Semburat matahari mulai mengintip di ufuk timur, perlahan mengusir gelap malam. Kokok ayam pagi hari menggema, membangunkan desa dari tidurnya. Aku bangun dari tidur dengan cukup segar. 'Mungkin bisa lihat sunrise', pikirku sambil menguap dan bersiap-siap mengangkat tubuh dari kasur. Kulihat Richa di kasurnya juga sudah bangun dan sedang bermain handphone.
Aku buka pintu kamar dan disambut dengan udara pagi pantai yang sejuk dan sedikit dingin. Oh, rupanya aku terlambat, matahari sudah terbit. Pagi ini suasana di pantai begitu sepi dan damai. Hanya terdengar suara deburan ombak kecil yang pecah perlahan di garis pantai. Angin lembut berhembus, membawa aroma laut yang khas. Aku berjalan perlahan menuju pantai di belakang penginapan, ingin menikmati momen damai ini dengan penuh kesadaran.
Aku berdiri memandang ke arah laut yang membentang luas, permukaannya berkilau terkena cahaya matahari yang perlahan naik. Di kejauhan, beberapa perahu kecil bergoyang pelan, terombang-ambing mengikuti ritme ombak. Pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pinggir pantai terlihat bergoyang perlahan tertiup angin.
Sedikit demi sedikit, matahari mulai meninggi, menyinari pasir putih dan laut biru Nemberala yang semakin memancarkan keindahannya. Setelah menikmati sesi pagi yang sangat mendamaikan, aku segera bersih-bersih untuk bersiap cari sarapan. Rencana aku dan Richa akan eksplorasi area Pantai Nemberala lebih jauh sebelum check out dan melanjutkan perjalanan.
Pagi itu selesai sarapan, kami berjalan menyusuri garis pantai, menikmati segarnya terpaan air laut di telapak kaki. Laut disini airnya begitu jernih, memperlihatkan dasar berpasir dengan sesekali pecahan karang kecil di dalamnya. Pohon-pohon kelapa yang berjajar di tepi pantai terlihat meliuk melambai tertiup angin. Meskipun pemandangan masih diganggu oleh satu hal, sampah kiriman! Hampir di sepanjang tepi pantai yang kami telusuri masih diganggu oleh sampah kiriman.
Setelah berjalan kurang lebih 200 meter dari hotel, kami menemukan sebuah spot pantai yang gradasi biru lautnya benar-benar cantik.
"Wah baguus cha! Yuk cha takfotoin," kataku. Kami bergantian mengambil foto disini karena laut disini benar-benar secantik itu.
Saat melanjutkan langkah, aku melihat di sepanjang tepi pantai, terlihat banyak warga menjemur daun kelapa di sepanjang pantai. Setelah aku browsing, ternyata menjemur daun kelapa sampai kering merupakan salah satu aktivitas tradisional yang sering dilakukan oleh masyarakat Pulau Rote. Daun kelapa itu sendiri setelah kering biasa digunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti anyaman tikar (digunakan untuk keperluan rumah tangga atau upacara adat), tas atau topi tradisional (sering dijual sebagai cendera mata bagi wisatawan atau digunakan sendiri), atap rumah tradisional (alang-alang). Selain itu daun kelapa kering adalah bahan bakar alami yang sering digunakan untuk memasak di dapur tradisional maupun bahan bakar untuk mengolah gula aren atau minuman tradisional seperti moke. Karena melimpah dan mudah terbakar, ini menjadi pilihan ekonomis bagi masyarakat lokal.
Setelah puas hunting foto, sekitar pukul 9 pagi, kami check-out dari penginapan dan mulai mengarahkan motor ke tujuan selanjutnya: Pantai Oeseli. Pantai ini berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Nemberala dan memakan waktu sekitar 45 menit berkendara. Perjalanan menuju Oeseli menunjukkan sisi selatan Pulau Rote yang pemandangannya didominasi oleh hamparan hijau subur dengan pohon dan rerumputan, serta area gersang yang dipenuhi semak-semak kering. Jalanannya sendiri sebagian besar cukup mulus. Di sisi jalan, kami sering kali melewati kawanan ternak—sapi dan kambing yang asyik merumput dan mencari makan di padang rumput luas.
Dari hamparan hijau subur dan padang gersang, pemandangan mulai didominasi oleh pohon kepala yang tumbuh menjulang tinggi. 'Wah.. udah deket nih kayaknya,' batinku. Motor kulajukan di jalanan yang semakin sepi dan sepi, dan akhirnya aku memasuki sebuah jalan kecil yang menuju ke laut. Dan tiba-tiba terbentanglah salah satu pantai terindah di hidupku...
Pantai Oeseli..Oh my God, I have never seen pantai seindah dan seluas ini. Airnya biru jernih seperti kristal, memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Garis pantainya dihiasi pasir putih lembut. Dan sewaktu aku mendekat... Hmmmm... Ternyata pantainya dangkal sekali, arus tenang. Gelombang laut terlihat hanya membentuk riak-riak kecil.
“Wihh baguss banget pantainya Cha” kataku sambil mematikan mesin motor.
Richa mengangguk sambil mengabadikan pemandangan dengan kameranya. Memang tidak dipungkiri, siapa saja yang pertama kali mengunjungi pantai ini pasti merasa amazed!
Saking terpesonanya dengan biru kristal dan beningnya air laut di Pantai Oeseli, aku tak tahan untuk tidak menceburkan diri. Setelah menaruh barang-barang di bawah pohon kelapa, aku segera mengganti pakaian dan berlari kecil ke arah air. Rasanya sejuk di tengah teriknya matahari siang Pulau Rote. Sementara itu, Richa memutuskan untuk tidak ikut berenang. Ia memilih bersantai di bawah pohon, mendengarkan musik favoritnya sambil menikmati semilir angin pantai. It's no problem karena setiap orang mempunyai caranya masing-masing untuk menikmati suasana.
Meski menikmati berenang, aku tak bisa sepenuhnya rileks. Ada rasa khawatir yang menghantui, terutama saat membayangkan kemungkinan munculnya buaya. Aku cukup sering ke NTT terutama Pulau Timor, dan salah satu issue paling utama di pantai-pantainya adalah keberadaan buaya yang masih sering mengancam. Buaya-buaya tersebut datang dari rawa ke pantai untuk mencari sumber makanan tentunya, dan yang kudengar, sudah ada beberapa kasus penyerangan manusia oleh buaya di pantai. Pemikiran tersebut membuatku cukup kawatir dan hanya berenang di sekitar tepian pantai saja.
Setelah puas bermain air, aku segera naik. Udara hangat segera mengeringkan kulitku, dan aku duduk sebentar di atas pasir, menikmati pemandangan sambil memandangi laut lepas. Sebelum bersiap menuju destinasi berikutnya, aku menyempatkan diri berburu foto-foto indah. Namun, di sela-sela aktivitas memotret, aku menyadari betapa pentingnya menikmati keindahan ini dengan mata dan hati. Kamera bisa menangkap gambar, tapi hanya mataku yang bisa menyimpan kesan mendalam dari suasana ini.
Saat kami hendak berkemas, kami bertemu dengan dua traveler yang baru saja tiba di pantai. Salah satunya adalah orang Indonesia, dan yang satunya lagi seorang bule. Mereka datang dengan motor, lengkap dengan perlengkapan camping yang terikat di belakang.
“Wah, kalian camping di sini?” tanyaku.
“Ya, sudah semalam di sini. Kami lagi roadtrip keliling NTT,” jawab si traveler Indonesia dengan senyum lebar. Ia bercerita tentang perjalanan mereka yang penuh petualangan, dari pantai ke pantai, gunung ke gunung, dan desa ke desa. Mereka tampak begitu menikmati perjalanan. Yaa nggak heran sih, roadtrip, apalagi di NTT (salah satu provinsi dengan pemandangan alam terbaik di Indonesia) merupakan dambaan setiap traveler yang hobby jalur darat.
“Pantai Oeseli ini salah satu favorit kami sejauh ini. Sepi, bersih, dan indah banget,” tambah si traveler sambil memandang laut.
"Can't agree more," kataku menyetujui.
Aku dan Richa mengobrol sebentar dengan mereka sebelum akhirnya berpamitan. Aku senang membuat memori dengan mengunjungi pantai ini. Disini aku benar-benar merasakan kedamaian. Waktu seolah berhenti, memberikan ruang untuk menikmati keindahan alam tanpa gangguan.
Kami melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya: Bukit Mando’o. Dari Pantai Oeseli, perjalanan menuju Bukit Mando’o memakan waktu sekitar 40 menit dengan jarak kurang lebih 15 kilometer. Jalan yang kami lalui cukup beragam—ada yang mulus beraspal, ada juga yang masih berbatu. Pemandangan sepanjang perjalanan tetap memanjakan mata. Pohon kelapa melambai-lambai di tepi jalan, beberapa sapi dan kambing terlihat merumput di ladang, dan di beberapa tempat, rerumputan yang gersang mengingatkan betapa panasnya cuaca Rote. Kami akhirnya tiba di tempat parkir Bukit Mando’o, yang ternyata merupakan pintu masuk untuk mendaki ke puncak bukit. Dari sini, perjalanan belum selesai. Kami harus trekking menaiki anak tangga yang cukup banyak untuk mencapai puncaknya. Trekking ini menjadi tantangan tersendiri karena matahari sedang terik-teriknya. Keringat langsung membanjiri tubuh, dan nafas mulai terengah-engah saat kami terus menaiki anak tangga yang tampak tak ada habisnya. Namun, semangat untuk melihat pemandangan dari atas membuat kami terus melangkah.
Setelah sekitar 20 menit mendaki, akhirnya kami tiba di puncak Bukit Mando’o. Dari atas bukit, kami bisa melihat hamparan laut biru yang tak berujung, pulau-pulau kecil di kejauhan, serta garis pantai yang membentang panjang. Angin yang berhembus kencang di puncak memberikan kesejukan di tengah panasnya matahari. Di atas puncak, ada cukup banyak orang yang sedang menikmati pemandangan, berfoto, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon kecil yang memberikan sedikit naungan.
Puas menikmati keindahan Bukit Mando’o, kami duduk lebih lama untuk beristirahat di sebuah lopo—gazebo tradisional yang ada di puncak bukit. Di sana, aku beristirahat sambil mengobrol dengan beberapa sesama traveler yang juga sedang menikmati suasana. Percakapan ringan, mulai dari destinasi-destinasi di Rote hingga pengalaman unik masing-masing saat menjelajah pulau ini. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dari laut membantuku mengembalikan tenaga setelah trekking tadi.
Setelah merasa cukup segar, kami bersiap berkendara kembali ke arah Pelabuhan Ba’a. Perjalanan pulang terasa lebih santai, karena sudah tidak ada destinasi wajib yang ingin kami kunjungi lagi sebelum kepulangan besok ke Kupang. Target kami hanya ingin segera cari makan, check in hotel dan beristirahat. Capek juga rasanya karena disepanjang jalan kita benar-benar dipanggang matahari Pulau Rote.
Tapi mencari warung makan (halal) yang buka di sepanjang rute Bukit Mando'o - Pelabuhan Ba'a tidak semudah itu. Susaaah... dan bahkan hampir nggak ada. Kenyataan itu membuatku harus menahan lapar yang cukup menyiksa selama 2 jam-an, sembari tetap mengatur fokus mengendarai motor. Sewaktu hampir sampai kota akhirnya kami menemukan warung makan Jawa yang jualannya cukup lengkap. 'Wahhh akhirnyaaa...' kataku dalam hati. Aku langsung memesan nasi gulai kambing dan segelas es teh manis. Wuahhh benar-benar seger di cuaca yang seterik ini.
Setelah menyantap nasi gulai kambing yang cukup mengenyangkan, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel yang sudah kubooking sebelumnya untuk check-in dan beristirahat. Cuaca yang cukup panas dan badan yang capek membuat kami ingin segera tiduran beristirahat sambil nyalakan AC.
Sorenya sewaktu sedang koordinasi untuk pengembalian motor, Kak Eman tiba-tiba mengajak kami ke satu destinasi lagi untuk menikmati sunset.
"Yuk sore ini kita hunting sunset di Bukit Termanu. Bagus disana kak," pesan Kak Eman di WA.
"Wah siap yuk kak," balasku.
Sekitar jam 4 sore, kami dijemput di hotel oleh Kak Eman dan dengan 2 motor kita berangkat ke Bukit Termanu. Begitu tiba di Pantai Batu Termanu, kami disambut oleh pantai sangat bersih dan tenang yang dibalut oleh langit senja. Ombak yang datang pecah perlahan membuat suasana semakin damai.
Setelah menikmati keindahan pantai, kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Termanu. Perjalanan mendaki bukit tidak terlalu lama, dengan pemandangan yang semakin spektakuler seiring kami semakin mendekat ke puncak. Begitu sampai di atas, kami melihat sebuah salib besar yang terletak di puncak bukit, menjadi simbol yang sangat ikonik di sana.
Salib ini sering dikunjungi oleh mereka yang ingin berdoa atau sekadar merenung. Bukit Termanu juga sering menjadi lokasi kegiatan keagamaan, seperti misa atau perayaan-perayaan tertentu, menjadikannya tempat yang memiliki makna spiritual bagi banyak orang.
Kami duduk sejenak, menikmati sunset yang begitu memukau. Langit yang bergradasi dari oranye ke merah menyatu dengan pemandangan laut yang tenang, menciptakan pemandangan yang memorable yang bisa kukenang sampai hari ini.
Langit telah menggelap saat kami berjalan turun kembali ke parkiran motor. Tak terasa juga perut mulai kembali merasa lapar.. hehehe.. duuh lapar terus disini. Ikan bakar adalah makanan yang langsung tercetus di otakku.
"Kak disini ada warung yang jualan ikan bakar? Kalau ada kita kesana yuk sekalian makan malam sebelum pulang," tanyaku.
"Ada kak. Tapi mending kita beli ikannya aja kak di pasar jadi masih seger. Nanti kita bakar sama-sama di basecamp," jawab Kak Eman.
"Wah boleh kak siaap. Oya sebelum ke pasar kita bisa mampir ke toko oleh-oleh dulu kak? Aku mau beli beberapa syal."
"Iya bisa kak," jawab Kak Eman.
Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat oleh-oleh terlebih dahulu, tempat di mana kami membeli beberapa buah tangan sebagai kenang-kenangan. Aku memutuskan untuk membeli beberapa syal yang rencana akan kujual lagi. Setelah itu, kami menuju pasar untuk membeli ikan. Kami memilih ikan kakap merah besar, berwarna kemerahan dan tampak sangat segar. Perjalanan berikutnya mengarah ke basecamp tempat kami akan bakar-bakar ikan. Suasana semakin malam, dan kami mulai menyiapkan peralatan untuk membakar ikan sambil bercerita dan tertawa. Momen ini terasa begitu hangat dan penuh kebersamaan, seperti layaknya sebuah keluarga.
Malam itu terasa sangat spesial. Selain menikmati hidangan ikan bakar yang lezat, kami juga merasakan kebersamaan yang hangat. Secara personal aku berpikir sebuah perjalanan tidak hanya untuk mencari tempat indah dan eksotis, tapi sekaligus mencari saudara baru di sepanjang jalan. Selama jalan di Kupang dan Rote selama 4 hari, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang baik. Semuanya akan kuingat dan kukenang. Terkadang hanya mengobrol, terkadang bertukar kontak.
Kebersamaan..
Akhirnya, kebersamaan itu harus berakhir karena besok kami sudah harus kembali ke Kupang. Sekitar jam 11 malam, aku dan Richa memutuskan untuk kembali ke hotel untuk istirahat. Perjalanan panjang dan pengalaman indah di Pulau Rote sudah hampir berakhir, namun kenangan tentang suasana malam itu, dengan kehangatan dan kebersamaan, akan selalu teringat.
Part Setelahnya : Disini
0 comments:
Posting Komentar