Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.23.2024

[4] Journey to Ternate : Snorkeling di Pantai Falajawa

Ternate, 30 April 2018

Hari keempat di Ternate.

Setelah peristiwa mendebarkan terombang-ambing di ganasnya Laut Halmahera dan ketinggalan pesawat kemarin, hari ini aku dan Kak Ai mulai lebih santai. Well, mungkin Kak Ai juga ingin menurunkan sedikit ritme, supaya kami ga kelelahan baik dari segi fisik maupun emosional hehehe.. Btw ini hari Senin, seharusnya hari ini aku ada di kantor, sudah bekerja seperti biasanya. Namun karena badai kemarin, takdir menahanku masih tetap disini. Hihihi... Ada rasa ga enak sekaligus bersyukur. Ga enak karena aku terpaksa izin kerja, bersyukur karena ada tambahan 2 hari lagi di Ternate, karena besok adalah tanggal merah lagi.

"Kita sarapan nasi kuning ya di pasar. Habis itu snorkeling di Pantai Falajawa."

"Iya kak", kataku sambil bersiap-siap. Well, sebenarnya kalau hari itu ga ngapa-ngapain juga aku ga masalah hehehe.. tapi mungkin Kak Ai mau memberikan yang terbaik untuk traveler yang datang kesini, dan aku sangat menghargainya.

Kami naik motor ke pasar untuk sarapan nasi kuning, dan setelahnya kembali ke Penginapan Santoso untuk mengambil alat snorkel dan fin. Pantai Falajawa sendiri lokasinya didepan penginapan persis jadi kami langsung jalan kaki saja.

Pantai Falajawa (sumber gambar : Disini)

Setelah tiba di tepi laut, kami langsung memasang alat snorkeling yang sudah kami bawa sebelum perlahan masuk ke air laut yang cukup jernih. Siang itu beberapa anak-anak terlihat juga berenang santai di tepian laut. Suasana yang mulai sering aku jumpai disini dan membuatku nyaman.

Riuhnya suasana kurang lebih seperti ini (sumber gambar : Disini)

Sekilas, kondisi bawah laut di sini cukup menarik, meskipun karangnya tidak sebanyak dan secantik Pantai Bobaneheha dan Pantai Sulamadaha. Aku masih menjumpai beberapa karang yang berwarna-warni, ikan-ikan kecil dan ikan karang, dan bulu babi cukup banyak.

Saat asyik menjelajahi bawah laut, aku melihat hewan seperti ular berwarna putih dengan bintik hitam dan ukurannya cukup besar. Well, sebenarnya jaraknya cukup jauh dibawahku, namun langsung membuatku anxiety seketika, takut digigit atau gimana wkwkwk. Aku buru-buru berenang menjauh dengan panik, dan sepertinya Kak Ai juga melihatnya. Namun, Kak Ai memberi kode. “Itu belut, belut,” katanya sambil tetap mendorong ane dari belakang. Aku sebenarnya masih bingung, 'Belut sebesar itu tidak berbahaya kah? Haruskah aku kuatir?' aku tetap ketakutan dalam hati.

Sayangnya, snorkeling kali ini dihiasi ironi. Di sela-sela air yang jernih dan beberapa ikan kecil berwarna cerah, banyak sampah plastik berserakan di dasar laut. Pemandangan itu membuat hati sedikit miris. Kak Ai, tanpa ragu, mulai memunguti sampah-sampah yang bisa dia raih, seperti kantong plastik dan bungkus makanan, untuk disimpan di kantong baju selamnya. “Nanti kita buang di darat,” katanya sambil melanjutkan pencarian sampah di antara karang. Aku sendiri sangat salut namun tidak bisa membantu apa-apa karena kebanyakan posisi sampah ada di dasar laut yang itu perlu menyelam, sedangkan aku cuma bisa ngapung pakai pelampung hehehee..

Kami terus snorkeling hingga mencapai pantai di sebelah timur Taman Nukila.

"Kita kesana yuk, dibawahnya ada reruntuhan. Biasanya banyak ikan," kata Kak Ai sewaktu mengangkat kepala dari pemandangan bawah laut. Kita bergerak mengarah ke laut di sebelah timur Masjid Raya Al Munawwar. 

Suasana di sini terasa sunyi, hampir seperti tenggelam dalam waktu. Beberapa ikan kecil berenang di sekitar reruntuhan, termasuk ikan-ikan dengan warna perak yang berkilau terkena sinar matahari yang tembus dari permukaan air. Karang-karang di sekitarnya mulai menunjukkan sedikit kehidupan, dengan warna oranye, ungu, dan hijau pucat.

Di antara reruntuhan, suasananya terasa berbeda—sedikit misterius, seolah menyimpan banyak cerita masa lalu. Kak Ai menunjuk ke arah beberapa ikan yang bersembunyi di sela-sela reruntuhan. Aku melihat ikan badut kecil bermain di antara anemon, bintang ular dengan berbagai macam warna dan seekor ikan trigger yang cukup besar melintas cepat, bulu babi yang berdiam diri di dasar laut dengan kenampakan hitamnya yang menakutkan, membuatku sedikit tersenyum dalam air. Pengalaman snorkeling di Maluku Utara ini memang menurutku memberikan pemandangan bawah laut terlengkap bagiku. Seakan-akan ketika sedang snorkeling aku punya dua dunia yang berbeda, dunia bawah laut dengan berbagai macam makhluk aneh-aneh dan dunia manusia diatasnya.

Kami menghabiskan waktu sekitar dua jam di laut ini, meski rasanya lebih singkat karena asyiknya. Kami kembali ke pantai di seberang Taman Nukila lagi sebelum naik ke permukaan. Hal yang membuatku miris, banyak sampah kulit jagung dan plastik yang dibuang oleh orang-orang yang nongkrong diatas taman. Hmmmmmm...... Haruskah manusia berbuat seperti itu? Padahal ditaman udah ada tempat sampah lo😕.

Selesai snorkeling dan mandi di penginapan, kami makan siang. Dan ternyata petualangan belum berakhir.

"Kita istirahat sebentar ya. Nanti agak sorean ke Benteng Oranje. Ini udah hari terakhir kan, besok udah balik."

"Siaap kak,".

Setelah berbaring-baring sejenak, sekitar jam 5 sore kita mulai jalan lagi ke Fort Oranje. Lokasi benteng ini tidak jauh, hanya 10 menit berkendara dari penginapan. Tidak seperti Benteng Tolukko dan Benteng Kalamata yang lokasinya berada di tepi laut, Fort Oranje ini lokasinya berada di tengah kota, dan meskipun cukup dekat juga ke laut namun tidak berbatasan persis. Menilik namanya, tentunya bisa ditebak kepunyaan siapa dong ya. 

Sedikit cerita sejarah, Benteng Oranje adalah benteng peninggalan kolonial Belanda yang terletak di Kota Ternate, Maluku Utara. Dibangun pada tahun 1607 oleh Cornelis Matelieff de Jonge, benteng ini awalnya didirikan di lokasi bekas benteng Portugis. Benteng Oranje menjadi markas utama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di wilayah timur Indonesia dan merupakan pusat administrasi Belanda pertama di Nusantara sebelum akhirnya dipindahkan ke Batavia (Jakarta). 

Dengan bentuk persegi dan dikelilingi oleh tembok tebal, benteng ini dirancang untuk melindungi kepentingan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkih dan pala, yang melimpah di Ternate. Benteng ini juga menyimpan banyak cerita sejarah, termasuk konflik antara Belanda dan Kesultanan Ternate.

Sore itu, suasana di depan Benteng Oranje terasa hidup. Banyak orang terlihat duduk-duduk santai di area depan benteng, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan di tengah aktivitas kota. Beberapa anak muda berkumpul sambil mengobrol dan tertawa, sementara pedagang kecil menjajakan jajanan lokal di pinggir jalan.

Kak Ai mengajakkku masuk ke dalam benteng. Begitu tiba di depan benteng, struktur bangunan yang kokoh dengan dinding batu tebal langsung mencuri perhatian. Meski dikelilingi oleh kesibukan kota, suasana di dalam area benteng terasa lebih tenang. Memasuki benteng, halaman luas dengan pohon-pohon rindang menyambut, memberikan kesejukan di sore yang sejuk. Di beberapa sudut, masih terlihat sisa-sisa arsitektur asli seperti dinding tebal dan lorong-lorong kecil yang membawa bayangan masa lalu. Pemandangan ini membuat benteng terasa hidup dengan cerita sejarah yang pernah berlangsung di dalamnya.

Keluar dari benteng, Lampu-lampu jalan mulai menyala, menambah kehangatan suasana malam itu. Ada yang terlihat asyik berfoto dengan latar benteng, memanfaatkan arsitektur kolonial yang masih terjaga. Sebagian lainnya duduk di bawah pohon besar, berbincang sambil menikmati suasana yang tenang namun tetap ramai. Aku dan Kak Ai masih duduk-duduk cerita di depan benteng sebelum malamnya aku diantarkan kembali ke penginapan. 

Well, perjalanan yang sangat berkesan!

0 comments:

Posting Komentar