Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

1.03.2025

Sadar Setiap Hari (SSH) 14 : Cara Meredam Pikiran Buruk dan Tidak Bermanfaat

 Bhante Santacitto mengajarkan pendekatan yang sangat mendalam dan bijak dalam menghadapi pikiran buruk. Penekanannya pada kesadaran dan penerimaan memberikan panduan praktis yang dapat membantu kita mengelola emosi dan pikiran negatif dengan cara yang lebih sehat dan penuh perhatian. Berikut adalah langkah-langkah yang bisa diambil berdasarkan ajaran tersebut:

1. Menerima tanpa Menghakimi

  • Ketika pikiran buruk muncul, langkah pertama yang diajarkan Bhante Santacitto adalah menerima pikiran itu tanpa menolaknya atau memberikan penilaian. Ini berarti kita tidak langsung melabeli pikiran tersebut sebagai "buruk," "salah," atau "tidak seharusnya ada."

    Penjelasan:

    • Apa itu menerima tanpa menghakimi?
      Ini adalah sikap di mana kita mengakui keberadaan pikiran tersebut apa adanya, tanpa perlawanan atau kritik. Pikiran buruk adalah bagian alami dari proses mental. Alih-alih mencoba mengusirnya, kita memberi ruang untuk pikiran itu hadir.

    • Mengapa ini penting?
      Ketika kita melawan pikiran buruk, justru pikiran itu sering menjadi lebih kuat karena kita memberikan energi padanya melalui perlawanan. Sebaliknya, dengan menerima, kita memutus siklus reaksi yang memperkuat pikiran tersebut.

    Cara Praktis Menerima Tanpa Menghakimi:

    1. Sadari Kehadirannya

      • Ketika pikiran buruk muncul, berhenti sejenak dan akui bahwa pikiran itu ada.
        Contoh: "Oh, ada pikiran seperti ini."
    2. Berikan Nama atau Label Ringan

      • Tanpa terlibat terlalu jauh, beri nama pikiran itu untuk menciptakan jarak.
        Contoh: "Ini hanya rasa khawatir," atau "Ini hanya pikiran kemarahan."
    3. Hindari Penilaian

      • Jangan memutuskan apakah pikiran itu baik atau buruk.
        Contoh: Daripada berpikir, "Saya seharusnya tidak berpikiran seperti ini," cukup katakan, "Ini adalah bagian dari pengalaman saya saat ini."
    4. Jangan Bereaksi

      • Jangan mengambil tindakan impulsif berdasarkan pikiran tersebut. Sebagai gantinya, biarkan pikiran itu ada tanpa mencoba melanjutkan narasi di kepala Anda.
    5. Perhatikan Sensasi Tubuh

      • Kadang-kadang, pikiran buruk disertai sensasi fisik, seperti sesak di dada atau tegang di leher. Sadari sensasi ini tanpa menghindarinya, seperti seorang pengamat.

    Contoh:

    Misalnya, jika muncul pikiran, "Saya tidak cukup baik," Anda bisa:

    • Mengatakan dalam hati: "Oh, ada pikiran tentang rasa tidak cukup baik."
    • Tidak langsung percaya atau mencoba menolaknya, cukup diamati saja.
    • Membiarkannya hadir sampai akhirnya pikiran itu perlahan menghilang dengan sendirinya.

    Pendekatan ini menciptakan ruang di antara Anda dan pikiran tersebut, sehingga Anda tidak terperangkap dalam kekuatan negatifnya. Lama-kelamaan, sikap menerima tanpa menghakimi ini melatih Anda untuk lebih tenang dalam menghadapi segala jenis pikiran, baik yang menyenangkan maupun yang tidak.

2. Mengembangkan Kesadaran

  • Langkah kedua yang diajarkan Bhante Santacitto adalah menyadari bahwa pikiran, termasuk pikiran buruk, bersifat tidak kekal. Mereka muncul, ada untuk sementara waktu, dan pada akhirnya akan hilang. Kesadaran akan ketidakkekalan ini membantu kita melepaskan keterikatan pada pikiran tersebut dan mengurangi dampak negatifnya.

    Penjelasan:

    • Apa itu ketidakkekalan?
      Dalam Buddhisme, konsep ini dikenal sebagai anicca (ketidakkekalan), yang berarti segala sesuatu, termasuk pikiran dan perasaan, selalu berubah. Pikiran buruk tidak pernah permanen; ia akan datang dan pergi seperti awan yang bergerak di langit.

    • Mengapa kesadaran ini penting?
      Ketika kita memahami bahwa pikiran buruk tidak akan bertahan selamanya, kita tidak merasa perlu untuk melawan, memperkuat, atau merasa putus asa karenanya. Sebaliknya, kita dapat bersikap lebih tenang dan menerima.

    Cara Praktis Mengembangkan Kesadaran Ketidakkekalan:

    1. Amati Siklus Pikiran

      • Perhatikan bagaimana pikiran buruk muncul secara tiba-tiba, bertahan sebentar, lalu perlahan menghilang.
        Contoh: Saat merasa marah, cobalah sadari: "Rasa marah ini muncul, memuncak, lalu perlahan mereda."
    2. Gunakan Perumpamaan

      • Pikirkan pikiran buruk seperti awan gelap yang lewat di langit. Anda adalah langit yang luas; awan hanyalah sesuatu yang sementara. Visualisasi ini membantu Anda menciptakan jarak antara diri Anda dan pikiran tersebut.
    3. Bernapas dalam Kesadaran

      • Ketika pikiran buruk muncul, fokuskan perhatian pada napas Anda.
        Contoh: Tarik napas perlahan dan katakan pada diri sendiri, "Ini hanya sementara." Hembuskan napas dengan lembut sambil membiarkan pikiran itu berlalu.
    4. Gunakan Catatan Pikiran

      • Jika pikiran buruk terus muncul, tuliskan di jurnal Anda. Proses menuliskannya akan membantu Anda melihat bahwa pikiran itu berubah seiring waktu.
    5. Sadari Pola Pikiran

      • Perhatikan bagaimana pikiran buruk sering kali mengikuti pola tertentu. Kesadaran akan pola ini membantu Anda memahami bahwa itu hanyalah respons otomatis dari pikiran, bukan sesuatu yang Anda harus pegang erat.

    Contoh:

    Misalnya, jika muncul pikiran, "Saya pasti akan gagal dalam tugas ini," cobalah untuk:

    • Mengamati pikiran itu tanpa ikut terbawa.
    • Mengingatkan diri bahwa perasaan ragu ini tidak akan bertahan selamanya.
    • Fokus pada napas atau lakukan aktivitas lain untuk memberikan ruang agar pikiran tersebut berlalu dengan sendirinya.

    Kesadaran bahwa semua pikiran, termasuk yang buruk, bersifat sementara adalah kunci untuk melepaskan diri dari cengkeraman pikiran negatif. Lama-kelamaan, ini membantu Anda membangun ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi pengalaman mental apa pun

3. Mengenali Sifat Pikiran yang Tidak Bermanfaat

  • Langkah ini menekankan pentingnya menyadari apakah pikiran buruk yang muncul memiliki manfaat atau tidak bagi perkembangan mental dan batin kita. Dalam ajaran Bhante Santacitto, pengenalan ini membantu kita untuk tidak terperangkap oleh pikiran buruk dan, pada akhirnya, belajar untuk melepasnya.

    Penjelasan:

    • Apa itu pikiran yang tidak bermanfaat?
      Pikiran yang tidak bermanfaat adalah pikiran yang tidak membawa kebaikan, ketenangan, atau pertumbuhan batin. Contohnya:

      • Pikiran yang penuh kebencian.
      • Pikiran yang menumbuhkan rasa iri atau keserakahan.
      • Pikiran yang membuat kita ragu dan tidak percaya diri secara berlebihan.
    • Mengapa mengenali sifat pikiran itu penting?
      Ketika kita menyadari bahwa sebuah pikiran tidak membawa manfaat, kita tidak perlu memberikan energi padanya. Sebaliknya, kita dapat memilih untuk mengalihkan fokus ke hal-hal yang lebih positif atau netral.

    Cara Praktis Mengenali Sifat Pikiran yang Tidak Bermanfaat:

    1. Bertanya pada Diri Sendiri
      Ketika pikiran buruk muncul, tanyakan:

      • Apakah pikiran ini membantu saya merasa lebih baik?
      • Apakah pikiran ini membawa saya lebih dekat pada kedamaian atau kebahagiaan?
        Jika jawabannya "tidak," maka pikiran itu tidak bermanfaat.
    2. Evaluasi Dampaknya

      • Perhatikan bagaimana pikiran itu memengaruhi emosi dan tubuh Anda.
        Contoh: Jika pikiran membuat Anda merasa cemas, marah, atau sedih berkepanjangan, itu adalah tanda bahwa pikiran tersebut tidak mendukung kesejahteraan Anda.
    3. Gunakan Perspektif Jangka Panjang

      • Bayangkan dampak pikiran ini jika terus-menerus dipelihara. Apakah itu akan membawa Anda menuju tujuan hidup yang lebih bermakna atau justru menjauhkan Anda?
    4. Bandingkan dengan Pikiran yang Lebih Positif

      • Setelah mengenali pikiran buruk, cobalah memikirkan sesuatu yang lebih bermanfaat.
        Contoh: Alihkan pikiran "Saya tidak mampu menyelesaikan ini" menjadi "Saya akan mencoba semampu saya, dan itu cukup."
    5. Sadari Pola Umum Pikiran Buruk

      • Banyak pikiran buruk hanyalah kebiasaan yang terbentuk oleh pengalaman masa lalu atau respons otomatis terhadap stres. Dengan menyadari pola ini, Anda dapat lebih mudah mengatasi pengaruhnya.

    Contoh:

    Misalnya, muncul pikiran, "Orang lain pasti lebih baik dari saya," Anda bisa:

    • Mengidentifikasi bahwa ini adalah pikiran tidak bermanfaat karena hanya menumbuhkan rasa rendah diri.
    • Mengingatkan diri bahwa pikiran itu tidak mencerminkan realitas objektif.
    • Mengganti dengan afirmasi positif, seperti "Saya memiliki keunikan dan potensi saya sendiri."

    Dengan terus melatih kemampuan mengenali pikiran tidak bermanfaat, Anda akan semakin mahir untuk tidak terjebak di dalamnya dan, pada saat yang sama, memperkuat pikiran yang mendukung perkembangan mental dan spiritual Anda.

4. Mengembangkan Sikap Bijaksana

  • Langkah ini mengajarkan kita untuk memperhatikan dampak dari pikiran buruk pada emosi, tubuh, tindakan, dan kehidupan secara keseluruhan. Dengan memahami konsekuensi yang dihasilkan, kita menjadi lebih sadar untuk memilih pikiran yang mendukung kesejahteraan dan perkembangan batin.

    Penjelasan:

    • Apa itu kesadaran akan konsekuensi?
      Kesadaran ini berarti memahami bahwa setiap pikiran, baik atau buruk, memengaruhi cara kita merasa, berbicara, dan bertindak. Pikiran buruk biasanya membawa konsekuensi negatif, seperti perasaan cemas, marah, atau keputusan yang tergesa-gesa.

    • Mengapa kesadaran ini penting?
      Dengan memahami konsekuensi dari pikiran, kita dapat mengambil langkah untuk melepaskan pikiran buruk sebelum memengaruhi tindakan atau keputusan yang merugikan.

    Cara Praktis Mengembangkan Kesadaran akan Konsekuensi:

    1. Refleksi Diri

      • Saat pikiran buruk muncul, tanyakan:
        • Apa yang akan terjadi jika saya terus memelihara pikiran ini?
        • Bagaimana perasaan saya setelah pikiran ini berlalu?
    2. Sadari Efeknya pada Tubuh

      • Pikiran buruk sering kali disertai dengan reaksi fisik, seperti:
        • Ketegangan di otot.
        • Napas menjadi pendek atau tidak teratur.
        • Jantung berdebar lebih cepat.
          Dengan mengenali tanda-tanda ini, Anda dapat segera menyadari dampaknya pada kesehatan tubuh.
    3. Perhatikan Efek Emosional

      • Amati bagaimana pikiran buruk memengaruhi suasana hati.
        Contoh: Apakah pikiran itu membuat Anda sedih, marah, atau merasa tidak berdaya?
    4. Gunakan Pengalaman Masa Lalu

      • Refleksikan pengalaman sebelumnya ketika Anda terjebak dalam pikiran buruk.
        Contoh: "Ketika saya terlalu memikirkan kesalahan di masa lalu, itu hanya membuat saya merasa bersalah dan tidak produktif."
    5. Bayangkan Alternatifnya

      • Pikirkan bagaimana hidup Anda akan berbeda jika Anda melepaskan pikiran buruk itu.
        Contoh: Jika Anda berhenti memikirkan rasa dendam, Anda mungkin merasa lebih ringan dan bebas.
    6. Sadari Efek Jangka Panjang

      • Renungkan bagaimana pikiran buruk dapat memengaruhi hubungan, pekerjaan, atau kesejahteraan secara keseluruhan.
        Contoh: Pikiran negatif yang berulang bisa membuat Anda mengisolasi diri atau kehilangan peluang.

    Contoh:

    Jika Anda berpikir, "Saya tidak akan pernah berhasil," maka:

    • Perhatikan bahwa pikiran ini membuat Anda cemas dan tidak percaya diri.
    • Sadari bahwa konsekuensinya bisa berupa rasa takut mencoba hal baru atau menyerah sebelum mencoba.
    • Pilih untuk mengganti pikiran itu dengan sesuatu yang lebih realistis, seperti "Saya akan belajar dari proses ini, apa pun hasilnya."

    Dengan mengembangkan kesadaran akan konsekuensi pikiran buruk, Anda dapat lebih bijaksana dalam memilih respons mental, sehingga membawa dampak yang lebih positif pada kehidupan Anda.

5. Menggantikan dengan Pikiran yang Positif

  • Langkah ini mengajarkan bahwa pikiran buruk tidak harus dilawan dengan keras, melainkan dilepaskan dengan lembut dan penuh kesadaran. Ketika kita tidak memberi energi pada pikiran buruk, mereka akan memudar dengan sendirinya, seperti api yang padam karena kehabisan bahan bakar.

    Penjelasan:

    • Mengapa melepaskan dengan lembut?
      Melawan pikiran buruk dengan keras sering kali justru membuat mereka semakin kuat karena kita memberi terlalu banyak perhatian. Sebaliknya, sikap lembut dan netral membantu pikiran itu menghilang tanpa meninggalkan dampak negatif.

    • Bagaimana caranya?
      Alih-alih menekan atau menghindari pikiran buruk, kita mengizinkannya muncul, mengamati tanpa penghakiman, lalu membiarkannya pergi. Proses ini menciptakan ruang dalam batin dan membawa rasa tenang.

    Cara Praktis untuk Melepaskan Pikiran Buruk dengan Lembut:

    1. Sadari Kemunculan Pikiran

      • Ketika pikiran buruk muncul, jangan panik atau langsung mencoba melawan.
        Contoh: Saat pikiran "Saya tidak cukup baik" muncul, akui saja keberadaannya tanpa reaksi berlebihan.
    2. Latih Penerimaan

      • Katakan pada diri sendiri, "Ini hanya pikiran, dan tidak apa-apa pikiran ini ada di sini untuk sementara."
        Penerimaan ini membantu Anda mengurangi resistensi yang justru memperkuat pikiran tersebut.
    3. Fokus pada Napas

      • Alihkan perhatian dari pikiran buruk dengan fokus pada napas.
        Contoh: Tarik napas perlahan sambil berkata dalam hati, "Saya tenang." Hembuskan napas dengan lembut sambil berkata, "Saya lepaskan."
    4. Gunakan Teknik Visualisasi

      • Bayangkan pikiran buruk seperti daun yang mengalir di sungai. Biarkan daun itu terus bergerak, tidak perlu Anda pegang.
    5. Alihkan Perhatian

      • Setelah mengakui keberadaan pikiran, lakukan aktivitas yang melibatkan perhatian penuh, seperti berjalan kaki, mendengarkan musik, atau membaca.
        Contoh: Jika pikiran buruk datang saat bekerja, luangkan waktu 5 menit untuk berjalan atau minum air sebagai bentuk jeda.
    6. Latihan Meditasi

      • Meditasi mindfulness sangat efektif untuk melepaskan pikiran buruk. Duduklah dengan tenang, amati pikiran yang muncul, dan biarkan mereka berlalu tanpa keterlibatan.
    7. Jangan Mengidentifikasi Diri dengan Pikiran

      • Ingatlah bahwa Anda bukan pikiran Anda. Pikiran adalah sesuatu yang lewat, bukan definisi diri Anda.
        Contoh: Alih-alih berkata, "Saya orang gagal," ubah menjadi "Ada pikiran tentang kegagalan di kepala saya, tapi itu hanya pikiran."

    Contoh:

    Jika Anda merasa cemas dengan pikiran seperti, "Bagaimana jika saya membuat kesalahan besar?":

    1. Sadari bahwa itu hanya pikiran.
    2. Tarik napas dalam-dalam dan ingatkan diri bahwa pikiran itu akan berlalu.
    3. Visualisasikan pikiran itu seperti awan yang berlalu ditiup angin.
    4. Lakukan sesuatu yang positif, seperti mendengarkan musik santai atau berbicara dengan teman.

    Dengan melatih pelepasan yang lembut, Anda membangun keterampilan untuk menghadapi pikiran buruk tanpa stres berlebihan, memungkinkan batin Anda tetap tenang dan stabil.

1.02.2025

[1] Ambon - Ora : Pesona Desa Mata Air Belanda dan Tebing Sawai !

Surabaya, 25 Desember 2017

Perjalanan ini berawal dari chat Fredo - teman travelingku - kepadaku, 

"Luuh, ada rencana traveling kemana akhir tahun ini? Aku mau ikuut dong."

Well, aku yang sedang bersantai-santai di kasur kamar kosan, tiba-tiba ter-trigger. Iya juga ya, aku belum ada rencana apa-apa. Kemana ya enaknya? Aku tidak langsung menjawab chat-nya, karena masih berpikir destinasi apa yang bisa kukunjungi. 

Ahh sial Fredo ni emang ga kasi aku kesempatan istirahat wkwkwk... Padahal September 2017 kemarin aku barusan pulang dari trip besar juga. Jadi sebenarnya kalau dipikir-pikir, belum saatnya aku traveling lagi. Tapi yaaa gara-gara dia nanya aku malah jadi pengen ke suatu tempat lagi. Alamaak.

Saat sedang berpikir tiba-tiba aku ingat destinasi ini, Pantai Ora! Salah satu pantai terindah di Indonesia, tepatnya di Maluku, yang gambarnya sering banget muncul di media sosial. Wadawwww.. la ini! Wkwkwk..Aku segera cek harga tiket dari Surabaya ke Ambon disitus skyscanner, terpampang harga 1,3 jutaan sekali jalan. Masih okelah!

"Mau ke Pantai Ora nggak? Di Maluku. Tapi aku cuma bisa 3 harian, soalnya kepentok libur kantor" kataku menjawab chat Fredo.

"Gassss! Kabari kapan beli tiketnya." Jawab Fredo.

Hehehe.. jadilah begini. Aku yang sedang bermalas-malasan di kasur kos tiba-tiba udah harus hunting tiket pesawat, bikin itinerary, dan siap-siap berangkat di.....4 hari lagi! Ya.. semendadak inilah. Karena aku masih kerja kantoran, jadi cuma punya waktu di liburan akhir tahun aja.

Tiba-tiba aku kepikiran ngajak Arin juga, teman kantorku yang hobi traveling destinasi alam juga. Dia dengan mudahnya bilang,

"Yukkk berangkat kapan?"

Setelah mempertimbangkan jadwal tiket pesawat dan hari libur kita sejenak, aku jawab,

"Jumat 29 Desember yaa, kita otw dari Juanda. Nanti transit dulu malamnya di Makassar, lanjut terbang Ambon, sampainya 30 Desember jam 6 pagi," jawabku.

"Okee kabari ya mau beli tiket yang mana. Eh aku ajak mbakku ya," jawabnya lagi.

"Siaap rin, okey!" Kataku.

Beberapa saat kemudian, tiket Surabaya - Ambon - Surabaya telah kami pegang semua. Perjalanan yang cukup mendadak, tapi kalau nggak sekarang kapan lagi kan?

Bandara Juanda, Jumat 29 Desember 2017

Akhirnya hari ini datang juga. Hari keberangkatan kami berempat ke Ambon. Sore itu selepas pulang kerja, aku segera packing semua barang dan dibutuhkan dan sekitar jam 8 malam berangkat bareng sama Arin ke Bandara Juanda, Surabaya. Dibandara kami bertemu Fredo yang berangkat dari Jogja. Dari Bandara Juanda, kita bertiga akan sama-sama terbang ke Makassar, sementara mbaknya Arin - Mbak Hayu - terbang dari Jakarta langsung ke Makassar. Jadi kita berempat akan bertemu dan terbang sama-sama dari Makassar ke Ambon.

Penerbangan kami dari Surabaya menuju Makassar berlangsung dengan lancar. Selama 1 jam 20 menit, pesawat melaju mulus tanpa turbulensi berarti, membuat perjalanan terasa nyaman. Kami bertiga—aku, Arin, dan Fredo—tiba di Makassar sekitar pukul 00.30. Beberapa saat setelah itu, kami akhirnya bertemu dengan Mbak Hayu yang terbang dari Jakarta. Rasanya lega semuanya sudah berkumpul. Segera setelah bertemu dan berkenalan singkat (aku dan Fredo baru kenal Mbak Hayu disini), kami langsung menuju gate transit. Kami masih punya space waktu 2,5 jam sebelum boarding, dan kami gunakan sambil tidur-tidur ayam. Jangan ketiduran beneran, bahaya ketinggalan pesawat! Hehehe

Proses boarding akhirnya datang. Penerbangan awalnya berjalan dengan mulus dan minim guncangan, namun semakin kami terbang ke timur, situasi mulai berubah. Turbulensi yang cukup parah beberapa kali mengguncang pesawat. Guncangannya cukup kuat sehingga penumpang di sebelahku langsung reflek memegang tanganku yang sedang memegang gagang kursi, seperti mencari pegangan untuk menenangkan dirinya.

Suasana di dalam pesawat semakin tegang ketika seorang ibu di kursi belakang mulai berbisik lirih, "Yesus, Yesus," sambil berdoa. Semua orang di pesawat terlihat ketakutan, dan aku pun ikut merasa sedikit cemas.

Bagaimanapun, aku mencoba tetap tenang dan berharap pesawat segera stabil. Seluruh tubuh terasa tegang, dan detak jantungku pun seakan ikut berdetak lebih cepat. Dalam kondisi seperti itu, kita bisa merasakan betapa rapuhnya perasaan manusia saat dihadapkan pada ketidakpastian. 

Akhirnyaaaa kami mendarat dengan selamat di Bandara Pattimura, Ambon jam 06.00 WIT. Begitu turun dari pesawat, rasa lelah dan cemas itu terlupakan dengan semangat petualangan yang sudah menanti di depan mata. Begitu berjalan keluar bandara, kami ditawari mobil Avanza yang banyak stand by di depan Bandara untuk menuju langsung ke Pelabuhan Tulehu, seharga Rp 150.000/mobil. Sebenarnya kalau waktunya longgar bisa juga naik angkot dua kali, dengan rute Bandara Pattimura -Terminal Mardika, disambung angkot lainnya dari Terminal Mardika - Pelabuhan Tulehu. Karena kami mengejar speed boat yang jam 09.00 WIT (jadwal speedboat sehari ada 2x yaitu jam 09.00 WIT dan 16.00 WIT), kami memutuskan langsung charter Avanza tersebut, toh kami bisa iuran berempat. Jarak tempuh dari Bandara Pattimura ke Pelabuhan Tulehu dengan naik mobil charter Avanza sekitar 1 jam dengan medan perbukitan hijau yang subur, dengan bukit-bukit yang meliuk-liuk di sepanjang perjalanan. 

Sesampainya di Pelabuhan Tulehu, kami segera membeli tiket speed boat untuk menuju ke Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Ada dua loket di Pelabuhan Tulehu, satu loket untuk penjualan tiket kapal ke Pulau Saparua (Harganya Rp 65.000), satu loket untuk penjualan tiket kapal ke Pulau Seram (Harga Rp 115.000 sekali jalan untuk kelas ekonomi, Rp 260.000 untuk kelas VIP). Lama perjalanan dari Pelabuhan Tulehu ke Pelabuhan Amahai sekitar 4 jam. 

Jarak dari Pelabuhan Tulehu ke Amahai

NB: Pantai Ora dan Ambon itu masih jauh ya teman-teman. Ambon ada di Pulau Ambon, sementara Pantai Ora ada di Pulau Seram. Yap. Dua pulau yang berbeda. Jadi untuk menuju Pantai Ora teman-teman harus melakukan perjalanan darat dan laut.



Selesai beli tiket, sembari menunggu keberangkatan kami putuskan sarapan di warung yang banyak tersebar di pintu masuk Pelabuhan Tulehu. Harga makanan cukup bersahabat, antara Rp 20.000 sd Rp 25.000 sekali makan. Aku sendiri menikmati semangkuk soto ayam. Pas untuk melegakan tenggorokanku.

Sarapan di Pelabuhan Tulehu, Ambon

Jam 09.00 tepat, perjalanan kami menggunakan speedboat Express Cantika 88 menuju Pelabuhan Amahai dimulai. Menurut info yang kubaca, jarak antara Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon dan Pelabuhan Amahai di Pulau Seram sekitar 75 kilometer. Perjalanan menggunakan kapal cepat ini akan memakan waktu kira-kira 4 jam. 

Cuaca hari itu cukup bersahabat, tidak terlalu berangin dan gelombang laut juga cukup tenang, membuat perjalanan terasa lebih nyaman meskipun waktu tempuhnya cukup lama. Selama perjalanan, kami sempat mampir di beberapa pulau untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Masing-masing pulau memiliki suasana yang berbeda, ada yang dihuni oleh penduduk lokal yang sedang menunggu di dermaga kecil, ada pula yang sepi dan hanya terlihat rumah-rumah sederhana di tepian pantai. Setiap berhenti, kami bisa menikmati sejenak pemandangan pulau-pulau kecil yang dikelilingi air laut yang jernih.

Pelabuhan Amahai, Pulau Seram

Walau perjalanan terasa panjang, suasana yang tenang dan pemandangan yang indah membuat waktu terasa cepat berlalu. Kami akhirnya sampai Pelabuhan Amahai di Pulau Seram sekitar jam 1 siang. Bertanya-tanya singkat kepada petugas pelabuhan, kami diarahkan naik angkot yang banyak stand by di depan pelabuhan untuk menuju ke terminal di kota.  Di Pelabuhan Amahai banyak sekali supir yang menawarkan charter mobil pribadi untuk diantar sampai ke Desa Saleman sebagai titik pemberhentian terakhir sebelum Pantai Ora. Namun harganya gila-gilaan, satu mobil ditarif Rp 800.000. Kami menolak dan pilih naik angkot ke terminal kota. Siapa tau disana bisa dapat charteran mobil lebih murah. Tarif naik angkot Rp 5.000/orang.

Angkot dari Pelabuhan Amahai ke Kota Amahai

Sampai di Terminal di Kota Amahai, kita keluar terminal dan sudah banyak jasa charter mobil/jasa transportasi yang menawarkan mengantarkan menuju ke Desa Saleman di titik pemberhentian terakhir sebelum Pantai Ora. Ada dua pilihan, kalau mau naik tanpa charter, biayanya Rp 75.000/orang. Namun konsekuensinya, harus menunggu mobil sampai penuh dahulu. Kalau mau charter, biayanya Rp 500.000 sd Rp 600.000/mobil/sekali jalan. Karena kita hanya berempat dan tidak nampak traveler lainnya yang kelihatan, kita memutuskan charter.

Charter mobil menuju Desa Saleman

"Ini lebih baik kita mampir makan siang dulu aja ya kak. Soalnya nanti di sepanjang jalan sudah tidak ada warung kak," kata om sopir.

"Siaap pak."

Akhirnya kita dimampirkan makan siang dahulu di sebuah warung jawa di Amahai. Setelahnya perjalanan pun berlanjut. Lama perjalanan dari Kota Amahai ke Desa Saleman sekitar 2 jam dengan kondisi jalan yang cukup bagus, namun berkelak-kelok ala pegunungan dan kanan kiri berupa hutan belantara.
Kondisi jalan dari Amahai ke Desa Saleman

 Hutan di samping kanan dan kiri jalan

Sebelum tiba di Desa Saleman, perjalanan kami melewati jalanan berliku yang dihiasi pemandangan alam luar biasa. Di salah satu titik, om sopir tiba-tiba memperlambat mobil dan berkata, “Kita berhenti sebentar ya, biar kalian bisa foto disini. Di kejauhan itu Pantai Ora."

Salah satu spot foto ketika mendekati Desa Saleman. Di kejauhan itu adalah Pantai Ora

Dari sini saja, aku langsung terpana dengan pemandangan yang terbentang luas. Di kejauhan, tebing-tebing hijau menjulang tinggi, seolah memeluk garis pantai dengan megah. Gradasi warna hijau dari hutan yang lebat menyelimuti lereng-lerengnya, menciptakan kesan alami yang tak terjamah.

Tepat di bawah tebing, lautan biru yang tenang membentang luas, memantulkan warna langit yang cerah meski sedikit berawan. Kontras antara hijaunya pepohonan, birunya laut, dan bayangan tebing yang gelap menjadikan pemandangan ini seperti lukisan yang hidup. Semak-semak hijau segar di tepi jalan memberikan bingkai alami untuk panorama ini. Udara di sini terasa sejuk, dengan aroma khas hutan dan laut bercampur menjadi satu.

"Waahh bagus. Nggak sabar aku turun kesana," kataku ke om sopir.

"Iya kak tinggal dekat aja ini. Turun udah sampai Desa Saleman. Dari situ nanti naik kapal kalau mau ke Desa Mata Air Belanda atau Pantai Ora. Nanti saya kenalkan teman saya."

Jadi karena di perjalanan ini kami belum ada rencana mau menginap dimana, om sopir bilang akan mangenalkan kami ke temannya pemilik boat di Desa Saleman. Karena aku request penginapan yang ga terlalu mahal, om sopir bilang akan pesan ke pemilik boat untuk mengantarkan kami di penginapan dekat Desa Mata Air Belanda.

Dari sini, kami melanjutkan melajukan mobil terus ke bawah sampai mendekati pelabuhan yang ternyata merupakan Desa Saleman yang bisa dibilang merupakan pintu gerbang ke surga kecil di Maluku Tengah. Sesaat turun dari kendaraan, pemandangan spektakuler langsung menyambut kami. Lautnya berwarna biru kehijauan, begitu jernih hingga dasar air terlihat jelas. Di kejauhan, perbukitan menghijau berdiri kokoh, seolah melindungi desa ini dari hiruk-pikuk dunia luar.



"Waaah bagus banget," kata Arin setengah kegirangan.

"Ayok foto-foto," kata Fredo tak kalah semangat.


Memang secantik itu sih. Huhuhu....

Di sepanjang dermaga kecil, deretan kapal-kapal kayu tertambat rapi, siap mengantar para pengunjung ke destinasi populer seperti Pantai Ora. Suasana desa ini terasa hidup dengan keramahan penduduk lokal yang menawarkan jasa perahu, sambil sesekali berbincang santai dengan sesama pengemudi kapal.



Om sopir ternyata sudah mengatur segalanya. Kami diajak bertemu dengan seorang pemilik perahu, kenalannya, yang akan membawa kami menyeberang ke penginapan di Desa Mata Air Belanda.

"Ini nanti biayanya sewa per-perahu 750ribu. Itu sudah termasuk pengantaran dari sini ke Desa Mata Air Belanda. Kemudian dari situ kalian bisa mengunjungi Tebing Sawai. Kemudian besok ke resort ora dan sekitarnya, diantarkan pulang ke Desa Mata Air Belanda, kemudian kembali lagi kesini. Nanti akan saya jemput lagi untuk kembali ke Pelabuhan Amahai," kata om sopir menjelaskan dengan detail.

Proposal yang sangat menarik. Kami terima tanpa berpikir panjang, karena yah itulah fungsinya traveling berberapa orang. Kisa bisa sharing biaya sehingga bisa lebih hemat.

Saat menunggu perahu disiapkan, semilir angin laut dan suara ombak kecil menjadi irama yang menenangkan, melengkapi keindahan tempat ini. Saat perahu perlahan melaju meninggalkan dermaga Desa Saleman, aku benar-benar tambah terpukau oleh pemandangan laut dan tebing di sekitar. 


Airnya begitu tenang, seolah permukaannya adalah kaca besar yang memantulkan langit biru. Kejernihannya memukau—karang-karang di dasar laut terlihat jelas meskipun kami berada di atas perahu. Sapuan ombak yang ringan membuat perjalanan terasa damai, seolah alam sedang menyambut kami dengan kehangatan.

Sekitar 20 menit di atas air, kami akhirnya tiba di Desa Mata Air Belanda, yang dari sebelum berlabuh aja sudah memberikan kesan kedamaian yang mendalam. Kami menginap di dua cottage kecil yang sederhana namun nyaman, dengan suasana tenang yang menyatu dengan alam. Kami memesan 2 cottage, dimana harga per kamarnya adalah Rp 300.000, dan karena disini tidak ada warung, kami sekalian mengambil paket makan malam dan makan siang untuk besok. Harganya permakan tidak murah, 50rb/porsi. Tapi itu sangat dimaklumi melihat medan yang untik mengirim apa-apa harus dengan kapal.

Sesuai nama desanya, Desa Mata Air Belanda, ternyata du belakang cottage kami mengalir sungai jernih yang sumber airnya ternyata adalah mata air di pegunungan. Jadi bisa ditebak, airnya begitu jernih, dingin, dan segar. Suaranya yang mengalir memberikan ketenangan, menjadi latar sempurna untuk bersantai dan mengapresiasi anugerah alam di Maluku ini. Sungai ini menjadi sambutan pemandangan istimewa—mengalir dengan tenang di antara pepohonan rindang sebelum berlabuh di laut. Suaranya yang mengalir memberikan ketenangan, menjadi latar sempurna untuk bersantai dan mengapresiasi anugerah alam di Maluku ini.

Setelah check-in di cottage, bapak pemilik perahu menanyakan apa kami mau ke salah sayu destinasi sore ini, yaitu Tebing Sawai. Kami langsung menyetujui, toh waktu masih menunjukkan jam 4 sore. Dengan semangat, kami setuju dan segera naik perahu kembali. Perjalanan ke Tebing Sawai memakan waktu sekitar 20 menit. Saat perahu mulai mendekati tebing, pemandangan yang terhampar benar-benar memukau. Tebing-tebing tinggi menjulang megah, dengan dinding batu karang yang kokoh dihiasi tumbuhan hijau yang tumbuh alami di sela-selanya. Laut di bawahnya berwarna biru bersih, begitu jernih sehingga dasar laut yang dangkal terlihat dengan jelas. 

Angin laut yang sejuk dan sapuan ombak kecil semakin menambah kesan damai tempat ini. Di beberapa titik, tebing-tebing tersebut membentuk ceruk-ceruk kecil, menciptakan bayangan yang menambah dramatisasi pemandangan.

Kami sempat berhenti sejenak untuk menikmati momen ini, hanya suara burung dan gemuruh lembut ombak yang menemani. Rasanya seperti berdiri di depan karya seni alam yang sempurna, sebuah mahakarya yang membuat siapa pun terpesona. 

Begitu perahu berhenti di dekat Tebing Sawai, tanpa menunggu lama aku dan Fredo langsung nyebur ke air. Bagaimana tidak? Pemandangan laut biru jernih yang menggoda itu seperti memanggil-manggil untuk dijelajahi.

Saat menyentuh air, sensasinya begitu menyegarkan. Dengan kejernihan air yang luar biasa, berenang di sini terasa seperti melayang di atas akuarium alami. Karang-karang di bawah air terlihat jelas, dihiasi ikan-ikan kecil berwarna-warni yang berenang bebas di antara celah-celahnya.

Tebing tinggi di sekeliling kami semakin menambah kesan magis. Bayangannya yang jatuh ke permukaan air menciptakan kontras yang indah dengan warna biru kehijauan laut. Sambil berenang, aku sesekali menengadah ke arah tebing, mengagumi bagaimana alam bisa menciptakan sesuatu yang begitu sempurna.

Fredo, dengan penuh semangat, berenang lebih jauh mendekati dinding tebing. Aku mengikuti, tak ingin kehilangan momen ini. Dari dekat, tebing itu terlihat lebih mengesankan, dengan detail permukaannya yang kasar dan tanaman-tanaman hijau yang menempel di sela-sela celahnya.

Kami berenang hingga lupa waktu, hanya menikmati keajaiban alam yang begitu memanjakan mata dan jiwa. Rasanya seperti berada di dunia lain—sebuah tempat di mana keindahan dan kedamaian berpadu menjadi satu. Tebing Sawai bukan hanya tempat untuk dilihat, tapi juga untuk dirasakan dan dihayati. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupakan.

12.31.2024

[5] Nusa ROTE : Ketemu Pandu, Kak Rillen dan Kak Inda di Kupang (Finished)

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Aku dengan Kak Rillen, temannya, Kak Inda, Yanto dan anak-anak Kak Inda

Keesokan harinya aku dan Richa naik kapal Express Bahari pagi dari Rote ke Kupang. Ya, hari ini kami sudah harus kembali ke Kupang karena lusa pagi kita sudah harus kembali ke Surabaya. Yaa kembali ke rutinitas. Bekerja😭😭.

Menaiki kembali kapal Bahari Express 1C, kami sampai Kupang lagi, tepatnya rumahnya Budhenya Richa di siang hari. Sudah tidak ada agenda atau tempat yang akan kami kunjungi lagi di Kupang, jadi siang itu sampai sesorean aku istirahat, sementara Richa terlihat berinteraksi lebih maksimal dengan Budhenya.

Sorenya, aku pamit ke Richa dan Budhenya karena mau ada acara ketemuan dengan Pandu, teman KKN-ku waktu kuliah yang sekarang sedang di NTT dan Kak Rillen, teman FB-ku dari Kupang. Ane udah berteman dengan Kak Rillen cukup lama, sejak 2012 tepatnya. Perkenalan pertamaku dengan Kak Rillen, seingatku dia bertanya-tanya tentang India lewat messenger karena dia ada rencana mau kesana. Dia menghubungiku karena aku banyak nulis tentang India di blog mulai dari cara bikin visanya, pengalaman disana, dan tips trik selama disana. Aku, Pandu dan Kak Rillen rencana akan ketemuan di Cafe Subasuka.

Sore itu, Pandu dan Yanto (temannya dari desa KKN) datang tepat waktu seperti yang sudah kami rencanakan. Kami memulai pertemuan dengan mengobrol santai dan menikmati hidangan di sebuah Cafe Subasuka, sebuah cafe tepi laut yang sederhana tapi nyaman. Awalnya, kami duduk di kursi-kursi kayu yang berada di sebuah gubuk kecil di tepi laut. Suasana begitu syahdu—deru ombak yang tenang berpadu dengan angin laut yang lembut, menciptakan suasana yang benar-benar santai. Tapi, tak lama kemudian, langit berubah gelap, dan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun.

Kami berusaha tetap santai meski hujan semakin menggila. Namun, tak hanya hujan yang mengguyur, petir pun mulai menggelegar. Suaranya menggema tanpa ampun, memecah keheningan sore itu. Aku mulai merasa tidak nyaman. Gubuk kecil tempat kami duduk persis di tepi laut dan dekat dengan sebuah pohon. Pikiranku mulai dihantui kekhawatiran: bagaimana jika petir menyambar?

Duaar....! Lagi-lagi petir menyambar dengan begitu kerasnya di langit.

"Pindah kedalam aja yuk guys, takut aku," kataku semakin kuatir.

Kami pun akhirnya memutuskan untuk berpindah ke bagian dalam cafe. Meskipun kehilangan pemandangan laut yang indah, kami tetap melanjutkan cerita-cerita kami di meja kayu yang hangat di dalam ruangan. Hujan deras yang mengguyur atap seng cafe menciptakan suara gemuruh yang anehnya terasa menenangkan. Obrolan kami terus mengalir, sesekali diselingi tawa. Hujan di luar terasa seperti irama yang menemani sore kami.

Cafe Subasuka tempat kami bertiga berbagi cerita

Kami bercerita banyak, terutama aku dan Pandu karena kita lama tidak ketemu. Kita pernah melaksanakan KKN bareng di Atambua di Juli-Agustus 2023

Ngemil-ngemil..

Akhirnya setelah amukan hujan lumayan berhenti, kita berpindah ke Cafe Basement akhirnya ketemu Kak Rillen di cafe tersebut. Saat itu Kak Rillen datang sama temennya. Entah kenapa meskipun baru pertama ketemu, obrolan kita langsung nyambung. Orangnya sangat friendly dan baik, seakan-akan kita udah kenal langsung lama. Kita menghabiskan waktu 1.5 jam di cafe dengan cerita-cerita sebelum akhirnya bergeser ke rumah Kak Inda.

Nongkrong bareng..

Aku dan Pandu

Suasana Cafe Basement, Kota Kupang, di malam 12 Desember 2016

Oiya, siapa Kak Inda? Kak Inda adalah salah satu temanku asal Kupang. Perkenalan kami terjadi secara tak langsung, melalui Kak Rillen yang tampaknya tahu bahwa aku sering transit di Kupang. Semua ini berawal dari bulan Juli-Agustus 2013, ketika aku pernah KKN di Atambua, NTT. Masa KKN itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam hingga proses move on-nya memakan waktu panjang. Saking seringnya aku bolak-balik NTT, khususnya Pulau Timor, Kak Rillen mengenalkanku dengan Kak Inda, seorang teman yang ternyata juga memiliki hobi traveling.

Ketika akhirnya bertemu, aku dan teman-temanku disambut dengan sangat hangat di rumah Kak Inda. Rumahnya begitu dipenuhi kehangatan keluarga. Saat itu, Kak Inda memiliki dua anak kecil yang sangat menggemaskan. Salah satunya adalah Dek Raya, yang sempat kugendong selama kami berada di sana.

Kami duduk bersama, berbicara banyak hal, dan berbagi cerita selama hampir satu jam. Meski singkat, pertemuan itu terasa begitu berarti. Kak Inda menunjukkan keramahtamahan khas Kupang yang membuatku merasa seperti berada di rumah sendiri.

Setelah pertemuan itu, aku semakin yakin bahwa teman-temanku dari Kupang adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka tidak hanya ramah, tetapi juga membuat siapa pun merasa diterima dengan tulus. Itulah salah satu alasan mengapa aku selalu senang kembali ke NTT, ke tempat yang penuh kenangan indah dan persahabatan sejati. 

Setelah obrolan hangat dan cerita-cerita yang tak terasa memakan waktu lama, kami akhirnya harus berpamitan dari rumah Kak Inda. Waktu menunjukkan pukul 12 malam ketika kami berpisah. Pandu, seperti biasa, dengan baik hati mengantarkanku kembali ke rumah Budhe-nya Richa.

Esok paginya, aku dan Richa terbang kembali ke Surabaya dengan jadwal pesawat jam 5 pagi. Penerbangan pagi itu terasa seperti transisi yang singkat namun tajam dari suasana hangat NTT menuju rutinitas kehidupan kota. Setibanya di Surabaya, kami langsung bergegas menghadapi realitas—kembali bekerja, hehehe.

Meskipun begitu, kenangan manis dari perjalanan ini tetap melekat. Ia menjadi semacam pengingat bahwa sesekali, jauh dari rutinitas, selalu ada pengalaman berharga yang menghangatkan hati. Terimakasih Pulau Rote!

Finished..

[4] Nusa ROTE : Biru Kristal Pantai OESELI, Bukit Mando'o dan Bukit Termanu !

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Pantai Oeseli, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur

Semburat matahari mulai mengintip di ufuk timur, perlahan mengusir gelap malam. Kokok ayam pagi hari menggema, membangunkan desa dari tidurnya.  Aku bangun dari tidur dengan cukup segar. 'Mungkin bisa lihat sunrise', pikirku sambil menguap dan bersiap-siap mengangkat tubuh dari kasur. Kulihat Richa di kasurnya juga sudah bangun dan sedang bermain handphone.

Aku buka pintu kamar dan disambut dengan udara pagi pantai yang sejuk dan sedikit dingin. Oh, rupanya aku terlambat, matahari sudah terbit. Pagi ini suasana di pantai begitu sepi dan damai. Hanya terdengar suara deburan ombak kecil yang pecah perlahan di garis pantai. Angin lembut berhembus, membawa aroma laut yang khas. Aku berjalan perlahan menuju pantai di belakang penginapan, ingin menikmati momen damai ini dengan penuh kesadaran.

Suasana pagi hari di Pantai Nemberala yang sangat damai dan tenang

Suasana pagi hari di Pantai Nemberala yang sangat damai dan tenang

Aku berdiri memandang ke arah laut yang membentang luas, permukaannya berkilau terkena cahaya matahari yang perlahan naik. Di kejauhan, beberapa perahu kecil bergoyang pelan, terombang-ambing mengikuti ritme ombak. Pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pinggir pantai terlihat bergoyang perlahan tertiup angin.

Sedikit demi sedikit, matahari mulai meninggi, menyinari pasir putih dan laut biru Nemberala yang semakin memancarkan keindahannya. Setelah menikmati sesi pagi yang sangat mendamaikan, aku segera bersih-bersih untuk bersiap cari sarapan. Rencana aku dan Richa akan eksplorasi area Pantai Nemberala lebih jauh sebelum check out dan melanjutkan perjalanan.

Halaman belakang Hotel Tirosa yang menghadap Pantai Nemberala. Saat itu aku masih bermimpi ingin mengunjungi Hawai'i, aku membatin apa kayak gini ya halaman belakangnya kalau punya rumah di Hawai'i? Hehehe..

Damai..tenang..tanpa gangguan..

Pagi itu selesai sarapan, kami berjalan menyusuri garis pantai, menikmati segarnya terpaan air laut di telapak kaki. Laut disini airnya begitu jernih, memperlihatkan dasar berpasir dengan sesekali pecahan karang kecil di dalamnya. Pohon-pohon kelapa yang berjajar di tepi pantai terlihat meliuk melambai tertiup angin. Meskipun pemandangan masih diganggu oleh satu hal, sampah kiriman! Hampir di sepanjang tepi pantai yang kami telusuri masih diganggu oleh sampah kiriman.

Di sepanjang pesisir Pantai Nemberala banyak ditanam pohon kelapa

Kapal nelayan

Kapal nelayan yang masih tertambat. 

Gradasi air laut Pantai Nemberala

Setelah berjalan kurang lebih 200 meter dari hotel, kami menemukan sebuah spot pantai yang gradasi biru lautnya benar-benar cantik. 

"Wah baguus cha! Yuk cha takfotoin," kataku. Kami bergantian mengambil foto disini karena laut disini benar-benar secantik itu.

Gradasi air laut Pantai Nemberala

Saat melanjutkan langkah, aku melihat di sepanjang tepi pantai, terlihat banyak warga menjemur daun kelapa di sepanjang pantai. Setelah aku browsing, ternyata menjemur daun kelapa sampai kering merupakan salah satu aktivitas tradisional yang sering dilakukan oleh masyarakat Pulau Rote. Daun kelapa itu sendiri setelah kering biasa digunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti anyaman tikar (digunakan untuk keperluan rumah tangga atau upacara adat), tas atau topi tradisional (sering dijual sebagai cendera mata bagi wisatawan atau digunakan sendiri), atap rumah tradisional (alang-alang). Selain itu daun kelapa kering adalah bahan bakar alami yang sering digunakan untuk memasak di dapur tradisional maupun bahan bakar untuk mengolah gula aren atau minuman tradisional seperti moke. Karena melimpah dan mudah terbakar, ini menjadi pilihan ekonomis bagi masyarakat lokal.

Daun kelapa banyak dijemur di sepanjang pesisir Pantai Nemberala

Setelah puas hunting foto, sekitar pukul 9 pagi, kami check-out dari penginapan dan mulai mengarahkan motor ke tujuan selanjutnya: Pantai Oeseli. Pantai ini berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Nemberala dan memakan waktu sekitar 45 menit berkendara. Perjalanan menuju Oeseli menunjukkan sisi selatan Pulau Rote yang pemandangannya didominasi oleh hamparan hijau subur dengan pohon dan rerumputan, serta area gersang yang dipenuhi semak-semak kering. Jalanannya sendiri sebagian besar cukup mulus. Di sisi jalan, kami sering kali melewati kawanan ternak—sapi dan kambing yang asyik merumput dan mencari makan di padang rumput luas.

Pemandangan di sepanjang jalan Nemberala - Bukit Mando'o

Karena ini Bulan Desember pada beberapa bagian selatan Pulau Rote terlihat menghijau subur

Dari hamparan hijau subur dan padang gersang, pemandangan mulai didominasi oleh pohon kepala yang tumbuh menjulang tinggi. 'Wah.. udah deket nih kayaknya,' batinku. Motor kulajukan di jalanan yang semakin sepi dan sepi, dan akhirnya aku memasuki sebuah jalan kecil yang menuju ke laut. Dan tiba-tiba terbentanglah salah satu pantai terindah di hidupku...

Akses jalan masuk Pantai Oeseli

Pantai Oeseli..Oh my God, I have never seen pantai seindah dan seluas ini. Airnya biru jernih seperti kristal, memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Garis pantainya dihiasi pasir putih lembut. Dan sewaktu aku mendekat... Hmmmm... Ternyata pantainya dangkal sekali, arus tenang. Gelombang laut terlihat hanya membentuk riak-riak kecil. 

Pantai Oeseli... indahnya..

“Wihh baguss banget pantainya Cha” kataku sambil mematikan mesin motor.

Richa mengangguk sambil mengabadikan pemandangan dengan kameranya. Memang tidak dipungkiri, siapa saja yang pertama kali mengunjungi pantai ini pasti merasa amazed!

Salah satu sudut Pantai Oeseli yang terlihat ditumbuhi bakau namun tetap cantik

Saking terpesonanya dengan biru kristal dan beningnya air laut di Pantai Oeseli, aku tak tahan untuk tidak menceburkan diri. Setelah menaruh barang-barang di bawah pohon kelapa, aku segera mengganti pakaian dan berlari kecil ke arah air. Rasanya sejuk di tengah teriknya matahari siang Pulau Rote. Sementara itu, Richa memutuskan untuk tidak ikut berenang. Ia memilih bersantai di bawah pohon, mendengarkan musik favoritnya sambil menikmati semilir angin pantai. It's no problem karena setiap orang mempunyai caranya masing-masing untuk menikmati suasana.

Aku berenang sambil tetap was-was takut keberadaan buaya

Meski menikmati berenang, aku tak bisa sepenuhnya rileks. Ada rasa khawatir yang menghantui, terutama saat membayangkan kemungkinan munculnya buaya. Aku cukup sering ke NTT terutama Pulau Timor, dan salah satu issue paling utama di pantai-pantainya adalah keberadaan buaya yang masih sering mengancam. Buaya-buaya tersebut datang dari rawa ke pantai untuk mencari sumber makanan tentunya, dan yang kudengar, sudah ada beberapa kasus penyerangan manusia oleh buaya di pantai. Pemikiran tersebut membuatku cukup kawatir dan hanya berenang di sekitar tepian pantai saja.

Setelah puas bermain air, aku segera naik. Udara hangat segera mengeringkan kulitku, dan aku duduk sebentar di atas pasir, menikmati pemandangan sambil memandangi laut lepas. Sebelum bersiap menuju destinasi berikutnya, aku menyempatkan diri berburu foto-foto indah. Namun, di sela-sela aktivitas memotret, aku menyadari betapa pentingnya menikmati keindahan ini dengan mata dan hati. Kamera bisa menangkap gambar, tapi hanya mataku yang bisa menyimpan kesan mendalam dari suasana ini.

Semua sudut Pantai Oeseli cantik

Gradasi warna air laut di Pantai Oeseli. Bagian yang berwarna biru muda itu bawahnya berupa pasir laut berwarna putih yang lembut

Saat kami hendak berkemas, kami bertemu dengan dua traveler yang baru saja tiba di pantai. Salah satunya adalah orang Indonesia, dan yang satunya lagi seorang bule. Mereka datang dengan motor, lengkap dengan perlengkapan camping yang terikat di belakang.

“Wah, kalian camping di sini?” tanyaku.

“Ya, sudah semalam di sini. Kami lagi roadtrip keliling NTT,” jawab si traveler Indonesia dengan senyum lebar. Ia bercerita tentang perjalanan mereka yang penuh petualangan, dari pantai ke pantai, gunung ke gunung, dan desa ke desa. Mereka tampak begitu menikmati perjalanan. Yaa nggak heran sih, roadtrip, apalagi di NTT (salah satu provinsi dengan pemandangan alam terbaik di Indonesia) merupakan dambaan setiap traveler yang hobby jalur darat.

“Pantai Oeseli ini salah satu favorit kami sejauh ini. Sepi, bersih, dan indah banget,” tambah si traveler sambil memandang laut.

"Can't agree more," kataku menyetujui.

Aku dan Richa mengobrol sebentar dengan mereka sebelum akhirnya berpamitan. Aku senang membuat memori dengan mengunjungi pantai ini. Disini aku benar-benar merasakan kedamaian. Waktu seolah berhenti, memberikan ruang untuk menikmati keindahan alam tanpa gangguan.

Kami melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya: Bukit Mando’o. Dari Pantai Oeseli, perjalanan menuju Bukit Mando’o memakan waktu sekitar 40 menit dengan jarak kurang lebih 15 kilometer. Jalan yang kami lalui cukup beragam—ada yang mulus beraspal, ada juga yang masih berbatu. Pemandangan sepanjang perjalanan tetap memanjakan mata. Pohon kelapa melambai-lambai di tepi jalan, beberapa sapi dan kambing terlihat merumput di ladang, dan di beberapa tempat, rerumputan yang gersang mengingatkan betapa panasnya cuaca Rote. Kami akhirnya tiba di tempat parkir Bukit Mando’o, yang ternyata merupakan pintu masuk untuk mendaki ke puncak bukit. Dari sini, perjalanan belum selesai. Kami harus trekking menaiki anak tangga yang cukup banyak untuk mencapai puncaknya. Trekking ini menjadi tantangan tersendiri karena matahari sedang terik-teriknya. Keringat langsung membanjiri tubuh, dan nafas mulai terengah-engah saat kami terus menaiki anak tangga yang tampak tak ada habisnya. Namun, semangat untuk melihat pemandangan dari atas membuat kami terus melangkah.

Naik tangga sambil dipanggang matahari ke Bukit Mando'o

Setelah sekitar 20 menit mendaki, akhirnya kami tiba di puncak Bukit Mando’o. Dari atas bukit, kami bisa melihat hamparan laut biru yang tak berujung, pulau-pulau kecil di kejauhan, serta garis pantai yang membentang panjang. Angin yang berhembus kencang di puncak memberikan kesejukan di tengah panasnya matahari. Di atas puncak, ada cukup banyak orang yang sedang menikmati pemandangan, berfoto, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon kecil yang memberikan sedikit naungan.  

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o. Siang hari disini terasa sangat panas.

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o

Puas menikmati keindahan Bukit Mando’o, kami duduk lebih lama untuk beristirahat di sebuah lopo—gazebo tradisional yang ada di puncak bukit. Di sana, aku beristirahat sambil mengobrol dengan beberapa sesama traveler yang juga sedang menikmati suasana. Percakapan ringan, mulai dari destinasi-destinasi di Rote hingga pengalaman unik masing-masing saat menjelajah pulau ini. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dari laut membantuku mengembalikan tenaga setelah trekking tadi. 

Setelah merasa cukup segar, kami bersiap berkendara kembali ke arah Pelabuhan Ba’a. Perjalanan pulang terasa lebih santai, karena sudah tidak ada destinasi wajib yang ingin kami kunjungi lagi sebelum kepulangan besok ke Kupang. Target kami hanya ingin segera cari makan, check in hotel dan beristirahat. Capek juga rasanya karena disepanjang jalan kita benar-benar dipanggang matahari Pulau Rote.

Tapi mencari warung makan (halal) yang buka di sepanjang rute Bukit Mando'o - Pelabuhan Ba'a tidak semudah itu. Susaaah... dan bahkan hampir nggak ada. Kenyataan itu membuatku harus menahan lapar yang cukup menyiksa selama 2 jam-an, sembari tetap mengatur fokus mengendarai motor. Sewaktu hampir sampai kota akhirnya kami menemukan warung makan Jawa yang jualannya cukup lengkap. 'Wahhh akhirnyaaa...' kataku dalam hati. Aku langsung memesan nasi gulai kambing dan segelas es teh manis. Wuahhh benar-benar seger di cuaca yang seterik ini.

Setelah menyantap nasi gulai kambing yang cukup mengenyangkan, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel yang sudah kubooking sebelumnya untuk check-in dan beristirahat. Cuaca yang cukup panas dan badan yang capek membuat kami ingin segera tiduran beristirahat sambil nyalakan AC.

Sorenya sewaktu sedang koordinasi untuk pengembalian motor, Kak Eman tiba-tiba mengajak kami ke satu destinasi lagi untuk menikmati sunset.

"Yuk sore ini kita hunting sunset di Bukit Termanu. Bagus disana kak," pesan Kak Eman di WA.

"Wah siap yuk kak," balasku.

Sekitar jam 4 sore, kami dijemput di hotel oleh Kak Eman dan dengan 2 motor kita berangkat ke Bukit Termanu. Begitu tiba di Pantai Batu Termanu, kami disambut oleh pantai sangat bersih dan tenang yang dibalut oleh langit senja. Ombak yang datang pecah perlahan membuat suasana semakin damai. 

Senja di Pantai Bukit Termanu

Aku, Kak Eman dan temannya

Setelah menikmati keindahan pantai, kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Termanu. Perjalanan mendaki bukit tidak terlalu lama, dengan pemandangan yang semakin spektakuler seiring kami semakin mendekat ke puncak. Begitu sampai di atas, kami melihat sebuah salib besar yang terletak di puncak bukit, menjadi simbol yang sangat ikonik di sana. 

Pemandangan mendaki ke puncak Bukit Termanu

Pantai Bukit Termanu dari puncak Bukit Termanu. Indah..tenang..luas..

Bukit Termanu..

Salib ini sering dikunjungi oleh mereka yang ingin berdoa atau sekadar merenung. Bukit Termanu juga sering menjadi lokasi kegiatan keagamaan, seperti misa atau perayaan-perayaan tertentu, menjadikannya tempat yang memiliki makna spiritual bagi banyak orang.


Pemandangan senja dari puncak Bukit Termanu

Kami duduk sejenak, menikmati sunset yang begitu memukau. Langit yang bergradasi dari oranye ke merah menyatu dengan pemandangan laut yang tenang, menciptakan pemandangan yang memorable yang bisa kukenang sampai hari ini.

Langit yang spektakular..

Langit telah menggelap saat kami berjalan turun kembali ke parkiran motor. Tak terasa juga perut mulai kembali merasa lapar.. hehehe.. duuh lapar terus disini. Ikan bakar adalah makanan yang langsung tercetus di otakku.

"Kak disini ada warung yang jualan ikan bakar? Kalau ada kita kesana yuk sekalian makan malam sebelum pulang," tanyaku.

"Ada kak. Tapi mending kita beli ikannya aja kak di pasar jadi masih seger. Nanti kita bakar sama-sama di basecamp," jawab Kak Eman.

"Wah boleh kak siaap. Oya sebelum ke pasar kita bisa mampir ke toko oleh-oleh dulu kak? Aku mau beli beberapa syal."

"Iya bisa kak," jawab Kak Eman.

Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat oleh-oleh terlebih dahulu, tempat di mana kami membeli beberapa buah tangan sebagai kenang-kenangan. Aku memutuskan untuk membeli beberapa syal yang rencana akan kujual lagi. Setelah itu, kami menuju pasar untuk membeli ikan. Kami memilih ikan kakap merah besar, berwarna kemerahan dan tampak sangat segar. Perjalanan berikutnya mengarah ke basecamp tempat kami akan bakar-bakar ikan. Suasana semakin malam, dan kami mulai menyiapkan peralatan untuk membakar ikan sambil bercerita dan tertawa. Momen ini terasa begitu hangat dan penuh kebersamaan, seperti layaknya sebuah keluarga. 

Bakar-bakar ikan dengan Kak Eman cs

Malam itu terasa sangat spesial. Selain menikmati hidangan ikan bakar yang lezat, kami juga merasakan kebersamaan yang hangat. Secara personal aku berpikir sebuah perjalanan tidak hanya untuk mencari tempat indah dan eksotis, tapi sekaligus mencari saudara baru di sepanjang jalan. Selama jalan di Kupang dan Rote selama 4 hari, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang baik. Semuanya akan kuingat dan kukenang. Terkadang hanya mengobrol, terkadang bertukar kontak.

Kebersamaan..

Akhirnya, kebersamaan itu harus berakhir karena besok kami sudah harus kembali ke Kupang. Sekitar jam 11 malam, aku dan Richa memutuskan untuk kembali ke hotel untuk istirahat. Perjalanan panjang dan pengalaman indah di Pulau Rote sudah hampir berakhir, namun kenangan tentang suasana malam itu, dengan kehangatan dan kebersamaan, akan selalu teringat.

Part Setelahnya : Disini