, dan benar-benar tidak ada rasa seperti air mineral kemasan! 

Sesuai penuturan Mama pemilik penginapan, mendekati jam 10, debit mata air itu mulai berkurang... berkurang... dan berkurang. Lama kelamaan, sudah tidak ada lagi air bersih yang keluar. Yaa... pertunjukan pun akhirnya berakhir, hehehe. Untungnya, tidak butuh waktu lama, bapak kapal sudah datang menjemput kami. Tepat pukul 10, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Hari ini, kami akan menuju Pantai Ora. Benar-benar nggak sabar untuk segera sampai dan menikmati keindahannya.

Perjalanan ke Pantai Ora hanya memakan waktu sekitar 15 menit, tapi rasanya seperti melayang di atas lautan biru kehijauan yang begitu bening. Sesampainya di sana, aku langsung dibuat takjub. Pantai Ora ini benar-benar seperti Maldives-nya Indonesia! Resort apung, salah satu ikon terkenal, tampak jelas di depan mata dengan warna coklat yang kontras dengan keindahan warna laut di sekitarnya. Air laut yang berwarna biru kehijauan begitu jernih, sehingga dasar laut yang penuh dengan karang berwarna gelap bisa terlihat jelas dari atas perahu. Resort dan lautan ini dikelilingi oleh perbukitan yang meliuk-liuk indah dan berwarna hijau tosca.

Sambutan pemandangan di Resort Ora...

Sambutan pemandangan di Resort Ora...Tidak bisa berkata-kata...

Wow.. Just Wow...

Bapak kapal akhirnya menurunkan kami di dermaga kecil milik Resort Ora. Dermaga itu bercabang menjadi dua, masing-masing dihubungkan ke bungalow yang sengaja dibangun untuk para pengunjung yang ingin berfoto-foto.

Dermaga Resort Ora..

"Registrasi dulu disana ya kak. Nanti bayar dulu untuk tiket masuk dan berenang. Bisa sewa alat snorkeling dan pelampung juga," pesan bapak kapal.

Resort Ora ini sendiri terletak tepat di tepi pantai, menawarkan pilihan akomodasi baik yang berada di pesisir pantai maupun hotel apung yang mengapung di atas laut. Hotel apung tersebut terlihat dihubungkan oleh jembatan kayu yang tembus ke pesisir pantai, memberikan kesan fotogenik yang selama ini dicari traveler ketika berkunjung kesini. Untuk para pengunjung yang hendak berenang dan berfoto-foto, kami masih diizinkan untuk berfoto dengan hotel yang ada di pesisir, namun tidak diperkenankan untuk memasuki hotel apung via jembatan kayu karena itu khusus untuk tamu hotel apung saja.

'Tenang dan damai banget pasti ya nginap di hotel apung itu', kataku dalam hati. Hihihi.. next time lah..

Kami berjalan menuju bagian registrasi resort yang terletak di ujung dermaga. Kami membayar Rp 25.000 per-orang untuk tiket berenang dan foto-foto. Selain itu aku juga sewa alat snorkel dan pelampung seharga Rp 50.000. Cukup terjangkau sih menurutku.

"Sebelum renang kita foto-foto dulu yuk, biar ga keliatan basah," usulku ke Fredo, Arin, dan Mbak Hayu.

"Setujuu, ayoo!" Jawab Fredo.

Kami berjalan kembali ke bungalow dekat kami diturunkan bapak kapal tadi. Disitu terdapat sebuah kursi yang menjadi spot foto dengan background yang sempurna, yaitu laut biru kehijauan, hotel apung, dan perbukitan hijau yang puncaknya tertutup kabut. Benar-benar pemandangan yang sempurna. Kami tidak bosan berfoto dengan berbagai macam gaya disini, karena ini akan menjadi kenangan abadi yang sangat indah.

Foto bareng...

Foto sendiri.. hehehe..

Puas berfoto, kami mulai turun ke laut perlahan untuk memulai snorkeling. Begitu wajahku menyentuh air, aku langsung disambut oleh segarnya air laut dan dunia bawah laut yang seakan-akan menarikku ke dunia yang sama sekali beda dengan diatas air. Terumbu karang warna-warni terbentang, dihiasi ikan-ikan kecil yang berenang riang. Ada ikan berwarna kuning cerah, biru kehijauan, hingga ikan kecil bergaris-garis hitam-putih yang bergerombol seakan penasaran dengan kehadiran kami. Selain itu aku juga menjumpai ikan nemo berwarna oranye yang berenang lincah kesana kemari. Meski kuakui, pemandangan bawah laut ini bukan ter-thebest yang pernah aku lihat, tapi aku cukup menikmatinya.

Sebelum turun snorkeling..

Mulai snorkeling..

Cukup lama aku melakukan snorkeling, salah satu aktivitas laut yang paling kusukai ini. Aku berenang berputar kesana kemari berusaha merekam sebanyak mungkin pemandangan bawah laut yang bisa kulihat. Fredo, Arin, Mbak Hayu kulihat juga sama, masing-masing asyik dengan dunia bawah laut mereka sendiri. 

Puas melihat dunia bawah laut, aku putar tubuhku menghadap keatas. Ke langit biru yang cerah. Aku memejamkan mata dan membiarkan gelombang air laut membawaku kesana kemari. Aku seperti.. melepaskan beban. Dalam hati aku mengucapkan syukur. Bahwa sepanjang tahun 2017 ini aku diberi kesempatan dan kemampuan untuk mengunjungi beberapa tempat, termasuk tempat impianku. Bahkan di penghujung 2017 ini aku lagi-lagi diizinkan mengunjungi tempat seindah ini.

Feel thankfull for 2017...

Sekitar 1,5 jam berada di air, aku merasa lelah dan segera naik ke atas. Arin dan Mbak Hayu sudah lebih dulu keluar dari air, sementara Fredo masih asyik berenang di kejauhan.

"Eh, tadi aku liat ular laut lo," kata Arin tiba-tiba, dengan wajah serius.

"Hah, masak Rin? Dimana?" Tanyaku, merasa terkejut dan penasaran.

"Itu disana, nggak jauh kok. Warnanya belang-belang putih hitam," kata Arin sambil menunjuk ke spot yang berjarak sekitar 3 meter dari tempat kami duduk di jembatan kayu.

"Wah, ngeri juga ya. Aku nggak lihat tadi," ujarku, sedikit terkejut membayangkan ular laut yang ada di dekat kami. Meskipun aku merasa lega karena tidak melihatnya, tetap saja ada rasa was-was yang tiba-tiba muncul.

Btw ular laut  sebenarnya bukan hewan yang agresif terhadap manusia. Mereka cenderung menjauh jika merasa terganggu atau melihat kehadiran manusia. Meskipun begitu, sebagian besar spesies ular laut memiliki bisa yang sangat kuat, bahkan lebih beracun dibandingkan ular darat seperti kobra.

Namun, ular laut biasanya tidak menggigit manusia kecuali merasa terancam atau terpojok. Gigitan mereka juga sering kali tidak terasa sakit karena taringnya kecil dan sering kali tidak menembus kulit tebal. Meski begitu, jika seseorang tergigit dan bisanya masuk ke dalam tubuh, racunnya bisa menyebabkan kelumpuhan otot, gangguan pernapasan, hingga kematian jika tidak segera ditangani. Oleh karena itu, meskipun ular laut tampak jinak, tetap disarankan untuk tidak mengganggu atau mencoba menyentuhnya.

Beberapa saat kemudian, Fredo akhirnya bergabung dengan kami, dan lagi-lagi kami membahas soal ular laut yang dilihat Arin tadi. Mungkin karena itu, kami akhirnya memutuskan untuk menyudahi snorkeling.

"Foto-foto di resortnya yuk, yang di pesisir," ajak Arin.

"Yukk," jawab kami kompak.

Kami berjalan ke arah daratan, menuju Resort Ora dan pantai di sekitarnya. Kuakui, resort ini benar-benar punya konsep yang keren banget, pasti bakal nyaman dan damai banget kalau bisa menginap di sini.

Resort Ora yang di pesisir...

Namun, aku tak bisa menahan diri untuk kembali masuk ke dalam air melalui pantai di sekitar resort. Air laut yang begitu memikat, dengan gradasi warna yang sempurna, membuatku tergoda. Dari biru kehijauan muda, biru kehijauan yang sedikit lebih tua, hingga biru kehijauan yang dalam, dengan latar perbukitan yang meliuk-liuk dan tertutup kabut di bagian atasnya, benar-benar menciptakan pemandangan yang luar biasa. Hasil fotonya bahkan terlihat sangat fotogenik

Foto dari pantai di depan Resort Ora

Kami menghabiskan waktu hampir 3 jam di Resort Ora. Sekitar jam 1 siang, karena perut sudah mulai keroncongan, kami memutuskan kembali ke penginapan di Desa Mata Air Belanda, dimana disana kami sudah akan ditunggu makan siang lezat yang disiapkan oleh mama pemilik penginapan. Namun apakah kami rela? Oh tentu saja tidaaak... Dari foto-foto diatas bisa terlihat kan... Sangat tidak mudah menggerakkan kaki untuk meninggalkan tempat seindah itu huhuhu....

Bagaimanapun, kami harus tetap melangkah maju kan. Segera kami kembali ke arah dermaga untuk mencari bapak kapal. Tidak sulit bagi kami menemukannya. Dengan berat hati kami naik keatas kapal dan mesin kapal yang meraung menandakan kami mulai berjalan perlahan meninggalkan Resort dan Pantai Ora, salah satu tempat terindah yang pernah kukunjungi. Bye Ora.... 🥰🥰

Perjalanan menempuh waktu 20 menit, dan sesaat setelah sampai penginapan, seperti dugaan kami mama pemilik penginapan langsung mengatur makan siang kami di meja makan. Hari ini menunya sayur kangkung bunga pepaya, ikan laut goreng dan sambal. Kami makan dengan sedikit rakus karena seharian berenang membuat perut benar-benar kelaparan hehehe..Bahkan kami makan siang dengan kondisi baju masih basah.

Makan siang sangat nikmat..

"Renang dulu yuk di mata air, sekalian bilas," kata Fredo setelah kita semua selesai makan. Kebetulan tubuh memang berasa lengket semua karena air laut.

"Yukkk..," kata kami berbarengan.

Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, tempat kami menginap yang bernama Desa Mata Air Belanda mendapatkan namanya dari aliran mata air yang berasal dari perbukitan tinggi di belakangnya. Konon, mata air ini pertama kali ditemukan oleh orang Belanda, sehingga dinamakan Mata Air Belanda.

Sungai ini terbentuk saking besarnya debit mata air

Saking besarnya debit air, alirannya bahkan membentuk sungai kecil yang mengalir hingga ke laut. Kedalaman sungainya sekitar 30–50 cm, cukup dangkal untuk berenang, tetapi tetap memberikan sensasi segar saat masuk dan merebahkan badan. Berbeda dengan air laut yang hangat dan asin, air dari mata air ini terasa dingin dan segar. Maklum, karena keluar langsung dari bebatuan di bawah permukaan. Kami pun tak bisa menahan diri untuk berenang kesana kemari dan menikmati kesejukannya. Fredo bahkan menggunakan snorkel, padahal sungainya dangkal dan bawahnya pasir putih.. hahahaha..

Di sekitar sungai, suasana juga terasa begitu damai. Pepohonan hijau menjulang di tepiannya, memberikan keteduhan alami. Beberapa burung kecil terlihat terbang rendah di antara ranting-ranting, seolah menikmati sejuknya udara siang ini. Angin berembus pelan, membawa aroma air tawar yang bercampur dengan hembusan laut dari kejauhan.

"Eh, aku mau naik ayunan dong," kata Arin tiba-tiba, matanya berbinar saat melihat sebuah ayunan kayu yang tergantung di bawah pohon besar di tepi sungai.

"Ayoo, Rin! Tak dorong!" sahut Fredo semangat.

Bermain ayunan..

Arin langsung berjalan menuju ayunan dan duduk di sana, kakinya menggantung di atas permukaan air yang jernih. Fredo mendorongnya perlahan, membuat ayunan bergerak maju mundur dengan lembut. Tawa Arin pecah saat aku dan Fredo memercik-merciknya dengan air dingin.

Kami benar-benar menikmati momen ini—suasana yang tenang, air yang jernih, dan kebersamaan yang terasa begitu hangat. Rasanya ingin waktu berhenti sejenak, melupakan semua masalah yang ada di kehidupan nyata sehari-hari. 

Bagaimanapun, ini adalah malam terakhir kami di sini. Besok pagi-pagi sekali, bapak kapal akan menjemput kami untuk kembali ke Desa Saleman, dan setelahny memulai perjalanan panjang kembali ke Ambon. Rasanya waktu berlalu begitu cepat, seakan-akan kami baru saja tiba, namun kini harus bersiap meninggalkan tempat indah ini.

Karena itu, kami bertekad untuk memanfaatkan sisa waktu yang ada sebaik mungkin—menciptakan kenangan yang tak terlupakan. 

Di bawah langit yang mulai gelap, kami duduk bersama di tepi sungai kecil, merendam kaki sambil berbincang santai. Cahaya lampu dari penginapan mulai menyala, menciptakan suasana yang tenang dan hangat. Suara jangkrik dan gemericik air menjadi latar belakang yang sempurna.

"Besok kita udah pulang, ya?" kataku.

"Iya... Rasanya masih pengen tinggal lebih lama," sahut Fredo.

Kami semua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang penuh makna. Malam ini adalah kesempatan terakhir kami untuk benar-benar menyatu dengan keindahan tempat ini, menghirup udara segarnya, merasakan ketenangannya, dan menyimpan semua itu dalam ingatan.

Tak ingin membuang waktu, kami pun memutuskan segera mandi dan bersih-bersih. Setelahnya sembari menunggu mama pemilik penginapan menyiapkan makan malam, kami duduk-duduk di gubuk menikmati angin malam yang sejuk ditemani obrolan ringan. Bintang satu persatu mulai muncul di langit seakan ikut menemani obrolan kami. Malam ini bukan sekadar malam terakhir di 2017, tapi juga malam perpisahan yang manis dengan tempat yang telah memberi kami begitu banyak cerita dan kebahagiaan.

Part Selanjutnya : Disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar