Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

7.09.2024

Sadar Setiap Hari (SSH) 2: Kebahagiaan dan Penderitaan Mempunyai Nilai yang Setara


Sumber Renungan: FB Renungan Kehidupan

Namo Buddhaya
Sebenarnya, kebahagiaan adalah penderitaan dalam penyamaran namun dalam bentuk halus yang Anda tidak lihat.
Bila Anda melekat pada kebahagiaan, sama halnya dengan melekat pada penderitaan, tetapi Anda tidak menyadari.
Ketika Anda berpegangan pada kebahagiaan, tidak mungkin membuang penderitaan yang melekat.
Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Itulah yang diajarkan Sang Buddha pada kita untuk mengenal penderitaan, melihatnya seperti bahaya yang melekat pada kebahagiaan, melihat keduanya sepadan.
Jadi berhati-hatilah! Ketika kebahagiaan muncul, jangan terlena dan jangan terbawa perasaan.
Ketika penderitaan datang, jangan putus asa, jangan tenggelam di dalamnya.
Lihat, keduanya memiliki nilai yang setara.
~ Ajahn Chah ~
Tidak Ada Ajahn Chah - Perenungan
Penterjemah Abhayagiri Sumedho
Dhamma Citta

----------------------------------------

Dalam kehidupan ini, kita sering berusaha mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Namun, dalam ajaran Buddha, kebahagiaan dan penderitaan bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan dua sisi dari satu koin yang tidak bisa dipisahkan. Seringkali, kebahagiaan yang kita cari sebenarnya adalah penderitaan yang tersembunyi dalam penyamaran yang lebih halus. Begitu kita melekat pada kebahagiaan, kita juga secara tidak sadar melekat pada penderitaan itu sendiri.

Mari kita jelajahi lebih dalam pemahaman ini berdasarkan ajaran Buddha.

1. Kebahagiaan adalah Penderitaan dalam Penyamaran

Ajaran Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan, meskipun tampak menyenangkan, pada dasarnya hanyalah penderitaan yang tersembunyi di balik penampilan yang menyenangkan. Ketika kita mencari kebahagiaan dari hal-hal eksternal—seperti harta, status, atau kesenangan—kebahagiaan yang kita rasakan itu bersifat sementara. Apa yang kita sebut sebagai kebahagiaan itu sebenarnya bersifat sementara dan rapuh. Semua hal yang kita anggap membahagiakan memiliki sifat yang tidak kekal (Anicca). Ketika kita melekat pada kebahagiaan yang bersifat sementara ini, kita menjadi rentan terhadap penderitaan, karena perubahan pasti terjadi.

Contoh sederhana adalah ketika kita merasa bahagia memiliki barang baru atau meraih pencapaian tertentu, namun kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Lama kelamaan, rasa puas itu hilang dan muncul keinginan baru. Pada saat itulah kita baru menyadari bahwa kebahagiaan yang kita kejar ternyata membawa kita pada penderitaan baru: rasa tidak puas atau ketidakbahagiaan yang muncul setelah kebahagiaan itu hilang.

2. Meletakkan Diri pada Kebahagiaan Sama dengan Melekat pada Penderitaan

Salah satu ajaran inti dalam Dharma adalah konsep melekat atau attachment. Ketika kita melekat pada kebahagiaan—apapun itu bentuknya—kita sebenarnya sedang menumbuhkan benih penderitaan. Mengapa? Karena segala sesuatu yang bersifat duniawi adalah tidak kekal. Ketika kita terlalu melekat pada kebahagiaan yang kita alami, kita tidak siap menghadapi kenyataan bahwa kebahagiaan tersebut akan berubah atau hilang suatu saat nanti.

Perasaan ini menyebabkan kita merasa kecewa, marah, atau frustasi ketika kebahagiaan itu hilang. Oleh karena itu, dalam ajaran Buddha, kita diajarkan untuk tidak melekat pada kebahagiaan, tetapi untuk menyadari bahwa kebahagiaan tersebut adalah hasil dari kondisi tertentu yang bisa berubah. Ketika kita melekat pada kebahagiaan, kita juga secara tidak sadar mengikat diri pada penderitaan yang akan datang.

3. Kebahagiaan dan Penderitaan Tidak Dapat Dipisahkan

Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan dan penderitaan tidak dapat dipisahkan. Mereka adalah dua aspek dari kehidupan yang saling terkait. Ketika kita mengalami kebahagiaan, kita harus menyadari bahwa kebahagiaan itu adalah kondisi sementara, dan dalam proses pencarian kebahagiaan itu juga terkandung potensi penderitaan. Begitu juga, ketika kita mengalami penderitaan, kita perlu menyadari bahwa penderitaan itu juga bersifat sementara, dan dapat bertransformasi menjadi kebahagiaan ketika kita menerima dan menghadapinya dengan kebijaksanaan.

Penderitaan yang kita alami bisa menjadi pelajaran berharga yang mengarah pada kebahagiaan sejati, yaitu kedamaian batin yang tidak tergantung pada kondisi eksternal. Dalam ajaran Buddha, Dukkha (penderitaan) adalah salah satu aspek fundamental dari kehidupan, dan kebahagiaan yang sejati hanya dapat dicapai ketika kita memahami dan menerima penderitaan sebagai bagian dari perjalanan hidup.

4. Berhati-Hatilah dengan Kebahagiaan yang Muncul

Buddha mengingatkan kita untuk tidak terlena atau terbawa perasaan ketika kebahagiaan muncul. Keinginan untuk merasa bahagia seringkali mendorong kita untuk melakukan tindakan yang mungkin tidak bijaksana. Kita menjadi terperangkap dalam pencarian kebahagiaan eksternal yang berujung pada kekecewaan.

Ketika kebahagiaan datang, kita diajarkan untuk menikmati kebahagiaan itu dengan penuh kesadaran, tetapi juga dengan pengertian bahwa kebahagiaan tersebut tidak kekal. Dengan begitu, kita tidak akan terperangkap dalamnya, dan tidak akan merasa kehilangan saat kebahagiaan itu berubah atau hilang.

5. Tidak Terbawa Penderitaan

Sebaliknya, ketika penderitaan datang, Buddha mengajarkan kita untuk tidak tenggelam dalam keputusasaan atau rasa sakit yang mendalam. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa kita hindari, tetapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Buddha mengajarkan kita untuk menghadapinya dengan ketenangan dan kebijaksanaan, dengan pemahaman bahwa penderitaan itu pun bersifat sementara. Dalam proses penerimaan, kita akan menemukan kedamaian batin dan kebahagiaan yang tidak tergantung pada keadaan eksternal.

Penderitaan memberikan kita kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, untuk melatih kesabaran, ketabahan, dan welas asih. Saat kita menghadapinya dengan kesadaran, penderitaan tidak lagi menjadi beban yang berat, tetapi menjadi bagian dari proses kehidupan yang membantu kita mencapai kedamaian.

6. Kebahagiaan dan Penderitaan Seimbang

Buddha mengajarkan kita untuk melihat kebahagiaan dan penderitaan sebagai dua hal yang sepadan, keduanya saling melengkapi. Tidak ada satu pun yang lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya. Keduanya adalah bagian dari hukum kehidupan yang saling terkait, dan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita perlu menerima kenyataan bahwa penderitaan dan kebahagiaan berjalan beriringan.

Dengan memahami hal ini, kita tidak akan terlalu terikat pada kebahagiaan yang sementara, dan kita juga tidak akan tenggelam dalam penderitaan yang datang. Kita akan lebih bijaksana dalam menghadapi segala kondisi kehidupan, karena kita menyadari bahwa keduanya, kebahagiaan dan penderitaan, memiliki nilai yang setara dan memberikan pelajaran berharga bagi kita.


Contoh Konkret dalam Kehidupan Sehari-Hari

Mari kita lihat contoh konkret dari ajaran Buddha ini dalam kehidupan sehari-hari, di mana kebahagiaan dan penderitaan seringkali datang beriringan dan kita perlu menghadapinya dengan bijaksana.

1. Kebahagiaan yang Tidak Kekal

Misalkan Anda mendapatkan promosi di tempat kerja, dan Anda merasa sangat bahagia. Kebahagiaan ini terasa menyenangkan, tetapi juga bersifat sementara. Beberapa minggu atau bulan setelah promosi, mungkin Anda mulai merasa stres dengan tanggung jawab baru atau menghadapi masalah yang sebelumnya tidak Anda alami. Kebahagiaan yang Anda rasakan sebelumnya kini tergantikan dengan stres atau kecemasan.

Dalam konteks ajaran Buddha, kebahagiaan yang Anda rasakan dari promosi tersebut adalah kebahagiaan yang tidak kekal. Jika Anda melekat terlalu lama pada kebahagiaan itu—terlalu berfokus pada pencapaian dan status—Anda akan merasakan penderitaan ketika kondisi berubah. Buddha mengajarkan kita untuk menikmati kebahagiaan tersebut dengan penuh kesadaran, tanpa terjebak dalam kebahagiaan itu sendiri, karena perubahan adalah hukum alam.

2. Meletakkan Diri pada Kebahagiaan = Melekat pada Penderitaan

Contoh lainnya bisa dilihat pada kebahagiaan yang datang dari hubungan personal, misalnya hubungan cinta atau persahabatan. Anda merasa bahagia dengan pasangan atau teman yang mendukung Anda. Tetapi jika Anda terlalu melekat pada hubungan tersebut, Anda akan sangat tergantung pada mereka untuk merasa bahagia. Ketika ada ketegangan atau masalah dalam hubungan itu, Anda merasa cemas atau marah.

Di sini, kebahagiaan yang Anda rasakan datang dengan ikatan atau attachment. Ketika hubungan tersebut mengalami masalah atau berakhir, Anda akan merasakan penderitaan yang mendalam, karena kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang bersifat sementara. Ajaran Buddha mengingatkan kita untuk tidak melekat pada hubungan atau kondisi eksternal sebagai sumber kebahagiaan yang utama, melainkan untuk melihat bahwa segala sesuatu, termasuk kebahagiaan dalam hubungan, bersifat sementara.

3. Kebahagiaan dan Penderitaan yang Berjalan Seiring: Sumber Daya yang Berbeda

Bayangkan Anda sedang berlibur ke tempat yang indah, menikmati pemandangan, makanan, dan suasana. Kebahagiaan datang begitu kuat, tetapi saat Anda pulang, Anda merasakan kesedihan dan keletihan karena kembali ke rutinitas yang penuh tekanan. Anda mulai merasa bahwa kebahagiaan liburan tersebut hanyalah ilusi sementara, karena kembali ke kehidupan sehari-hari yang penuh tantangan.

Namun, melalui ajaran Buddha, Anda diajarkan untuk melihat kebahagiaan dan penderitaan dalam liburan itu secara seimbang. Kebahagiaan yang Anda rasakan selama liburan adalah bagian dari pengalaman hidup yang harus dihargai, tetapi penderitaan yang datang setelahnya—seperti kelelahan atau tekanan pekerjaan—juga merupakan bagian dari kehidupan yang harus diterima. Keduanya memberi pelajaran, dan keduanya seharusnya tidak membuat kita terjebak dalam keinginan untuk selalu merasakan kebahagiaan atau menghindari penderitaan.

4. Menghadapi Penderitaan dengan Kesabaran: Ketika Kehilangan atau Kegagalan

Misalnya, Anda kehilangan orang yang Anda cintai atau menghadapi kegagalan besar dalam hidup, seperti kehilangan pekerjaan atau tidak berhasil mencapai tujuan besar. Rasa sakit dan penderitaan ini datang dengan kuat, tetapi ajaran Buddha mengajarkan kita untuk tidak tenggelam dalam kesedihan tersebut. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan, dan kita tidak perlu menghindarinya.

Dengan pemahaman Buddha, kita diajarkan untuk melihat penderitaan itu sebagai bagian dari proses yang akan mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita. Anda dapat merasakan kesedihan, tetapi juga menyadari bahwa penderitaan itu tidak akan bertahan selamanya. Ini adalah ajaran tentang ketidakkekalan (Anicca), yang mengingatkan kita bahwa perasaan negatif seperti kesedihan pun akan berlalu. Dengan cara ini, kita belajar untuk tidak tenggelam dalam penderitaan.

5. Kebahagiaan yang Ditemui dalam Penderitaan: Menemukan Kedamaian dalam Kesulitan

Suatu ketika Anda sedang mengalami kesulitan besar, seperti permasalahan keluarga atau penyakit yang serius. Meskipun keadaan ini terasa sangat menyakitkan, jika kita mampu menghadapi situasi tersebut dengan kesadaran, kita bisa menemukan kebahagiaan dalam bentuk kedamaian batin. Misalnya, selama masa sakit atau masa sulit, kita bisa berlatih untuk tetap tenang, memperkuat rasa welas asih pada diri sendiri dan orang lain, dan menerima kenyataan.

Ajaran Buddha mengingatkan kita bahwa dalam setiap penderitaan terdapat peluang untuk tumbuh dan berkembang. Dengan tidak terjebak dalam keinginan untuk menghindari penderitaan atau kebahagiaan sementara, kita bisa mencapai kedamaian batin yang lebih dalam. Kita mulai menyadari bahwa kedamaian sejati tidak datang dari kebahagiaan eksternal, tetapi dari kemampuan untuk tetap tenang dan penuh perhatian dalam setiap situasi, baik itu kebahagiaan maupun penderitaan.

6. Kebahagiaan dalam Memperoleh Barang Baru

Misalkan Anda membeli barang yang sudah lama Anda idam-idamkan, seperti ponsel baru atau kendaraan. Saat pertama kali memilikinya, Anda merasa sangat bahagia dan puas. Kebahagiaan ini datang dari memiliki sesuatu yang baru, sesuatu yang Anda inginkan. Namun, seiring waktu, barang tersebut mulai kehilangan daya tariknya. Ponsel baru yang awalnya sangat menyenangkan, akhirnya menjadi benda yang biasa saja, dan Anda mulai menginginkan barang baru lainnya.

Di sini, kebahagiaan yang Anda rasakan dari barang baru tersebut adalah bentuk kebahagiaan yang sementara. Ketika Anda melekat pada kebahagiaan ini—terlalu bergantung pada kepemilikan barang untuk merasa bahagia— Anda akan merasakan penderitaan ketika kebahagiaan tersebut memudar. Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menikmati kebahagiaan dalam memiliki barang, tetapi juga untuk tidak terjebak dalam keinginan untuk terus memiliki lebih banyak, karena ini akan mengarah pada penderitaan.

7. Kebahagiaan dalam Pencapaian Pribadi

Bayangkan Anda berhasil mencapai suatu pencapaian besar dalam hidup, seperti lulus ujian atau mencapai target pribadi. Anda merasa sangat bangga dan bahagia atas pencapaian tersebut. Namun, beberapa waktu setelahnya, kebahagiaan itu mulai hilang. Anda mulai merasa bahwa pencapaian itu tidak lagi memuaskan, atau Anda malah merasa tekanan untuk mencapai lebih banyak lagi. Kebahagiaan itu berubah menjadi kecemasan tentang apa yang berikutnya, atau rasa takut gagal lagi.

Dalam konteks ajaran Buddha, kebahagiaan dari pencapaian ini adalah bentuk kebahagiaan yang bergantung pada hasil, yang pada akhirnya tidak kekal. Saat Anda melekat pada pencapaian tersebut, Anda bisa merasakan penderitaan saat hal itu mulai pudar. Buddha mengajarkan kita untuk menikmati pencapaian, tetapi tidak mengandalkan kebahagiaan pada hasil-hasil eksternal, karena itu akan selalu berubah dan meninggalkan rasa kosong.

8. Kebahagiaan dalam Kehidupan Sosial dan Interaksi

Salah satu contoh lainnya adalah kebahagiaan yang datang dari berinteraksi dengan teman-teman atau keluarga. Misalnya, Anda menikmati waktu bersama teman-teman dalam acara kumpul-kumpul yang menyenangkan. Anda merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan perhatian dari orang-orang di sekitar Anda. Namun, jika Anda terlalu bergantung pada orang lain untuk merasa bahagia, Anda bisa merasa kesepian atau kecewa ketika hubungan tersebut mengalami ketegangan atau perubahan.

Kebahagiaan ini bergantung pada hubungan sosial, dan seringkali kita melekat padanya. Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menikmati kebahagiaan yang datang dari hubungan, tetapi juga untuk menyadari bahwa hubungan itu bisa berubah. Ketika kita terlalu bergantung pada kebahagiaan dari orang lain, kita akan merasakan penderitaan saat hubungan itu tidak berjalan sesuai harapan.

9. Kebahagiaan dari Aktivitas yang Membawa Kepuasan Pribadi

Misalnya, Anda menikmati berolahraga, seperti berlari atau berenang. Aktivitas fisik ini memberikan kebahagiaan karena tubuh merasa lebih sehat dan pikiran terasa segar. Namun, seiring waktu, mungkin Anda mulai merasa tertekan untuk berolahraga lebih sering atau lebih lama agar tetap merasa bahagia. Pada titik tertentu, kebahagiaan yang berasal dari aktivitas fisik ini bisa berubah menjadi rasa kewajiban, bahkan bisa menyebabkan rasa sakit atau kelelahan, yang berujung pada penderitaan.

Buddha mengajarkan kita untuk menikmati kebahagiaan yang datang dari aktivitas fisik atau hobi, tetapi juga untuk tidak terjebak dalam kebutuhan untuk melakukannya secara berlebihan atau merasa tidak bahagia jika kita tidak bisa melakukannya. Seperti halnya kebahagiaan lainnya, kebahagiaan dari aktivitas fisik pun bersifat sementara dan bergantung pada keadaan tubuh dan pikiran kita.

10. Kebahagiaan dalam Kehidupan Keluarga

Dalam banyak kasus, kebahagiaan datang dari hubungan dengan keluarga—misalnya, merasa bangga dengan anak-anak atau mendukung pasangan dalam hidup mereka. Ini adalah kebahagiaan yang sangat kuat, namun terkadang datang dengan penderitaan. Misalnya, kebahagiaan dari melihat anak-anak tumbuh dengan baik bisa berubah menjadi kecemasan atau rasa takut ketika mereka menghadapi tantangan atau kesulitan dalam hidup. Ketika seseorang yang kita cintai menghadapi penderitaan, kita juga merasa terpengaruh oleh penderitaan tersebut.

Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menghargai kebahagiaan yang datang dari keluarga, tetapi juga untuk menyadari bahwa setiap individu memiliki perjalanan mereka sendiri dan bahwa kita tidak dapat mengendalikan segala sesuatu yang terjadi pada mereka. Ketika kita melepaskan keterikatan yang berlebihan pada kebahagiaan yang datang dari orang lain, kita bisa menerima bahwa penderitaan dan kebahagiaan keduanya adalah bagian dari perjalanan hidup yang saling terkait.

11. Kebahagiaan yang Tercipta dari Pencapaian Spiritual

Seseorang yang berlatih meditasi atau mencari pencerahan spiritual mungkin merasa kebahagiaan dalam ketenangan batin dan kedamaian. Namun, seperti halnya kebahagiaan duniawi, kebahagiaan spiritual ini pun bisa membawa kita pada bentuk penderitaan baru, seperti rasa superioritas atau keinginan untuk menggapai tingkat pencerahan yang lebih tinggi. Kita bisa terjebak dalam keinginan untuk mencapai tujuan spiritual tertentu, yang pada akhirnya membawa rasa frustrasi jika kita merasa belum mencapainya.

Buddha mengajarkan kita untuk menikmati kedamaian yang datang dari praktik spiritual, tetapi juga untuk tidak melekat pada tujuan tersebut. Kebahagiaan spiritual yang sejati datang ketika kita dapat menerima diri kita sepenuhnya, tanpa merasa terpaksa untuk mencapai sesuatu atau terjebak dalam rasa ingin menjadi lebih baik dari yang lain.

SADAR SETIAP HARI...

0 comments:

Posting Komentar