Aku dengan Kak Rillen, temannya, Kak Inda, Yanto dan anak-anak Kak Inda
Keesokan harinya aku dan Richa naik kapal Express Bahari pagi dari Rote ke Kupang. Ya, hari ini kami sudah harus kembali ke Kupang karena lusa pagi kita sudah harus kembali ke Surabaya. Yaa kembali ke rutinitas. BekerjaðŸ˜ðŸ˜.
Menaiki kembali kapal Bahari Express 1C, kami sampai Kupang lagi, tepatnya rumahnya Budhenya Richa di siang hari. Sudah tidak ada agenda atau tempat yang akan kami kunjungi lagi di Kupang, jadi siang itu sampai sesorean aku istirahat, sementara Richa terlihat berinteraksi lebih maksimal dengan Budhenya.
Sorenya, aku pamit ke Richa dan Budhenya karena mau ada acara ketemuan dengan Pandu, teman KKN-ku waktu kuliah yang sekarang sedang di NTT dan Kak Rillen, teman FB-ku dari Kupang. Ane udah berteman dengan Kak Rillen cukup lama, sejak 2012 tepatnya. Perkenalan pertamaku dengan Kak Rillen, seingatku dia bertanya-tanya tentang India lewat messenger karena dia ada rencana mau kesana. Dia menghubungiku karena aku banyak nulis tentang India di blog mulai dari cara bikin visanya, pengalaman disana, dan tips trik selama disana. Aku, Pandu dan Kak Rillen rencana akan ketemuan di Cafe Subasuka.
Sore itu, Pandu dan Yanto (temannya dari desa KKN) datang tepat waktu seperti yang sudah kami rencanakan. Kami memulai pertemuan dengan mengobrol santai dan menikmati hidangan di sebuah Cafe Subasuka, sebuah cafe tepi laut yang sederhana tapi nyaman. Awalnya, kami duduk di kursi-kursi kayu yang berada di sebuah gubuk kecil di tepi laut. Suasana begitu syahdu—deru ombak yang tenang berpadu dengan angin laut yang lembut, menciptakan suasana yang benar-benar santai. Tapi, tak lama kemudian, langit berubah gelap, dan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun.
Kami berusaha tetap santai meski hujan semakin menggila. Namun, tak hanya hujan yang mengguyur, petir pun mulai menggelegar. Suaranya menggema tanpa ampun, memecah keheningan sore itu. Aku mulai merasa tidak nyaman. Gubuk kecil tempat kami duduk persis di tepi laut dan dekat dengan sebuah pohon. Pikiranku mulai dihantui kekhawatiran: bagaimana jika petir menyambar?
Duaar....! Lagi-lagi petir menyambar dengan begitu kerasnya di langit.
"Pindah kedalam aja yuk guys, takut aku," kataku semakin kuatir.
Kami pun akhirnya memutuskan untuk berpindah ke bagian dalam cafe. Meskipun kehilangan pemandangan laut yang indah, kami tetap melanjutkan cerita-cerita kami di meja kayu yang hangat di dalam ruangan. Hujan deras yang mengguyur atap seng cafe menciptakan suara gemuruh yang anehnya terasa menenangkan. Obrolan kami terus mengalir, sesekali diselingi tawa. Hujan di luar terasa seperti irama yang menemani sore kami.
Oiya, siapa Kak Inda? Kak Inda adalah salah satu temanku asal Kupang. Perkenalan kami terjadi secara tak langsung, melalui Kak Rillen yang tampaknya tahu bahwa aku sering transit di Kupang. Semua ini berawal dari bulan Juli-Agustus 2013, ketika aku pernah KKN di Atambua, NTT. Masa KKN itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam hingga proses move on-nya memakan waktu panjang. Saking seringnya aku bolak-balik NTT, khususnya Pulau Timor, Kak Rillen mengenalkanku dengan Kak Inda, seorang teman yang ternyata juga memiliki hobi traveling.
Ketika akhirnya bertemu, aku dan teman-temanku disambut dengan sangat hangat di rumah Kak Inda. Rumahnya begitu dipenuhi kehangatan keluarga. Saat itu, Kak Inda memiliki dua anak kecil yang sangat menggemaskan. Salah satunya adalah Dek Raya, yang sempat kugendong selama kami berada di sana.
Kami duduk bersama, berbicara banyak hal, dan berbagi cerita selama hampir satu jam. Meski singkat, pertemuan itu terasa begitu berarti. Kak Inda menunjukkan keramahtamahan khas Kupang yang membuatku merasa seperti berada di rumah sendiri.
Setelah obrolan hangat dan cerita-cerita yang tak terasa memakan waktu lama, kami akhirnya harus berpamitan dari rumah Kak Inda. Waktu menunjukkan pukul 12 malam ketika kami berpisah. Pandu, seperti biasa, dengan baik hati mengantarkanku kembali ke rumah Budhe-nya Richa.
Esok paginya, aku dan Richa terbang kembali ke Surabaya dengan jadwal pesawat jam 5 pagi. Penerbangan pagi itu terasa seperti transisi yang singkat namun tajam dari suasana hangat NTT menuju rutinitas kehidupan kota. Setibanya di Surabaya, kami langsung bergegas menghadapi realitas—kembali bekerja, hehehe.
Meskipun begitu, kenangan manis dari perjalanan ini tetap melekat. Ia menjadi semacam pengingat bahwa sesekali, jauh dari rutinitas, selalu ada pengalaman berharga yang menghangatkan hati. Terimakasih Pulau Rote!
0 comments:
Posting Komentar