Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.22.2024

[2] Journey to Ternate : Batu Angus, Pantai Sulamadaha, Benteng Portugis, Danau Ngade dan Kebun Cengkeh

Cerita ini merupakan rangkaian perjalanan ke Ternate - Halmahera yang aku lakukan dari 27 April 2018 - 1 Mei 2018. Part selanjutnya dari setiap postingan akan aku beri pada link di bagian paling bawah setiap cerita.

Part Sebelumnya : Disini


Ternate, 28 April 2018

Hari kedua di Ternate. Hoahhmmm tidurku semalam di Penginapan Santoso cukup nyenyak karena kemarin benar-benar seharian beraktivitas dari pagi-pagi buta (berangkat bandara) sampai malam hari (ngobrol-ngobrol di Taman Nukila). 

"Udah bangun Luh? Setengah jam lagi ya aku otw kesana," kata Kak Ai melalui chat.

"Udah kak. Siaap," jawabku.

Chat dari Kak Ai memaksaku untuk segera mengangkat badan dan mandi. Hari ini Kak Ai rencana akan mengajakku eksplor lagi, masih di seputaran Pulau Ternate. Aku sendiri masih gatau tempat apa aja yang akan dikunjungi. Karena perencanaan trip kali ini benar-benar kupasrahkan semua ke Kak Ai. Aku percaya dia bisa menunjukkan tempat-tempat terbaik disini. Kemarin hanya mengunjungi 2 tempat aja (Pantai Jikomalamo dan Danau Tolire Besar) udah bagus kok. Kita nantikan kejutan hari ini.

Tidak menunggu lama Kak Ai pun datang di Penginapan Santoso. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar sebelum mulai meninggalkan hotel jam 11.29. Kami sempatkan makan sebelum menuju destinasi pertama yaitu Batu Angus. Dari penginapan ternyata kami melewati kembali Bandara Sultan Babullah, yaa.. di Ternate seperti inilah. Karena jalan utama hanya 1 yaitu melingkari gunung, kita akan melewati jalan yang sama berulang kali. Ternyata tujuan pertama kita hari ini adalah Geowisata Batu Angus.

Geowisata Batu Angus dengan background Pulau Hiri

Batu Angus ini merupakan padanan kata untuk lava hitam hasil letusan efusif Gunung Gamalama dengan permukaan kasar dan bentuk tidak beraturan 

Batu Angus bisa dibilang merupakan salah satu lokasi paling unik di Ternate. Batu Angus merupakan kumpulan batuan lava hitam yang membentang luas, sisa dari letusan Gunung Gamalama ratusan tahun lalu. Nama "Batu Angus" sendiri berasal dari penampilannya yang seperti hangus terbakar. Konon, letusan besar yang terjadi pada abad ke-17 ini memuntahkan lava yang meluncur hingga ke laut, meninggalkan jejak abadi berupa lautan batu hitam yang kini menjadi destinasi wisata. 

"Nggak ada penjaganya," kata Kak Ai setelah ngecek pos penjaga. Jalan masuk menuju Batu Angus juga terlihat ditutup portal.

Gerbang masuk Kawasan Wisata Batu Angus (sumber : google street view)

Sepertinya entah hari itu sedang tutup, atau memang belum buka karena mungkin belum ada wisatawan yang sedang berkunjung.

"Kita buka aja, masuk aja gpp," kata Kak Ai lagi.

"Iya kak, nanti pas keluar aja kalau penjaganya udah ada kita bayar tiket masuk," sambungku.

Selanjutnya kami memasuki kawasan Batu Angus yang cukup luas. Sudah tersedianya jalan aspal mempermudah karena kita bisa eksplor menggunakan motor dan bisa sewaktu-waktu berhenti kalau ada spot foto yang bagus. Semakin masuk kedalam, sinar matahari semakin berasa menyengat. Dengan batuan seperti ini, jangan harapkan ada pohon yang bisa tumbuh menaungi kan ya hehehe..

Kawasan Batu Angus ini berbatasan langsung dengan Laut Halmahera

Sebagai lulusan Teknik Geologi, sebenarnya aku cukup tertarik dan penasaran dengan proses vulkanisme yang menyebabkan terbentuknya batu angus ini. Karena menurut geologi, batuan merupakan bukti sejarah proses alam yang tidak bisa diganggu gugat. Warna batuan yang kehitaman, banyak mengandung rongga-rongga, sehingga kuidentifikasikan ini merupakan lava basaltik dan letusan bersifat efusif (tidak eksplosif/meledak dahsyat). Setelah aku baca referensi, ternyata Batu Angus terbentuk dari letusan vulkanik Gunung Gamalama yang menghasilkan lava pijar. Letusan tersebut merupakan letusan efusif, yang ditandai dengan keluarnya lava cair dari rekahan gunung berapi dan mengalir ke permukaan bumi. Lava ini kemudian membeku dan menjadi batuan basaltik berwarna hitam pekat, yang dikenal sebagai "Batu Angus."

Batuan basaltik

Ciri khas letusan yang membentuk Batu Angus:
1. Aliran lava basaltik: Lava yang keluar cenderung encer sehingga dapat mengalir jauh dari kawah. (Ini sesuai karena lokasi batu angus berada di ujung timur laut Pulau Ternate, sudah berbatasan dengan laut)

2. Proses pendinginan: Lava yang mengalir ke permukaan mendingin secara perlahan, menghasilkan tekstur kasar dan bentuk yang tidak beraturan (ini juga sesuai karena hampir seluruh batuan bertekstur kasar dan tidak beraturan)

Lava ini mempunyai tekstur permukaan kasar dan bentuk tidak beraturan, serta minim material piroklastik.

3. Minim material piroklastik: Tidak terlalu banyak abu vulkanik atau letusan eksplosif karena tipe letusan lebih dominan efusif (ini juga benar karena aku hampir ga menjumpai material piroklastik seperti debu vulkanik, kerikil vulkanik, fragmen - fragmen vulkanik seperti bomb dan block)

Bagaimanapun aku terus menikmati hasil proses geologi yang terbentuk didepan mataku ini. Kontras antara hitamnya batu dan birunya langit menciptakan lanskap indah untuk dipandang maupun berfoto. Kak Ai beberapa kali berhenti dan menyuruhku berfoto di sudut ini dan itu. Aku sendiri harus cukup berhati-hati menaiki formasi lava yang cukup tajam ini. Kalau terpeleset, akibatnya bisa cukup fatal.

Salah satu pemandangan cantik di sudut Batu Angus yang berbatasan dengan laut. Pulau didepan itu adalah Pulau Hiri (Sumber: google maps - aku kehilangan beberapa database foto)

Beberapa saat kemudian kita sudah berada di ujung jalan dan harus dilanjutkan dengan jalan kaki. Berjalan menyusuri jalur setapak, aku mencoba menaiki beberapa batu lava yang terlihat lebih tinggi untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih luas. Disini spot sempurna untuk foto karena pemandangan disempurnakan oleh gagahnya Gunung Gamalama di kejauhan. Hanya sayang.. sebagian tertutup awan. Aku lihat di internet sih waktu paling bagus untuk berfoto disini dengan view Gunung Gamalama tanpa tertutup awan adalah pagi-pagi sebelum - sesaat matahari terbit. 'Nantilah kalau sempat kesini lagi kalau Kak Ai mau ngantarin pagi-pagi,' kataku dalam hati.

Berfoto dengan batu angus dan background Gunung Gamalama. Sayang gunungnya tertutup awan.

Gunung Gamalama

"Kita lanjut ke Pantai Sulamadaha ya," kata Kak Ai. "Disana bagus juga pantainya, nanti kita snorkeling disana."

"Siap kak".

Kebetulan pas kami melewati loket, penjaganya sudah ada sehingga aku sekalian membayar tiket masuk dan parkir untuk kita berdua. 

Perjalanan ke Sulamadaha hanya memakan waktu 10 menit, ternyata dia terletak cukup dekat dengan Pantai Jikomalamo kemarin. Sewaktu masuk kawasan pantai sebenarnya aku agak kecewa,

'yahh kok biasa aja yaa.. ga biru bersih kayak Pantai Jikomalamo kemarin,' kataku dalam hati.

Belum sempat aku ngomong apapun, Kak Ai sudah menimpali,

"Pantainya bukan disini luh, kita masih masuk 500 meteran lewat jalan kecil disana," kata Kak Ai sambil terus melajukan motor.

"Wah iya kak, takpikir pantainya yang tadi,".

Selanjutnya Kak Ai membawa motor melintasi jalan selebar 1 meter ini sampai di ujung jalan. Dan.... Disinilah ternyata letak Pantai Sulamadaha sebenarnya yang airnya berwarna hijau kebiruan. Ombaknya tenang, beberapa anak kecil terlihat berenang dengan senang.

Biru dan beningnya air laut di Pantai Sulamadaha

Kapal-kapal nelayan yang sedang menepi di Pantai Sulamadaha

"Wah.. cantik banget pantainya ya."

"Iya memang. Kamu inget pernah ada foto yang kapal seakan-akan mengapung itu saking bersihnya air lautnya? Nah salah satu titik pengambilannya itu disini."

Aku mengamati sekilas perahu-perahu yang terparkir di tepi. Dan setelah ane amati memang benar. Perahu-perahu tersebut terlihat melayang saking bersihnya air laut. Memang benar-benar aku ga berhenti dibuat kagum oleh kecantikan Pulau Ternate sejak kemarin. Aku bener-bener bersyukur memutuskan kesini.

Saking beningnya air laut, kapal seperti melayang

Saking beningnya air laut, kapal seperti melayang

"Kita snorkeling lagi ya, nanti di seberang sana dekat tebing. Terumbu karangnya lebih bagus disana."

"Siaap kak", kataku sambil menata barang untuk dititipkan di warung.

Kami mengenakan set snorkel yang selalu dibawa Kak Ai kemanapun. Seperti biasa, begitu nyebur aku langsung didorong sama Kak Ai dari belakang. Kami berenang sampai ke tepi tebing yang Kak Ai maksud dan ane langsung menemukan jawabannya. Begitu mendekati tebing laut menjadi sedikit lebih dangkal dan terumbu karang dengan berbagai macam warna mulai terlihat. Terumbu karangnya masih sangat terjaga, dan berbagai jenis ikan berenang dengan lincah di antara karang-karang tersebut. Ketika sedan snorkeling, aku memang selalu merasa seperti berada di dunia lain, tenang dan damai di bawah permukaan air. Ketika mengangkat wajah untuk melihat keadaan luar, kadang seperti merasa kembali ke realita.

Kami snorkeling selama kurang lebih 1.5 jam sebelum akhirnya kembali ke arah pantai.

"Aku beli pisang goreng mulut bebek ya kak," kataku 

Beningnya air laut di Pantai Sulamadaha

Setelah badan kering dan perut cukup terisi pisang, kami kembali berjalan. "Kita lanjut ya. Ke Benteng Tolukko. Bagus juga pemandangannya disana," kata Kak Ai.

Perjalanan dari Pantai Sulamadaha ke Benteng Tolukko memakan waktu 20 menit dengan jarak 11 km. Aku bener-bener salut sih dengan niat Kak Ai, benar-benar pengen menunjukkan semua sudut Pulau Ternate ke traveler-traveler yang datang kesini. Tidak berapa lama kita pun sampai di Kawasan Benteng.

Sedikit cerita, Benteng Tolukko adalah salah satu benteng peninggalan Portugis yang terletak di Kota Ternate, Maluku Utara. Benteng ini dibangun pada tahun 1540 oleh Francisco Serrão, seorang pelaut Portugis, sebagai pos pertahanan dalam mengontrol perdagangan rempah-rempah di kawasan Maluku. Awalnya, benteng ini dikenal dengan nama Benteng Santo Lucas, tetapi kemudian lebih dikenal dengan nama Tolukko.

Benteng ini sempat dikuasai oleh Belanda pada abad ke-17, yang kemudian memperluas dan memperbaiki strukturnya. Benteng Tolukko memiliki posisi strategis di atas bukit kecil yang memberikan pemandangan luas ke arah laut dan Pulau Tidore. Setelah kemerdekaan Indonesia, benteng ini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang menarik, menggambarkan masa lalu yang penuh dinamika di kawasan Maluku.

Perjalanan menuju Benteng Tolukko dimulai dengan jalan kecil yang menanjak, dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon yang teduh. Suasana di sekitar terasa tenang, hanya ada suara kendaraan sesekali dan aktivitas warga yang terlihat dari kejauhan. Setibanya di lokasi, benteng ini langsung terlihat dengan tembok batu kokoh yang berdiri di atas bukit. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi strukturnya terlihat terawat. Dari area benteng, terlihat pemandangan laut yang luas dengan Pulau Tidore di kejauhan. Di sisi lainnya, Gunung Gamalama tampak menjulang, menambah daya tarik panorama.

Begitu masuk ke dalam benteng, suasana terasa sederhana namun bersejarah. Dinding-dinding batu yang dingin dan struktur bangunan yang tua memberikan gambaran nyata tentang masa lalu tempat ini. Rasanya seperti berada di ruang yang pernah menjadi saksi berbagai peristiwa penting di Ternate.

"Naik yuk keatas, pemandangannya bagus buat foto disana," kata Kak Ai.

Aku menurut dan kita menaiki tangga batu benteng sampai di lantai atas. Dan memang benar, sekali lagi kita disuguhi oleh pemandangan lautan membiru yang tanpa batas, dan ketika berbalik badan disuguhi oleh Gunung Gamalama yang menjulang tinggi.

Bagian atas Benteng Tolukko dengan background Laut Halmahera dan Pulau Tidore di kejauhan


"Kamu tetap diatas ya. Aku foto dari bawah," kata Kak Ai lagi.

Benteng Tolukko

"Kak aku lompat ya. Tolong difoto pas lompat," tambahku. Maklum, pengen punya kenangan sebanyak mungkin disini dengan berbagai macam gaya. Hehehe..

Benteng Tolukko

Kami menghabiskan waktu sekitar 45 menit disini sebelum bergeser ke destinasi selanjutnya, Danau Ngade. Seperti halnya Danau Tolire Besar, Danau Ngade ini juga merupakan danau vulkanik jenis kaldera, yaitu terbentuk setelah letusan besar dari gunung berapi yang menyebabkan bagian dari gunung tersebut runtuh atau meledak, membentuk cekungan yang dalam. Cekungan tersebut selanjutnya akan terisi air hujan atau air dari sumber lain, membentuk danau yang luas. Inilah yang terjadi pada Danau Tolire, yang memiliki bentuk cekungan yang luas dan dalam, hasil dari proses vulkanik tersebut. Aktivitas vulkanisme pada Danau Tolire Besar ini tentu saja tidak terpisahkan dengan aktivitas vulkanisme pada Gunung Gamalama sendiri.


Seperti gambar diatas, ibaratnya Gunung Gamalama adalah nomor 1, dan Gunung Ngade (sebelum meledak dan menjadi kaldera) adalah nomor 2. Kemudian terjadilah ledakan dahsyat yang membuat Gunung Ngade runtuh dan membentuk cekungan, sebelum terisi air dan jadilah Danau Ngade seperti yang kita lihat sekarang.

Danau Ngade dengan background Pulau Maitara (kecil depan) dan Pulau Tidore (dibelakangnya)

Seperti halnya Danau Tolire Besar, Danau Ngade ini dikelilingi oleh perbukitan hijau dan memiliki ekosistem air tawar yang kaya karena letaknya masih terisolasi dari laut. Letaknya yang berdekatan dengan laut menciptakan kontras pemandangan yang unik, di mana warna hijau air danau berpadu dengan birunya Laut Halmahera di kejauhan. Aku baca Danau Ngade juga menjadi salah satu lokasi penting dalam sistem hidrologi Ternate, karena berperan sebagai sumber air bagi masyarakat sekitar.

Danau Ngade di Ternate dikenal sebagai salah satu objek wisata ikonik yang gambarnya pernah menghiasi uang kertas pecahan Rp1.000 keluaran tahun 2000. Pada uang tersebut, pemandangan Danau Ngade terlihat menampilkan keindahan danau yang dikelilingi oleh bukit hijau dengan latar belakang laut biru dan Pulau Maitara serta Pulau Tidore di kejauhan. Seperti kebanyakan orang, sebenarnya aku ingin menfoto uang Rp 1.000 dengan background Danau Ngade, tapi nggak ada jadi pakai uang Rp 100.000. Nggak nyambung yah hehehe...


Terakhir sebelum pulang ke Penginapan Santoso Kak Ai sempat mengajakku mampir ke Kebun Cengkeh. 

"Sekalian ya, mumpun dekat," kata Kak Ai sambil menyiapkan motor.

Seperti kita bersama tahu cengkeh telah menjadi komoditas utama Ternate sejak zaman Kesultanan, bahkan menjadi alasan mengapa bangsa Eropa dulu berlomba-lomba menguasai wilayah ini. Cengkeh adalah salah satu rempah utama yang membuat Maluku, khususnya Ternate dan Tidore, dikenal sebagai "Kepulauan Rempah-rempah." Pada abad ke-15 hingga 17, cengkeh menjadi komoditas yang sangat berharga di pasar internasional, terutama di Eropa. Lokasi Pulau Ternate adalah salah satu pusat kerajaan maritim yang menguasai perdagangan rempah-rempah. Gunung Gamalama di pulau Ternate memberikan tanah vulkanik yang subur, menjadikannya ideal untuk pertumbuhan tanaman cengkeh.

Kebun Cengkeh (Sumber: google maps - aku kehilangan beberapa database foto)

Tidak berapa lama kami sampai. Suasana disini cukup rindang karena barisan pohon cengkeh yang cukup rapat. Well, karena ini berupa perkebunan, sebenarnya tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain duduk bersantai dan ngobrol ditemani rindangnya naungan-naungan pohon. Sedikit cerita tentang cengkeh, Kerajaan Ternate-lah yang dahulu mengendalikan produksi dan distribusi cengkeh. Mereka menggunakan kebun cengkeh sebagai sumber utama kekayaan dan kekuasaan. Cengkeh juga menjadi alat diplomasi dan negosiasi dengan bangsa asing. Bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda datang ke Ternate untuk menguasai perdagangan cengkeh. Belanda, melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), memaksakan monopoli dengan membatasi produksi cengkeh hanya di beberapa lokasi tertentu. Mereka bahkan melakukan "hongi tochten" atau patroli untuk menghancurkan kebun cengkeh di wilayah lain agar harga tetap tinggi. Produksi cengkeh menciptakan sistem ekonomi yang kompleks, tetapi monopoli VOC juga membawa penderitaan bagi masyarakat lokal. Banyak kebun dihancurkan, dan masyarakat dipaksa bekerja di bawah sistem yang tidak adil.

Saat ini, cengkeh masih menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Ternate. Selain sebagai bahan rempah dan penghasil minyak atsiri, cengkeh digunakan dalam produk khas Indonesia seperti rokok kretek. Kebun-kebun cengkeh tradisional masih dapat ditemukan di lereng Gunung Gamalama, salah satunya kebun yang kami kunjungi ini.

Kami tidak menghabiskan waktu lama disini karena memang selain berfoto tidak ada hal lain yang bisa dilakukan lagi. Hari sudah gelap ketika Kak Ai melajukan motor kembali ke Penginapan Santoso. Well, benar-benar hari yang berkesan! Capek banget tapi puas banget banyak tempat yang dikunjungi!

0 comments:

Posting Komentar