Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.22.2024

[3] Journey to Ternate : Snorkeling di Pantai Bobaneheha dan Terombang-Ambing di Ganasnya Laut Halmahera

Ternate, 29 April 2018

Hari ketiga di Ternate.. Well, sebenarnya ini juga menjadi hari kepulanganku karena pesawatku ke Surabaya dijadwalkan take off jam 4 sore ini. Tapi sebelum aku bersantai-santai untuk siap pulang, ternyata Kak Ai masih punya rencana besar untuk hari ini.

"Hari ini kita ke Jailolo ya, nyebrang ke Pulau Halmahera. Nanti kita snorkeling di Pantai Bobaneheha. Disana terumbu karang sama ikannya bagus banget!"Kata Kak Ai.

Aku yang di perjalanan ini ga ada rencana apapun, dan sejak hari pertama mempasrahkan rencana perjalanan sepenuhnya ke Kak Ai ya oke-oke saja wkwkwk...Aku berpikir Kak Ai kan udah tau jadwal kepulanganku nanti sore, pasti dia bisa mengatur waktu dengan baik kapan kita harus pulang kembali ke Ternate. Karena kalau menuju Pulau Halmahera artinya, kita akan berpindah pulau. Kita akan naik kapal speedboat dari Pelabuhan Ahmad Yani Ternate ke Pelabuhan Jailolo yang akan menempuh 1 jam perjalanan laut.

Pagi hari jam 7.30 Kak Ai sudah menjemput. Hal pertama yang kita lakukan adalah mencari sarapan. Pagi itu Kak Ai mengajakku sarapan nasi kuning khas Ternate. Well, selain pisang goreng sambal, nasi kuning juga merupakan salah satu makanan khas Ternate. Bedanya dengan daerah lain adalah, disini lauk nasi kuningnya menggunakan suwiran ikan cakalang pedas. Rasanya jangan ditanya... hmmmm... enyaaak! Aku bener-bener puas dengan semua kuliner yang kujajal disini.

Selesai makan, kami segera menuju Pelabuhan Ahmad Yani untuk naik speedboat ke Jailolo. Suasana pelabuhan benar-benar hidup. Suara mesin perahu bercampur dengan teriakan para penjual yang menawarkan berbagai dagangan, mulai dari makanan kecil hingga buah-buahan segar. Orang-orang tampak sibuk memindahkan barang-barang ke perahu, sementara beberapa wisatawan seperti kami menunggu giliran naik. Cuaca pagi itu meskipun sedikit mendung namun masih cukup kondusif.

R
Rute dan Jarak Pelabuhan Ahmad Yani Ternate ke Pelabuhan Speedboat Jailolo

Angin laut yang segar menyapa kami begitu speed boat mulai bergerak. Perjalanan melintasi lautan biru itu menyenangkan meski sesekali ada hentakan kecil karena ombak. Setibanya di Jailolo, kami menyewa bentor (becak motor) untuk menuju Pantai Bobaneheha. Perjalanan dengan bentor memberikan kesempatan untuk menikmati pemandangan desa-desa di Halmahera yang masih asri dan alami.

Pantai Bobaneheha ternyata cukup sepi ketika kami tiba, mungkin karena masih pagi. Sebuah resort baru tampak berdiri di tepi pantai, menambah kesan eksklusif di tempat ini. Pasir putih yang lembut berpadu dengan air laut yang begitu jernih, membuat aku langsung tak sabar untuk snorkeling.

Kak Ai, yang selalu sigap membawa perlengkapan snorkeling, mengajak aku langsung nyebur ke laut. Dengan perlahan, dia membantu mendorongku menuju perairan dangkal dekat tebing. Awalnya aku agak canggung, terutama karena takut menyentuh dasar laut. 

Begitu aku memasukkan wajah ke dalam air, aku langsung terpesona. Ini benar-benar pemandangan bawah laut terindah yang pernah kulihat. Karang-karangnya sehat dan beragam, dari bentuk kipas laut yang besar hingga karang-karang kecil berbentuk bulat seperti meja. Warnanya pun mencolok—ada ungu, kuning, merah muda, dan hijau, seolah-olah ada pelangi di dasar laut. 

Berbagai jenis ikan berenang di sekitarku, mulai dari ikan badut yang lucu, ikan parrotfish berwarna-warni, hingga gerombolan ikan kecil yang bergerak serempak seperti koreografi alami. Di beberapa sudut, aku juga melihat bintang laut biru besar yang menempel di karang. Sungguh menakjubkan!

Meski pemandangan begitu indah, aku tetap agak tegang karena perairan ini sangat dangkal, mungkin hanya 50 cm dibawah perutku. Gatau kenapa, aku takut banget pahaku, atau kakiku terkena hewan beracun/karang yang tajam atau bahkan menginjak bulu babi. Namun, Kak Ai dengan sabar terus mendorongku dari belakang, memberitahuku untuk tetap tenang dan menikmati momen ini.

"Kamu luruskan aja kakimu, aku dorong dari belakang. Tetap tenang," ujar Kak Ai berkali-kali saat kami mengambil nafas.

Saat kami masih asyik snorkeling menikmati keindahan bawah laut, gerimis mulai turun perlahan. Kami masih tetap menikmati pemandangan bawah laut beberapa saat sampai 1 jam setelahnya. Saat hampir seluruh bagian laut dangkal kami jelajahi, Kak Ai memutuskan kami harus segera menyudahi eksplorasi bawah laut.

 “Ayo, kita balik dan bersih-bersih dulu. Takutnya nanti speed boat terakhir nggak jalan kalau cuaca makin buruk,” katanya. Dengan berat hati, aku setuju. Kami naik ke daratan, membilas diri, dan bersiap kembali ke pelabuhan.

Naik bentor lagi, kami menyusuri jalanan yang mulai basah oleh hujan. Angin bertiup makin kencang, memberi tanda bahwa hujan deras sebentar lagi akan datang.  Setibanya di pelabuhan, suasananya berubah menjadi sangat kacau. Hujan gerimis telah berubah menjadi badai, dengan angin kencang dan hujan lebat yang mengguyur tanpa ampun. Para calon penumpang terlihat kebingungan dan berdesakan berteduh di bawah atap pelabuhan yang kecil.

Kami segera bertanya kepada petugas pelabuhan tentang keberangkatan speed boat, tetapi kabar yang kami dapat tidak menyenangkan. “Maaf Kak speed boat-nya belum berani jalan. Cuacanya terlalu buruk, ombak di laut tinggi,” ujar petugas dengan nada menyesal.

Aku dan Kak Ai hanya bisa saling pandang, mencoba mencari solusi di tengah suasana penuh ketidakpastian. Penumpang yang lain mulai gelisah, beberapa terlihat menelepon keluarga mereka untuk memberi kabar, sementara yang lain hanya duduk diam menunggu situasi membaik.

'Wah sepertinya aku bakal kehilangan tiket pesawatku kalau gini,' kataku dalam hati. 'Wah mana besok udah kudu masuk kerja lagi, meskipun lusa libur. Tapi ga enak aja nih kalau izin lagi.'

Kami pun ikut menunggu di salah satu sudut pelabuhan. Hujan terus mengguyur, sesekali disertai suara guntur di kejauhan. Angin semakin kencang, membuat udara terasa dingin. Suasana di pelabuhan benar-benar penuh kecemasan. Penumpang tampak frustrasi karena tidak ada kepastian kapan cuaca akan membaik.

Setelah 2 jam menunggu tanpa kejelasan, aku akhirnya sadar bahwa sudah tidak mungkin mengejar jam keberangkatan pesawat yang harusnya membawaku pulang ke Surabaya sore itu. Rasanya berat, tetapi situasinya memang tidak memungkinkan. 

"Wah maaf ya jadi gini. Gimana terkait tiket pesawatmu?" tanya Kak Ai.

"Gpp Kak namanya alam kan ga bisa kita tebak. Aku batalkan aja, beli tiket baru lagi Kak. Kebetulan kan aku punya Sriwijaya Travel Pass jadi hanya bayar pajaknya aja," ujarku.

Meski kecewa harus menunda perjalanan, aku mencoba mengambil sisi positifnya. Aku masih di Maluku Utara, tempat yang luar biasa indah, meski saat ini cuaca tidak bersahabat. Aku harus tenang dan berpikir positif.

Sekitar 1 jam kemudian, sekitar jam 5 sore akhirnya hujan mulai sedikit mereda. Tiba-tiba ada informasi bahwa para kru speed boat memutuskan untuk memberangkatkan kapal, meskipun kulihat di laut sana langit masih mendung tebal dan ombak masih cukup tinggi. Aku dan Kak Ai berdiskusi singkat sebelum akhirnya memutuskan untuk naik. “Kalau nggak sekarang, bisa-bisa kita terjebak lebih lama lagi di sini,” ujar Kak Ai sambil membantuku naik ke kapal.

Begitu speed boat mulai bergerak, perasaan tidak nyaman langsung menyergap. Semakin maju ke arah laut, angin bertiup semakin kencang, dan gelombang laut dengan cepat mengombang-ambingkan kapal. Speed boat itu melaju sedikit ngebut, mungkin karena kru ingin segera mencapai pelabuhan di Ternate sebelum cuaca memburuk lagi. Namun, setiap kali speed boat menghantam ombak tinggi, suara benturannya terdengar keras, membuat seluruh penumpang terpaku ketakutan.

Di bagian belakang kapal, seorang ibu mulai menangis, memegangi anak kecil yang juga terlihat ketakutan. Beberapa penumpang lain mulai membaca doa dengan suara pelan, sementara sisanya hanya terdiam dengan wajah tegang. Aku sendiri mencoba tetap tenang, meskipun hatiku terus berdebar kencang.

Kak Ai, yang duduk di sebelahku, tampaknya juga khawatir. Dia menyuruhku segera mengenakan pelampung. “Pakai pelampung ini,” katanya tegas sambil memberi pelampung ditasku juga karena disitu ada laptop. Aku mengikuti sarannya, memasang pelampung dengan tangan gemetar, meskipun aku tahu pelampung itu hanya bisa memberi sedikit rasa aman di tengah amukan laut.

Gelombang makin liar, sesekali speed boat terasa seperti terangkat dan kemudian terhempas kembali ke air. Suara hempasan itu begitu keras, seperti pukulan palu raksasa ke permukaan laut. Air laut sesekali terciprat ke dalam kapal, membuat kami semua basah kuyup.

Dalam kegelapan yang mulai menyelimuti sore itu, suasana di kapal terasa mencekam. Aku hanya bisa memegang erat sisi bangku, mencoba menjaga keseimbangan sambil sesekali memejamkan mata setiap kapal melompat di atas ombak. Satu jam terasa seperti seumur hidup, dengan ketegangan yang tak kunjung reda.

Akhirnyaaa, lampu pelabuhan Ternate mulai terlihat di kejauhan. Rasanya seperti melihat harapan di tengah situasi yang menakutkan. Ketika speed boat akhirnya merapat, semua penumpang menghela napas lega. Beberapa bahkan menangis bahagia, tak percaya kami berhasil selamat dari perjalanan yang begitu menegangkan.

Aku turun dari kapal dengan kaki sedikit gemetar, masih tak percaya kami telah melalui perjalanan yang begitu mendebarkan. Kak Ai tersenyum kecil sambil berkata, “Pengalaman ekstrem lagi buat kamu, ya?” Aku hanya mengangguk, masih terbayang suara hempasan ombak tadi. Meski menakutkan, perjalanan ini memberiku pelajaran berharga tentang keberanian, kesabaran, dan rasa syukur untuk sampai dengan selamat di daratan.

Dari pelabuhan, tidak berlama-lama kami langsung mampir membeli makan malam dan setelahnya kembali ke Penginapan Santoso. Ya, aku menambah 2 malam lagi karena ketinggalan pesawat sore ini. Malam itu kuhabiskan sambil cerita-cerita banyak hal sama Kak Ai sebelum akhirnya aku beristirahat. Aku bersyukur banget hari ini bisa terlalui dengan baik dengan segala hal positif dan negatifnya.

Besok aku masih disini. Kemana lagi ya?

[2] Journey to Ternate : Batu Angus, Pantai Sulamadaha dan Kebun Cengkeh

Ternate, 28 April 2018

Hari kedua di Ternate. Hoahhmmm tidurku semalam di Penginapan Santoso cukup nyenyak karena kemarin benar-benar seharian beraktivitas dari pagi-pagi buta (berangkat bandara) sampai malam hari (ngobrol-ngobrol di Taman Nukila). 

"Udah bangun Luh? Setengah jam lagi ya aku otw kesana," kata Kak Ai melalui chat.

"Udah kak. Siaap," jawabku.

Chat dari Kak Ai memaksaku untuk segera mengangkat badan dan mandi. Hari ini Kak Ai rencana akan mengajakku eksplor lagi, masih di seputaran Pulau Ternate. Aku sendiri masih gatau tempat apa aja yang akan dikunjungi. Karena perencanaan trip kali ini benar-benar kupasrahkan semua ke Kak Ai. Aku percaya dia bisa menunjukkan tempat-tempat terbaik disini. Kemarin hanya mengunjungi 2 tempat aja (Pantai Jikomalamo dan Danau Tolire Besar) udah bagus kok. Kita nantikan kejutan hari ini.

Tidak menunggu lama Kak Ai pun datang di Penginapan Santoso. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar sebelum mulai meninggalkan hotel jam 11.29. Kami sempatkan makan sebelum menuju destinasi pertama yaitu Batu Angus. Dari penginapan ternyata kami melewati kembali Bandara Sultan Babullah, yaa.. di Ternate seperti inilah. Karena jalan utama hanya 1 yaitu melingkari gunung, kita akan melewati jalan yang sama berulang kali.

Batu Angus bisa dibikang merupakan salah satu lokasi paling unik di Ternate. Batu Angus merupakan kumpulan batuan lava hitam yang membentang luas, sisa dari letusan Gunung Gamalama ratusan tahun lalu. Nama "Batu Angus" sendiri berasal dari penampilannya yang seperti hangus terbakar. Konon, letusan besar yang terjadi pada abad ke-17 ini memuntahkan lava yang meluncur hingga ke laut, meninggalkan jejak abadi berupa lautan batu hitam yang kini menjadi destinasi wisata. 

"Nggak ada penjaganya," kata Kak Ai setelah ngecek pos penjaga. Jalan masuk menuju Batu Angus juga terlihat dipalang.

Sepertinya entah hari itu sedang tutup, atau memang belum buka karena mungkin belum ada wisatawan yang sedang berkunjung.

"Kita buka aja, masuk aja gpp," kata Kak Ai lagi.

"Iya kak, nanti pas keluar aja kalau penjaganya udah ada kita bayar tiket masuk," sambungku.

Selanjutnya kami memasuki kawasan Batu Angus yang cukup luas. Sudah tersedianya jalan aspal mempermudah karena kita bisa eksplor menggunakan motor dan bisa sewaktu-waktu berhenti kalau ada spot foto yang bagus. Semakin masuk kedalam, sinar matahari semakin berasa menyengat. Dengan batuan seperti ini, jangan harapkan ada pohon yang bisa tumbuh menaungi kan ya hehehe..

Sebagai lulusan Teknik Geologi, sebenarnya aku cukup tertarik dan penasaran dengan proses vulkanisme yang menyebabkan terbentuknya batu angus ini. Karena menurut geologi, batuan merupakan bukti sejarah proses alam yang tidak bisa diganggu gugat. Warna batuan yang kehitaman, banyak mengandung rongga-rongga, sehingga kuidentifikasikan ini merupakan lava basaltik dan letusan bersifat efusif (tidak eksplosif/meledak dahsyat). Setelah aku baca referensi, ternyata Batu Angus terbentuk dari letusan vulkanik Gunung Gamalama yang menghasilkan lava pijar. Letusan tersebut merupakan letusan efusif, yang ditandai dengan keluarnya lava cair dari rekahan gunung berapi dan mengalir ke permukaan bumi. Lava ini kemudian membeku dan menjadi batuan basaltik berwarna hitam pekat, yang dikenal sebagai "Batu Angus."

Ciri khas letusan yang membentuk Batu Angus:
1. Aliran lava basaltik: Lava yang keluar cenderung encer sehingga dapat mengalir jauh dari kawah. (Ini sesuai karena lokasi batu angus berada di ujung timur laut Pulau Ternate, sudah berbatasan dengan laut)

2. Proses pendinginan: Lava yang mengalir ke permukaan mendingin secara perlahan, menghasilkan tekstur kasar dan bentuk yang tidak beraturan (ini juga sesuai karena hampir seluruh batuan bertekstur kasar dan tidak beraturan)

3. Minim material piroklastik: Tidak terlalu banyak abu vulkanik atau letusan eksplosif karena tipe letusan lebih dominan efusif (ini juga benar karena aku hampir ga menjumpai material piroklastik seperti debu vulkanik, kerikil vulkanik, fragmen - fragmen vulkanik seperti bomb dan block)

Bagaimanapun aku terus menikmati hasil proses geologi yang terbentuk didepan mataku ini. Kontras antara hitamnya batu dan birunya langit menciptakan lanskap indah untuk dipandang maupun berfoto. Kak Ai beberapa kali berhenti dan menyuruhku berfoto di sudut ini dan itu. Aku sendiri harus cukup berhati-hati menaiki formasi lava yang cukup tajam ini. Kalau terpeleset, akibatnya bisa cukup fatal.

Beberapa saat kemudian kita sudah berada di ujung jalan dan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Berjalan menyusuri jalur setapak, aku mencoba menaiki beberapa batu lava yang terlihat lebih tinggi untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas. Disini spot sempurna untuk foto karena pemandangan disempurnakan oleh gagahnya Gunung Gamalama di kejauhan. Hanya sayang.. sebagian tertutup awan. Aku lihat di internet sih waktu paling bagus untuk berfoto disini dengan view Gunung Gamalama tanpa tertutup awan adalah pagi-pagi sebelum - sesaat matahari terbit. 'Nantilah kalau sempat kesini lagi kalau Kak Ai mau ngantarin pagi-pagi,' kataku dalam hati.

"Kita lanjut ke Pantai Sulamadaha ya," kata Kak Ai. "Disana bagus juga pantainya, nanti kita snorkeling disana."

"Siap kak".

Kebetulan pas kami melewati loket, penjaganya sudah ada sehingga aku sekalian membayar tiket masuk dan parkir untuk kita berdua. 

Perjalanan ke Sulamadaha hanya memakan waktu 10 menit, ternyata dia terletak cukup dekat dengan Pantai Jikomalamo kemarin. Sewaktu masuk kawasan pantai sebenarnya aku agak kecewa,

'yahh kok biasa aja yaa.. ga biru bersih kayak Pantai Jikomalamo kemarin,' kataku dalam hati.

Belum sempat aku ngomong apapun, Kak Ai sudah menimpali,

"Pantainya bukan disini luh, kita masih masuk 500 meteran lewat jalan kecil disana," kata Kak Ai sambil terus melajukan motor.

"Wah iya kak, takpikir pantainya yang tadi,".

Selanjutnya Kak Ai membawa motor melintasi jalan selebar 1 meter ini sampai di ujung jalan. Dan.... Disinilah ternyata letak Pantai Sulamadaha sebenarnya yang airnya berwarna hijau kebiruan. Ombaknya tenang, beberapa anak kecil terlihat berenang dengan senang.

"Wah.. cantik banget pantainya ya."

"Iya memang. Kamu inget pernah ada foto yang kapal seakan-akan mengapung itu saking bersihnya air lautnya? Nah salah satu titik pengambilannya itu disini."

Aku mengamati sekilas perahu-perahu yang terparkir di tepi. Dan setelah ane amati memang benar. Perahu-perahu tersebut terlihat melayang saking bersihnya air laut. Memang benar-benar aku ga berhenti dibuat kagum oleh kecantikan Pulau Ternate sejak kemarin.

"Kita snorkeling lagi ya, nanti di seberang sana dekat tebing. Terumbu karangnya lebih bagus disana."

"Siaap kak", kataku sambil menata barang untuk dititipkan di warung.

Kami mengenakan set snorkel yang selalu dibawa Kak Ai kemanapun. Seperti biasa, begitu nyebur aku langsung didorong sama Kak Ai dari belakang. Kami berenang sampai ke tepi tebing yang Kak Ai maksud dan ane langsung menemukan jawabannya. Begitu mendekati tebing laut menjadi sedikit lebih dangkal dan terumbu karang dengan berbagai macam warna mulai terlihat. Terumbu karangnya masih sangat terjaga, dan berbagai jenis ikan berenang dengan lincah di antara karang-karang tersebut. Ketika sedan snorkeling, aku memang selalu merasa seperti berada di dunia lain, tenang dan damai di bawah permukaan air. Ketika mengangkat wajah untuk melihat keadaan luar, kadang seperti merasa kembali ke realita.

Kami snorkeling selama kurang lebih 1.5 jam sebelum akhirnya kembali ke arah pantai.

"Kamu cobain pisang goreng sambal ya, enak banget. Itu khas sini," kata Kak Ai lagi sembari mengeringkan badan.

Aku segera memesannya di warung dan ketika memakannya, "Wuaaah enaaak!" kataku. Pisangnya itu bisa dijelaskan gimana ya.. dia ukurannya lebih kecil dari pisang biasanya, dan ketika digoreng bagian luarnya itu bisa krispi, sementara bagian dalamnya masih empuk. Disempurnakan dengan rasa sambal tomat yang gurih-gurih pedes. Aku sampai nambah beli dua kali hehehehe..

Setelah badan kering dan perut cukup terisi pisang, kami kembali berjalan. Aku pikir sih udah cukup untuk hari ini, Kak Ai bakal ngajak kita langsung kembali ke Penginapan Santoso. Eh ternyata masih ada satu destinasi lagi.

"Kita ke Kebun Cengkeh ya," kata Kak Ai sambil menyiapkan motor.

Kami sempat mampir makan siang sebelum ke Kebun Cengkeh. Seperti kita bersama tahu cengkeh telah menjadi komoditas utama Ternate sejak zaman Kesultanan, bahkan menjadi alasan mengapa bangsa Eropa dulu berlomba-lomba menguasai wilayah ini. Cengkeh adalah salah satu rempah utama yang membuat Maluku, khususnya Ternate dan Tidore, dikenal sebagai "Kepulauan Rempah-rempah." Pada abad ke-15 hingga 17, cengkeh menjadi komoditas yang sangat berharga di pasar internasional, terutama di Eropa. Lokasi Pulau Ternate adalah salah satu pusat kerajaan maritim yang menguasai perdagangan rempah-rempah. Gunung Gamalama di pulau Ternate memberikan tanah vulkanik yang subur, menjadikannya ideal untuk pertumbuhan tanaman cengkeh.

Tidak berapa lama kami sampai. Suasana disini cukup rindang karena barisan pohon cengkeh yang cukup rapat. Well, karena ini berupa perkebunan, sebenarnya tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain duduk bersantai dan ngobrol ditemani rindangnya naungan-naungan pohon. Sedikit cerita tentang cengkeh, Kerajaan Ternate-lah yang dahulu mengendalikan produksi dan distribusi cengkeh. Mereka menggunakan kebun cengkeh sebagai sumber utama kekayaan dan kekuasaan. Cengkeh juga menjadi alat diplomasi dan negosiasi dengan bangsa asing. Bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda datang ke Ternate untuk menguasai perdagangan cengkeh. Belanda, melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), memaksakan monopoli dengan membatasi produksi cengkeh hanya di beberapa lokasi tertentu. Mereka bahkan melakukan "hongi tochten" atau patroli untuk menghancurkan kebun cengkeh di wilayah lain agar harga tetap tinggi. Produksi cengkeh menciptakan sistem ekonomi yang kompleks, tetapi monopoli VOC juga membawa penderitaan bagi masyarakat lokal. Banyak kebun dihancurkan, dan masyarakat dipaksa bekerja di bawah sistem yang tidak adil.

Saat ini, cengkeh masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Ternate. Selain sebagai bahan rempah dan penghasil minyak atsiri, cengkeh digunakan dalam produk khas Indonesia seperti rokok kretek. Kebun-kebun cengkeh tradisional masih dapat ditemukan di lereng Gunung Gamalama, salah satunya kebun yang kami kunjungi ini.

Kami tidak menghabiskan waktu lama disini karena memang selain berfoto tidak ada hal lain yang bisa dilakukan lagi. Hari sudah cukup sore ketika Kak Ai melajukan motor kembali ke Penginapan Santoso. Well, benar-benar hari yang berkesan!