Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.28.2024

Sadar Setiap Hari (SSH) 13 : Melepaskan Kemelekatan melalui Berdana

 28 Desember 2024, sebelum tidur aku mendengarkan ceramah Dhamma Bhante Pannavaro di youtube dengan judul 'Hawa Nafsu Penyebab dari Semua Penderitaan'. Di pertengahan ceramah Bhante Pannavaro berkata salah satu cara untuk melepaskan kemelekatan adalah dengan berdana. Berdana bukan untuk mendapatkan pahala, namun dengan tujuan untuk membersihkan kotoran batin, itulah tahap awal untuk melepaskan kemelekatan. Aku mencari tahu lebih dalam tentang topik ini.

Kalimat dari Bhante Pannavaro tersebut mengandung pesan mendalam tentang esensi berdana (memberi) dalam ajaran Buddha. Berdana bukan sekadar tindakan memberi secara materi, tetapi merupakan cara untuk melatih melepaskan kemelekatan dan membersihkan kotoran batin. Berikut penjelasannya:


1. Berdana sebagai Latihan Melepaskan Kemelekatan

  • Kemelekatan adalah akar dari banyak penderitaan. Dalam ajaran Buddha, kemelekatan pada harta, status, atau ego dapat menghalangi batin dari kedamaian.
  • Dengan berdana, seseorang belajar untuk tidak terlalu terikat pada kepemilikan dan memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari hal-hal material, tetapi dari hati yang lapang.

2. Membersihkan Kotoran Batin

  • Kotoran batin seperti keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) dapat mengaburkan kebijaksanaan. Berdana adalah cara untuk melatih kebajikan (sīla) yang membantu mengurangi keserakahan dan meningkatkan kemurahan hati.
  • Tindakan berdana yang dilakukan dengan niat murni dapat membawa kebahagiaan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, dan membersihkan hati dari egoisme.

3. Tahap Awal Menuju Pembebasan

  • Dalam perjalanan spiritual Buddhis, berdana adalah langkah awal menuju pelepasan sepenuhnya (nibbāna).
  • Berdana yang benar dilakukan tanpa pamrih atau harapan balasan, baik berupa materi, status, atau bahkan karma baik. Tujuannya adalah melatih diri untuk melepaskan segala bentuk kemelekatan.

4. Berdana dengan Niat yang Benar

  • Niat adalah yang terpenting. Berdana yang dilakukan dengan tujuan membersihkan batin (bukan untuk pamer atau mencari pujian) memiliki manfaat spiritual yang lebih besar.
  • Niat yang murni ini mencerminkan pemahaman bahwa tindakan baik tidak hanya menguntungkan penerima, tetapi juga memberi manfaat batin bagi pemberi.

5. Praktik Berdana dalam Kehidupan Sehari-hari

  • a. Berdana Materi

    Bentuk berdana ini melibatkan memberikan kebutuhan fisik atau materi kepada orang lain.

    • Makanan dan minuman:
      • Memberi makanan kepada pengemis atau orang yang kelaparan.
      • Menyediakan dana makanan untuk komunitas atau organisasi sosial.
    • Uang:
      • Berdonasi kepada panti asuhan, rumah sakit, atau organisasi amal.
      • Membantu teman atau keluarga yang sedang membutuhkan secara finansial.
    • Barang kebutuhan sehari-hari:
      • Menyumbangkan pakaian, selimut, atau perlengkapan sekolah kepada mereka yang membutuhkan.
      • Memberikan obat-obatan untuk kegiatan sosial kesehatan.
    • Fasilitas umum:
      • Membangun tempat ibadah, jalan, jembatan, atau sumur untuk masyarakat.

    b. Berdana Non-Materi

    Berdana non-materi melibatkan pemberian hal-hal yang tidak bersifat fisik tetapi sangat berarti bagi penerima.

    • Waktu dan tenaga:
      • Membantu tetangga membersihkan lingkungan atau memperbaiki rumahnya.
      • Menjadi sukarelawan di kegiatan sosial, seperti pengajaran anak-anak kurang mampu.
    • Keterampilan dan ilmu pengetahuan:
      • Mengajari seseorang membaca, menulis, atau keterampilan kerja tanpa memungut bayaran.
      • Berbagi ilmu atau pengalaman hidup yang dapat memberikan inspirasi kepada orang lain.
    • Perhatian dan empati:
      • Mendengarkan dengan sabar keluhan atau masalah orang lain tanpa menghakimi.
      • Memberikan dukungan emosional kepada teman atau keluarga yang sedang berduka.

    c. Berdana Dhamma (Spiritual)

    Berdana ini dianggap paling mulia karena memberikan manfaat yang tahan lama bagi perkembangan batin penerima.

    • Menyebarkan ajaran kebaikan:
      • Mengajarkan nilai-nilai etika, kasih sayang, dan mindfulness.
      • Menyebarkan ajaran Buddha atau nilai universal seperti cinta kasih dan kedamaian.
    • Memberikan inspirasi spiritual:
      • Membantu seseorang memahami pentingnya meditasi atau refleksi diri.
      • Membagikan buku, artikel, atau rekaman yang berisi pesan-pesan kebijaksanaan.

    d. Berdana di Lingkungan Sekitar

    • Keluarga:
      • Memberikan perhatian kepada orang tua atau kerabat yang lanjut usia.
      • Membantu adik/kakak tanpa mengharap imbalan.
    • Tetangga:
      • Membantu tetangga yang kesulitan tanpa menunggu diminta.
      • Menyediakan makanan untuk acara lingkungan atau gotong royong.
    • Komunitas:
      • Aktif di kegiatan sosial lingkungan seperti penghijauan, donasi buku, atau kegiatan keagamaan.

    e. Berdana di Dunia Digital

    Di era modern, berdana juga bisa dilakukan secara online:

    • Berbagi ilmu dan inspirasi:
      • Membuat konten positif dan edukatif di media sosial.
      • Menulis artikel atau blog yang memberikan manfaat bagi pembaca.
    • Donasi online:
      • Memberikan kontribusi melalui platform crowdfunding untuk membantu orang yang membutuhkan.
    • Bantuan digital:
      • Mengajari orang tua cara menggunakan teknologi.
      • Memberikan layanan gratis, seperti mendesain poster atau membantu membuat CV.

    f. Berdana dengan Niat Luhur

    • Memberi dengan penuh cinta kasih tanpa harapan balasan.
    • Melakukan perbuatan baik secara anonim, sehingga penerima tidak merasa terikat atau berutang.

Kalimat Bhante Pannavaro ini mengingatkan bahwa berdana bukan hanya tindakan sosial, tetapi bagian dari latihan spiritual yang mengarah pada kebebasan batin. Semakin kita memberi dengan tulus, semakin ringan batin kita dari beban kemelekatan. 🌟

Dengan melatih berdana dalam berbagai bentuk ini, kita tidak hanya membantu orang lain tetapi juga membersihkan batin kita dari keserakahan dan egoisme. Praktik ini memperkaya hidup dengan kebahagiaan yang lebih bermakna.

12.24.2024

[3] Nusa ROTE : Indahnya Sunset Pantai Nemberala!

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Sunset di Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT

 Kupang, 10 Desember 2016

Berangkat ke Pulau Rote

Selamat pagi dari Kota Kupang. Hari ini adalah hari keberangkatanku dan Richa untuk menyeberang ke Pulau Rote. Seperti sudah kujelaskan sebelumnya, mengacu informasi dari Kak Inda (temanku orang Kupang), tiket kapal cepat Bahari Express rute Kupang - Rote memang baru bisa dibeli hari H langsung di Pelabuhan Tenau, dimana gerbang pelabuhan dibuka pukul 07.00. Alhasil pagi itu jam 5.30 kita sudah otw ke pelabuhan. Kalau terlalu dipepet takutnya kehabisan. Karena namanya kapal cepat kan kursinya lebih terbatas daripada kapal ferry.

Dengan menyewa taksi, kami sampai di Pelabuhan Tenau jam 05.45. Gerbang pelabuhan terlihat belum buka saat kami datang, namun sudah cukup banyak calon penumpang yang duduk mengantre. Suasana pelabuhan terasa hidup, meski masih pagi. Beberapa orang berlalu-lalang dengan barang bawaan besar, ada yang membawa kardus, koper, atau bahkan tas plastik besar.

Suasana pagi di Pelabuhan Tenau, Kupang.

Sejak pagi sudah banyak penumpang yang mengantre mau menyeberang ke pulau-pulau sebelah.

Di sudut-sudut pelabuhan, terlihat kuli angkut dengan pakaian sederhana. Mereka dengan sigap membantu penumpang mengangkat barang-barang berat ke dalam gerobak kecil. Suara mereka saling berteriak menawarkan jasa, berpadu dengan obrolan calon penumpang.

Penjual makanan kecil sudah mulai membuka lapak di sekitar pelabuhan. Beberapa ibu-ibu menjajakan nasi kuning, pisang goreng hangat, dan kopi hitam yang mengepul dalam gelas plastik. Aroma makanan bercampur dengan bau khas laut dari pelabuhan, menciptakan atmosfer unik yang membuatku semakin bersemangat. 

Sekitar jam 6.45 loket penjualan tiket dibuka dan syukurlah meskipun sedikit mengantre, kami mendapatkan tiket dengan mudah. Saat itu kami membeli tiket kelas executive seharga Rp 130.000/orang (Desember 2016). Keberangkatan kapal kami sendiri adalah jam 08.30.

Antre membeli tiket kapal Bahari Express Kupang - Rote di Pelabuhan Tenau

Masih ada waktu luang 1,5 jam sebelum kapal berangkat kami manfaatkan untuk mencari sarapan dan jajanan untuk bekal di kapal. Setelah itu kami masuk ruang tunggu dan mengamati aktivitas sibuk dermaga Tenau di pagi hari. Kapal Sabuk Nusantara 49 berlabuh menurunkan muatan di satu sisi dermaga, sementara kapal Bima VI dan Restu Utama terlihat parkir dengan rapi. Kuli panggul dengan sigap mengangkut barang-barang dari kapal ke dermaga dan sebaliknya, berjalan dengan langkah pasti meski memikul beban berat. Suara roda gerobak berdecit bercampur dengan teriakan mereka yang mengatur barang bawaan. Tidak jauh dari situ, truk-truk besar mengantri untuk masuk ke dalam kapal feri, membawa muatan berbagai kebutuhan logistik untuk pulau-pulau sekitar.

Kapal Sabuk Nusantara 49 sedang menurunkan muatan

Kapal Bina VI dan Restu Utama

Kuli panggul sedang mencari nafkah

Di bagian lain dermaga, kapal-kapal rakyat bersandar dengan penumpang yang terlihat santai menunggu giliran naik. Beberapa kapal cepat juga terlihat bersiap untuk rute lain, mesin mereka meraung pelan seolah bersiap untuk perjalanan jauh. Penjual makanan terlihat bolak-balik menawarkan jajanan. Satu hal yang kukagumi, meskipun ini berupa pelabuhan, tapi air lautnya tetap jernih mengkristal berwarna biru kehijauan. Hmmmm.....Aku menikmati semua suasana ini dengan perasaan bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa traveling kesini.

Air laut di Dermaga Pelabuhan Tenau sangat bersih

Menunggu keberangkatan kapal

Sesuai jadwal keberangkatan, pukul 08.30 tepat kapal Bahari Express 1C yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan Pelabuhan Tenau. Berdasarkan informasi dari orang loket, perjalanan ini akan menempuh 2 jam membelah Selat Pukuafu sampai berlabuh di Pelabuhan Ba'a (di bagian tengah Pulau Rote).  Oya sebelum berangkat aku juga sempat diberi kontak orang asli Rote yang 'kemungkinan' bisa kami sewa motornya, namanya Kak Eman. Kok kemungkinan? Well, karena setelah kontakan singkat via WA, kak Eman bilang akan berusaha cari motornya dulu. Hal itu karena setelah browsing, kami nggak menemukan penyewaan motor komersial disini. Kalau mau sewa motor harus di Kupang, dimana belum tentu boleh dibawa kesini. Kalau boleh pun harus naik kapal ferry, ga bisa naik kapal cepat. Let's hope the best aja ke Kak Eman! Hehehe.

Satu jam perjalanan pertama berlangsung dengan cukup baik. Meskipun terkenal sebagai salah satu perairan paling ganas di NTT, Selat Pukuafu hari itu cukup tenang. Kapal Express Bahari bisa membelah perairan dengan kecepatan maksimal dan stabil karena laut tidak berombak. Aku menghabiskan waktu untuk mendengarkan musik sambil tiduran di kursi sebelum terbangun oleh tangisan balita yang menjerit-jerit tanpa henti memanggil ayahnya.

Awalnya aku nggak terlalu menggubrisnya. 'Ah palingan dikit lagi udah berhenti lah nangisnya. Itu ibunya juga udah menenangkan dia', kataku dalam hati. Ehhh ternyata aku salah, 10 menit, 15 menit, 30 menit bahkan hampir 1 jam itu anak nangis jerit-jerit tanpa henti. Aku sampai kasian banget sama ibunya, karena sepertinya si ayah yang dicari tidak ikut di perjalanan ini.

"KASI DIAM BISA KA TIDAK," kata seorang bapak sambil teriak ke ibu si anak.

Ya ampunnn aku sampe ga tega banget liat ibunya. Gimanapun kan itu bukan maunya, dan kulihat dia juga udah berusaha kok. Anaknya sempat berhenti nangis 5 menit sebelum mulai nangis lagi. Karena kupingku mulai agak panas, aku memilih jalan-jalan ke bagian belakang dek kapal. Siapa tau disana bisa duduk santai sambil menikmati angin laut.

Ehh ternyata aku salah hehehehe... Di belakang dek kapal ternyata sudah penuh penumpang juga. Saat ane mau berbalik masuk karena nggak ada tempat duduk, mereka malah memanggil dan mengajak ane duduk bareng. Disitu ada beberapa mama-mama yang ngajak aku ngobrol dan menanyakan tujuanku ke Rote. Sebuah rasa kekeluargaan yang mulai sering kudapatkan disini.

Duduk dan cerita sama mama di belakang dek kapal Express Bahari 

Bagian belakang dek kapal Express Bahari yang penuh penumpang

Aku duduk dan ngobrol cukup lama dengan mama-mama sampai tidak kerasa kapal sudah hampir berlabuh di Pelabuhan Ba'a. Siang itu suasana di Pelabuhan Ba’a terlihat sangat hidup dan ramai. Kapal-kapal kayu tradisional berlabuh di dermaga, sementara nelayan sibuk memperbaiki jaring mereka. Di sekitar pelabuhan, masyarakat lokal terlihat sibuk membongkar hasil tangkapan dan barang-barang dagangan. Ada deretan pasar kecil yang menjual hasil laut segar, sayur-mayur, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Orang-orang saling berinteraksi dengan antusias, termasuk beberapa wisatawan yang menikmati suasana otentik. Di kejauhan, tampak birunya laut yang menyatu dengan langit cerah serta pulau-pulau kecil yang menjadi latar belakang. 

Tiba di Pelabuhan Ba'a, Pulau Rote

Suasana Pelabuhan Ba'a, Pulau Rote

Oya sebelumnya aku udah koordinasi dengan Kak Eman dan dia berkata akan jemput aku dan Richa dengan 2 motor. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk ketemu Kak Eman dengan senyum dan wajah ramahnya.

"Kita ke basecamp dulu ya. Nanti nunggu motornya disana. Baru bisa diantarkan agak siang soalnya," kata Kak Eman. Dari pelabuhan aku bonceng Kak Eman dan Richa bonceng temennya Kak Eman.

"Oh iya siap kak gpp."

"Tujuannya hari ini mau kemana aja?" Tanya Kak Eman lagi.

"Oh hari ini rencana cuma mau ke Pantai Nemberala kak. Check in penginapan aja. Besok baru kita lanjut eksplor mungkin ke Pantai Oeseli dan Bukit Mando'o."

"Wah sip iya bagus itu. Sebenarnya ada lokasi bagus lagi, danau garam. Tapi lokasinya agak diujung, jauh. Kalau kamu cuma 3 hari disini ga cukup kayaknya," kata Kak Eman sambil suaranya beradu dengan angin di atas motor.

"Iya kak, cuma singkat kita disini soalnya keterbatasan libur," kataku.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di basecamp yang Kak Eman maksud. Ternyata disana ada beberapa teman Kak Eman juga.

"Duduk disini ya. Aku coba konfirmasi motornya," kata Kak Eman.

"Iya kak aman," kataku.

Selanjutnya kami masih menunggu beberapa saat sementara Kak Eman masih koordinasi dengan temannya yang mau disewa motornya. Well sebenarnya ini bukan persewaan resmi sih, tapi Kak Eman yang bantu kami menyewakan dari temannya. Tapi sepertinya motornya juga sementara masih dipakai jadi kami masih menunggu beberapa saat disini. Tiba-tiba setelah koordinasi Kak Eman ngabarin kami,

"Kak ini temanku ada yang bisa sewain tapi tarifnya 250.000 untuk 3 hari 2 malam. Gimana?" 

"Wah oke gpp kak, aman kak." Kataku segera. Karena menurutku masih wajar juga sih harganya. Lagipula kami nggak ada pilihan lain. 

"Oke kak, sekitar sejaman lagi dia baru bisa antar motornya."

"Iya kak siap kami tunggu aja," kataku.

Sekitar jam 2 siang, motornya akhirnya diantarkan. Setelah menyelesaikan pembayaran dengan si empunya dan serah terima STNK akhirnyaaa kami bisa jalan juga. Aku langsung set google maps ke arah Pantai Nemberala.

"Aku jalan dulu ya kak. Nanti kontak-kontak lagi," kataku ke Kak Eman.

"Siaap, hati-hati kak."

Ruteku motoran hari ini dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala

Akhirnya dimulailah perjalananku dan Richa membelah Pulau Rote pertama kalinya untuk menuju ke arah barat daya pulau, Pantai Nemberala. Perjalanan ini menempuh jarak 30 km dan bisa ditempuh dalam 1-1,5 jam. Perjalanan awalnya masih berada di sekitaran Desa Namodale jadi masih cukup ramai, namun semakin ke arah barat menjadi semakin sunyi dan sepi. Aku dan Richa melaju pelan di atas jalan aspal yang mulus, di bawah terik matahari yang membakar. Pemandangan di sekitar kami didominasi oleh lanskap gersang khas Rote—padang savana kering, pohon lontar yang menjulang, dan bukit-bukit kecil yang terlihat tandus.

Semakin ke arah barat, sangat jarang manusia yang kami jumpai. Sebaliknya, kami sering bertemu kawanan sapi yang berjalan santai di tengah jalan, kambing yang merumput di tepi aspal, kerbau yang bermalas-malasan di bawah naungan pohon, dan sesekali babi yang berlarian di dekat rumah-rumah tradisional yang jarang terlihat. Kehadiran hewan-hewan ini seperti menjadi satu-satunya tanda kehidupan di sepanjang perjalanan kami.

Pemandangan sepanjang jalan dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala

Pemandangan sepanjang jalan dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala


Sepanjang jalan, angin panas menerpa wajah. Keheningan di sepanjang jalan hanya dipecahkan oleh suara mesin motor dan gesekan kerikil kecil yang terpental dari ban. Ketika mendekati Pantai Nemberala, angin mulai berubah. Hembusan segar dari laut perlahan menggantikan udara panas, memberi isyarat bahwa perjalanan kami hampir sampai. 

Sebelum sampai kesini, kami belum booking penginapan. Rencana mau langsung cari aja di sekitaran Pantai Nemberala. Deru mesin motor mengantarkan kami ke Hotel Tirosa. Sebuah hotel sederhana yang berada di tepi Laut Nemberala langsung. Kami menunggu sesaat pemilik penginapan datang, dan setelah tranksasi pembayaran singkat, kami mendapatkan sebuah bungalow simpel tapi cantik yang disampinnnya langsung terbentang cantiknya Laut Nemberala. Halaman bungalow ini terlihat dipenuhi pohon kelapa yang meliuk-liuk mengikuti arah angin. Suasana sangat tenang dan damai. Karena bulan Desember ini masih low season, suasana sangat sepi.

Hotel Tirosa, Pantai Nemberala

Suasana sangat damai dan tenang disini

Tiduran singkat di kamar, tak terasa hari telah sore. Perutku yang tadi sudah kuisi makan siang di jalan mulai memberontak lagi hehehe.. Kebetulan di perjalanan ini aku membawa rice cooker mini dan mie rebus.

'Bikin mie rebus sama kopi ah nanti dinikmati di pantai sambil lihat sunset,' batinku.

"Cha, yuk kita ke pantai. Lihat sunset," kataku.

"Duluan aja ya, nanti aku nyusul," katanya. Sepertinya Richa masih mau santai-santai di kamar.

Jalan menuju Pantai Nemberala dari Hotel Tirosa. Bersih, indah dan nyaman.

Akhirnya aku berjalan sendiri ke pantai di belakang hotel. Pantainya sendiri aku lihat sore itu sangat tenang, hanya riak-riak gelombang kecil yang dibungkus dengan laut yang membiru. Meskipun ada satu hal yang cukup menggangguku, sampah kiriman. Ya karena Bulan Desember Indonesia sedang musim penghujan dengan angin muson baratnya. Musim hujan telah membawa sampah-sampah kiriman, menumpuk di beberapa sudut garis pantai, memberikan pemandangan yang agak kontras dengan keindahan alam sekitarnya. Namun aku tidak mau terlalu merisaukannya, hanya mau fokus ke laut, langit dan kedamaian yang kudapatkan disini. Aku menemukan spot dan meletakkan beberapa barangku. Jadi yaa disinilah aku. Membawa indomie kuah panas di rantang mini rice cooker, kopi segelas, alunan musik meditasi Buddha, air mineral ditemani deburan ombak aku mengasingkan diri disini. Sepi sekali. Tidak ada manusia. Sangat indah, nyaman, dan membahagiakan. Aku suka kehidupan sederhana disini.......kehidupan  tanpa beban berlebihan....tanpa ambisi berlebihan.

Menyepi dan menyendiri ditemani kedamaian...

Saat sedang bersantai, tiba-tiba aku mendengarkan suara "krusuk-krusuk" di belakangku. Dan setelah menengok, tidak lain dan tidak bukan adalah..... sekumpulan babi wkwkwk..Aku cukup kaget karena ternyata mereka banyak banget berkeliaran bebas di pantai wkwk. Mereka dengan santai berjalan-jalan di pasir, sesekali mengendus dan mengorek pasir dengan moncongnya untuk mencari kepiting atau sisa-sisa makanan. Moncongnya jadi penuh pasir soalnya suka ngeruk-ngeruk tanah. Pemandangan ini memberikan kesan lokal yang unik, soalnya baru di Pantai Nemberala inilah aku melihat babi-babi berkeliaran dengan begitu santainya. Namun mereka tidak terlalu menggangguku kok, jadi aku cuek aja😁😁.

Kumpulan babi..

Induk babi dan anak-anaknya.

Induk babi dan anak-anaknya sedang mencari snack diantara pasir Pantai Nemberala

Tidak berapa lama Richa menyusulku di pantai, dan seperti aku pada awalnya, dia juga kaget melihat babi-babi berkeliaran wkwk.. Tapi lama-lama kita mulai terbiasa dan membiarkan saja mereka tanpa mengusirnya, toh tidak terlalu mengganggu. 

"Ayo cha hunting foto-foto," kataku mengarahkan kamera  dengan background pantai dan sunset yang mulai mendominasi.

Sunset di Pantai Nemberala

Mama-mama sedang mencari rumput laut dengan background sunset Pantai Nemberala

Kiss with the sunset....

Babi yang selalu mencari makan dengan background sunset Pantai Nemberala

Sunset Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT

Cukup banyak foto yang kuambil di sunset sore hari itu, karena memang benar-benar secantik itu. Gabungan warna antara biru, kuning, orange, merah, bercampur menjadi satu di langit, terlihat melingkupi lautan yang sore itu terlihat sangat tenang.  Sesekali kami menyapa warga lokal yang lewat dan mengambil rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama disini. Biasanya warga akan mengambilnya untuk kemudian dijemur sampai kering dan dijual.

Tidak terasa, kami hunting foto dan menikmati sunset sampai langit telah menggelap. Segera kita jalan kembali ke hotel. Ada satu kejadian lucu pas kami hampir sampai pintu hotel, tiba-tiba kami berpapasan dengan sekelompok babi yang terdiri dari 1 induk dan beberapa anaknya. Nah waktu berpapasan itu kita sama-sama kaget, tiba-tiba semua babi itu nge-freeze a.k.a jadi patung semua. Itu tidak sesuai ekspetasi ane dimana harusnya kan mereka lari atau gimana ya.

"Loh loh babinya kok nge-freeze semua cha. Kok jadi patung," kataku sedikit tergelak namun juga agak ngeri, takutnya tiba-tiba diserang wkwk..

Cukup lama babi itu dalam posisi freeze, mungkin 5-7 detik. Setelah itu mereka lari kocar-kacir. Ahahaha... Bener-bener aku baru menjumpai babi mode ngepatung pas kaget itu disini. Setelah kubrowsing, ternyata ini penjelasannya:

Perilaku babi yang "ngefreeze" atau terdiam beberapa detik sebelum akhirnya lari adalah respons alami yang dikenal sebagai freezing response. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri mereka saat merasa terkejut atau terancam. Penjelasannya:

1. Insting Menghindari Bahaya
Ketika mereka mendeteksi potensi ancaman, seperti kehadiran manusia yang tiba-tiba, mereka berhenti bergerak untuk mencoba memahami situasinya. Hal ini membantu mereka mengevaluasi apakah ancaman itu nyata dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

2. Kondisi Refleks
Banyak hewan, termasuk babi, memiliki refleks "fight, flight, or freeze." Freezing memberi mereka waktu untuk berkamuflase atau tidak menarik perhatian predator.

3. Respons Evolusi
Di alam liar, predator biasanya tertarik pada gerakan. Dengan berhenti bergerak, babi mungkin berharap untuk tidak terlihat oleh "ancaman" (dalam hal ini, kamu).

Setelah 5-7 detik, mereka mungkin memutuskan bahwa kamu adalah ancaman dan akhirnya melarikan diri. Perilaku ini sangat umum pada banyak hewan liar. 


Malamnya, tidak banyak hal yang aku dan Richa lakuin karena suasana disini sangat sepi. Oya karena keterbatasan tempat mencari makan, kami mengambil paket makan malam dari penginapan, dan pas makan malam baru sadar kalau ternyata di bungalow sebelah ada traveler lainnya juga yang menginap. Seorang traveler Indonesia dengan teman bulenya. Kita makan sambil bercerita banyak hal tentang perjalanan ini.

Malam telah datang dan aku memutuskan untuk istirahat lebih cepat karena besok akan bermotoran mengunjungi beberapa tempat. Aku bersyukur hari ini semuanya berjalan dengan baik dan lancar. Meski pantai tidak dalam kondisi terbaiknya, 10 Desember 2016 ini tetap meninggalkan kesan mendalam—tentang kesederhanaan, kealamian, dan keheningan Rote yang begitu berbeda.

Part Setelahnya : Disini

[2] Nusa ROTE : Hari Keberangkatan ke Kupang!

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

9 Desember 2016
Bandara Internasional Juanda, Surabaya

Pagi akhirnya datang... Hoaahhmmm.. jam 3 pagi alarm HP-ku sudah berbunyi dengan begitu nyaringnya. Aku segera mengangkat tubuhku yang masih ngantuk banget untuk segera bergegas mandi dan bersiap-siap. Tidak butuh waktu lama, setelah mandi, bersiap-siap dan cek akhir barang-barang yang dibawa ditas, aku akhirnya meluncur naik motor ke Bandara Juanda. Kosan-ku sendiri berjarak cukup jauh dari Bandara Juanda, sekitar 20 km. Namun suasana pagi yang lengang membuatku leluasa berkendara. Tiga puluh menit kemudian, sekitar jam 5 lebih, aku sudah sampai Bandara Juanda dan ketemu Richa di tempat check-in.

Perjalanan ini bisa dibilang merupakan perjalanan pertama aku dan Richa traveling bareng. Oya beberapa hari sebelum berangkat, tanggal 4 Desember 2016 tepatnya, di suatu weekend yang gabut, aku pernah ajak temanku ke Bangkalan (Madura) untuk membantuku membuat video musik ala-ala. Jadi ceritanya aku terinspirasi dengan video musik Alan Walker yang berjudul "Where are you now?“ , jadilah aku bikin versi ala-ala gitulah. Cerita lengkap kegabutanku ini sudah kutulis disini wkwkwk... Jadilah karena andrenalin keisenganku ini masih menyala, aku bertekad untuk melanjutkan pembuatan video musik ala-ala tersebut di Pulau Rote. Jadilah di perjalanan ini aku bawa tripod untukku merekam beberapa adegan 🤣🤣. Kurang kerjaan banget yah.

Proses boarding akhirnya tiba. Penerbangan Surabaya - Kupang berlangsung selama 2 jam. Pagi itu cuaca terlihat baik, cerah di sepanjang jalan. Hal unik yang sempat kujumpai adalah, sewaktu kami terbang diatas pulau yang kuinterpretasikan sebagai Pulau Sumbawa, terlihat kumpulan awan kecil-kecil yang terkonsentrasi hanya diatas daratan. Diatas lautan hampir tidak ada. 

Awan yang terkonsentrasi diatas daratan

Setelah aku baca, jika awan hanya terkonsentrasi di atas daratan (tanpa menyentuh pegunungan), itu mungkin karena pemanasan lokal. Permukaan daratan menyerap panas lebih cepat dibandingkan lautan. Udara panas naik dari daratan, membawa kelembapan dan membentuk awan kecil yang tersebar. Sementara itu, wilayah di atas lautan biasanya memiliki suhu yang lebih stabil dan tidak memicu proses ini. Itu sebabnya awan hanya terlihat terkonsentrasi di atas daratan, bukan di atas laut. Unik juga ya! Aku juga baru menjumpai itu disini selama terbang.

Unik dan cantik ya?

Kita tidak menjumpai turbulensi yang terlalu berarti sampai akhirnya pesawat landing di Bandara El Tari Kupang jam 9 pagi. Panas menyengat Kota Kupang yang khas langsung menyambut kami begitu turun dari pesawat. Sebelum keluar, kami sempatkan berfoto dengan replika sasando. 

Berfoto dengan sasando di Bandara El Tari, Kupang

Sedikit cerita, sasando sendiri adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Alat musik ini termasuk jenis alat musik dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Sasando memiliki bentuk unik seperti tabung dengan anyaman daun lontar berbentuk setengah lingkaran yang mengelilinginya. Anyaman ini berfungsi sebagai resonator untuk memperkuat suara. Kata "sasando" berasal dari bahasa Rote, yaitu "sasandu", yang berarti "alat yang bergetar atau berbunyi." Sasando biasanya dibuat dari bambu sebagai inti, dengan dawai-dawai yang direntangkan dari atas hingga bawah tabung. Dawai-dawai ini kemudian diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan nada tertentu. Sasando digunakan dalam berbagai acara adat, hiburan, dan upacara tradisional masyarakat Rote, serta telah menjadi simbol kebanggaan budaya Nusa Tenggara Timur.

Dari Bandara El Tari, kalau mau ke pusat Kota Kupang sebenarnya ada 1 pilihan transportasi yang paling nyaman, yaitu taksi dengan tarif flat untuk tujuan Kota Kupang 70ribu rupiah. Jika tujuannya lebih ke selatan lagi, seperti Pelabuhan Tenau, maka tarifnya flat 100ribu rupiah. Tapi dengan kebiasaanku yang sudah beberapa kali bolak-balik Kupang, untuk menghemat biasanya aku akan jalan kaki sejauh +- 1 km keluar dari bandara sampai menemukan bundaran. Dari situ naik angkot untuk menuju ke berbagai tujuan di Kota Kupang. Aku mengusulkan ke Richa cara itu dan dia setuju. 

Belum ada 200 meter jalan kaki, tiba-tiba ada mobil Avanza hitam menepi dan menanyai kami,

"Mau kemana kak?"

"Kita mau ke Kota pak, ke arah Pelabuhan Tenau," kataku.

"Oh mari ikut saya saja kak. Nanti saya turunkan di dekat kantor walikota, dari walikota nanti kk bisa naik angkot ke Pelabuhan Tenau."

"Wah gpp pak? Takut merepotkan," jawabku basa-basi.

"Gpp kak ini kan searah," katanya lagi.

Well, karena tidak menjumpai hawa kecurigaan, dan setelah melihat ke arah Richa juga dia tidak terlihat keberatan, akhirnya kita naik mobilnya.

"Nama saya Bapak Richard," katanya memperkenalkan diri.

"Oiya pak saya Galuh," jawabku.

Setelahnya aku dan Pak Richard berbincang beberapa hal selama perjalanan singkat ke walikota. Pak Richard memberitahu kami angkot nomor berapa yang harus kami ambil. Selain itu dia juga menanyakan apa tujuan kami kesini, dan berpesan hati-hati ketika nanti sudah sampai di Pulau Rote.

Aku dan Pak Richard

"Terimakasih banyak ya Pak," kataku ke Pak Richard setelah kami diturunkan di walikota.

"Terimakasih ya pak," kata Richa ke Pak Richard.

"Sama-sama kak, hati-hati ya," jawab Pak Richard.

Bersyukur banget, belum ada 1 jam di Kupang kami udah merasakan kebaikan warga lokal. Selanjutnya kami naik angkot sesuai petunjuk Pak Richard. Dengan bantuan beberapa orang, kami oper angkot dua kali sampai akhirnya tiba di daerah dekat Pelabuhan Tenau. Disinilah rumah Budhenya Richa, tempat kami akan bermalam malam itu. Richa terlihat langsung kangen-kangenan dengan budhenya dan bercerita banyak. 

Kami diminta istirahat di kamar anaknya Budhenya Richa, dan setelahnya disuruh makan siang. Wow.. sambutan yang baik banget ya.. hehehe.. Sore harinya kami juga dipinjami motor. Setelah diskusi singkat, aku ajak Richa untuk coba mengunjungi Pantai Tablolong. Jarak Pantai Tablolong dari Pelabuhan Tenau sendiri cukup jauh, 24 km dan akan ditempuh dalam 1 jam perjalanan.

Jam 13.30 aku mulai gas motor. Jalanan di awal perjalanan cukup ramai, melewati kawasan perkampungan dengan rumah-rumah sederhana dan aktivitas penduduk yang khas: anak-anak berlari di pinggir jalan sambil mendorong roda, pedagang kecil, dan truk-truk besar yang terkadang memadati jalan. Namun, semakin jauh kami melaju ke selatan ke arah Tablolong, suasana mulai berubah. Jalanan yang tadinya cukup padat mulai terasa lebih lengang. Lahan-lahan di sekitar kami terlihat kering dengan dominasi pohon lontar dan ilalang yang bergerak tertiup angin. Di beberapa tempat, tanahnya terlihat tandus, dan kami hanya  berpapasan dengan hewan-hewan ternak seperti kambing atau sapi yang digembalakan bebas di pinggir jalan. Rumah-rumah pun mulai jarang terlihat, berganti dengan hamparan padang savana dan bukit-bukit kecil yang gersang. Langit biru yang luas terasa begitu dekat, memberikan kesan khas Kupang yang tenang sekaligus eksotis.

Akhirnya, satu jam berkendara sampailah kami di Pantai Tablolong. Kami disambut oleh deburan ombak dengan pasir putihnya yang halus dan air laut biru kehijauan. Namun karena Bulan Desember ini Indonesia sudah masuk musim penghujan/muson barat, pasir putih Pantai Tablolong yang biasanya bersih kini terlihat dipenuhi daun-daun kering dan ranting kecil, terbawa angin dan arus laut. Di pinggir pantai, beberapa lapak sederhana milik penduduk lokal berdiri dengan seadanya. Lapaknya hanya terbuat dari kayu dan terpal, namun cukup untuk menaungi mereka dari panas matahari. Para penjual menjajakan minuman dingin, kelapa muda, dan camilan sederhana, sambil sesekali tersenyum ramah kepada pengunjung yang lewat.
Kapal nelayan yang tertambat di Pantai Tablolong, Kupang

Kapal nelayan yang tertambat di Pantai Tablolong, Kupang

Tak jauh dari sana, aku melihat anak-anak kecil bermain air di tepi pantai. Mereka tertawa lepas, melompat ke ombak kecil yang datang perlahan. Sesekali mereka saling menyiramkan air, tanpa peduli pada dunia di luar kesenangan mereka. Melihat mereka, aku tersenyum kecil, mengingatkan diriku pada kebahagiaan sederhana yang kadang kita lupa rasakan.

Bermain tanpa beban....

Di kejauhan, kapal-kapal nelayan tertambat dengan tenang. Kapal-kapal kayu itu terlihat tua namun kokoh, dengan warna cat yang mulai pudar karena garam laut dan cuaca. Beberapa nelayan duduk di tepi pantai, memperbaiki jaring mereka atau hanya berbincang dengan santai. Aku juga menjumpai banyak box-box seperti freezer penyimpan ikan yang banyak tersebar di pantai. Kehidupan mereka terlihat begitu dekat dengan laut, seolah tak terpisahkan dari ritme alam yang mengatur semuanya.

Kapal nelayan yang tertambat di lautan

Aku dan Richa memutuskan untuk duduk di kursi lapak penjual yang sedang tutup, menikmati hembusan angin yang membawa aroma laut. Meski pantai ini tidak seindah yang aku bayangkan sebelumnya, tetap saja ada sesuatu yang membuatku merasa damai di sini—kesederhanaan, keheningan, dan kehidupan yang terus berjalan apa adanya, tanpa beban yang berat.

"Yuk, foto-foto Cha," kataku.

Kami mengambil beberapa foto dengan berbagai pose. Sembari berfoto tiba-tiba anak kecil yang sedang berenang berteriak,

"Kak foto kami kak, foto kami," kata mereka.

"Eh ayo baris sini ya, foto bareng," kataku ke mereka. Benar-benar senang ketemu mereka, anak-anak kecil dan polos yang belum ada beban hidup hehehe..

Foto bareng...

Selanjutnya aku memberi mereka permainan supaya seru. Aku melempar beberapa uang logam ke pantai yang dangkal, dan mereka akan berenang cepat-cepat untuk menemukan uang logam tersebut. Well, sebenarnya aku ga ada maksud apapun. Hanya seru-seruan aja hehehe... Di akhir sesi, aku memberikan sedikit uang jajan buat mereka untuk jajan bareng-bareng. Aku benar-benar bersenang-senang setelah berinteraksi dengan anak-anak ini. Seakan-akan bebanku sebagian ikut menguap bersama senyum mereka.

Sekitar pukul 15.30, setelah puas bermain dan berfoto-foto, aku dan Richa memutuskan kembali ke arah kota. Setelah berdikusi singkat, kita memutuskan akan mampir ke Lippo Plaza Kupang dulu untuk sekalian makan malam. Perjalanan dari Pantai Tablolong ke Lippo Plaza cukup jauh, membutuhkan 1,5 jam perjalanan. Kami sampai Lippo Plaza jam 5 sore dan segera menuju Solaria karena perut udah benar-benar keroncongan.

Pameran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur di Lippo Plaza

Lippo Plaza, Kupang

Puas makan kami sempat berjalan-jalan keliling Lippo Plaza. Kami sempat menjumpai pameran produk UMKM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur yang menjual berbagai macam produk seperti kain batik, baju batik, selendang, sepatu dan sebagainya. Wow.. sampai NTT juga ya! Keren! Tidak butuh waktu lama bagi kami keliling Lippo Plaza, dan setelahnya kami kembali lagi ke rumah Budhe-nya Richa. Beristirahat untuk besok pagi menyeberang ke Pulau Rote!

Thankfull for today😊😊😊.

Part Selanjutnya : Disini

[1] Nusa ROTE : Yuk, ke Pulau Rote?

Pulau Rote /Nusa Rote

Surabaya, 18 November 2016

Rencana ini sebenarnya datang dengan sangat tiba-tiba. Bermula dari kegalauanku di LINE tentang kerinduanku terhadap Kota Karang (sinonim Kota Kupang), ditambah kegalauan temanku (Richa) tentang rencana liburan di akhir tahun, lahirlah rencana perjalanan selanjutnya ke Kupang dan Pulau Rote pada 9-13 Desember 2016. 


Kegalauanku di LINE terhubung dengan status Richa sepuluh hari kemudian:


Komentarku di statusnya Richa :


Di status Richa yang lagi galau pengen liburan di akhir tahun tersebut terlihat aku komen ngajak ke NTT tepatnya Pulau Rote. Well, sebenarnya waktu mengajak itu pun aku belum 100 % yakin sih. Diatas kerinduan akan Kota Kupang, tiba-tiba kepikiran pulau tetangga yang selama lima kali berkunjung ke Pulau Timor belum pernah kukunjungi yakni Pulau Rote. Alhasil yaudah pada 30 Oktober 2016, pukul 16.08 aku tiba-tiba ngajak Richa.

Setelah berunding singkat di kantor dengan bujukan-bujukan ringan, Richa setuju berangkat ke Kupang dan Rote. Richa juga bilang kebetulan dia ada Budhe di Kupang, jadi nanti bisa pinjam motor dan nginap di rumah Budhenya. Beberapa hari kemudian, kami segera membeli tiket pesawat Surabaya - Kupang (Citilink) untuk keberangkatan tanggal 9 Desember 2016 (Rp 613.000/orang), beberapa hari kemudian kami juga membeli tiket pesawat pulang Kupang-Surabaya (Lion Air) untuk kepulangan tanggal 13 Desember 2016 (Rp 556.000/orang). Cuss, siap berangkat!

Rencana perjalanan?
Sampai 18 November 2016 ini, aku belum membuar rencana perjalanan yang benar-benar fix. Aku baru mulai membaca-baca destinasi wisata yang eksotis di Pulau Rote. Tempat-tempat seperti Pantai Nemberala, Danau Laut Mati, Bukit Mando'o, Pantai Oeseli, Pulau Ndana (kalau bisa), sudah kumasukkan dalam daftar. Rencana kami akan menyewa motor selama berkeliling Pulau Rote. Tempat-tempat wisatanya pun sudah kukelompokkan di peta yang kucetak dari google map. 

Selama di Kupang, kami rencana mengunjungi Gua Kristal, Pantai Tersembunyi di dekat Gua Kristal, Pantai Tablolong, Taman Nostalgia, Pantai Tedis dan Pasar Malam Kampung Solor.

Peta wisata Pulau Rote buatanku sendiri

Booking tiket kapal Bahari Express Kupang-Rote?
Pertanyaan ini cukup membingungkanku karena setelah mencari-cari di berbagai situs resmi maupun blog, tidak ada yang menyebutkan dimana bisa booking tiket kapal cepat Bahari Express untuk rute Kupang-Rote. Ternyata kata temanku orang Kupang - Kak Inda, tiket kapal cepat Bahari Express baru bisa dibeli hari H langsung di Pelabuhan Tenau, dimana antrian loket dibuka pukul 07.00. Hmmmm....mungkin ini terkait dengan ketidakpastian keberangkatan kapal kali ya. Karena jika ombak sedang tinggi, tidak ada kapal yang diberangkatkan. Apalagi Selat Rote/Selat Pukuafu - perairan antara Pulau Timor dan Pulau Rote - katanya terkenal dengan ombaknya yang tinggi dan ganas. Hmmmm...aku hanya bisa berdoa..semoga sewaktu kami hendak berangkat/pulang dari Pulau Rote, keadaan laut bisa bersahabat sehingga kapal bisa diberangkatkan. Apalagi ini sudah bulan Desember.

Plan B
Aku sudah ngomong ke Richa, kita harus menyediakan plan B jika ternyata tidak ada kapal yang berangkat ke Pulau Rote karena ombak tinggi. Sementara baru dua pilihan yang aku sampaikan ke Richa yakni: 1) tetap ke Pulau Rote naik pesawat (ada Wings Air Kupang-Rote) dengan tarif sekitar 250ribuan  2) tetap di Pulau Timor dengan mengunjungi tempat lain. Sementara belum kami putuskan.

Sementara perkembangannya baru sampai sini saja, jika rencana perjalanan fix sudah jadi akan aku update disini. Semoga semuanya berjalan lancar ya! Tuhan akan menjaga!

UPDATE
Selasa, 6 Desember 2016

Here are my new fixed itinerary:


UPDATE
Ngawi - Surabaya, 8 Desember 2016
Besok adalah hari keberangkatanku ke Kupang untuk backpackeran ke Pulau Rote, jadwal pesawatnya jam 06.25 lebih tepatnya. Hari ini aku masih di Ngawi karena ada kerjaan lapangan, dan sepertinya aku kurang persiapan untuk besok hehehehe... Aku baru sampai Surabaya jam 7 malam, dan sampai Surabaya nggak langsung pulang kos malah main pingpong dulu dengan teman-teman kantor sampai jam 9 malam. Alhasil aku baru pulang ke kos sekitar jam 9.30 malam, dan hanya mempunyai 2 potong baju bersih. Padahal besok itu akan backpackeran selama 5 hari. Akhirnya baju buat berangkat besok terpaksa pakai baju bekas pijetan dr ngawi yang masih bau minyak telon wkwk. Celana-celana jeans entah bersih atau kotor langsung lipat masukin tas. Akhirnya baru selesai packing jam 1 pagi. Jam 3 pagi alarm sudah bunyi, memaksaku mengangkat tubuh malasku ke bandara. Hhhh....pemalaas. Harusnya sebelum berangkat ke Ngawi udah masukin sebagian baju kotor ke laundry kilat dulu kan ya!

Part Selanjutnya : Disini