Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.21.2024

[1] Sawadee Malaysia : Melintasi Lorong Waktu di Penang: Jejak Old China dan Keberagaman Budaya

Penang, 29 Januari 2012

Kami tiba di Pulau Pinang sekitar pukul 1 siang. Perjalanan menuju pulau ini menurut ane cukup menarik karena beberapa saat sebelum sampai, travel yang kami naiki sempat melintasi jembatan tengah laut yang menghubungkan daratan utama Malaysia dengan Pulau Pinang. Jembatan ini memberikan pemandangan horizon yang luas: birunya laut yang membentang, kapal-kapal yang berlayar, dan langit cerah yang terasa menyatu dengan horizon. Kalau di Indonesia, mungkin seperti Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa dan Madura. Hanya jalan diatas jembatan lebih lebar disini.

Begitu sampai di Penang, kami segera turun dari van dan mencari penginapan. Setelah berjalan beberapa saat, kami menemukan tempat yang nyaman untuk bermalam dan langsung meletakkan tas kami. Waktunya mengeksplorasi! Ane cukup semangat eksplor karena ini pertama kalinya menginjakkan kaki di Malaysia. 

Dari penginapan kami berjalan ke Lorong Seck Chuan, sebuah jalan kecil yang bisa dibilang kaya akan sejarah. Lorong ini dulunya adalah bagian dari pusat perdagangan aktif pada masa kolonial. Suasana di sini sangat unik, dengan bangunan tua yang berjejer rapat, sebagian besar masih mempertahankan arsitektur aslinya. Kami berjalan kaki sembari mengamati pintu-pintu kayu klasik, jendela berjeruji besi, dan mural-mural seni modern yang menghiasi beberapa temboknya. 

Dari Lorong Seck Chuan, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah masjid yang menjadi salah satu simbol harmoni budaya di Penang. Masjid ini berada di tengah kawasan yang masih terasa nuansa Old China, dengan toko-toko obat tradisional dan kedai teh yang mempertahankan keasliannya. Suasana ini menunjukkan betapa beragamnya budaya yang berbaur di Penang.

Tak jauh dari sana, kami tiba di kuil Buddha kecil yang dipenuhi dengan lentera merah dan patung-patung dewa. Di sekitar kuil, suasana terasa tenang meski terletak di kawasan yang cukup ramai. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Thaipusam Hindu Temple, sebuah kuil Hindu dengan arsitektur megah dan warna-warna mencolok yang memanjakan mata.

Lelah setelah berjalan kaki, kami akhirnya berhenti untuk makan siang. Pilihan kami jatuh pada sebuah kedai lokal yang terkenal dengan hidangan nasi kari ayam. Rasanya sungguh lezat—kuah kari yang kaya rempah berpadu sempurna dengan ayam yang empuk dan nasi hangat. Makan siang ini menjadi penutup sempurna untuk eksplorasi hari pertama kami di Penang.

Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke lorong yang dipenuhi mural-mural artistik. Lorong ini adalah salah satu atraksi terkenal di Penang, menampilkan seni jalanan yang menceritakan kehidupan masyarakat lokal. Beberapa mural menggambarkan anak-anak bermain, pedagang tua, atau adegan kehidupan sehari-hari. Karya-karya ini memberikan kehidupan baru pada bangunan-bangunan tua di sekitarnya, menciptakan perpaduan antara tradisi dan modernitas.

Dari lorong mural, kami berjalan menuju Dewan Sri Pinang, sebuah bangunan bersejarah yang kini sering digunakan untuk acara seni dan budaya. Arsitekturnya yang megah menjadi latar yang sempurna untuk foto.

Kemudian, kami tiba di Town Hall Penang, sebuah bangunan megah bergaya arsitektur kolonial yang merupakan salah satu landmark penting di George Town. Dibangun pada tahun 1880, Town Hall ini awalnya berfungsi sebagai pusat administrasi kolonial Inggris. Kini, bangunan ini difungsikan sebagai tempat acara-acara resmi, pameran, dan konser. Keindahan arsitekturnya yang masih terawat dengan baik menunjukkan dedikasi kota ini untuk melestarikan warisan budaya.

Di seberang Town Hall, kami menemukan Esplanade Penang, yang juga dikenal sebagai Padang Kota Lama. Kawasan ini merupakan ruang terbuka hijau yang sudah ada sejak era kolonial. Pada masa itu, Esplanade digunakan sebagai tempat parade militer dan acara-acara besar. Kini, area ini menjadi tempat favorit warga lokal dan wisatawan untuk bersantai, terutama karena lokasinya yang berada tepat di tepi laut.

Pemandangan laut dari Esplanade sangat memukau. Kami duduk di bangku taman, menikmati angin sepoi-sepoi sambil memandangi kapal-kapal yang berlayar di kejauhan. Suara ombak yang tenang berpadu dengan aktivitas warga lokal yang jogging atau bercengkerama bersama keluarga. Cahaya matahari sore yang memantul di permukaan air laut menambah kesan magis pada tempat ini. 

Dari Esplanade Penang, kami melanjutkan perjalanan ke Padang Kota Lama, sebuah taman yang terletak di tengah-tengah area George Town yang bersejarah. Taman ini merupakan salah satu ruang hijau penting di Penang dan sering dijadikan tempat berkumpul bagi warga lokal maupun wisatawan. Padang Kota Lama memiliki fungsi ganda: sebagai ruang rekreasi dan lokasi untuk berbagai acara umum, seperti konser, pasar malam, atau festival budaya.

Saat kami tiba, taman ini tampak hidup dengan berbagai aktivitas. Di salah satu sudut, beberapa anak kecil bermain bola sambil tertawa riang, sementara di sisi lain terlihat pasangan-pasangan yang duduk di bangku taman di bawah pohon besar yang rindang. Jalan setapak di taman dipenuhi orang-orang yang berjalan santai atau jogging. Beberapa penjual es krim keliling menambah suasana santai sore itu. Kami memutuskan untuk duduk sejenak di atas rumput sambil menikmati pemandangan di sekitar, dengan latar belakang bangunan-bangunan kolonial yang megah.

Setelah menikmati suasana Padang Kota Lama, kami melanjutkan langkah ke Fort Cornwallis, yang hanya berjarak beberapa menit berjalan kaki dari taman. Ketika kami mendekati pintu masuk Fort Cornwallis, dinding batu yang kokoh langsung menarik perhatian kami. Benteng ini adalah salah satu situs sejarah paling penting di Penang. Dibangun pada tahun 1786 oleh Kapten Francis Light, Fort Cornwallis awalnya dirancang sebagai benteng pertahanan untuk melindungi George Town dari ancaman serangan musuh, terutama dari bangsa Belanda dan Perancis. Meski benteng ini tidak pernah digunakan untuk pertempuran, ia tetap menjadi simbol penting dari masa kolonial Inggris di Asia Tenggara.

Kami memasuki benteng melalui gerbang kayu besar, dan suasana di dalam langsung membawa kami kembali ke masa lalu. Area benteng ini cukup luas, dengan sisa-sisa struktur tua seperti gudang amunisi, penjara kecil, dan kapel. Beberapa meriam tua masih berdiri kokoh di atas tembok, menghadap ke laut, seolah bersiap menghadapi ancaman yang tak pernah datang. Salah satu meriam yang terkenal di sini adalah Meriam Seri Rambai, yang konon memiliki mitos membawa keberuntungan bagi pasangan yang berdoa di dekatnya.

Saat berjalan-jalan di dalam benteng, kami melihat berbagai panel informasi yang menceritakan sejarahnya, lengkap dengan foto-foto lama dan peta zaman kolonial. Ada juga menara pengawas kecil di salah satu sudut, dari mana kami bisa menikmati pemandangan indah ke arah laut dan George Town.

Sore itu, suasana di Fort Cornwallis terasa damai. Hanya ada beberapa pengunjung lain selain kami, sehingga kami bisa menjelajah dengan leluasa. Angin laut yang sepoi-sepoi membuat udara terasa sejuk, meskipun matahari masih bersinar terang. Kami mengambil beberapa foto, mencoba membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang tentara Inggris yang berjaga di benteng ini berabad-abad lalu.

Setelah puas menjelajahi Fort Cornwallis, kami memutuskan untuk keluar dan berjalan kembali menuju pusat kota, di mana lampu-lampu jalan mulai menyala, menciptakan suasana malam yang penuh kehangatan. Penang memang kota yang penuh cerita dan selalu ada hal menarik di setiap sudutnya.

Dalam perjalanan pulang menuju penginapan, langkah kami terhenti oleh suara tabuhan drum, dentuman simbal, dan sorakan riuh dari kejauhan. Saat berjalan lebih dekat, kami melihat rombongan barongsai yang tengah beraksi di sebuah persimpangan jalan. Rupanya, kami beruntung bisa menyaksikan salah satu atraksi budaya khas yang sangat meriah, apalagi saat itu mendekati perayaan Imlek.

Rombongan barongsai tersebut terdiri dari beberapa kelompok, masing-masing membawa barongsai berwarna-warni. Ada barongsai berwarna merah menyala yang melambangkan keberuntungan, kuning keemasan sebagai simbol kemakmuran, dan hijau cerah yang mewakili harapan. Tidak ketinggalan, barongsai biru yang melambangkan harmoni dan ketenangan. Kostum-kostum mereka sangat mencolok dengan detail yang indah, dihiasi bulu-bulu halus di sekeliling kepala dan ekor, serta pola-pola bersulam yang memancarkan kilauan saat terkena cahaya.

Rombongan barongsai itu ternyata tidak hanya berhenti di satu tempat, tetapi membentuk arak-arakan yang bergerak sepanjang jalanan Kota Penang. Suasana semakin semarak dengan iring-iringan pemain drum dan gong yang terus menabuh ritme dinamis, mengiringi setiap langkah barongsai yang menari-nari di jalanan. Di depan arak-arakan, ada pembawa bendera besar berwarna merah keemasan dengan tulisan Tionghoa yang mengalir megah tertiup angin.

Para pemain barongsai menampilkan gerakan yang lincah dan penuh energi, mengikuti irama tabuhan drum dan suara gong yang bertalu-talu. Penonton yang berkumpul di sekeliling memberikan semangat dengan tepuk tangan dan sorakan setiap kali barongsai melompat-lompat atau membuat gerakan akrobatik. Beberapa anak kecil terlihat sangat antusias, bahkan ada yang berusaha menyentuh kepala barongsai dengan harapan mendapatkan keberuntungan.

Di antara rombongan itu, ada juga para pengiring yang membawa lampion merah besar, menambah suasana semarak malam itu. Pedagang kaki lima di sepanjang jalan pun tampak sibuk melayani pembeli, menjual makanan ringan khas seperti kue keranjang, bakpao, dan permen kapas. Aroma makanan bercampur dengan suasana riuh, menciptakan kombinasi yang menyenangkan bagi semua indra.

Kami memutuskan untuk berhenti sejenak, ikut menikmati pertunjukan tersebut. Rasa lelah setelah seharian menjelajahi Penang seolah hilang dalam suasana yang penuh keceriaan ini. Meski malam mulai larut, semangat rombongan barongsai dan para penonton tak surut.

Setelah pertunjukan selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju penginapan dengan senyum lebar dan hati yang hangat. Malam itu terasa seperti penutup sempurna untuk hari yang penuh petualangan di Penang. Semangat dan keramaian yang kami saksikan seakan menjadi pengingat akan keindahan budaya dan tradisi yang tetap hidup di tengah modernitas kota ini.

[Part 3] Cam On Vietnam : Transit Hari Kedua dan Finnaly Mendarat di Ho Chi Minh City

Semalam ane sampai hotel Spacepod@Lavender sekitar jam 23.30, dan setelah bersih-bersih sejenak ane bersiap tidur. Ane yakin malam ini akan bisa tidur nyenyak karena hari ini lumayan capek jalan kaki berkilo-kilo meter kan. Eehh... Nyatanyaaa... Jam bergerak dari jam 1, jam 2, jam 3 bahkan sampai jam 4 ane belum bisa tidur.... Ahhhh menyebalkan banget! Mana udah bayar kamar mahal lagi 700k/malam, dan besok ane masih butuh tenaga ektra untuk lanjut menjelajah Singapore lagi, ehh malah ga iso tidur!

Ane akhirnya baru terlelap sekitar jam 04.30, dan kemudian terbangun jam 07.30 dengan mood yang agak buruk khas orang kurang tidur. Tapi yaudahlah.. ane harus menerima keadaan, berusaha mengumpulkan mood baik dan kemudian mendorong badan untuk bangun dan segera mandi air panas supaya agak segeran. 'Yang penting udah tidur... Udah deep sleep, biarpun cuma 3 jam. Hari ini ane akan bersemangat!' itulah yang ane tanamkan ke mindset hari ini.

Hari ini jadwal penerbangan ane dari Singapore ke Ho Chi Minh City masih jam 6 sore jadi ane masih punya waktu hampir 6-7 jam untuk lanjut eksplor Singapore. Ane emang udah ke Singapore beberapa kali, namun masih ada beberapa tempat yang belum pernah ane kunjungin seperti Fort Canning dan Henderson Waves yang rencana akan ane kunjungin hari ini. Semoga aja waktunya cukup untuk mengunjungi keduanya. Kalau semisal waktunya ga cukup, Fort Canning aja cukup.

Sekitar jam 9 kita sudah siap dan siap eksplor. Karena jam 12 udah harus check out, jadi pas mau berangkat ane sekalian check out dan titipin tas ransel ke resepsionis untuk diambil lagi nanti sore. Jadi hari itu cuma membawa tas kecil yang berisi dompet serta air minum. Sangat ringaaann..

Seperti hari kemarin, kami kembali sarapan di Stasiun MRT Lavender, lagi-lagi dengan nasi dan lauk Chinese Food. Emang seenak itu sih rasa dan porsinya hehe.. kelar urusan perut, kami segera naik MRT kembali untuk menuju tujuan pertama, Fort Canning. Dari Lavender, kami naik jalur hijau turun di Stasiun City Hall. Dari Stasiun City Hall, kami sempat berjalan kaki +- 650 meter melewati bangunan berwarna putih orange yang ternyata merupakan Stasiun Pemadam Kebakaran Singapura. Yah inilah salah satu hal yang ane suka dari traveling, bisa jalan kaki banyak sekalian lihat bangunan-bangunan sekitar yang historik.





Berjalan sesaat, akhirnya kami menemukan pintu masuk Fort Canning. Dari situ kalau mau masuk kompleks utamanya, ternyata harus naik anak tangga yang lumayan tinggi. Wah.. olahraga pagi-pagi ni😁. Napas mulai ngos-ngosan pas naik, tapi pas sampai atas, ane langsung ngerasain suasana adem karena tempat ini benar-benar dikelilingi pepohonan yang banyak dan rindang. 

Fort Canning sendiri adalah sebuah bukit dan taman bersejarah yang terletak di pusat Singapura. Tempat ini dikenal sebagai lokasi strategis yang pernah menjadi tempat benteng pertahanan dan pusat administrasi selama era kolonial Inggris. Selama Perang Dunia II sendiri, Fort Canning menjadi tempat di mana para pemimpin militer Britania berkumpul untuk merencanakan pertahanan Singapura.

Dari situ, ane jalan ke arah Raffles' House. Ane sempat baca kalau dulu tempat ini jadi kediaman Sir Stamford Raffles, bapaknya Singapura modern. Bukit ini dulu dikenal sebagai Bukit Larangan sama penduduk lokal, karena dipercaya tempat raja-raja Melayu kuno. Di sini juga pernah ditemukan makam dan artefak dari abad ke-14, bukti kalau dulunya pusat kerajaan Temasek ada di sini.

Pas sampai di bekas Lighthouse, ane berhenti sebentar. Walaupun bangunannya udah nggak ada, tempat ini penting banget di masa kolonial. Dulu ada mercusuar yang bantu kapal-kapal lewat, karena bukit ini strategis banget buat navigasi. Setelah Inggris masuk, mereka juga bangun benteng di sini sekitar tahun 1860-an, jadinya dinamain Fort Canning. Benteng ini bahkan jadi pusat komando Inggris waktu Perang Dunia II, sebelum akhirnya mereka nyerah ke Jepang di tahun 1942.

Ane lanjut jalan ke taman-tamannya yang rapi banget. Di beberapa titik, ada sisa-sisa sejarah kayak meriam kecil, bunker Battle Box, dan bangunan tua. Jalurnya nyaman buat jalan, dan ketemu beberapa orang yang jogging atau foto-foto. Tapi ane lebih milih nikmatin suasana sambil ngebayangin gimana dulu tempat ini jadi pusat pertahanan Inggris.

Setelah sekitar satu setengah jam jalan, ane balik ke jalur keluar dengan rasa puas. Fort Canning bukan cuma tempat buat santai, tapi juga ngasih pengalaman jalan-jalan sambil belajar sejarah. Ane pasti bakal balik lagi kalau ada kesempatan.

Puas berkeliling Fort Canning, karena jam masih sangat cukup, kami melanjutkan ke tempat selanjutnya, Henderson Waves. Henderson Waves sendiri adalah jembatan pejalan kaki yang terletak di Singapura, menghubungkan Mount Faber Park dan Telok Blangah Hill Park. Dibuka pada tahun 2008, jembatan ini terkenal karena desainnya yang unik dan menarik, dengan bentuk bergelombang yang menyerupai gelombang laut. Kami kesana menggunakan bus, dan memang jaraknya lumayan jauh sampai butuh 1 jam perjalanan.

Turun dari bis, perasaan udah ga enak aja nih. Jembatannya kok kayaknya diatas banget ya. Artinya apa? Harus trekking via tangga. Ahhhh males banget wkwkwk....mana tinggi banget.

Jembatan ini memiliki panjang sekitar 274 meter dan terletak 36 meter di atas tanah, menawarkan pemandangan indah dari sekitarnya. Henderson Waves juga dilengkapi dengan area bersantai dan tempat duduk, sehingga menjadi tempat yang populer untuk berjalan-jalan, bersepeda, dan menikmati alam. Selain itu, jembatan ini juga memiliki pencahayaan malam yang indah, menjadikannya lebih menarik saat malam hari.

Sekitar jam 12 siang setelah puas berfoto-foto dengan Henderson Waves, kami pun memutuskan harus segera balik ke penginapan di Lavender untuk mengambil ransel yang kami titipkan dan segera beranjak ke bandara. Perjalanan dengan bis dan MRT berlangsung cukup lama, hampir 1 jam.

Setelah mengambil tas dan koper yang dititipkan, kami langsung beranjak ke stasiun MRT untuk ke bandara. Karena kami sudah mendapatkan boarding pass sejak dari Bali, sampai bandara ane langsung cari papan yang menunjukkan gate keberangkatan. Proses boarding dan penerbangan berjalan dengan lancar. Jujur feel ane kalau naik Scoot ini emang bagus banget sih. Take off - penerbangan - landing berjalan super mulus. Sekitar pukul 6 sore, kami sudah mendarat di Tanh Son Nath Airport di Ho Chi Minh City. Ane udah mempelajari tranportasi publik yang harus diambil, dan kami mengambil minibus dengan tarif 15.000 Vietnam Dong (VND) perorang ke pusat kota.

Dentam musik dari pub-pub yang berjajar di sepanjang Bui Vien Walking Street benar-benar memekakkan telinga kami, sampai mau ngomong pun harus teriak-teriak. Suasana malam ini benar-benar ramai. 

Berjalan sejenak, akhirnya kita memutuskan makan nasi goreng pinggir jalan seharga 40.000 VND (Rp 25.000); dan sesuai kebiasaan orang Vietnam, dimana kalau makan di pinggir jalan bakal duduk di kursi rendah dan meja rendah. Hehehe. Padahal posisinya di dekat perempatan jalan, jadi berasa diliatin orang di sepanjang jalan dan diberi bumbu polusi asap motor.

Selesai makan kami kembali melewati riuhnya Bui Vien Walking Street untuk kembali ke penginapan. Para pekerja pub beberapa kali menawari kami untuk singgah dan duduk di pub-pub terbuka mereka. Sebenarnya tertarik juga, cuma ane udha kenyang dan ga mau terlalu boros di hari pertama, jadi ane hanya bikin story-story aja para penarinya dan melangkah kembali ke penginapan. Sebelumnya ane sempet mampir ke minimarket untuk jajan bir dan snack cumi. Finnaly take a rest, besok siap eksplor Ho Chi Minh City!