Sunset di Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT
Kupang, 10 Desember 2016
Berangkat ke Pulau Rote
Selamat pagi dari Kota Kupang. Hari ini adalah hari keberangkatanku dan Richa untuk menyeberang ke Pulau Rote. Seperti sudah kujelaskan sebelumnya, mengacu informasi dari Kak Inda (temanku orang Kupang), tiket kapal cepat Bahari Express rute Kupang - Rote memang baru bisa dibeli hari H langsung di Pelabuhan Tenau, dimana gerbang pelabuhan dibuka pukul 07.00. Alhasil pagi itu jam 5.30 kita sudah otw ke pelabuhan. Kalau terlalu dipepet takutnya kehabisan. Karena namanya kapal cepat kan kursinya lebih terbatas daripada kapal ferry.
Dengan menyewa taksi, kami sampai di Pelabuhan Tenau jam 05.45. Gerbang pelabuhan terlihat belum buka saat kami datang, namun sudah cukup banyak calon penumpang yang duduk mengantre. Suasana pelabuhan terasa hidup, meski masih pagi. Beberapa orang berlalu-lalang dengan barang bawaan besar, ada yang membawa kardus, koper, atau bahkan tas plastik besar.
Suasana pagi di Pelabuhan Tenau, Kupang.
Sejak pagi sudah banyak penumpang yang mengantre mau menyeberang ke pulau-pulau sebelah.
Di sudut-sudut pelabuhan, terlihat kuli angkut dengan pakaian sederhana. Mereka dengan sigap membantu penumpang mengangkat barang-barang berat ke dalam gerobak kecil. Suara mereka saling berteriak menawarkan jasa, berpadu dengan obrolan calon penumpang.
Penjual makanan kecil sudah mulai membuka lapak di sekitar pelabuhan. Beberapa ibu-ibu menjajakan nasi kuning, pisang goreng hangat, dan kopi hitam yang mengepul dalam gelas plastik. Aroma makanan bercampur dengan bau khas laut dari pelabuhan, menciptakan atmosfer unik yang membuatku semakin bersemangat.
Sekitar jam 6.45 loket penjualan tiket dibuka dan syukurlah meskipun sedikit mengantre, kami mendapatkan tiket dengan mudah. Saat itu kami membeli tiket kelas executive seharga Rp 130.000/orang (Desember 2016). Keberangkatan kapal kami sendiri adalah jam 08.30.
Antre membeli tiket kapal Bahari Express Kupang - Rote di Pelabuhan Tenau
Masih ada waktu luang 1,5 jam sebelum kapal berangkat kami manfaatkan untuk mencari sarapan dan jajanan untuk bekal di kapal. Setelah itu kami masuk ruang tunggu dan mengamati aktivitas sibuk dermaga Tenau di pagi hari. Kapal Sabuk Nusantara 49 berlabuh menurunkan muatan di satu sisi dermaga, sementara kapal Bima VI dan Restu Utama terlihat parkir dengan rapi. Kuli panggul dengan sigap mengangkut barang-barang dari kapal ke dermaga dan sebaliknya, berjalan dengan langkah pasti meski memikul beban berat. Suara roda gerobak berdecit bercampur dengan teriakan mereka yang mengatur barang bawaan. Tidak jauh dari situ, truk-truk besar mengantri untuk masuk ke dalam kapal feri, membawa muatan berbagai kebutuhan logistik untuk pulau-pulau sekitar.
Kapal Sabuk Nusantara 49 sedang menurunkan muatan
Kapal Bina VI dan Restu Utama
Kuli panggul sedang mencari nafkah
Di bagian lain dermaga, kapal-kapal rakyat bersandar dengan penumpang yang terlihat santai menunggu giliran naik. Beberapa kapal cepat juga terlihat bersiap untuk rute lain, mesin mereka meraung pelan seolah bersiap untuk perjalanan jauh. Penjual makanan terlihat bolak-balik menawarkan jajanan. Satu hal yang kukagumi, meskipun ini berupa pelabuhan, tapi air lautnya tetap jernih mengkristal berwarna biru kehijauan. Hmmmm.....Aku menikmati semua suasana ini dengan perasaan bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa traveling kesini.
Air laut di Dermaga Pelabuhan Tenau sangat bersih
Menunggu keberangkatan kapal
Sesuai jadwal keberangkatan, pukul 08.30 tepat kapal Bahari Express 1C yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan Pelabuhan Tenau. Berdasarkan informasi dari orang loket, perjalanan ini akan menempuh 2 jam membelah Selat Pukuafu sampai berlabuh di Pelabuhan Ba'a (di bagian tengah Pulau Rote). Oya sebelum berangkat aku juga sempat diberi kontak orang asli Rote yang 'kemungkinan' bisa kami sewa motornya, namanya Kak Eman. Kok kemungkinan? Well, karena setelah kontakan singkat via WA, kak Eman bilang akan berusaha cari motornya dulu. Hal itu karena setelah browsing, kami nggak menemukan penyewaan motor komersial disini. Kalau mau sewa motor harus di Kupang, dimana belum tentu boleh dibawa kesini. Kalau boleh pun harus naik kapal ferry, ga bisa naik kapal cepat. Let's hope the best aja ke Kak Eman! Hehehe.
Satu jam perjalanan pertama berlangsung dengan cukup baik. Meskipun terkenal sebagai salah satu perairan paling ganas di NTT, Selat Pukuafu hari itu cukup tenang. Kapal express bahari bisa membelah perairan dengan kecepatan maksimal dan stabil karena laut tidak berombak. Aku menghabiskan waktu untuk mendengarkan musik sambil tiduran di kursi sebelum terbangun oleh tangisan balita yang menjerit-jerit tanpa henti memanggil ayahnya.
Awalnya aku nggak terlalu menggubrisnya. 'Ah palingan dikit lagi udah berhenti lah nangisnya. Itu ibunya juga udah menenangkan dia', kataku dalam hati. Ehhh ternyata aku salah, 10 menit, 15 menit, 30 menit bahkan hampir 1 jam itu anak nangis jerit-jerit tanpa henti. Aku sampai kasian banget sama ibunya, karena sepertinya si ayah yang dicari tidak ikut di perjalanan ini.
"KASI DIAM BISA KA TIDAK," kata seorang bapak sambil teriak ke ibu si anak.
Ya ampunnn aku sampe ga tega banget liat ibunya. Gimanapun kan itu bukan maunya, dan kulihat dia juga udah berusaha kok. Anaknya sempat berhenti nangis 5 menit sebelum mulai nangis lagi. Karena kupingku mulai agak panas, aku memilih jalan-jalan ke bagian belakang dek kapal. Siapa tau disana bisa duduk santai sambil menikmati angin laut.
Ehh ternyata aku salah hehehehe... Di belakang dek kapal ternyata sudah penuh penumpang juga. Saat ane mau berbalik masuk karena nggak ada tempat duduk, mereka malah memanggil dan mengajak ane duduk bareng. Disitu ada beberapa mama-mama yang ngajak aku ngobrol dan menanyakan tujuanku ke Rote. Sebuah rasa kekeluargaan yang mulai sering kudapatkan disini.
Aku duduk dan ngobrol cukup lama dengan mama-mama sampai tidak kerasa kapal sudah hampir berlabuh di Pelabuhan Ba'a. Siang itu suasana di Pelabuhan Ba’a terlihat sangat hidup dan ramai. Kapal-kapal kayu tradisional berlabuh di dermaga, sementara nelayan sibuk memperbaiki jaring mereka. Di sekitar pelabuhan, masyarakat lokal terlihat sibuk membongkar hasil tangkapan dan barang-barang dagangan. Ada deretan pasar kecil yang menjual hasil laut segar, sayur-mayur, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Orang-orang saling berinteraksi dengan antusias, termasuk beberapa wisatawan yang menikmati suasana otentik. Di kejauhan, tampak birunya laut yang menyatu dengan langit cerah serta pulau-pulau kecil yang menjadi latar belakang.
Oya sebelumnya aku udah koordinasi dengan Kak Eman dan dia berkata akan jemput aku dan Richa dengan 2 motor. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk ketemu Kak Eman dengan senyum dan wajah ramahnya.
"Kita ke basecamp dulu ya. Nanti nunggu motornya disana. Baru bisa diantarkan agak siang soalnya," kata Kak Eman. Dari pelabuhan aku bonceng Kak Eman dan Richa bonceng temennya Kak Eman.
"Oh iya siap kak gpp."
"Tujuannya hari ini mau kemana aja?" Tanya Kak Eman lagi.
"Oh hari ini rencana cuma mau ke Pantai Nemberala kak. Check in penginapan aja. Besok baru kita lanjut eksplor mungkin ke Pantai Oeseli dan Bukit Mando'o."
"Wah sip iya bagus itu. Sebenarnya ada lokasi bagus lagi, danau garam. Tapi lokasinya agak diujung, jauh. Kalau kamu cuma 3 hari disini ga cukup kayaknya," kata Kak Eman sambil suaranya beradu dengan angin di atas motor.
"Iya kak, cuma singkat kita disini soalnya keterbatasan libur," kataku.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di basecamp yang Kak Eman maksud.
Perjalanan dari dekat Pelabuhan Ba’a menuju Pantai Nemberala adalah pengalaman yang penuh ketenangan dalam kesunyian. Aku dan Richa melaju pelan di atas jalan aspal yang mulus, di bawah terik matahari yang membakar. Pemandangan di sekitar kami didominasi oleh lanskap gersang khas Rote—padang savana kering, pohon lontar yang menjulang, dan bukit-bukit kecil yang terlihat tandus.
Sepanjang jalan, hampir tidak ada manusia yang kami jumpai. Sebaliknya, kami sering bertemu kawanan sapi yang berjalan santai di tengah jalan, kambing yang merumput di tepi aspal, kerbau yang bermalas-malasan di bawah naungan pohon, dan sesekali babi yang berlarian di dekat rumah-rumah tradisional yang jarang terlihat. Kehadiran hewan-hewan ini seperti menjadi satu-satunya tanda kehidupan di sepanjang perjalanan kami.
Angin panas menerpa wajah, membawa aroma khas tanah kering dan rumput yang layu. Richa sesekali menunjuk sesuatu—entah itu kawanan kambing di kejauhan atau seekor kerbau besar yang berdiri di sisi jalan, seolah mengawasi kami.
Keheningan terasa begitu mendalam, hanya dipecahkan oleh suara mesin motor dan gesekan kerikil kecil yang terpental dari ban. Ketika mendekati Pantai Nemberala, angin mulai berubah. Hembusan segar dari laut perlahan menggantikan udara panas, memberi isyarat bahwa perjalanan kami hampir sampai. Meski sederhana, perjalanan ini dipenuhi momen kecil yang meninggalkan kesan mendalam akan kehidupan yang damai di Rote.
Sebelum sampai kesini, kami belum booking penginapan. Rencana mau langsung cari aja di sekitaran Pantai Nemberala. Deru mesin motor mengantarkan kami ke Hotel Tirosa. Sebuah hotel sederhana yang berada di tepi Laut Nemberala langsung.
0 comments:
Posting Komentar