9 Desember 2016
Bandara Internasional Juanda, Surabaya
Pagi akhirnya datang... Hoaahhmmm.. jam 3 pagi alarm HP-ku sudah berbunyi dengan begitu nyaringnya. Aku segera mengangkat tubuhku yang masih ngantuk banget untuk segera bergegas mandi dan bersiap-siap. Tidak butuh waktu lama, setelah mandi, bersiap-siap dan cek akhir barang-barang yang dibawa ditas, aku akhirnya meluncur naik motor ke Bandara Juanda. Kosan-ku sendiri berjarak cukup jauh dari Bandara Juanda, sekitar 20 km. Namun suasana pagi yang lengang membuatku leluasa berkendara. Tiga puluh menit kemudian, sekitar jam 5 lebih, aku sudah sampai Bandara Juanda dan ketemu Richa di tempat check-in.
Perjalanan ini bisa dibilang merupakan perjalanan pertama aku dan Richa traveling bareng. Oya beberapa hari sebelum berangkat, tanggal 4 Desember 2016 tepatnya, di suatu
weekend yang gabut, aku pernah ajak temanku ke Bangkalan (Madura) untuk membantuku membuat video musik ala-ala. Jadi ceritanya aku terinspirasi dengan video musik Alan Walker yang berjudul
"Where are you now?“ , jadilah aku bikin versi ala-ala gitulah. Cerita lengkap kegabutanku ini sudah kutulis
disini wkwkwk... Jadilah karena andrenalin keisenganku ini masih menyala, aku bertekad untuk melanjutkan pembuatan video musik ala-ala tersebut di Pulau Rote. Jadilah di perjalanan ini aku bawa tripod untukku merekam beberapa adegan 🤣🤣. Kurang kerjaan banget yah.
Aku dan Richa menunggu boarding di Bandara Juanda, Surabaya
Proses boarding akhirnya tiba. Penerbangan Surabaya - Kupang berlangsung selama 2 jam. Pagi itu cuaca terlihat baik, cerah di sepanjang jalan. Hal unik yang sempat kujumpai adalah, sewaktu kami terbang diatas pulau yang kuinterpretasikan sebagai Pulau Sumbawa, terlihat kumpulan awan kecil-kecil yang terkonsentrasi hanya diatas daratan. Diatas lautan hampir tidak ada.
Awan yang terkonsentrasi diatas daratan
Setelah aku baca, jika awan hanya terkonsentrasi di atas daratan (tanpa menyentuh pegunungan), itu mungkin karena pemanasan lokal. Permukaan daratan menyerap panas lebih cepat dibandingkan lautan. Udara panas naik dari daratan, membawa kelembapan dan membentuk awan kecil yang tersebar. Sementara itu, wilayah di atas lautan biasanya memiliki suhu yang lebih stabil dan tidak memicu proses ini. Itu sebabnya awan hanya terlihat terkonsentrasi di atas daratan, bukan di atas laut. Unik juga ya! Aku juga baru menjumpai itu disini selama terbang.
Unik dan cantik ya?
Kita tidak menjumpai turbulensi yang terlalu berarti sampai akhirnya pesawat landing di Bandara El Tari Kupang jam 9 pagi. Panas menyengat Kota Kupang yang khas langsung menyambut kami begitu turun dari pesawat. Sebelum keluar, kami sempatkan berfoto dengan replika sasando.
Berfoto dengan sasando di Bandara El Tari, Kupang
Sedikit cerita, sasando sendiri adalah alat musik tradisional yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Alat musik ini termasuk jenis alat musik dawai yang dimainkan dengan cara dipetik. Sasando memiliki bentuk unik seperti tabung dengan anyaman daun lontar berbentuk setengah lingkaran yang mengelilinginya. Anyaman ini berfungsi sebagai resonator untuk memperkuat suara. Kata "sasando" berasal dari bahasa Rote, yaitu "sasandu", yang berarti "alat yang bergetar atau berbunyi." Sasando biasanya dibuat dari bambu sebagai inti, dengan dawai-dawai yang direntangkan dari atas hingga bawah tabung. Dawai-dawai ini kemudian diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan nada tertentu. Sasando digunakan dalam berbagai acara adat, hiburan, dan upacara tradisional masyarakat Rote, serta telah menjadi simbol kebanggaan budaya Nusa Tenggara Timur.
Dari Bandara El Tari, kalau mau ke pusat Kota Kupang sebenarnya ada 1 pilihan transportasi yang paling nyaman, yaitu taksi dengan tarif flat untuk tujuan Kota Kupang 70ribu rupiah. Jika tujuannya lebih ke selatan lagi, seperti Pelabuhan Tenau, maka tarifnya flat 100ribu rupiah. Tapi dengan kebiasaanku yang sudah beberapa kali bolak-balik Kupang, untuk menghemat biasanya aku akan jalan kaki sejauh +- 1 km keluar dari bandara sampai menemukan bundaran. Dari situ naik angkot untuk menuju ke berbagai tujuan di Kota Kupang. Aku mengusulkan ke Richa cara itu dan dia setuju.
Belum ada 200 meter jalan kaki, tiba-tiba ada mobil Avanza hitam menepi dan menanyai kami,
"Mau kemana kak?"
"Kita mau ke Kota pak, ke arah Pelabuhan Tenau," kataku.
"Oh mari ikut saya saja kak. Nanti saya turunkan di dekat kantor walikota, dari walikota nanti kk bisa naik angkot ke Pelabuhan Tenau."
"Wah gpp pak? Takut merepotkan," jawabku basa-basi.
"Gpp kak ini kan searah," katanya lagi.
Well, karena tidak menjumpai hawa kecurigaan, dan setelah melihat ke arah Richa juga dia tidak terlihat keberatan, akhirnya kita naik mobilnya.
"Nama saya Bapak Richard," katanya memperkenalkan diri.
"Oiya pak saya Galuh," jawabku.
Setelahnya aku dan Pak Richard berbincang beberapa hal selama perjalanan singkat ke walikota. Pak Richard memberitahu kami angkot nomor berapa yang harus kami ambil. Selain itu dia juga menanyakan apa tujuan kami kesini, dan berpesan hati-hati ketika nanti sudah sampai di Pulau Rote.
Aku dan Pak Richard
"Terimakasih banyak ya Pak," kataku ke Pak Richard setelah kami diturunkan di walikota.
"Terimakasih ya pak," kata Richa ke Pak Richard.
"Sama-sama kak, hati-hati ya," jawab Pak Richard.
Bersyukur banget, belum ada 1 jam di Kupang kami udah merasakan kebaikan warga lokal. Selanjutnya kami naik angkot sesuai petunjuk Pak Richard. Dengan bantuan beberapa orang, kami oper angkot dua kali sampai akhirnya tiba di daerah dekat Pelabuhan Tenau. Disinilah rumah Budhenya Richa, tempat kami akan bermalam malam itu. Richa terlihat langsung kangen-kangenan dengan budhenya dan bercerita banyak.
Kami diminta istirahat di kamar anaknya Budhenya Richa, dan setelahnya disuruh makan siang. Wow.. sambutan yang baik banget ya.. hehehe.. Sore harinya kami juga dipinjami motor. Setelah diskusi singkat, aku ajak Richa untuk coba mengunjungi Pantai Tablolong. Jarak Pantai Tablolong dari Pelabuhan Tenau sendiri cukup jauh, 24 km dan akan ditempuh dalam 1 jam perjalanan.
Jam 13.30 aku mulai gas motor. Jalanan di awal perjalanan cukup ramai, melewati kawasan perkampungan dengan rumah-rumah sederhana dan aktivitas penduduk yang khas: anak-anak berlari di pinggir jalan sambil mendorong roda, pedagang kecil, dan truk-truk besar yang terkadang memadati jalan. Namun, semakin jauh kami melaju ke selatan ke arah Tablolong, suasana mulai berubah. Jalanan yang tadinya cukup padat mulai terasa lebih lengang. Lahan-lahan di sekitar kami terlihat kering dengan dominasi pohon lontar dan ilalang yang bergerak tertiup angin. Di beberapa tempat, tanahnya terlihat tandus, dan kami hanya berpapasan dengan hewan-hewan ternak seperti kambing atau sapi yang digembalakan bebas di pinggir jalan. Rumah-rumah pun mulai jarang terlihat, berganti dengan hamparan padang savana dan bukit-bukit kecil yang gersang. Langit biru yang luas terasa begitu dekat, memberikan kesan khas Kupang yang tenang sekaligus eksotis.
Akhirnya, satu jam berkendara sampailah kami di Pantai Tablolong. Kami disambut oleh deburan ombak dengan pasir putihnya yang halus dan air laut biru kehijauan. Namun karena Bulan Desember ini Indonesia sudah masuk musim penghujan/muson barat, pasir putih Pantai Tablolong yang biasanya bersih kini terlihat dipenuhi daun-daun kering dan ranting kecil, terbawa angin dan arus laut. Di pinggir pantai, beberapa lapak sederhana milik penduduk lokal berdiri dengan seadanya. Lapaknya hanya terbuat dari kayu dan terpal, namun cukup untuk menaungi mereka dari panas matahari. Para penjual menjajakan minuman dingin, kelapa muda, dan camilan sederhana, sambil sesekali tersenyum ramah kepada pengunjung yang lewat.
Kapal nelayan yang tertambat di Pantai Tablolong, Kupang
Kapal nelayan yang tertambat di Pantai Tablolong, Kupang
Tak jauh dari sana, aku melihat anak-anak kecil bermain air di tepi pantai. Mereka tertawa lepas, melompat ke ombak kecil yang datang perlahan. Sesekali mereka saling menyiramkan air, tanpa peduli pada dunia di luar kesenangan mereka. Melihat mereka, aku tersenyum kecil, mengingatkan diriku pada kebahagiaan sederhana yang kadang kita lupa rasakan.
Di kejauhan, kapal-kapal nelayan tertambat dengan tenang. Kapal-kapal kayu itu terlihat tua namun kokoh, dengan warna cat yang mulai pudar karena garam laut dan cuaca. Beberapa nelayan duduk di tepi pantai, memperbaiki jaring mereka atau hanya berbincang dengan santai. Aku juga menjumpai banyak box-box seperti freezer penyimpan ikan yang banyak tersebar di pantai. Kehidupan mereka terlihat begitu dekat dengan laut, seolah tak terpisahkan dari ritme alam yang mengatur semuanya.
Kapal nelayan yang tertambat di lautan
Aku dan Richa memutuskan untuk duduk di kursi lapak penjual yang sedang tutup, menikmati hembusan angin yang membawa aroma laut. Meski pantai ini tidak seindah yang aku bayangkan sebelumnya, tetap saja ada sesuatu yang membuatku merasa damai di sini—kesederhanaan, keheningan, dan kehidupan yang terus berjalan apa adanya, tanpa beban yang berat.
"Yuk, foto-foto Cha," kataku.
Kami mengambil beberapa foto dengan berbagai pose. Sembari berfoto tiba-tiba anak kecil yang sedang berenang berteriak,
"Kak foto kami kak, foto kami," kata mereka.
"Eh ayo baris sini ya, foto bareng," kataku ke mereka. Benar-benar senang ketemu mereka, anak-anak kecil dan polos yang belum ada beban hidup hehehe..
Selanjutnya aku memberi mereka permainan supaya seru. Aku melempar beberapa uang logam ke pantai yang dangkal, dan mereka akan berenang cepat-cepat untuk menemukan uang logam tersebut. Well, sebenarnya aku ga ada maksud apapun. Hanya seru-seruan aja hehehe... Di akhir sesi, aku memberikan sedikit uang jajan buat mereka untuk jajan bareng-bareng. Aku benar-benar bersenang-senang setelah berinteraksi dengan anak-anak ini. Seakan-akan bebanku sebagian ikut menguap bersama senyum mereka.
Sekitar pukul 15.30, setelah puas bermain dan berfoto-foto, aku dan Richa memutuskan kembali ke arah kota. Setelah berdikusi singkat, kita memutuskan akan mampir ke Lippo Plaza Kupang dulu untuk sekalian makan malam. Perjalanan dari Pantai Tablolong ke Lippo Plaza cukup jauh, membutuhkan 1,5 jam perjalanan. Kami sampai Lippo Plaza jam 5 sore dan segera menuju Solaria karena perut udah benar-benar keroncongan.
Pameran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur di Lippo Plaza
Lippo Plaza, Kupang
Puas makan kami sempat berjalan-jalan keliling Lippo Plaza. Kami sempat menjumpai pameran produk UMKM dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur yang menjual berbagai macam produk seperti kain batik, baju batik, selendang, sepatu dan sebagainya. Wow.. sampai NTT juga ya! Keren! Tidak butuh waktu lama bagi kami keliling Lippo Plaza, dan setelahnya kami kembali lagi ke rumah Budhe-nya Richa. Beristirahat untuk besok pagi menyeberang ke Pulau Rote!
Thankfull for today😊😊😊.
0 comments:
Posting Komentar