Hari kedua di Kamboja....Semalam tidur ane nyenyak banget. Seakan-akan sebagian kelelahan yang kami bawa dari Bangkok sudah menguap sebagian. Hari ini kami siap 'menyiksa kaki' lagi dengan menjelajah Kompleks Angkor Wat ๐. Kompleks Angkor Wat sendiri adalah salah satu situs warisan dunia yang paling mengesankan dan merupakan contoh arsitektur Khmer yang megah, terletak di Kota Siem Reap, Kamboja. Kompleks ini mencakup beberapa candi yang saling terhubung, dengan Angkor Wat sebagai yang terbesar dan paling terkenal dengan luas mencapai 162,6 hektar.
Setelah sarapan yang cukup mengenyangkan, kami mempersiapkan barang bawaan dan membawa bekal air untuk menjaga hidrasi. Berjalan sejenak dari penginapan ke jalan raya, seorang supir tuk-tuk mendekati kami. Dia bertanya apa kita mau ke Kompleks Angkor Wat.
"Yes, we want to go to Angkor Wat."
"I can take you there," katanya dengan persuasif.
Awalnya ane ragu, dan sama sekali clueless dengan transportasi menuju dan keliling Kompleks Angkor Wat. Tapi kemudian dia meyakinkan lagi.
"It's only 10 USD. I will take you to 4 temples dan lunch," katanya lagi.
"Oke which temple?" tanya ane lagi.
"Angkor Wat, Angkor Thorm, Bayon Temple ang Ta Phrom."
Sebenarnya waktu dia jawab gitu jujur ane agak kesel. Kenapa kesel? Karena pikiran ane kan Kompleks Angkor Wat itu besar ya, kenapa kok cuma 4 candi? Kenapa ga semuanya aja?? Hahahah...
Karena Alfi nggak menunjukkan penolakan, akhirnya kami ambil tawaran dari supir tuk-tuk tersebut. Ternyata namanya Bat. Bat menjelaskan kalau mau keliling Kompleks Angkor Wat memang harus memakai transportasi sendiri, bisa tuk-tuk, sepeda, mobil maupun motor. Hal itu disebabkan jarak antara candi satu dengan yang lainnya cukup berjauhan. Perjalanan dari titik temu ke tujuan pertama, Angkor Wat, kami lalui selama 20 menit. Kami diturunkan Bat di loket masuk, disini dia menjelaskan dia akan menunggui kita di tempat yang sama sampai kita selesai keliling. Dia tidak membatasi kita mau keliling berapa lama.
Setelah membeli tiket masuk seharga 20 USD, kami berjalan menuju candi. Sebelum masuk, ane sempat berfoto dengan patung singa yang berada di luar Angkor Wat. Patung singa tersebut menyimbolkan kekuatan dan perlindungan, dan sering dianggap sebagai penjaga dan simbol keagungan dalam budaya Kamboja. Oleh karena itu posisinya terletak di bagian luar candi. Setelahnya ane baru sadar kalau Angkor Wat itu dikelilingi oleh kolam, dimana untuk masuk kedalam kita bisa melewati jembatan batu. Setelah berfoto, kami melanjutkan langkah menuju jembatan batu yang indah, di mana pemandangan candi Angkor Wat mulai terlihat. Jembatan batu tersebut dipenuhi dengan para pengunjung lainnya, semua bersemangat untuk melihat keajaiban arsitektur ini.
Begitu melangkah masuk, kesan pertama yang langsung menyergap ane adalah keagungan arsitekturnya—struktur yang begitu megah dan masif namun penuh dengan detail halus di setiap sudutnya. Dinding-dinding batu berwarna hitam keabu-abuan diukir dengan relief yang menceritakan kisah mitologi dan kehidupan masyarakat Khmer kuno.
Angkor Wat sendiri dibangun pada awal abad ke-12 oleh Raja Suryavarman II sebagai kuil Hindu untuk dewa Wisnu. Seiring berjalannya waktu, kompleks ini beralih fungsi menjadi kuil Buddha. Arsitektur Angkor Wat sangat menakjubkan, dengan detail ukiran yang rumit, menara tinggi, dan dinding yang dihiasi dengan relief yang menggambarkan kisah-kisah dari mitologi Hindu.
Didalam Angkor Wat, terdapat beberapa candi kecil dengan tangga masuk yang curam. Membuat ane bertanya-tanya, apa maknanya? Setelah ane browsing, kemiringannya yang hampir 70 derajat melambangkan perjalanan manusia menuju alam yang lebih tinggi, mengingatkan kita akan kesulitan dan perjuangan yang harus dilalui sebelum mencapai pencerahan. Jika melangkah sampai puncak candi, ada perasaan seakan kita semakin dekat dengan surga, sebagaimana diyakini oleh orang-orang pada masa itu. Setiap langkah terasa seperti sebuah ritual; tangga-tangga ini tidak hanya dibuat untuk diakses, tetapi juga sebagai simbol spiritual.
Relief di dinding-dinding candi bercerita tentang epos Mahabharata dan Ramayana, serta momen-momen sejarah penting kerajaan Khmer. Setiap ukiran menampilkan presisi luar biasa, seolah-olah para seniman ingin mengabadikan setiap detail sejarah dan mitologi dalam batu. Ane terhanyut dalam pikiran, mengagumi betapa kuatnya komitmen spiritual yang mendorong pembangunan candi ini—tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol kebesaran kekuasaan dan hubungan erat antara raja, dewa, dan rakyatnya.
Sejarah panjang Angkor Wat ternyata tidak hanya berbicara tentang kejayaannya sebagai salah satu keajaiban arsitektur dunia, tetapi juga tentang bagaimana candi ini mampu bertahan meskipun kerajaan Khmer runtuh dan wilayah tersebut ditelan hutan selama berabad-abad. Angkor Wat bukan hanya sebuah bangunan, melainkan saksi bisu dari perjalanan waktu, sebuah warisan yang terus memancarkan aura suci dan misteri bagi siapa saja yang menjelajahinya.
Setelah menjelajahi setiap sudut Angkor Wat selama kurang lebih 1.5 jam, kami kembali ke area loket masuk untuk menemui Bat dan melanjutkan ke tujuan selanjutnya, Bayon Temple. Tidak sulit bagi kami menemukan Bat yang lagi duduk santai ngobrol dengan temannya sesama supir tuk-tuk. Sesaat kemudian kami naik dan Bat mengendarai tuk-tuknya melintasi jalanan yang cukup lengang dan rindang. Dalam hati ane bersyukur, 'Wahhh .. untung tadi naik tuk-tuk ya.. lumayan bisa ngistirahatin kaki bentar dan kena semilir angin,' batin ane.
Sesaat kemudian kami telah sampai ke Bayon Temple, yang dikenal dengan patung wajah besar yang terpahat di dindingnya. Bayon dibangun pada akhir abad ke-12 hingga awal abad ke-13 oleh Raja Jayavarman VII sebagai bagian dari kota Angkor Thom. Candi ini merupakan perwujudan keagamaan yang menggabungkan elemen Hindu dan Buddha, dan sangat terkenal dengan ukiran wajah yang tampaknya memandang ke semua arah.
Menjelajahi Bayon Temple adalah pengalaman yang membawa ane jauh ke dalam keajaiban peradaban Khmer. Berbeda dari Angkor Wat yang megah, Bayon Temple menawarkan kesan yang lebih misterius dan mendalam. Saat ane melangkah ke dalam kompleks candi, hal pertama yang mencuri perhatian adalah ratusan ukiran wajah raksasa yang menghiasi menara-menara batu. Wajah-wajah itu terlihat tenang namun penuh kuasa, seolah-olah memandang setiap sudut candi dengan keheningan yang sarat makna.
Wajah-wajah yang terpahat di batu candi adalah representasi Raja Jayavarman VII, penguasa Khmer yang membangun Bayon pada akhir abad ke-12 sebagai kuil Buddha Mahayana. Namun, ukiran tersebut juga diyakini sebagai perwujudan dari Bodhisattva Avalokitesvara, simbol belas kasih yang melambangkan penguasa yang melindungi rakyatnya. Setiap wajah yang ane lihat memiliki ekspresi yang serupa: mata setengah tertutup dan senyum samar yang disebut sebagai “Senyum Bayon”—sebuah simbol ketenangan batin dan kebijaksanaan. Wajah-wajah ini, sebanyak lebih dari 200, berdiri di atas menara yang tampak menjaga seluruh kompleks.
Batu-batu yang membentuk Bayon terlihat tua dan mulai terkikis oleh waktu. Lumut dan tumbuhan kecil tumbuh di celah-celahnya, memberikan kesan bahwa alam berusaha merebut kembali apa yang pernah dibangun oleh manusia. Permukaan batu yang kasar membuatku sadar betapa panjang usia candi ini, berdiri kokoh meskipun telah melewati ratusan tahun sejarah yang penuh dengan pertempuran, perubahan keyakinan, dan pergeseran peradaban. Sentuhan lembut angin yang melintasi candi seakan membawa bisikan cerita masa lalu yang masih menggema di antara reruntuhannya.
Sejarah Bayon sendiri menarik. Dibangun sebagai pusat dari ibu kota Angkor Thom, Bayon bukan hanya kuil, tetapi juga sebuah simbol dari kekuatan dan keyakinan raja yang memerintah. Bayon mengalami perubahan besar seiring waktu, dari kuil Buddha menjadi candi Hindu setelah kematian Jayavarman VII, mencerminkan peralihan keyakinan yang terjadi di dalam masyarakat Khmer. Struktur uniknya, dengan desain yang tampak acak dan labirin koridor, seolah mencerminkan kompleksitas kehidupan spiritual dan politik saat itu.
Saat ane berjalan di antara lorong-lorong batu yang gelap, ane bisa merasakan keagungan masa lalu yang masih berdenyut di tempat ini. Relief yang terpahat di dinding-dinding candi menggambarkan kisah pertempuran, kehidupan sehari-hari masyarakat Khmer, hingga legenda-legenda spiritual yang membentuk identitas bangsa ini. Relief tersebut kini sebagian telah terkikis, namun tetap memancarkan cerita yang begitu kuat.
Di akhir perjalanan, ane berdiri di bawah salah satu menara Bayon, menatap ke atas wajah-wajah batu yang seolah diam-diam mengamati. Ada sesuatu yang begitu mendalam di balik ukiran itu, sebuah keabadian yang tak dapat dihancurkan oleh waktu. Bayon Temple, dengan segala keusangannya, tetap teguh sebagai monumen yang mencerminkan kebijaksanaan, kekuatan, dan ketenangan batin yang tak lekang oleh zaman.
Setelah puas mengelilingi Bayon Temple selama kurang lebih 45 menit, kami segera kembali ke parkiran untuk mencari Bat. Ternyata karena hari sudah cukup siang, Bat berkata akan mengantarkan kami makan siang dulu ke restoran. Perjalanan berlangsung singkat, sekitar 15 menit dan Bat menurunkan kami di restoran cukup besar yang sepertinya memang khusus untuk para wisatawan. Ane sedikit membatin, 'wah kayaknya bakal mahal nih,' wkwkwk...
Kami duduk, ditawari menu oleh waitress dan karena ane sudah lapar berat, ane memesan sepiring steak dengan harga 8 USD. Entah kenapa pas traveling ane kok nggak terlalu sayang kalau ngeluarin duit buat jajan hehe๐. Alfi sendiri pesan american breakfast. Kami makan dengan lahap karena memang keliling hari itu cukup menguras energi.
Setelah makan siang, kami diantarkan Bat menuju Ta Prohm Temple, candi yang terkenal dengan keindahan alamnya yang berpadu dengan reruntuhan dan menjadi salah satu tempat shooting film Holllywood, Tomb Raider. Saat pertama kali melangkah ke dalam kompleks candi ini, ane langsung disambut oleh pemandangan yang ikonik: akar-akar pohon raksasa yang melilit dinding-dinding batu tua. Akar-akar tersebut merayap dengan indahnya, menembus celah-celah candi, melilit pintu-pintu, dan menjalar di atas struktur yang dulu megah. Rasanya seperti menyaksikan bagaimana alam dengan sabarnya mengambil alih apa yang pernah menjadi karya tangan manusia.
Ta Prohm sendiri dibangun pada abad ke-12 dan awal abad ke-13 sebagai kuil Buddha dan adalah contoh sempurna dari bagaimana alam dan arsitektur saling berinteraksi. Pepohonan raksasa dengan akar besar menjalar di atas dinding candi menciptakan suasana yang magis dan misterius. Menjelajahi Ta Prohm Temple adalah seperti memasuki dunia di mana alam dan arsitektur bersatu dalam harmoni yang menakjubkan.
Akar-akar pohon yang menjalar di seluruh Ta Prohm tampak hidup, seolah-olah menelan candi dengan pelukan lembut, namun tak terlepaskan. Pohon-pohon ini, yang sebagian besar adalah pohon tetrameles (pohon kapas), begitu besar dan mengakar kuat, memberi kesan seakan-akan mereka adalah penguasa sejati dari candi ini. Yang membuatku terpesona adalah pertanyaan alami: siapa yang datang lebih dulu—candi atau akar pohon?
Ta Prohm dibangun pada akhir abad ke-12 oleh Raja Jayavarman VII sebagai biara Buddha dan universitas, jadi tentu saja candi didirikan jauh sebelum pohon-pohon raksasa tersebut mulai merayap di atasnya. Namun, ketika Kekaisaran Khmer runtuh, candi ini perlahan-lahan ditinggalkan dan dibiarkan menjadi bagian dari hutan. Pohon-pohon mulai tumbuh di celah-celah candi yang kosong, menjadikan alam sebagai penjaga baru dari tempat ini. Kini, akar pohon dan batu candi tampak begitu menyatu, menciptakan suasana magis dan misterius yang menjadikan Ta Prohm terkenal di seluruh dunia.
Saat ane berjalan menyusuri lorong-lorong sempit yang dipenuhi reruntuhan, ane merasa seperti berada di dalam sebuah situs yang diam-diam menyimpan cerita masa lalu. Setiap sudut candi terlihat terkoyak oleh kekuatan waktu dan alam, namun tetap memancarkan keagungan yang tak lekang. Batu-batu besar yang runtuh berserakan di bawah akar, membentuk tumpukan-tumpukan yang disinari cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan pohon. Suara alam yang tenang—dari kicauan burung hingga gemerisik daun—menciptakan suasana hening yang membawa kedamaian dalam penjelajahan ini.
Sejarah Ta Prohm sangat erat dengan kehidupan spiritual Khmer. Candi ini didedikasikan untuk ibunda Raja Jayavarman VII dan dulunya adalah salah satu candi terbesar dan paling kaya di kawasan Angkor, dengan lebih dari 12.000 orang tinggal dan beribadah di sekitarnya. Namun, seperti banyak candi lainnya di Angkor, Ta Prohm perlahan ditinggalkan ketika kekaisaran runtuh, hingga akhirnya terlupakan dan menjadi bagian dari hutan lebat selama berabad-abad.
Sekarang, di tengah reruntuhan yang sebagian telah diperbaiki, ane bisa merasakan bagaimana Ta Prohm masih menjaga suasana aslinya. UNESCO telah sengaja membiarkan sebagian besar candi tetap dipeluk oleh pohon-pohon, menciptakan kesan bahwa tempat ini telah lama bersahabat dengan alam. Setiap langkah yang ane ambil di dalam candi ini membawa ane semakin tenggelam dalam refleksi tentang waktu, bagaimana alam dan sejarah memiliki kekuatan untuk membentuk satu sama lain.
Ketika akhirnya ane meninggalkan Ta Prohm, ane merasa telah mengalami pertemuan antara dunia buatan manusia dan kekuatan alam yang abadi. Akar-akar pohon raksasa yang melilit candi bukan hanya lambang kehancuran, tetapi juga kelahiran kembali—sebuah pengingat bahwa alam selalu menemukan cara untuk bertahan, bahkan di atas reruntuhan peradaban manusia.
Kami berjalan-jalan di sekitar candi, mengambil foto dan mengagumi betapa indahnya suasana di sini. Hari kami di Angkor dan sekitarnya sangat memuaskan. Kami tidak hanya mendapatkan pengalaman menjelajahi situs bersejarah yang menakjubkan, tetapi juga belajar banyak tentang budaya dan sejarah Kamboja. Saat kami kembali ke tempat parkir, kami berbagi senyuman penuh kepuasan, mengingat semua momen indah yang kami alami hari itu. Terimakasih Kamboja, besok kami akan kembali ke Bangkok!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar