Di kiri dan kanan, rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, banyak yang berpagar bambu dan dinaungi pepohonan hijau. Beberapa rumah bercat warna cerah, sementara yang lain lebih alami dengan tembok batu atau kayu. Kami sempat bercanda soal betapa tenangnya suasana di sini, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.
Sepanjang perjalanan, jalanan mulus meskipun ada sedikit bagian yang bergelombang. Angin sore masuk melalui jendela mobil yang terbuka sedikit, membawa aroma tanah kering bercampur dengan angin laut dari kejauhan. Kami sempat melihat beberapa anak kecil bermain di halaman rumah, dan beberapa penduduk duduk santai di teras, menikmati sore.
"Opsi paling realistis adalah sewa mobil," kata Arin akhirnya setelah mempertimbangkan semua pilihan. "Jadi nanti supirnya yang nganterin kita dari sini sampai tujuan akhir di Waingapu. Kita berempat, jadi bisa sharing biaya. Cuma aku masih belum tahu nih sewa di mana dan harganya berapa. Coba aku tanya resepsionis dulu ya."
Tanpa menunggu jawaban, Arin - ditemani Mbak Hayu, segera bangkit dan berjalan menuju lobi hotel. Aku dan Fredo tetap menunggu di balkon.
Tak lama kemudian, Arin dan Mbak Hayu kembali dengan wajah sumringah. "Udah dapat drivernya!" kata Arin antusias. "Tadi resepsionis kasih kontaknya, kita telepon langsung, dan dia setuju. Sehari dia minta Rp750.000, udah termasuk BBM. Nanti dia bakal nganterin kita ke tempat-tempat wisata dari Sumba Barat Daya sini sampai ke Sumba Timur! Ini sebentar lagi bapaknya mau kesini untuk ngefixkan jadwal dan rute."
Aku langsung merasa lega mendengar kabar itu. Harga yang ditawarkan cukup masuk akal mengingat rute perjalanan kami cukup jauh. Dengan mobil dan sopir sendiri, perjalanan pasti lebih nyaman dan fleksibel.
Tak lama kemudian, mobil yang kami tunggu akhirnya tiba di depan hotel. Seorang pria dengan kaos polos dan celana jeans turun dari kursi kemudi, lalu berjalan menuju lobi. Arin dan Mbak Hayu segera menghampirinya untuk membicarakan detail perjalanan, termasuk pembayaran DP serta rute untuk tiga hari ke depan.
Sementara mereka berdiskusi, aku dan Fredo masih duduk di balkon, mengobrol santai sambil update-update kabar kehidupan. Setelah selesai berdiskusi dengan sopir, Arin kembali ke balkon dan langsung membahas soal keuangan trip ini, yang memang cukup fleksibel. Kalau masing-masing membawa cukup uang tunai, biasanya kami akan mengumpulkan sejumlah uang dulu ke satu orang yang ditunjuk sebagai bendahara. Tapi kalau ada yang kebetulan tidak pegang cash banyak, yang punya lebih akan menalangi dulu—sistem gotong royong yang sudah biasa kami lakukan di perjalanan. Kami sepakat bahwa yang menjadi bendahara untuk kali ini adalah.... Arin juga hehehe..
Arin kemudian menarik iuran dari kami berempat untuk membayar DP. "Oke, semuanya setor ya, biar aman urusan transportasi kita sampai Waingapu nanti," katanya sambil mencatat di catatan kecilnya. Setelah semua urusan keuangan beres, Arin menatap kami dengan senyum penuh semangat.
"Eh, sore ini kita ke Bukit Lendongara ya," katanya tiba-tiba.
Aku langsung terkejut. "Wah, langsung mulai sore ini?"
Arin mengangguk. "Iya, biar kita bisa lihat sunset di sana."
"Siaap!" kataku antusias.
Aku pikir petualangan baru akan dimulai esok hari, ternyata sore ini juga sudah dimulai. Mantap!
Kami bersiap-siap, membawa barang seperlunya dan masuk ke mobil yang akan membawa kita berpetualang beberapa hari kedepan. Perjalanan dari hotel kami menuju Bukit Lendongara memakan waktu sekitar 20 menit dengan jarak sekitar 10 km. Kondisi jalanan yang awalnya didominasi jalan aspal perlahan-lahan mulai berubah menjadi jalan tanah dengan lebar satu mobil begitu mendekati tujuan. Pemandangan sepanjang jalan didominasi oleh pepohonan hijau, ciri khas Pulau Sumba yang masih sangat alami. Setiap kali mobil melaju, suara batu yang terguncang di bawah ban terdengar seperti dentingan kecil, membuat suasana perjalanan terasa sedikit lebih petualangan.
Setelah melewati beberapa tikungan dan jalanan yang sedikit menanjak, akhirnya kami tiba di Bukit Lendongara. Pemandangan yang tersaji di depan mata langsung membuat kami terpana. Bukit ini begitu indah, terutama karena musim hujan telah membuat rerumputan dan pepohonan di lembah-lembah tampak begitu hijau dan segar. Lansekapnya sangat alami—bukit-bukit kecil saling berjajar, berlapis, dan membentuk lekukan-lekukan yang terlihat begitu sempurna hingga akhirnya berakhir di lautan biru di kejauhan.
Bukit Lendongara
Kami langsung bersemangat berjalan kesana kemari, naik turun bukit, mencari sudut terbaik untuk menikmati panorama yang luar biasa ini. Setiap sudut menawarkan pemandangan yang berbeda. Dari beberapa titik tinggi, kami bisa melihat ke bawah, di mana lembah-lembah yang berkembang di antara bukit-bukit itu tampak subur dengan pepohonan yang tumbuh rimbun. Di beberapa bagian, tampak aliran air kecil yang menyelinap di antara vegetasi, menandakan adanya sumber kehidupan yang terus mengalir di balik keindahan perbukitan ini.
Di kejauhan, beberapa ekor kuda terlihat merumput dengan tenang, menambah kesan bahwa tempat ini benar-benar masih alami. Kami sempat ingin mendekat, tapi begitu kami mencoba berjalan lebih dekat, mereka justru berlari menjauh dengan anggun, seolah menjaga jarak dari para pengunjung yang penasaran.
Kami menghabiskan waktu berfoto-foto di beberapa titik, memotret pemandangan dan diri kami sendiri di antara lanskap hijau yang luas. Ada juga beberapa traveler lain yang datang, tampaknya sekelompok muda-mudi yang sedang berlibur. Mereka terlihat asyik berfoto di atas mobil mereka, berpose di puncak kendaraan, menambahkan sedikit kegembiraan di lokasi yang sudah indah ini.
"Yuk foto bareng" kata Fredo. "Kalian foto bertiga dulu ya, aku fotoin,"tambahnya.
"Siap yuk Rin, mbak," kataku.
Klik. Klik. Klik.
Arin, Aku dan Mbak Hayu menikmati Bukit Lendongara
Aku berjalan lebih jauh, menuruni lembah, menuju ke lekukan bukit berikutnya. Setiap langkah membawa aku semakin dekat dengan lanskap yang terasa begitu luas dan bebas. Angin berhembus lembut, membelai wajahku, membawa aroma rumput basah yang segar.
Beberapa kali aku berhenti, membiarkan diriku sepenuhnya tenggelam dalam pemandangan di depan mata, menikmati bukit-bukit hijau yang bergulung seperti ombak. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara sejuk memenuhi paru-paruku. Ada sesuatu yang begitu menenangkan di sini—seperti pelukan alam yang lembut, membebaskanku dari segala beban. Aku merasa nyaman. Perasaan nyaman dan ringan, seolah semua hal yang membebani pikiran luruh bersama angin yang berhembus di antara perbukitan.
Terlalu asyik menikmati suasana, mengobrol, dan berfoto-foto, kami tidak sadar matahari mulai terbenam perlahan di balik awan tebal. Cahaya keemasan yang tersisa menciptakan siluet indah di sepanjang perbukitan, sementara sinarnya yang redup memantul lembut di rerumputan hijau. Langit berubah perlahan menjadi gradasi jingga dan ungu, berpadu dengan bayangan bukit yang semakin gelap. Menandakan akan berakhirnya hari.
Kuda-kuda yang sedang merumput
Sinar rembulan..
Kami kemudian memutuskan untuk jalan pulang. Mobil meluncur kembali melewati jalan tanah, dengan lampu jalanan yang mulai temaram menyinari jalur yang kami lewati.
Setibanya di hotel, kami langsung menuju warung lalapan yang terletak tidak jauh dari penginapan. Kami duduk dan memesan beberapa menu lalapan—ikan goreng, ayam goreng, dan sambal. Makanan sederhana ini terasa sangat nikmat setelah seharian beraktivitas. Setelah makan malam, kami kembali ke penginapan untuk beristirahat. Masing-masing dari kami mulai menata barang dan mempersiapkan diri untuk perjalanan seharian besok.
"Besok jam 7 kalau bisa udah sarapan ya, supaya sebelum jam 8 udah mulai berangkat. Besok ada beberapa tujuan soalnya,"kata Arin.
"Siaaap Rin," jawab kami kompak. Hehehe..
Selamat tidur....
Part Selanjutnya : Disini
0 comments:
Posting Komentar