The Backpackers Goes to Maluku
Surabaya, 25 Desember 2017
Perjalanan ini berawal dari chat Fredo - teman travelingku - kepadaku,
"Luuh, ada rencana traveling kemana akhir tahun ini? Aku mau ikuut dong."
Well, aku yang sedang bersantai-santai di kasur kamar kosan, tiba-tiba ter-trigger. Iya juga ya, aku belum ada rencana apa-apa. Kemana ya enaknya? Aku tidak langsung menjawab chat-nya, karena masih berpikir destinasi apa yang bisa kukunjungi.
Ahh sial Fredo ni emang ga kasi aku kesempatan istirahat wkwkwk... Padahal September 2017 kemarin aku barusan pulang dari trip besar juga. Jadi sebenarnya kalau dipikir-pikir, belum saatnya aku traveling lagi. Tapi yaaa gara-gara dia nanya aku malah jadi pengen ke suatu tempat lagi. Alamaak.
Saat sedang berpikir tiba-tiba aku ingat destinasi ini, Pantai Ora! Salah satu pantai terindah di Indonesia, tepatnya di Maluku, yang gambarnya sering banget muncul di media sosial. Wadawwww.. la ini! Wkwkwk..Aku segera cek harga tiket dari Surabaya ke Ambon disitus skyscanner, terpampang harga 1,3 jutaan sekali jalan. Masih okelah!
"Mau ke Pantai Ora nggak? Di Maluku. Tapi aku cuma bisa 3 harian, soalnya kepentok libur kantor" kataku menjawab chat Fredo.
"Gassss! Kabari kapan beli tiketnya." Jawab Fredo.
Hehehe.. jadilah begini. Aku yang sedang bermalas-malasan di kasur kos tiba-tiba udah harus hunting tiket pesawat, bikin itinerary, dan siap-siap berangkat di.....4 hari lagi! Ya.. semendadak inilah. Karena aku masih kerja kantoran, jadi cuma punya waktu di liburan akhir tahun aja.
Tiba-tiba aku kepikiran ngajak Arin juga, teman kantorku yang hobi traveling destinasi alam juga. Dia dengan mudahnya bilang,
"Yukkk berangkat kapan?"
Setelah mempertimbangkan jadwal tiket pesawat dan hari libur kita sejenak, aku jawab,
"Jumat 29 Desember yaa, kita otw dari Juanda. Nanti transit dulu malamnya di Makassar, lanjut terbang Ambon, sampainya 30 Desember jam 6 pagi," jawabku ke Arin.
"Okee kabari ya mau beli tiket yang mana. Eh aku ajak mbakku ya," jawabnya lagi.
"Siaap rin, okey!" Kataku. Aku juga segera mengabari Fredo untuk membeli tiket.
Beberapa saat kemudian, tiket Surabaya - Ambon - Surabaya telah kami pegang semua. Perjalanan yang cukup mendadak, tapi kalau nggak sekarang kapan lagi kan?
Bandara Juanda, 29 Desember 2017
Akhirnya hari ini datang juga. Hari keberangkatan kami berempat ke Ambon. Sore itu selepas pulang kerja, aku segera packing semua barang dan dibutuhkan dan sekitar jam 8 malam berangkat bareng sama Arin ke Bandara Juanda, Surabaya. Dibandara kami bertemu Fredo yang berangkat dari Jogja. Dari Bandara Juanda, kita bertiga akan sama-sama terbang ke Makassar, sementara mbaknya Arin - Mbak Hayu - terbang dari Jakarta langsung ke Makassar. Jadi kita berempat akan bertemu dan terbang sama-sama dari Makassar ke Ambon.
Penerbangan kami dari Surabaya menuju Makassar berlangsung dengan lancar. Selama 1 jam 20 menit, pesawat melaju mulus tanpa turbulensi berarti, membuat perjalanan terasa nyaman. Kami bertiga—aku, Arin, dan Fredo—tiba di Makassar sekitar pukul 00.30. Beberapa saat setelah itu, kami akhirnya bertemu dengan Mbak Hayu yang terbang dari Jakarta. Rasanya lega semuanya sudah berkumpul. Segera setelah bertemu dan berkenalan singkat (aku dan Fredo baru kenal Mbak Hayu disini), kami langsung menuju gate transit. Kami masih punya space waktu 2,5 jam sebelum boarding, dan kami gunakan sambil tidur-tidur ayam. Jangan ketiduran beneran, bahaya ketinggalan pesawat! Hehehe
Proses boarding akhirnya datang. Penerbangan Makkasar - Ambon awalnya berjalan dengan mulus dan minim guncangan, namun semakin kami terbang ke timur, situasi mulai berubah. Turbulensi yang cukup parah beberapa kali mengguncang pesawat. Guncangannya cukup kuat sehingga penumpang di sebelahku bahkan langsung reflek memegang tanganku yang sedang memegang gagang kursi, seperti mencari pegangan untuk menenangkan dirinya.
Suasana di dalam pesawat semakin tegang ketika seorang ibu di kursi belakang mulai berbisik lirih, "Yesus, Yesus," sambil berdoa. Semua orang di pesawat terlihat ketakutan, dan aku pun ikut merasa sedikit cemas.
Bagaimanapun, aku mencoba tetap tenang dan berharap pesawat segera stabil. Sebenarnya ketika turbulensi kembali datang, tubuhku kembali terasa tegang, dan detak jantungku pun ikut berdetak lebih cepat. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa merasakan betapa rapuhnya perasaan manusia saat dihadapkan pada ketidakpastian.
Ambon, 30 Desember 2017
Akhirnyaaaa setelah perjalanan lumayan panjang, kami mendarat dengan selamat di Bandara Pattimura, Ambon jam 06.00 WIT. Begitu turun dari pesawat, rasa lelah dan cemas itu terlupakan dengan semangat petualangan yang sudah menanti di depan mata. Begitu berjalan keluar bandara dan mengetahui bahwa kami hendak ke Pantai Ora, kami ditawari mobil Avanza yang banyak stand by di depan Bandara untuk menuju langsung ke Pelabuhan Tulehu, seharga Rp 150.000/mobil. FYI jarak dari Bandara Pattimura ke Pelabuhan Tulehu sendiri cukup jauh, yakni 36 km dengan jarak tempuh 1 jam.
Rute dan jarak dari Bandara Pattimura ke Pelabuhan Tulehu
Sebenarnya kalau waktunya longgar bisa juga naik angkot dua kali, dengan rute Bandara Pattimura -Terminal Mardika, disambung angkot lainnya dari Terminal Mardika - Pelabuhan Tulehu. Karena kami mengejar speed boat Tulehu - Amahai yang jam 09.00 WIT (jadwal speedboat sehari ada 2x yaitu jam 09.00 WIT dan 16.00 WIT), kami memutuskan langsung charter Avanza tersebut, toh kami bisa iuran berempat. Jarak tempuh dari Bandara Pattimura ke Pelabuhan Tulehu dengan naik mobil charter Avanza sekitar 1 jam dengan medan perbukitan hijau yang subur, dengan bukit-bukit yang meliuk-liuk di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di Pelabuhan Tulehu, kami segera membeli tiket speed boat untuk menuju ke Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Ada dua loket di Pelabuhan Tulehu, satu loket untuk penjualan tiket kapal ke Pulau Saparua (Harganya Rp 65.000), satu loket untuk penjualan tiket kapal ke Pulau Seram (Harga Rp 115.000 sekali jalan untuk kelas ekonomi, Rp 260.000 untuk kelas VIP). Lama perjalanan dari Pelabuhan Tulehu ke Pelabuhan Amahai sekitar 4 jam.
Jarak dari Pelabuhan Tulehu ke Amahai
NB: Ambon dan Pantai Ora itu masih jauh ya teman-teman. Ambon ada di Pulau Ambon, sementara Pantai Ora ada di ujung utara Pulau Seram. Yap. Dua pulau yang berbeda. Jadi untuk menuju Pantai Ora teman-teman harus melakukan perjalanan darat dan laut.
Pelabuhan Tulehu, Ambon
Kapal Express Cantika 88 yang akan mengantarkan kami dari Pelabuhan Tulehu ke Pelabuhan Amahai
Selesai beli tiket, sembari menunggu keberangkatan kami putuskan sarapan di warung yang banyak tersebar di pintu masuk Pelabuhan Tulehu. Harga makanan cukup bersahabat, antara Rp 20.000 sd Rp 25.000 sekali makan. Aku sendiri menikmati semangkuk soto ayam. Pas untuk melegakan kerongkonganku, dan mengisi lambung yang mulai keroncongan.
Sarapan di Pelabuhan Tulehu, Ambon
Jam 09.00 tepat, perjalanan kami menggunakan speedboat Express Cantika 88 menuju Pelabuhan Amahai dimulai. Menurut info yang kubaca, jarak antara Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon dan Pelabuhan Amahai di Pulau Seram sekitar 75 kilometer. Perjalanan menggunakan kapal cepat ini akan memakan waktu kira-kira 4 jam.
Cuaca hari itu cukup bersahabat, tidak terlalu berangin dan gelombang laut juga cukup tenang, membuat perjalanan terasa lebih nyaman. Selama perjalanan, kami sempat mampir di beberapa pulau untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Masing-masing pulau memiliki suasana yang berbeda, ada yang dihuni oleh penduduk lokal yang sedang menunggu di dermaga kecil, ada pula yang sepi dan hanya terlihat rumah-rumah sederhana di tepian pantai. Setiap berhenti, kami bisa menikmati sejenak pemandangan pulau-pulau kecil yang dikelilingi air laut yang jernih. Beberapa pedagang makanan kecil terlihat menawarkan dagangannya dengan semangat setiap berhenti di dermaga.
Pelabuhan Amahai, Pulau Seram
Walau perjalanan terasa panjang, suasana yang tenang dan pemandangan yang indah membuat waktu terasa cepat berlalu. Kami akhirnya sampai Pelabuhan Amahai di Pulau Seram sekitar jam 1 siang. Di Pelabuhan Amahai banyak sekali supir yang menawarkan charter mobil pribadi untuk diantar sampai ke Desa Saleman sebagai titik pemberhentian terakhir sebelum Pantai Ora. Namun harganya gila-gilaan, untuk charter satu mobil ditarif Rp 800.000. Kami merasa itu terlalu mahal dan bertanya-tanya singkat kepada petugas pelabuhan untuk alternatif lainnya.
"Coba naik angkot saja kak sampai terminal di pusat kota. Nanti disana baru cari charter mobil, biasanya lebih murah," kata petugas pelabuhan
"Baik pak terimakasih, naik angkotnya darimana pak?"
"Kakak jalan ke pintu keluar pelabuhan aja, nanti angkotnya standby di depan situ. Tarifnya biasanya Rp 5000 kak."
"Siap kak," jawabku.
Tidak butuh waktu lama satu angkot kuning datang, dan setelah kami konfirmasi benar, dia akan melewati terminal kota. Perjalanan berlangsung singkat, mungkin hanya sekitar 1-2 kilometer dan kami membayar sesuai arahan petugas pelabuhan yaitu Rp 5000/orang. Supir angkot terlihat tidak protes jadi menurut kami benar memang tarifnya segitu.
Angkot dari Pelabuhan Amahai ke Kota Amahai
Sampai di Terminal di Kota Amahai, kita keluar terminal dan sudah banyak jasa charter mobil/jasa transportasi yang menawarkan mengantarkan menuju ke Desa Saleman di titik pemberhentian terakhir sebelum Pantai Ora. Ada dua pilihan, kalau mau naik tanpa charter, biayanya Rp 75.000/orang. Namun konsekuensinya, harus menunggu mobil sampai penuh dahulu. Kalau mau charter, biayanya Rp 500.000 sd Rp 600.000/mobil/sekali jalan. Karena kita hanya berempat dan tidak nampak traveler lainnya yang kelihatan, kita memutuskan charter dan deal di angka Rp 600.000.
Charter mobil menuju Desa Saleman
"Ini lebih baik kita mampir makan siang dulu aja ya kak. Soalnya nanti di sepanjang jalan sudah tidak ada warung kak," kata om sopir.
"Siaap pak."
Akhirnya berjalan sejenak meninggalkan Kota Amahai, kita dimampirkan makan siang dahulu di sebuah warung jawa di Amahai. Setelahnya perjalanan pun berlanjut. Lama perjalanan dari Kota Amahai ke Desa Saleman sekitar 2 jam dengan kondisi jalan yang cukup bagus, namun berkelak-kelok ala pegunungan dan kanan kiri berupa hutan belantara.
Kondisi jalan dari Amahai ke Desa Saleman
Hutan di samping kanan dan kiri jalan
Sebelum tiba di Desa Saleman, perjalanan kami melewati jalanan berliku yang dihiasi pemandangan alam luar biasa. Di salah satu titik, om sopir tiba-tiba memperlambat mobil dan berkata, “Kita berhenti sebentar ya, biar kalian bisa foto disini. Di kejauhan itu Tebing Sawai dan Pantai Ora."
Salah satu spot foto ketika mendekati Desa Saleman. Di kejauhan itu adalah Tebing Sawai dan Pantai Ora
Dari sini saja, aku langsung terpana dengan pemandangan yang terbentang luas. Di kejauhan, tebing-tebing hijau menjulang tinggi, seolah memeluk garis pantai dengan megah. Gradasi warna hijau dari hutan yang lebat menyelimuti lereng-lerengnya, menciptakan kesan alami yang tak terjamah.
Tepat di bawah tebing, lautan biru yang tenang membentang luas, memantulkan warna langit yang cerah meski sedikit berawan. Kontras antara hijaunya pepohonan, birunya laut, dan bayangan tebing yang gelap menjadikan pemandangan ini seperti lukisan yang hidup. Semak-semak hijau segar di tepi jalan memberikan bingkai alami untuk panorama ini. Udara di sini terasa sejuk, dengan aroma khas hutan dan laut bercampur menjadi satu.
"Waahh bagus. Nggak sabar aku turun kesana," kataku ke om sopir.
"Iya kak tinggal dekat aja ini. Turun udah sampai Desa Saleman. Dari situ nanti naik kapal kalau mau ke Desa Mata Air Belanda atau Pantai Ora. Nanti saya kenalkan teman saya."
Jadi karena di perjalanan ini kami belum ada rencana mau menginap dimana, om sopir bilang akan mangenalkan kami ke temannya pemilik boat di Desa Saleman. Karena aku request penginapan yang ga terlalu mahal, om sopir bilang akan pesan ke pemilik boat untuk mengantarkan kami di penginapan dekat Desa Mata Air Belanda.
Dari sini, kami melanjutkan melajukan mobil terus ke bawah sampai mendekati pelabuhan yang ternyata merupakan Desa Saleman yang bisa dibilang merupakan pintu gerbang ke surga kecil di Maluku Tengah. Sesaat turun dari kendaraan, pemandangan spektakuler langsung menyambut kami. Lautnya berwarna biru kehijauan, begitu jernih hingga dasar air terlihat jelas. Di kejauhan, perbukitan menghijau berdiri kokoh, seolah melindungi desa ini dari hiruk-pikuk dunia luar.

Pelabuhan Desa Saleman. Dari sini kita charter perahu untuk menuju Desa Mata Air Belanda, Tebing Sawai maupun Pantai Ora.
Pemandangan di Pelabuhan Desa Saleman
"Waaah bagus banget," kata Arin setengah kegirangan.
"Ayok foto-foto," kata Fredo tak kalah semangat.
Foto bareng dulu....
Memang secantik itu sih. Huhuhu....
Di sepanjang dermaga kecil, deretan kapal-kapal kayu tertambat rapi, siap mengantar para pengunjung ke destinasi populer seperti Pantai Ora. Suasana desa ini terasa hidup dengan keramahan penduduk lokal yang menawarkan jasa perahu, sambil sesekali berbincang santai dengan sesama pengemudi kapal.
Desa Saleman.. Cantik banget..
Om sopir ternyata sudah mengatur segalanya. Kami diajak bertemu dengan seorang pemilik perahu, kenalannya, yang akan membawa kami menyeberang ke penginapan di Desa Mata Air Belanda.
"Ini nanti biayanya sewa per-perahu 750ribu. Itu sudah termasuk pengantaran dari sini ke Desa Mata Air Belanda. Kemudian dari situ kalian bisa mengunjungi Tebing Sawai. Kemudian besok ke resort ora dan sekitarnya, diantarkan pulang ke Desa Mata Air Belanda, kemudian kembali lagi kesini. Nanti akan saya jemput lagi untuk kembali ke Pelabuhan Amahai," kata om sopir menjelaskan dengan detail.
Proposal yang sangat menarik. Kami terima tanpa berpikir panjang, karena yah itulah fungsinya traveling berberapa orang. Kisa bisa sharing biaya sehingga bisa lebih hemat. Setelah janjian tanggal penjemputan dengan om sopir, kami pun beranjak naik kapal,
Saat menunggu perahu disiapkan, aku merasakan semilir angin laut dan suara ombak kecil menjadi irama yang menenangkan, melengkapi keindahan tempat ini. Saat perahu perlahan melaju meninggalkan dermaga Desa Saleman, aku benar-benar tambah terpukau oleh pemandangan laut dan tebing di sekitar.
Airnya begitu tenang, seolah permukaannya adalah kaca besar yang memantulkan langit biru. Kejernihannya memukau—karang-karang di dasar laut terlihat jelas meskipun kami berada di atas perahu. Sapuan ombak yang ringan membuat perjalanan terasa damai, seolah alam sedang menyambut kami dengan kehangatan.
Perjalanan dari Desa Saleman ke Desa Mata Air Belanda
Karang-karang terlihat dengan jelas...
Sekitar 20 menit di atas air, kami akhirnya tiba di Desa Mata Air Belanda, yang dari sebelum berlabuh aja sudah memberikan kesan kedamaian yang mendalam. Kami menginap di dua cottage kecil yang sederhana namun nyaman, dengan suasana tenang yang menyatu dengan alam. Kami memesan 2 cottage, dimana harga per kamarnya adalah Rp 300.000, dan karena disini tidak ada warung, kami sekalian mengambil paket makan malam dan makan siang untuk besok. Harganya permakan tidak murah, 50rb/porsi. Tapi itu sangat dimaklumi melihat medan yang untuk mengirim apa-apa harus dengan kapal.
Penginapan kami sebuah cottage sederhana di Desa Mata Air Belanda
Sesuai nama desanya, Desa Mata Air Belanda, ternyata di belakang cottage kami mengalir sungai jernih yang sumber airnya ternyata adalah mata air di pegunungan. Jadi bisa ditebak, airnya begitu jernih, dingin, dan segar. Suaranya yang mengalir memberikan ketenangan, menjadi latar sempurna untuk bersantai dan mengapresiasi anugerah alam di Maluku ini. Sungai ini menjadi sambutan pemandangan istimewa—mengalir dengan tenang di antara pepohonan rindang sebelum berlabuh di laut. Suaranya yang mengalir memberikan ketenangan, menjadi latar sempurna untuk bersantai dan mengapresiasi anugerah alam di Maluku ini.
Mata air tawar yang mengalir tanpa henti disamping penginapan. Airnya segar dan dingiiinnn...
Setelah check-in di cottage, bapak pemilik perahu menanyakan apa kami mau ke salah satu destinasi sore ini, yaitu Tebing Sawai. Kami langsung menyetujui, toh waktu masih menunjukkan jam 4 sore, dimana sunset disini masih sekitar jam 6.30 sore. Dengan semangat, kami setuju dan segera naik perahu kembali. Perjalanan ke Tebing Sawai memakan waktu sekitar 20 menit. Saat perahu mulai mendekati tebing, pemandangan yang terhampar benar-benar memukau. Tebing-tebing tinggi menjulang megah, dengan dinding batu karang yang kokoh dihiasi tumbuhan hijau yang tumbuh alami di sela-selanya. Laut di bawahnya berwarna biru bersih, begitu jernih sehingga dasar laut yang dangkal terlihat dengan jelas.
Angin laut yang sejuk dan sapuan ombak kecil semakin menambah kesan damai tempat ini. Di beberapa titik, tebing-tebing tersebut membentuk ceruk-ceruk kecil, menciptakan bayangan yang menambah dramatisasi pemandangan.
Kami sempat berhenti sejenak untuk menikmati momen ini, hanya suara burung dan gemuruh lembut ombak yang menemani. Rasanya seperti berdiri di depan karya seni alam yang sempurna, sebuah mahakarya yang membuat siapa pun terpesona.
Tebing Sawai dengan air laut yang biru mengkristal
Begitu perahu diberhentikan bapak kapal di dekat Tebing Sawai, tanpa menunggu lama aku dan Fredo langsung nyebur ke air. Bagaimana tidak? Pemandangan laut biru jernih yang menggoda itu seperti memanggil-manggil untuk dijelajahi.
Biru dan jernihnya air laut disini.. Dangkal juga hanya setinggi dada manusia dewasa
Saat menyentuh air, sensasinya begitu menyegarkan. Dengan kejernihan air yang luar biasa, berenang di sini terasa seperti melayang di atas akuarium alami dengan hamparan pasir putih halus yang membentang di bawah kaki kami.
Tebing tinggi di sekeliling kami semakin menambah kesan magis. Bayangannya yang jatuh ke permukaan air menciptakan kontras yang indah dengan warna biru kehijauan laut. Sambil berenang, aku sesekali menengadah ke arah tebing, mengagumi bagaimana alam bisa menciptakan sesuatu yang begitu sempurna.
Have fun....
Beberapa saat kemudian Fredo terlihat naik ke sebuah gundukan batu, dan tanpa ragu melompat ke laut dari ujung batu tersebut. Ketinggiannya mungkin sektar 1,5 meter dari permukaan laut. Aku yang melihatnya langsung kepengen juag mencoba hehehe..
"Aman nggak ini mas?" tanyaku.
"Aman kok, itu tempat terjunnya lumayan dalam disitu. Ayo Luh coba!" Kata Fredo menyemangatiku.
"Siaap..Nanti setelah nyebur tolong tarik aku ke tempat yang lebih dangkal ya"
'Satu, dua..... jebuurrrr...' lompatanku yang tiba-tiba menciptakan cipratan air yang cukup tinggi. Seketika aku terdorong cukup dalam sebelum tubuhku terangkat lagi ke permukaan dan Fredo segera menarikku kembali ke laut yang lebih dangkal.
"Gimana? Seru, kan?" tanyanya dengan senyum lebar. Aku mengangguk sambil terkikik, masih merasakan debaran adrenalin yang belum sepenuhnya reda.
Meloncat dari tebing kecil..
Fredo, dengan penuh semangat, berenang lebih jauh mendekati dinding tebing. Aku mengikuti, tak ingin kehilangan momen ini. Dari dekat, tebing itu terlihat lebih mengesankan, dengan detail permukaannya yang kasar dan tanaman-tanaman hijau yang menempel di sela-sela celahnya.
Sibuk berenang, aku sempat melirik ke arah Arin dan Mbak Hayu yang masih bertengger di bebatuan, enggan turun ke laut. Mereka tampak asyik berfoto-foto, sibuk mencari angle terbaik dengan latar laut biru yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Seketika aku berteriak ke arah mereka, suaraku bercampur dengan deburan ombak.
"Rin, Mbak! Ayo turun! Renang! Seger banget ini!"
Aku melambaikan tangan dengan semangat, berharap mereka segera bergabung. Arin hanya tertawa sambil melambaikan kamera ke arahku, sementara Mbak Hayu menggeleng pelan, tampaknya masih ragu.
"Ahh ayo.. kapan lagi renang disini," kata Fredo menyemangati mereka untuk segera turun.

Bersenang-senang dengan empat sekawan..
Tidak butuh waktu lama, godaan air laut yang jernih dan segar akhirnya meluluhkan Arin dan Mbak Hayu. Dengan langkah ragu, mereka mulai menuruni tepian dan membiarkan kaki mereka menyentuh air.
"Aduh, dingin juga ya," gumam Arin sambil menggigil kecil.
"Tapi segar, kan?" aku menyahut sambil tertawa.
Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya basah sepenuhnya. Aku dan Fredo segera menghampiri mereka, wajah kami penuh semangat. Tanpa perlu banyak kata, kami langsung berenang bersama, menikmati sensasi air asin yang membelai kulit dan riak ombak yang lembut mengayun tubuh kami.
Tawa dan percikan air mewarnai momen itu—sebuah kenangan yang akan selalu kami ingat dari petualangan ini.
"Pak, fotoin yaa.." kata Arin kepada Bapak Kapal yang stanby di dekat kapal sembari menunggu kami.

Bersenang-senang dengan empat sekawan..
Kami berenang hingga lupa waktu, larut dalam kesegaran air dan gelombang kecil yang menyapu lembut tubuh kami. Ini bukan pemandangan yang bisa kami lihat setiap hari. Kehidupan sehari-hari sering kali dipenuhi kesibukan dan rutinitas, tetapi di sini—di tengah lautan yang tenang dan alam yang begitu megah—kami bisa benar-benar menikmati momen. Tidak ada hiruk-pikuk kota, tidak ada gangguan, hanya kami dan alam yang memanjakan mata serta menenangkan jiwa.
Kami meninggalkan tempat ini saat matahari mulai condong ke ufuk barat, langit perlahan berubah jingga keemasan, menciptakan bayangan indah di permukaan laut. Angin sore berhembus lembut saat kapal mulai berjalan, menambah suasana syahdu perjalanan pulang.
Di tengah perjalanan, kami kembali melewati sebuah bangunan seperti resort apung yang tampak megah, namun sepi. Struktur kayunya berdiri kokoh di atas permukaan air, dengan jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke lautan. Jembatan kayu terlihat memanjang menghubungkan resort tersebut dengan tempat yang sepertinya akan dijadikan dermaga.
Resort Apung yang masih dalam proses pembangunan..
"Itu masih belum dibuka ya, Pak?" tanyaku pada bapak kapal, penasaran dengan tempat yang terlihat begitu eksklusif namun masih sunyi.
"Iya, Kak, masih dalam proses finishing akhir," jawabnya santai sambil tetap mengendalikan laju kapal.
Jembatan kayu yang kedepannya akan menghubungkan dermaga dengan resort apung
Aku saling bertukar pandang dengan teman-teman. "Mau mampir ke sana nggak?" tanyaku dengan antusias.
Bapak kapal tersenyum, seolah mengerti keinginan kami. "Mau foto-foto di sana, Kak?"
"Iya, Pak, kayaknya bagus banget buat foto-foto!" jawabku semangat.
Tanpa ragu, bapak kapal mengarahkan perahu mendekati dermaga resort apung itu. Kami bersiap untuk menjelajahi tempat yang mungkin belum banyak orang kunjungi, menikmati kesempatan langka sebelum bangunan itu resmi dibuka.
Kami turun dari kapal dan menyusuri jembatan kayu menuju bangunan resort apung. Saat semakin mendekat, resort itu terlihat benar-benar sepi. Tidak ada tamu, tidak ada staf—hanya kami dan bunyi riak air yang berdesir pelan di bawah jembatan. Dari balik jendela besar, aku bisa melihat bagian dalam yang belum sepenuhnya selesai. Beberapa papan kayu masih berserakan, tanda bahwa pembangunan sedang berlangsung.
'Kayaknya tempat ini bakal bagus banget kalau udah jadi. Pasti amazing banget bisa nginap di sini. Bangun pagi, buka jendela, duduk di balkon sambil ngopi, terus langsung disambut deburan ombak,' kataku dalam hati.
Pembangunan resort apung terlihat masih berlangsung, beberapa belum finishing
Tidak banyak hal yang bisa kami lakukan di resort apung itu. Setelah menjelajahi beberapa sudut bangunan yang hampir selesai, kami akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di jembatan kayu, menikmati pemandangan sore yang begitu memukau. Matahari perlahan terbenam, memberi warna jingga yang semakin intens di langit yang sebelumnya kebiruan. Bayangan bukit-bukit mulai tampak lebih jelas seiring cahaya matahari yang semakin redup, seakan ingin memberi salam perpisahan sebelum malam datang. Semua itu terasa begitu tenang dan memikat—sebuah kenangan yang akan selalu kami ingat.
Making memories together....
Sambil duduk di sana, kami sesekali berbicara tentang rencana dan impian kami, sambil menikmati suasana yang benar-benar berbeda dari kehidupan sehari-hari. Keindahan alam ini begitu memanjakan kami, dan rasanya seperti waktu berhenti sejenak, memberi kesempatan untuk benar-benar merasa hadir di momen ini.
Tak lama setelah itu, kami putuskan harus segera kembali ke penginapan karena langit semakin menggelap. Perjalanan pulang terasa lebih sunyi, dan kami hanya duduk diam, menikmati sisa-sisa keheningan sore yang semakin menggelap.
Senja..
See u tomorrow sun..
Setibanya di penginapan, tidak banyak yang bisa kami lakukan. Kami hanya menghabiskan waktu sambil makan malam, berbicara tentang hal-hal kecil, saling berbagi cerita, dan menikmati momen kebersamaan. Tanpa sinyal HP, kami benar-benar bisa melepaskan diri dari gangguan dunia luar, merasa bebas dan hadir sepenuhnya. Well, sesekali memang menyenangkan bisa benar-benar menikmati momen seperti ini tanpa harus terganggu oleh apapun.
Part Selanjutnya : Disini
0 comments:
Posting Komentar