Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

3.14.2025

[1] Explore Sumba : Keberangkatan, Nasi Pedas Bu Okky dan Bukit Lendongara !

Arin, Aku dan Mbak Hayu menikmati Bukit Lendongara, Sumba Barat Daya, NTT


Suatu hari di Surabaya, bulan November 2018

"Luh, akhir tahun traveling kemanaa gitu yuk," kata Arin, teman kerja kantorku. Aku dan Arin memang bisa dibilang teman sejak kuliah sampe kerja, dan kita punya hobi yang sama yaitu traveling. Kita juga udah beberapa kali traveling bareng, yaitu di Eksplore Pulau Timor, Eksplore Karimunjawa, sama Eksplore Ambon-Ora.

"Ayuuk. Kemana?" Balasku. Posisiku memang aku sedang punya Sriwijaya Travel Pass, semacam member/keanggotaan dari Sriwijaya sehingga aku bisa membeli tiket Sriwijaya Air secara gratis dengan destinasi manapun (Well, hanya membayar pajak dan IWJR), sehingga mau kemanapun aku pergi selama tiketnya masih ada maka bisa-bisa aja.

"Sumba yuk? Kamu belum pernah kan?" Jawab Arin.

"Sumba? Okeee. Siaap. Aku ajak Fredo ya."

"Okee aku ajak Mbak-ku juga." 

"Siap Rin, tapi kamu yang bikin rencana perjalanan ya. Aku ngikut aja."

"Siap, nanti aku bikin."

Aku, Arin, Fredo, Mbak Hayu. Bukan susunan travelmate yang baru karena kita juga melakukan trip serupa di akhir 2017 lalu dengan mengunjungi Ambon dan Pantai Ora di Pulau Seram. Jadilah rencana ini kami mantapkan untuk libur natal akhir 2018. Sebenarnya aku ada sedikit kegalauan juga. Aku udah izin kerja beberapa hari di tahun 2018 ini untuk traveling. Dan dengan rencana baruku dengan Arin, artinya aku butuh 1 hari lagi izin kerja. Duhhh... Aku benar-benar nggak enak sebenernya....tapi... Ya gimana ya...Kita soalnya belum dapat hak cuti juga...

Surabaya, 21 Desember 2018
Hari ini adalah hari keberangkatanku, Arin, Fredo dan Mbak Hayu backpackeran ke Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perjalanan ini diawali dari beberapa kota yang berbeda. Aku dan Arin, karena kita sekantor, berangkat dari Surabaya. Fredo dari Yogyakarta, dan Mbak Hayu dari Jakarta. Kami sepakat untuk bertemu di titik transit: Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Dari Ngurah Rai, kami terbang bersama-sama ke Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya.

Aku dan Arin berangkat pagi-pagi dari Surabaya. Pesawat kita dijadwalkan take off dari Surabaya jam 6 dan landing di Denpasar jam 8.  Sepanjang berdua,  kami banyak membahas mengenai rencana perjalanan dan rencana sewa mobil selama disana. Arin merincikan rencana perjalanan yang sudah dia buat sebelumnya, bahkan menjelaskan dengan petanya. Aku mendengarkannya dengan serius sambil sesekali bertanya detailnya.

Begitu tiba di Denpasar, kami langsung menuju ke area kedatangan untuk menunggu Fredo dan Mbak Hayu. Menurut jadwal pesawat yang dibagikan Fredo, seharusnya dia mendarat kurang lebih 15 menit setelah kami mendarat. Aku udah kirim pesan ke dia, berpesan akan menunggunya di area kedatangan. Tapi kok sudah lewat 25 menit, 30 menit, WA-ku masih centang satu? Jujur aku mulai kuatir. Kalau jadwal pesawat Mbak Hayu memang agak lebih siang dan saat itu belum waktunya landing.

"Mungkin delayed pesawatnya," kata Arin sedikit mengusir kekawatiranku.

"Iya mungkin ya Rin."

Syukurlaah.. tidak berapa lama kemudian WA-ku ke Fredo sudah centang dua, menandakan dia baru saja landing. Menunggu kurang lebih satu jam, Mbak Hayu juga sudah landing dari Jakarta. Syukurlaah semuanya sudah berkumpul. Trip ini benar-benar seperti reuni kami berempat hehe.. karena jujur gaya traveling kita memang cenderung mirip-mirip. Menyukai wisata alam (laut, gunung) dengan tipe karakter satu lama lain yang tidak terlalu ribet.

"Eh ini sambil nunggu transit kita makan di Warung Nasi Pedas Bu Okky dulu ya. Deket kok dari bandara sekitar 1 km aja," kata Arin.

Kita semua kompak setuju. Toh memang sudah waktunya makan siang, dan perut sudah mulai keroncongan. Namun ada satu masalah, yaitu transportasi. Tidak ada transportasi keluar dengan harga masuk akal untuk jarak 1 km, hampir semuanya mematok harga lumayan mahal.

"Yaudah jalan kaki aja Rin," kata Fredo.

"Iyaudah yuk." Jawab Arin.

Dengan mengangkat backpack masing-masing, kita mulai berjalan keluar bandara. Tapi tentu saja tidak senyaman itu berjalan berdampingan dengan matahari Pulau Bali yang siang itu bersinar dengan begitu teriknya. Peluh-peluh mulai berjatuhan begitu kami mulai berjalan. 'Seratus meter, dua ratus meter, tiga ratus meter .. hhh... Hhhh... Sabar dikit lagi sampe' kataku dalam hati. Dan akhirnyaaa... Setelah sekitar 15 menit berjalan kaki, sampai juga kami akhirnya di Nasi Pedas Bu Okky. Nasi Pedas Bu Okky merupakan kuliner khas Bali yang terkenal di Denpasar. Hidangan ini terdiri dari nasi putih yang disajikan dengan berbagai lauk pedas khas Bali. Kami langsung memesan 4 porsi nasi pedas lengkap dengan lauk ayam suwir pedas, lawar kacang panjang, daging sapi bumbu Bali, kencang goreng, pepes ikan dan sambel terasi. Mantaaapnyaaa....

Nasi Pedas Bu Okky dekat Bandara Ngurah Rai, Bali

Dominasi rasa gurih, pedas, dan manis langsung mendominasi ketika kami mulai memakannya. Disempurnakan dengan pedasnya sambal dan es teh manis, langsung membangkitkan energi dan membuat kami siap untuk petualangan berikutnya.

Setelah makan, kami kembali ke bandara dengan perasaan puas dan perut kenyang. Bedanya kali ini kami bisa memesan grabcar jadi lumayan menghemat tenaga. Tidak butuh waktu lama bagi kami sampai Bandara Ngurah Rai kembali. Menunggu sesaat, boarding penerbangan Denpasar - Waikabubak telah dibuka. Kami mengantre dan masuk pesawat dengan tertib. Akhirnyaa.. berangkat juga kami ke Pulau Sumba. Bagi kami berempat, ini adalah pertama kalinya kami menginjakkan kaki di salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.

Penerbangan Denpasar–Tambolaka (Sumba Barat Daya) berlangsung lancar dengan minim turbulensi. Kami terbang menggunakan pesawat NAM Air Boeing 737-500, dan sepertinya ketinggian jelajahnya tidak terlalu tinggi karena sepanjang perjalanan, daratan di bawah masih terlihat jelas. Selama satu jam di udara, aku menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau kecil dan lautan biru yang membentang luas. Saat pesawat mulai menurunkan ketinggian, hamparan hijau Pulau Sumba menyambut kami; musim hujan membuat alam di sini terlihat lebih segar dan subur.

Kami akhirnya landing di Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya sekitar jam 13.30 WITA. Begitu tiba di Bandara Tambolaka, kami segera mengambil bagasi dan menuju pintu keluar. Bandara ini kecil, lebih mirip terminal domestik sederhana, namun suasananya nyaman dan tidak terlalu ramai. Udara hangat dan angin sepoi-sepoi langsung terasa begitu kami melangkah keluar. Seorang sopir taksi menawarkan jasanya, dan setelah negosiasi singkat, kami sepakat dengan tarif Rp 100.000/sekali antar ke hotel di pusat Kota Tambolaka.

Welcome to Bandar Udara Tambolaka, Sumba Barat Daya, NTT

Pemandangan Bandara Tambolaka

Perjalanan dari bandara menuju hotel memakan waktu sekitar 15 menit. Sepanjang jalan, kami ditemani oleh angin sore yang sejuk. Langit biru dengan sedikit awan putih membuat perjalanan ini terasa santai. Mobil yang kami tumpangi melaju di jalanan yang cukup sepi, hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain.

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Di kiri dan kanan, rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, banyak yang berpagar bambu dan dinaungi pepohonan hijau. Beberapa rumah bercat warna cerah, sementara yang lain lebih alami dengan tembok batu atau kayu. Kami sempat bercanda soal betapa tenangnya suasana di sini, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Sepanjang perjalanan, jalanan mulus meskipun ada sedikit bagian yang bergelombang. Angin sore masuk melalui jendela mobil yang terbuka sedikit, membawa aroma tanah kering bercampur dengan angin laut dari kejauhan. Kami sempat melihat beberapa anak kecil bermain di halaman rumah, dan beberapa penduduk duduk santai di teras, menikmati sore.

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Pemandangan sepanjang jalan dari Bandara Tambolaka ke pusat kota Waikabubak

Sesaat kemudian, akhirnya kami sampai juga di hotel tempat kami akan menginap. Hotelnya terlihat bagus dan nyaman, dengan desain yang sederhana tapi elegan.
 
"Tarif menginapnya Rp 250.000/malam," kata Arin menginfokan ke kami yang menunggu. 

Kami semua langsung setuju dan mengumpulkan uang ke Arin, toh hotel ini sudah sangat bagus menurut standar kami. Hotelnya bersih, kamarnya cukup luas dengan dua kasur terpisah, dilengkapi dengan balkon kecil dan jemuran.

Hotel kami

Setelah menata barang dan beristirahat sejenak, kami berkumpul di balkon depan kamar untuk mendiskusikan rute perjalanan dan transportasi. Arin, yang sejak awal menyusun rencana perjalanan, membuka peta buatannya sendiri di buku catatannya. 

"Jadi, seperti yang sudah kita bahas, dua hari ini kita eksplor daerah Sumba Barat Daya dulu. Dari situ baru geser ke Sumba Barat dan ke Sumba Timur, sampai tujuan akhir di Waingapu," kata Arin dengan serius. " Di Sumba Barat Daya sini yang paling terkenal ada Laguna Waikuri, Pantai Mandorak, Kampung Adat Ratenggaro, Tanjung Mareha, Waikelo Sawah. Di Sumba Tengah ada Kampung Adat Prai Ijing. Di Sumba Timur ada Bukit Warinding, Padang Savana Puru Kambera, Pantai Walakiri sama Air Terjun Tanggedu," tambah Arin sambil menunjukkan titik-titik lokasi yang sudah ia tandai di petanya.

Kami semua setuju dengan konsep perjalanan ini—destinasi yang dipilih sudah tepat dan waktunya cukup fleksibel untuk menikmati setiap tempat tanpa terburu-buru. Namun, ada satu pertanyaan besar yang harus segera dijawab: bagaimana transportasinya?

"Opsi paling realistis adalah sewa mobil," kata Arin akhirnya setelah mempertimbangkan semua pilihan. "Jadi nanti supirnya yang nganterin kita dari sini sampai tujuan akhir di Waingapu. Kita berempat, jadi bisa sharing biaya. Cuma aku masih belum tahu nih sewa di mana dan harganya berapa. Coba aku tanya resepsionis dulu ya."

Tanpa menunggu jawaban, Arin - ditemani Mbak Hayu, segera bangkit dan berjalan menuju lobi hotel. Aku dan Fredo tetap menunggu di balkon.

Tak lama kemudian, Arin dan Mbak Hayu kembali dengan wajah sumringah. "Udah dapat drivernya!" kata Arin antusias. "Tadi resepsionis kasih kontaknya, kita telepon langsung, dan dia setuju. Sehari dia minta Rp750.000, udah termasuk BBM. Nanti dia bakal nganterin kita ke tempat-tempat wisata dari Sumba Barat Daya sini sampai ke Sumba Timur! Ini sebentar lagi bapaknya mau kesini untuk ngefixkan jadwal dan rute."

Aku langsung merasa lega mendengar kabar itu. Harga yang ditawarkan cukup masuk akal mengingat rute perjalanan kami cukup jauh. Dengan mobil dan sopir sendiri, perjalanan pasti lebih nyaman dan fleksibel. 

Tak lama kemudian, mobil yang kami tunggu akhirnya tiba di depan hotel. Seorang pria dengan kaos polos dan celana jeans turun dari kursi kemudi, lalu berjalan menuju lobi. Arin dan Mbak Hayu segera menghampirinya untuk membicarakan detail perjalanan, termasuk pembayaran DP serta rute untuk tiga hari ke depan.

Sementara mereka berdiskusi, aku dan Fredo masih duduk di balkon, mengobrol santai sambil update-update kabar kehidupan. Setelah selesai berdiskusi dengan sopir, Arin kembali ke balkon dan langsung membahas soal keuangan trip ini, yang memang cukup fleksibel. Kalau masing-masing membawa cukup uang tunai, biasanya kami akan mengumpulkan sejumlah uang dulu ke satu orang yang ditunjuk sebagai bendahara. Tapi kalau ada yang kebetulan tidak pegang cash banyak, yang punya lebih akan menalangi dulu—sistem gotong royong yang sudah biasa kami lakukan di perjalanan. Kami sepakat bahwa yang menjadi bendahara untuk kali ini adalah.... Arin juga hehehe..

Arin kemudian menarik iuran dari kami berempat untuk membayar DP. "Oke, semuanya setor ya, biar aman urusan transportasi kita sampai Waingapu nanti," katanya sambil mencatat di catatan kecilnya. Setelah semua urusan keuangan beres, Arin menatap kami dengan senyum penuh semangat.

"Eh, sore ini kita ke Bukit Lendongara ya," katanya tiba-tiba.

Aku langsung terkejut. "Wah, langsung mulai sore ini?"

Arin mengangguk. "Iya, biar kita bisa lihat sunset di sana."

"Siaap!" kataku antusias. 

Aku pikir petualangan baru akan dimulai esok hari, ternyata sore ini juga sudah dimulai. Mantap!

Kami bersiap-siap, membawa barang seperlunya dan masuk ke mobil yang akan membawa kita berpetualang beberapa hari kedepan. Perjalanan dari hotel kami menuju Bukit Lendongara memakan waktu sekitar 20 menit dengan jarak sekitar 10 km. Kondisi jalanan yang awalnya didominasi jalan aspal perlahan-lahan mulai berubah menjadi jalan tanah dengan lebar satu mobil begitu mendekati tujuan. Pemandangan sepanjang jalan didominasi oleh pepohonan hijau, ciri khas Pulau Sumba yang masih sangat alami. Setiap kali mobil melaju, suara batu yang terguncang di bawah ban terdengar seperti dentingan kecil, membuat suasana perjalanan terasa sedikit lebih petualangan.

Setelah melewati beberapa tikungan dan jalanan yang sedikit menanjak, akhirnya kami tiba di Bukit Lendongara. Pemandangan yang tersaji di depan mata langsung membuat kami terpana. Bukit ini begitu indah, terutama karena musim hujan telah membuat rerumputan dan pepohonan di lembah-lembah tampak begitu hijau dan segar. Lansekapnya sangat alami—bukit-bukit kecil saling berjajar, berlapis, dan membentuk lekukan-lekukan yang terlihat begitu sempurna hingga akhirnya berakhir di lautan biru di kejauhan.

Bukit Lendongara

Kami langsung bersemangat berjalan kesana kemari, naik turun bukit, mencari sudut terbaik untuk menikmati panorama yang luar biasa ini. Setiap sudut menawarkan pemandangan yang berbeda. Dari beberapa titik tinggi, kami bisa melihat ke bawah, di mana lembah-lembah yang berkembang di antara bukit-bukit itu tampak subur dengan pepohonan yang tumbuh rimbun. Di beberapa bagian, tampak aliran air kecil yang menyelinap di antara vegetasi, menandakan adanya sumber kehidupan yang terus mengalir di balik keindahan perbukitan ini.

Di kejauhan, beberapa ekor kuda terlihat merumput dengan tenang, menambah kesan bahwa tempat ini benar-benar masih alami. Kami sempat ingin mendekat, tapi begitu kami mencoba berjalan lebih dekat, mereka justru berlari menjauh dengan anggun, seolah menjaga jarak dari para pengunjung yang penasaran.

Banyak pepohonan hijau yang berkembang di lembah-lembah, menandakan adanya sumber air disitu. Kemungkinan berupa alur-alur/sungai kecil.

Rimbunnya pepohonan di Bulan Desember..

Meskipun sunset yang kami harapkan sedikit terhalang oleh awan mendung,namun itu bukan menjadi masalah besar. Ada sesuatu yang menenangkan tentang hamparan luas bukit, udara segar yang membelai wajah, dan pemandangan hijau yang terasa seperti terapi bagi mata dan pikiran. Kami duduk sejenak di salah satu bukit, menikmati momen ini dalam diam, membiarkan keindahan Bukit Lendongara mengisi hati dan pikiran kami.

Sunset yang terhalang awan..

Kami menghabiskan waktu berfoto-foto di beberapa titik, memotret pemandangan dan diri kami sendiri di antara lanskap hijau yang luas. Ada juga beberapa traveler lain yang datang, tampaknya sekelompok muda-mudi yang sedang berlibur. Mereka terlihat asyik berfoto di atas mobil mereka, berpose di puncak kendaraan, menambahkan sedikit kegembiraan di lokasi yang sudah indah ini.

"Yuk foto bareng" kata Fredo. "Kalian foto bertiga dulu ya, aku fotoin,"tambahnya.

"Siap yuk Rin, mbak," kataku.

Klik. Klik. Klik. 

Arin, Aku dan Mbak Hayu menikmati Bukit Lendongara

Selalu bersyukur atas setiap kesempatan mengunjungi tempat baru...

Berpose...

Aku berjalan lebih jauh, menuruni lembah, menuju ke lekukan bukit berikutnya. Setiap langkah membawa aku semakin dekat dengan lanskap yang terasa begitu luas dan bebas. Angin berhembus lembut, membelai wajahku, membawa aroma rumput basah yang segar.

Beberapa kali aku berhenti, membiarkan diriku sepenuhnya tenggelam dalam pemandangan di depan mata, menikmati bukit-bukit hijau yang bergulung seperti ombak. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk memenuhi paru-paruku. Ada sesuatu yang begitu menenangkan di sini—seperti pelukan alam yang lembut, membebaskanku dari segala beban. Aku merasa nyaman. Perasaan nyaman dan ringan, seolah semua hal yang membebani pikiran luruh bersama angin yang berhembus di antara perbukitan.

Berjalan di beberapa sudut bukit dan menikmati momen..

Naik turun menjelajah beberapa bukit..

Berpose..

Terlalu asyik menikmati suasana, mengobrol, dan berfoto-foto, kami tidak sadar matahari mulai terbenam perlahan di balik awan tebal. Cahaya keemasan yang tersisa menciptakan siluet indah di sepanjang perbukitan, sementara sinarnya yang redup memantul lembut di rerumputan hijau. Langit berubah perlahan menjadi gradasi jingga dan ungu, berpadu dengan bayangan bukit yang semakin gelap. Menandakan akan berakhirnya hari.

Kuda-kuda yang sedang merumput

Sinar rembulan..

Kami kemudian memutuskan untuk jalan pulang. Mobil meluncur kembali melewati jalan tanah, dengan lampu jalanan yang mulai temaram menyinari jalur yang kami lewati.

Kembali pulang ditemani sinar temaram senja

Setibanya di hotel, kami langsung menuju warung lalapan yang terletak tidak jauh dari penginapan. Kami duduk dan memesan beberapa menu lalapan—ikan goreng, ayam goreng, dan sambal. Makanan sederhana ini terasa sangat nikmat setelah seharian beraktivitas. Setelah makan malam, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Masing-masing dari kami mulai menata barang dan mempersiapkan diri untuk perjalanan seharian besok. 

"Besok jam 7 kalau bisa udah sarapan ya, supaya sebelum jam 8 udah mulai berangkat. Besok ada beberapa tujuan soalnya,"kata Arin.

"Siaaap Rin," jawab kami kompak. Hehehe..

Selamat tidur....

Making memories together in Bukit Lendongara, Sumba Barat Daya, NTT (Desember 2018)

Making memories together in Resort Ora, Pulau Seram, Maluku (Desember 2017)

Part Selanjutnya : Disini

0 comments:

Posting Komentar