Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

12.31.2024

[5] Nusa ROTE : Ketemu Pandu, Kak Rillen dan Kak Inda di Kupang (Finished)

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Aku dengan Kak Rillen, temannya, Kak Inda, Yanto dan anak-anak Kak Inda

Keesokan harinya aku dan Richa naik kapal Express Bahari pagi dari Rote ke Kupang. Ya, hari ini kami sudah harus kembali ke Kupang karena lusa pagi kita sudah harus kembali ke Surabaya. Yaa kembali ke rutinitas. Bekerja😭😭.

Menaiki kembali kapal Bahari Express 1C, kami sampai Kupang lagi, tepatnya rumahnya Budhenya Richa di siang hari. Sudah tidak ada agenda atau tempat yang akan kami kunjungi lagi di Kupang, jadi siang itu sampai sesorean aku istirahat, sementara Richa terlihat berinteraksi lebih maksimal dengan Budhenya.

Sorenya, aku pamit ke Richa dan Budhenya karena mau ada acara ketemuan dengan Pandu, teman KKN-ku waktu kuliah yang sekarang sedang di NTT dan Kak Rillen, teman FB-ku dari Kupang. Ane udah berteman dengan Kak Rillen cukup lama, sejak 2012 tepatnya. Perkenalan pertamaku dengan Kak Rillen, seingatku dia bertanya-tanya tentang India lewat messenger karena dia ada rencana mau kesana. Dia menghubungiku karena aku banyak nulis tentang India di blog mulai dari cara bikin visanya, pengalaman disana, dan tips trik selama disana. Aku, Pandu dan Kak Rillen rencana akan ketemuan di Cafe Subasuka.

Sore itu, Pandu dan Yanto (temannya dari desa KKN) datang tepat waktu seperti yang sudah kami rencanakan. Kami memulai pertemuan dengan mengobrol santai dan menikmati hidangan di sebuah Cafe Subasuka, sebuah cafe tepi laut yang sederhana tapi nyaman. Awalnya, kami duduk di kursi-kursi kayu yang berada di sebuah gubuk kecil di tepi laut. Suasana begitu syahdu—deru ombak yang tenang berpadu dengan angin laut yang lembut, menciptakan suasana yang benar-benar santai. Tapi, tak lama kemudian, langit berubah gelap, dan hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun.

Kami berusaha tetap santai meski hujan semakin menggila. Namun, tak hanya hujan yang mengguyur, petir pun mulai menggelegar. Suaranya menggema tanpa ampun, memecah keheningan sore itu. Aku mulai merasa tidak nyaman. Gubuk kecil tempat kami duduk persis di tepi laut dan dekat dengan sebuah pohon. Pikiranku mulai dihantui kekhawatiran: bagaimana jika petir menyambar?

Duaar....! Lagi-lagi petir menyambar dengan begitu kerasnya di langit.

"Pindah kedalam aja yuk guys, takut aku," kataku semakin kuatir.

Kami pun akhirnya memutuskan untuk berpindah ke bagian dalam cafe. Meskipun kehilangan pemandangan laut yang indah, kami tetap melanjutkan cerita-cerita kami di meja kayu yang hangat di dalam ruangan. Hujan deras yang mengguyur atap seng cafe menciptakan suara gemuruh yang anehnya terasa menenangkan. Obrolan kami terus mengalir, sesekali diselingi tawa. Hujan di luar terasa seperti irama yang menemani sore kami.

Cafe Subasuka tempat kami bertiga berbagi cerita

Kami bercerita banyak, terutama aku dan Pandu karena kita lama tidak ketemu. Kita pernah melaksanakan KKN bareng di Atambua di Juli-Agustus 2023

Ngemil-ngemil..

Akhirnya setelah amukan hujan lumayan berhenti, kita berpindah ke Cafe Basement akhirnya ketemu Kak Rillen di cafe tersebut. Saat itu Kak Rillen datang sama temennya. Entah kenapa meskipun baru pertama ketemu, obrolan kita langsung nyambung. Orangnya sangat friendly dan baik, seakan-akan kita udah kenal langsung lama. Kita menghabiskan waktu 1.5 jam di cafe dengan cerita-cerita sebelum akhirnya bergeser ke rumah Kak Inda.

Nongkrong bareng..

Aku dan Pandu

Suasana Cafe Basement, Kota Kupang, di malam 12 Desember 2016

Oiya, siapa Kak Inda? Kak Inda adalah salah satu temanku asal Kupang. Perkenalan kami terjadi secara tak langsung, melalui Kak Rillen yang tampaknya tahu bahwa aku sering transit di Kupang. Semua ini berawal dari bulan Juli-Agustus 2013, ketika aku pernah KKN di Atambua, NTT. Masa KKN itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam hingga proses move on-nya memakan waktu panjang. Saking seringnya aku bolak-balik NTT, khususnya Pulau Timor, Kak Rillen mengenalkanku dengan Kak Inda, seorang teman yang ternyata juga memiliki hobi traveling.

Ketika akhirnya bertemu, aku dan teman-temanku disambut dengan sangat hangat di rumah Kak Inda. Rumahnya begitu dipenuhi kehangatan keluarga. Saat itu, Kak Inda memiliki dua anak kecil yang sangat menggemaskan. Salah satunya adalah Dek Raya, yang sempat kugendong selama kami berada di sana.

Kami duduk bersama, berbicara banyak hal, dan berbagi cerita selama hampir satu jam. Meski singkat, pertemuan itu terasa begitu berarti. Kak Inda menunjukkan keramahtamahan khas Kupang yang membuatku merasa seperti berada di rumah sendiri.

Setelah pertemuan itu, aku semakin yakin bahwa teman-temanku dari Kupang adalah orang-orang yang sangat baik. Mereka tidak hanya ramah, tetapi juga membuat siapa pun merasa diterima dengan tulus. Itulah salah satu alasan mengapa aku selalu senang kembali ke NTT, ke tempat yang penuh kenangan indah dan persahabatan sejati. 

Setelah obrolan hangat dan cerita-cerita yang tak terasa memakan waktu lama, kami akhirnya harus berpamitan dari rumah Kak Inda. Waktu menunjukkan pukul 12 malam ketika kami berpisah. Pandu, seperti biasa, dengan baik hati mengantarkanku kembali ke rumah Budhe-nya Richa.

Esok paginya, aku dan Richa terbang kembali ke Surabaya dengan jadwal pesawat jam 5 pagi. Penerbangan pagi itu terasa seperti transisi yang singkat namun tajam dari suasana hangat NTT menuju rutinitas kehidupan kota. Setibanya di Surabaya, kami langsung bergegas menghadapi realitas—kembali bekerja, hehehe.

Meskipun begitu, kenangan manis dari perjalanan ini tetap melekat. Ia menjadi semacam pengingat bahwa sesekali, jauh dari rutinitas, selalu ada pengalaman berharga yang menghangatkan hati. Terimakasih Pulau Rote!

Finished..

[4] Nusa ROTE : Biru Kristal Pantai OESELI, Bukit Mando'o dan Bukit Termanu !

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Pantai Oeseli, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur

Semburat matahari mulai mengintip di ufuk timur, perlahan mengusir gelap malam. Kokok ayam pagi hari menggema, membangunkan desa dari tidurnya.  Aku bangun dari tidur dengan cukup segar. 'Mungkin bisa lihat sunrise', pikirku sambil menguap dan bersiap-siap mengangkat tubuh dari kasur. Kulihat Richa di kasurnya juga sudah bangun dan sedang bermain handphone.

Aku buka pintu kamar dan disambut dengan udara pagi pantai yang sejuk dan sedikit dingin. Oh, rupanya aku terlambat, matahari sudah terbit. Pagi ini suasana di pantai begitu sepi dan damai. Hanya terdengar suara deburan ombak kecil yang pecah perlahan di garis pantai. Angin lembut berhembus, membawa aroma laut yang khas. Aku berjalan perlahan menuju pantai di belakang penginapan, ingin menikmati momen damai ini dengan penuh kesadaran.

Suasana pagi hari di Pantai Nemberala yang sangat damai dan tenang

Suasana pagi hari di Pantai Nemberala yang sangat damai dan tenang

Aku berdiri memandang ke arah laut yang membentang luas, permukaannya berkilau terkena cahaya matahari yang perlahan naik. Di kejauhan, beberapa perahu kecil bergoyang pelan, terombang-ambing mengikuti ritme ombak. Pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pinggir pantai terlihat bergoyang perlahan tertiup angin.

Sedikit demi sedikit, matahari mulai meninggi, menyinari pasir putih dan laut biru Nemberala yang semakin memancarkan keindahannya. Setelah menikmati sesi pagi yang sangat mendamaikan, aku segera bersih-bersih untuk bersiap cari sarapan. Rencana aku dan Richa akan eksplorasi area Pantai Nemberala lebih jauh sebelum check out dan melanjutkan perjalanan.

Halaman belakang Hotel Tirosa yang menghadap Pantai Nemberala. Saat itu aku masih bermimpi ingin mengunjungi Hawai'i, aku membatin apa kayak gini ya halaman belakangnya kalau punya rumah di Hawai'i? Hehehe..

Damai..tenang..tanpa gangguan..

Pagi itu selesai sarapan, kami berjalan menyusuri garis pantai, menikmati segarnya terpaan air laut di telapak kaki. Laut disini airnya begitu jernih, memperlihatkan dasar berpasir dengan sesekali pecahan karang kecil di dalamnya. Pohon-pohon kelapa yang berjajar di tepi pantai terlihat meliuk melambai tertiup angin. Meskipun pemandangan masih diganggu oleh satu hal, sampah kiriman! Hampir di sepanjang tepi pantai yang kami telusuri masih diganggu oleh sampah kiriman.

Di sepanjang pesisir Pantai Nemberala banyak ditanam pohon kelapa

Kapal nelayan

Kapal nelayan yang masih tertambat. 

Gradasi air laut Pantai Nemberala

Setelah berjalan kurang lebih 200 meter dari hotel, kami menemukan sebuah spot pantai yang gradasi biru lautnya benar-benar cantik. 

"Wah baguus cha! Yuk cha takfotoin," kataku. Kami bergantian mengambil foto disini karena laut disini benar-benar secantik itu.

Gradasi air laut Pantai Nemberala

Saat melanjutkan langkah, aku melihat di sepanjang tepi pantai, terlihat banyak warga menjemur daun kelapa di sepanjang pantai. Setelah aku browsing, ternyata menjemur daun kelapa sampai kering merupakan salah satu aktivitas tradisional yang sering dilakukan oleh masyarakat Pulau Rote. Daun kelapa itu sendiri setelah kering biasa digunakan untuk membuat berbagai kerajinan tangan seperti anyaman tikar (digunakan untuk keperluan rumah tangga atau upacara adat), tas atau topi tradisional (sering dijual sebagai cendera mata bagi wisatawan atau digunakan sendiri), atap rumah tradisional (alang-alang). Selain itu daun kelapa kering adalah bahan bakar alami yang sering digunakan untuk memasak di dapur tradisional maupun bahan bakar untuk mengolah gula aren atau minuman tradisional seperti moke. Karena melimpah dan mudah terbakar, ini menjadi pilihan ekonomis bagi masyarakat lokal.

Daun kelapa banyak dijemur di sepanjang pesisir Pantai Nemberala

Setelah puas hunting foto, sekitar pukul 9 pagi, kami check-out dari penginapan dan mulai mengarahkan motor ke tujuan selanjutnya: Pantai Oeseli. Pantai ini berjarak kurang lebih 25 kilometer dari Nemberala dan memakan waktu sekitar 45 menit berkendara. Perjalanan menuju Oeseli menunjukkan sisi selatan Pulau Rote yang pemandangannya didominasi oleh hamparan hijau subur dengan pohon dan rerumputan, serta area gersang yang dipenuhi semak-semak kering. Jalanannya sendiri sebagian besar cukup mulus. Di sisi jalan, kami sering kali melewati kawanan ternak—sapi dan kambing yang asyik merumput dan mencari makan di padang rumput luas.

Pemandangan di sepanjang jalan Nemberala - Bukit Mando'o

Karena ini Bulan Desember pada beberapa bagian selatan Pulau Rote terlihat menghijau subur

Dari hamparan hijau subur dan padang gersang, pemandangan mulai didominasi oleh pohon kepala yang tumbuh menjulang tinggi. 'Wah.. udah deket nih kayaknya,' batinku. Motor kulajukan di jalanan yang semakin sepi dan sepi, dan akhirnya aku memasuki sebuah jalan kecil yang menuju ke laut. Dan tiba-tiba terbentanglah salah satu pantai terindah di hidupku...

Akses jalan masuk Pantai Oeseli

Pantai Oeseli..Oh my God, I have never seen pantai seindah dan seluas ini. Airnya biru jernih seperti kristal, memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Garis pantainya dihiasi pasir putih lembut. Dan sewaktu aku mendekat... Hmmmm... Ternyata pantainya dangkal sekali, arus tenang. Gelombang laut terlihat hanya membentuk riak-riak kecil. 

Pantai Oeseli... indahnya..

“Wihh baguss banget pantainya Cha” kataku sambil mematikan mesin motor.

Richa mengangguk sambil mengabadikan pemandangan dengan kameranya. Memang tidak dipungkiri, siapa saja yang pertama kali mengunjungi pantai ini pasti merasa amazed!

Salah satu sudut Pantai Oeseli yang terlihat ditumbuhi bakau namun tetap cantik

Saking terpesonanya dengan biru kristal dan beningnya air laut di Pantai Oeseli, aku tak tahan untuk tidak menceburkan diri. Setelah menaruh barang-barang di bawah pohon kelapa, aku segera mengganti pakaian dan berlari kecil ke arah air. Rasanya sejuk di tengah teriknya matahari siang Pulau Rote. Sementara itu, Richa memutuskan untuk tidak ikut berenang. Ia memilih bersantai di bawah pohon, mendengarkan musik favoritnya sambil menikmati semilir angin pantai. It's no problem karena setiap orang mempunyai caranya masing-masing untuk menikmati suasana.

Aku berenang sambil tetap was-was takut keberadaan buaya

Meski menikmati berenang, aku tak bisa sepenuhnya rileks. Ada rasa khawatir yang menghantui, terutama saat membayangkan kemungkinan munculnya buaya. Aku cukup sering ke NTT terutama Pulau Timor, dan salah satu issue paling utama di pantai-pantainya adalah keberadaan buaya yang masih sering mengancam. Buaya-buaya tersebut datang dari rawa ke pantai untuk mencari sumber makanan tentunya, dan yang kudengar, sudah ada beberapa kasus penyerangan manusia oleh buaya di pantai. Pemikiran tersebut membuatku cukup kawatir dan hanya berenang di sekitar tepian pantai saja.

Setelah puas bermain air, aku segera naik. Udara hangat segera mengeringkan kulitku, dan aku duduk sebentar di atas pasir, menikmati pemandangan sambil memandangi laut lepas. Sebelum bersiap menuju destinasi berikutnya, aku menyempatkan diri berburu foto-foto indah. Namun, di sela-sela aktivitas memotret, aku menyadari betapa pentingnya menikmati keindahan ini dengan mata dan hati. Kamera bisa menangkap gambar, tapi hanya mataku yang bisa menyimpan kesan mendalam dari suasana ini.

Semua sudut Pantai Oeseli cantik

Gradasi warna air laut di Pantai Oeseli. Bagian yang berwarna biru muda itu bawahnya berupa pasir laut berwarna putih yang lembut

Saat kami hendak berkemas, kami bertemu dengan dua traveler yang baru saja tiba di pantai. Salah satunya adalah orang Indonesia, dan yang satunya lagi seorang bule. Mereka datang dengan motor, lengkap dengan perlengkapan camping yang terikat di belakang.

“Wah, kalian camping di sini?” tanyaku.

“Ya, sudah semalam di sini. Kami lagi roadtrip keliling NTT,” jawab si traveler Indonesia dengan senyum lebar. Ia bercerita tentang perjalanan mereka yang penuh petualangan, dari pantai ke pantai, gunung ke gunung, dan desa ke desa. Mereka tampak begitu menikmati perjalanan. Yaa nggak heran sih, roadtrip, apalagi di NTT (salah satu provinsi dengan pemandangan alam terbaik di Indonesia) merupakan dambaan setiap traveler yang hobby jalur darat.

“Pantai Oeseli ini salah satu favorit kami sejauh ini. Sepi, bersih, dan indah banget,” tambah si traveler sambil memandang laut.

"Can't agree more," kataku menyetujui.

Aku dan Richa mengobrol sebentar dengan mereka sebelum akhirnya berpamitan. Aku senang membuat memori dengan mengunjungi pantai ini. Disini aku benar-benar merasakan kedamaian. Waktu seolah berhenti, memberikan ruang untuk menikmati keindahan alam tanpa gangguan.

Kami melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya: Bukit Mando’o. Dari Pantai Oeseli, perjalanan menuju Bukit Mando’o memakan waktu sekitar 40 menit dengan jarak kurang lebih 15 kilometer. Jalan yang kami lalui cukup beragam—ada yang mulus beraspal, ada juga yang masih berbatu. Pemandangan sepanjang perjalanan tetap memanjakan mata. Pohon kelapa melambai-lambai di tepi jalan, beberapa sapi dan kambing terlihat merumput di ladang, dan di beberapa tempat, rerumputan yang gersang mengingatkan betapa panasnya cuaca Rote. Kami akhirnya tiba di tempat parkir Bukit Mando’o, yang ternyata merupakan pintu masuk untuk mendaki ke puncak bukit. Dari sini, perjalanan belum selesai. Kami harus trekking menaiki anak tangga yang cukup banyak untuk mencapai puncaknya. Trekking ini menjadi tantangan tersendiri karena matahari sedang terik-teriknya. Keringat langsung membanjiri tubuh, dan nafas mulai terengah-engah saat kami terus menaiki anak tangga yang tampak tak ada habisnya. Namun, semangat untuk melihat pemandangan dari atas membuat kami terus melangkah.

Naik tangga sambil dipanggang matahari ke Bukit Mando'o

Setelah sekitar 20 menit mendaki, akhirnya kami tiba di puncak Bukit Mando’o. Dari atas bukit, kami bisa melihat hamparan laut biru yang tak berujung, pulau-pulau kecil di kejauhan, serta garis pantai yang membentang panjang. Angin yang berhembus kencang di puncak memberikan kesejukan di tengah panasnya matahari. Di atas puncak, ada cukup banyak orang yang sedang menikmati pemandangan, berfoto, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon kecil yang memberikan sedikit naungan.  

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o. Siang hari disini terasa sangat panas.

Pemandangan dari puncak Bukit Mando'o

Puas menikmati keindahan Bukit Mando’o, kami duduk lebih lama untuk beristirahat di sebuah lopo—gazebo tradisional yang ada di puncak bukit. Di sana, aku beristirahat sambil mengobrol dengan beberapa sesama traveler yang juga sedang menikmati suasana. Percakapan ringan, mulai dari destinasi-destinasi di Rote hingga pengalaman unik masing-masing saat menjelajah pulau ini. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dari laut membantuku mengembalikan tenaga setelah trekking tadi. 

Setelah merasa cukup segar, kami bersiap berkendara kembali ke arah Pelabuhan Ba’a. Perjalanan pulang terasa lebih santai, karena sudah tidak ada destinasi wajib yang ingin kami kunjungi lagi sebelum kepulangan besok ke Kupang. Target kami hanya ingin segera cari makan, check in hotel dan beristirahat. Capek juga rasanya karena disepanjang jalan kita benar-benar dipanggang matahari Pulau Rote.

Tapi mencari warung makan (halal) yang buka di sepanjang rute Bukit Mando'o - Pelabuhan Ba'a tidak semudah itu. Susaaah... dan bahkan hampir nggak ada. Kenyataan itu membuatku harus menahan lapar yang cukup menyiksa selama 2 jam-an, sembari tetap mengatur fokus mengendarai motor. Sewaktu hampir sampai kota akhirnya kami menemukan warung makan Jawa yang jualannya cukup lengkap. 'Wahhh akhirnyaaa...' kataku dalam hati. Aku langsung memesan nasi gulai kambing dan segelas es teh manis. Wuahhh benar-benar seger di cuaca yang seterik ini.

Setelah menyantap nasi gulai kambing yang cukup mengenyangkan, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel yang sudah kubooking sebelumnya untuk check-in dan beristirahat. Cuaca yang cukup panas dan badan yang capek membuat kami ingin segera tiduran beristirahat sambil nyalakan AC.

Sorenya sewaktu sedang koordinasi untuk pengembalian motor, Kak Eman tiba-tiba mengajak kami ke satu destinasi lagi untuk menikmati sunset.

"Yuk sore ini kita hunting sunset di Bukit Termanu. Bagus disana kak," pesan Kak Eman di WA.

"Wah siap yuk kak," balasku.

Sekitar jam 4 sore, kami dijemput di hotel oleh Kak Eman dan dengan 2 motor kita berangkat ke Bukit Termanu. Begitu tiba di Pantai Batu Termanu, kami disambut oleh pantai sangat bersih dan tenang yang dibalut oleh langit senja. Ombak yang datang pecah perlahan membuat suasana semakin damai. 

Senja di Pantai Bukit Termanu

Aku, Kak Eman dan temannya

Setelah menikmati keindahan pantai, kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Termanu. Perjalanan mendaki bukit tidak terlalu lama, dengan pemandangan yang semakin spektakuler seiring kami semakin mendekat ke puncak. Begitu sampai di atas, kami melihat sebuah salib besar yang terletak di puncak bukit, menjadi simbol yang sangat ikonik di sana. 

Pemandangan mendaki ke puncak Bukit Termanu

Pantai Bukit Termanu dari puncak Bukit Termanu. Indah..tenang..luas..

Bukit Termanu..

Salib ini sering dikunjungi oleh mereka yang ingin berdoa atau sekadar merenung. Bukit Termanu juga sering menjadi lokasi kegiatan keagamaan, seperti misa atau perayaan-perayaan tertentu, menjadikannya tempat yang memiliki makna spiritual bagi banyak orang.


Pemandangan senja dari puncak Bukit Termanu

Kami duduk sejenak, menikmati sunset yang begitu memukau. Langit yang bergradasi dari oranye ke merah menyatu dengan pemandangan laut yang tenang, menciptakan pemandangan yang memorable yang bisa kukenang sampai hari ini.

Langit yang spektakular..

Langit telah menggelap saat kami berjalan turun kembali ke parkiran motor. Tak terasa juga perut mulai kembali merasa lapar.. hehehe.. duuh lapar terus disini. Ikan bakar adalah makanan yang langsung tercetus di otakku.

"Kak disini ada warung yang jualan ikan bakar? Kalau ada kita kesana yuk sekalian makan malam sebelum pulang," tanyaku.

"Ada kak. Tapi mending kita beli ikannya aja kak di pasar jadi masih seger. Nanti kita bakar sama-sama di basecamp," jawab Kak Eman.

"Wah boleh kak siaap. Oya sebelum ke pasar kita bisa mampir ke toko oleh-oleh dulu kak? Aku mau beli beberapa syal."

"Iya bisa kak," jawab Kak Eman.

Kami melanjutkan perjalanan menuju tempat oleh-oleh terlebih dahulu, tempat di mana kami membeli beberapa buah tangan sebagai kenang-kenangan. Aku memutuskan untuk membeli beberapa syal yang rencana akan kujual lagi. Setelah itu, kami menuju pasar untuk membeli ikan. Kami memilih ikan kakap merah besar, berwarna kemerahan dan tampak sangat segar. Perjalanan berikutnya mengarah ke basecamp tempat kami akan bakar-bakar ikan. Suasana semakin malam, dan kami mulai menyiapkan peralatan untuk membakar ikan sambil bercerita dan tertawa. Momen ini terasa begitu hangat dan penuh kebersamaan, seperti layaknya sebuah keluarga. 

Bakar-bakar ikan dengan Kak Eman cs

Malam itu terasa sangat spesial. Selain menikmati hidangan ikan bakar yang lezat, kami juga merasakan kebersamaan yang hangat. Secara personal aku berpikir sebuah perjalanan tidak hanya untuk mencari tempat indah dan eksotis, tapi sekaligus mencari saudara baru di sepanjang jalan. Selama jalan di Kupang dan Rote selama 4 hari, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang baik. Semuanya akan kuingat dan kukenang. Terkadang hanya mengobrol, terkadang bertukar kontak.

Kebersamaan..

Akhirnya, kebersamaan itu harus berakhir karena besok kami sudah harus kembali ke Kupang. Sekitar jam 11 malam, aku dan Richa memutuskan untuk kembali ke hotel untuk istirahat. Perjalanan panjang dan pengalaman indah di Pulau Rote sudah hampir berakhir, namun kenangan tentang suasana malam itu, dengan kehangatan dan kebersamaan, akan selalu teringat.

Part Setelahnya : Disini

12.28.2024

Sadar Setiap Hari (SSH) 13 : Melepaskan Kemelekatan melalui Berdana

 28 Desember 2024, sebelum tidur aku mendengarkan ceramah Dhamma Bhante Pannavaro di youtube dengan judul 'Hawa Nafsu Penyebab dari Semua Penderitaan'. Di pertengahan ceramah Bhante Pannavaro berkata salah satu cara untuk melepaskan kemelekatan adalah dengan berdana. Berdana bukan untuk mendapatkan pahala, namun dengan tujuan untuk membersihkan kotoran batin, itulah tahap awal untuk melepaskan kemelekatan. Aku mencari tahu lebih dalam tentang topik ini.

Kalimat dari Bhante Pannavaro tersebut mengandung pesan mendalam tentang esensi berdana (memberi) dalam ajaran Buddha. Berdana bukan sekadar tindakan memberi secara materi, tetapi merupakan cara untuk melatih melepaskan kemelekatan dan membersihkan kotoran batin. Berikut penjelasannya:


1. Berdana sebagai Latihan Melepaskan Kemelekatan

  • Kemelekatan adalah akar dari banyak penderitaan. Dalam ajaran Buddha, kemelekatan pada harta, status, atau ego dapat menghalangi batin dari kedamaian.
  • Dengan berdana, seseorang belajar untuk tidak terlalu terikat pada kepemilikan dan memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari hal-hal material, tetapi dari hati yang lapang.

2. Membersihkan Kotoran Batin

  • Kotoran batin seperti keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan batin (moha) dapat mengaburkan kebijaksanaan. Berdana adalah cara untuk melatih kebajikan (sīla) yang membantu mengurangi keserakahan dan meningkatkan kemurahan hati.
  • Tindakan berdana yang dilakukan dengan niat murni dapat membawa kebahagiaan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, dan membersihkan hati dari egoisme.

3. Tahap Awal Menuju Pembebasan

  • Dalam perjalanan spiritual Buddhis, berdana adalah langkah awal menuju pelepasan sepenuhnya (nibbāna).
  • Berdana yang benar dilakukan tanpa pamrih atau harapan balasan, baik berupa materi, status, atau bahkan karma baik. Tujuannya adalah melatih diri untuk melepaskan segala bentuk kemelekatan.

4. Berdana dengan Niat yang Benar

  • Niat adalah yang terpenting. Berdana yang dilakukan dengan tujuan membersihkan batin (bukan untuk pamer atau mencari pujian) memiliki manfaat spiritual yang lebih besar.
  • Niat yang murni ini mencerminkan pemahaman bahwa tindakan baik tidak hanya menguntungkan penerima, tetapi juga memberi manfaat batin bagi pemberi.

5. Praktik Berdana dalam Kehidupan Sehari-hari

  • a. Berdana Materi

    Bentuk berdana ini melibatkan memberikan kebutuhan fisik atau materi kepada orang lain.

    • Makanan dan minuman:
      • Memberi makanan kepada pengemis atau orang yang kelaparan.
      • Menyediakan dana makanan untuk komunitas atau organisasi sosial.
    • Uang:
      • Berdonasi kepada panti asuhan, rumah sakit, atau organisasi amal.
      • Membantu teman atau keluarga yang sedang membutuhkan secara finansial.
    • Barang kebutuhan sehari-hari:
      • Menyumbangkan pakaian, selimut, atau perlengkapan sekolah kepada mereka yang membutuhkan.
      • Memberikan obat-obatan untuk kegiatan sosial kesehatan.
    • Fasilitas umum:
      • Membangun tempat ibadah, jalan, jembatan, atau sumur untuk masyarakat.

    b. Berdana Non-Materi

    Berdana non-materi melibatkan pemberian hal-hal yang tidak bersifat fisik tetapi sangat berarti bagi penerima.

    • Waktu dan tenaga:
      • Membantu tetangga membersihkan lingkungan atau memperbaiki rumahnya.
      • Menjadi sukarelawan di kegiatan sosial, seperti pengajaran anak-anak kurang mampu.
    • Keterampilan dan ilmu pengetahuan:
      • Mengajari seseorang membaca, menulis, atau keterampilan kerja tanpa memungut bayaran.
      • Berbagi ilmu atau pengalaman hidup yang dapat memberikan inspirasi kepada orang lain.
    • Perhatian dan empati:
      • Mendengarkan dengan sabar keluhan atau masalah orang lain tanpa menghakimi.
      • Memberikan dukungan emosional kepada teman atau keluarga yang sedang berduka.

    c. Berdana Dhamma (Spiritual)

    Berdana ini dianggap paling mulia karena memberikan manfaat yang tahan lama bagi perkembangan batin penerima.

    • Menyebarkan ajaran kebaikan:
      • Mengajarkan nilai-nilai etika, kasih sayang, dan mindfulness.
      • Menyebarkan ajaran Buddha atau nilai universal seperti cinta kasih dan kedamaian.
    • Memberikan inspirasi spiritual:
      • Membantu seseorang memahami pentingnya meditasi atau refleksi diri.
      • Membagikan buku, artikel, atau rekaman yang berisi pesan-pesan kebijaksanaan.

    d. Berdana di Lingkungan Sekitar

    • Keluarga:
      • Memberikan perhatian kepada orang tua atau kerabat yang lanjut usia.
      • Membantu adik/kakak tanpa mengharap imbalan.
    • Tetangga:
      • Membantu tetangga yang kesulitan tanpa menunggu diminta.
      • Menyediakan makanan untuk acara lingkungan atau gotong royong.
    • Komunitas:
      • Aktif di kegiatan sosial lingkungan seperti penghijauan, donasi buku, atau kegiatan keagamaan.

    e. Berdana di Dunia Digital

    Di era modern, berdana juga bisa dilakukan secara online:

    • Berbagi ilmu dan inspirasi:
      • Membuat konten positif dan edukatif di media sosial.
      • Menulis artikel atau blog yang memberikan manfaat bagi pembaca.
    • Donasi online:
      • Memberikan kontribusi melalui platform crowdfunding untuk membantu orang yang membutuhkan.
    • Bantuan digital:
      • Mengajari orang tua cara menggunakan teknologi.
      • Memberikan layanan gratis, seperti mendesain poster atau membantu membuat CV.

    f. Berdana dengan Niat Luhur

    • Memberi dengan penuh cinta kasih tanpa harapan balasan.
    • Melakukan perbuatan baik secara anonim, sehingga penerima tidak merasa terikat atau berutang.

Kalimat Bhante Pannavaro ini mengingatkan bahwa berdana bukan hanya tindakan sosial, tetapi bagian dari latihan spiritual yang mengarah pada kebebasan batin. Semakin kita memberi dengan tulus, semakin ringan batin kita dari beban kemelekatan. 🌟

Dengan melatih berdana dalam berbagai bentuk ini, kita tidak hanya membantu orang lain tetapi juga membersihkan batin kita dari keserakahan dan egoisme. Praktik ini memperkaya hidup dengan kebahagiaan yang lebih bermakna.

12.24.2024

[3] Nusa ROTE : Indahnya Sunset Pantai Nemberala!

Trip ini merupakan perjalananku ke Kupang dan Pulau Rote dari 9 - 12 Desember 2016. Part selanjutnya dari tiap cerita akan aku beri linknya dibawah.

Part Sebelumnya : Disini

Sunset di Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT

 Kupang, 10 Desember 2016

Berangkat ke Pulau Rote

Selamat pagi dari Kota Kupang. Hari ini adalah hari keberangkatanku dan Richa untuk menyeberang ke Pulau Rote. Seperti sudah kujelaskan sebelumnya, mengacu informasi dari Kak Inda (temanku orang Kupang), tiket kapal cepat Bahari Express rute Kupang - Rote memang baru bisa dibeli hari H langsung di Pelabuhan Tenau, dimana gerbang pelabuhan dibuka pukul 07.00. Alhasil pagi itu jam 5.30 kita sudah otw ke pelabuhan. Kalau terlalu dipepet takutnya kehabisan. Karena namanya kapal cepat kan kursinya lebih terbatas daripada kapal ferry.

Dengan menyewa taksi, kami sampai di Pelabuhan Tenau jam 05.45. Gerbang pelabuhan terlihat belum buka saat kami datang, namun sudah cukup banyak calon penumpang yang duduk mengantre. Suasana pelabuhan terasa hidup, meski masih pagi. Beberapa orang berlalu-lalang dengan barang bawaan besar, ada yang membawa kardus, koper, atau bahkan tas plastik besar.

Suasana pagi di Pelabuhan Tenau, Kupang.

Sejak pagi sudah banyak penumpang yang mengantre mau menyeberang ke pulau-pulau sebelah.

Di sudut-sudut pelabuhan, terlihat kuli angkut dengan pakaian sederhana. Mereka dengan sigap membantu penumpang mengangkat barang-barang berat ke dalam gerobak kecil. Suara mereka saling berteriak menawarkan jasa, berpadu dengan obrolan calon penumpang.

Penjual makanan kecil sudah mulai membuka lapak di sekitar pelabuhan. Beberapa ibu-ibu menjajakan nasi kuning, pisang goreng hangat, dan kopi hitam yang mengepul dalam gelas plastik. Aroma makanan bercampur dengan bau khas laut dari pelabuhan, menciptakan atmosfer unik yang membuatku semakin bersemangat. 

Sekitar jam 6.45 loket penjualan tiket dibuka dan syukurlah meskipun sedikit mengantre, kami mendapatkan tiket dengan mudah. Saat itu kami membeli tiket kelas executive seharga Rp 130.000/orang (Desember 2016). Keberangkatan kapal kami sendiri adalah jam 08.30.

Antre membeli tiket kapal Bahari Express Kupang - Rote di Pelabuhan Tenau

Masih ada waktu luang 1,5 jam sebelum kapal berangkat kami manfaatkan untuk mencari sarapan dan jajanan untuk bekal di kapal. Setelah itu kami masuk ruang tunggu dan mengamati aktivitas sibuk dermaga Tenau di pagi hari. Kapal Sabuk Nusantara 49 berlabuh menurunkan muatan di satu sisi dermaga, sementara kapal Bima VI dan Restu Utama terlihat parkir dengan rapi. Kuli panggul dengan sigap mengangkut barang-barang dari kapal ke dermaga dan sebaliknya, berjalan dengan langkah pasti meski memikul beban berat. Suara roda gerobak berdecit bercampur dengan teriakan mereka yang mengatur barang bawaan. Tidak jauh dari situ, truk-truk besar mengantri untuk masuk ke dalam kapal feri, membawa muatan berbagai kebutuhan logistik untuk pulau-pulau sekitar.

Kapal Sabuk Nusantara 49 sedang menurunkan muatan

Kapal Bina VI dan Restu Utama

Kuli panggul sedang mencari nafkah

Di bagian lain dermaga, kapal-kapal rakyat bersandar dengan penumpang yang terlihat santai menunggu giliran naik. Beberapa kapal cepat juga terlihat bersiap untuk rute lain, mesin mereka meraung pelan seolah bersiap untuk perjalanan jauh. Penjual makanan terlihat bolak-balik menawarkan jajanan. Satu hal yang kukagumi, meskipun ini berupa pelabuhan, tapi air lautnya tetap jernih mengkristal berwarna biru kehijauan. Hmmmm.....Aku menikmati semua suasana ini dengan perasaan bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa traveling kesini.

Air laut di Dermaga Pelabuhan Tenau sangat bersih

Menunggu keberangkatan kapal

Sesuai jadwal keberangkatan, pukul 08.30 tepat kapal Bahari Express 1C yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan Pelabuhan Tenau. Berdasarkan informasi dari orang loket, perjalanan ini akan menempuh 2 jam membelah Selat Pukuafu sampai berlabuh di Pelabuhan Ba'a (di bagian tengah Pulau Rote).  Oya sebelum berangkat aku juga sempat diberi kontak orang asli Rote yang 'kemungkinan' bisa kami sewa motornya, namanya Kak Eman. Kok kemungkinan? Well, karena setelah kontakan singkat via WA, kak Eman bilang akan berusaha cari motornya dulu. Hal itu karena setelah browsing, kami nggak menemukan penyewaan motor komersial disini. Kalau mau sewa motor harus di Kupang, dimana belum tentu boleh dibawa kesini. Kalau boleh pun harus naik kapal ferry, ga bisa naik kapal cepat. Let's hope the best aja ke Kak Eman! Hehehe.

Satu jam perjalanan pertama berlangsung dengan cukup baik. Meskipun terkenal sebagai salah satu perairan paling ganas di NTT, Selat Pukuafu hari itu cukup tenang. Kapal Express Bahari bisa membelah perairan dengan kecepatan maksimal dan stabil karena laut tidak berombak. Aku menghabiskan waktu untuk mendengarkan musik sambil tiduran di kursi sebelum terbangun oleh tangisan balita yang menjerit-jerit tanpa henti memanggil ayahnya.

Awalnya aku nggak terlalu menggubrisnya. 'Ah palingan dikit lagi udah berhenti lah nangisnya. Itu ibunya juga udah menenangkan dia', kataku dalam hati. Ehhh ternyata aku salah, 10 menit, 15 menit, 30 menit bahkan hampir 1 jam itu anak nangis jerit-jerit tanpa henti. Aku sampai kasian banget sama ibunya, karena sepertinya si ayah yang dicari tidak ikut di perjalanan ini.

"KASI DIAM BISA KA TIDAK," kata seorang bapak sambil teriak ke ibu si anak.

Ya ampunnn aku sampe ga tega banget liat ibunya. Gimanapun kan itu bukan maunya, dan kulihat dia juga udah berusaha kok. Anaknya sempat berhenti nangis 5 menit sebelum mulai nangis lagi. Karena kupingku mulai agak panas, aku memilih jalan-jalan ke bagian belakang dek kapal. Siapa tau disana bisa duduk santai sambil menikmati angin laut.

Ehh ternyata aku salah hehehehe... Di belakang dek kapal ternyata sudah penuh penumpang juga. Saat ane mau berbalik masuk karena nggak ada tempat duduk, mereka malah memanggil dan mengajak ane duduk bareng. Disitu ada beberapa mama-mama yang ngajak aku ngobrol dan menanyakan tujuanku ke Rote. Sebuah rasa kekeluargaan yang mulai sering kudapatkan disini.

Duduk dan cerita sama mama di belakang dek kapal Express Bahari 

Bagian belakang dek kapal Express Bahari yang penuh penumpang

Aku duduk dan ngobrol cukup lama dengan mama-mama sampai tidak kerasa kapal sudah hampir berlabuh di Pelabuhan Ba'a. Siang itu suasana di Pelabuhan Ba’a terlihat sangat hidup dan ramai. Kapal-kapal kayu tradisional berlabuh di dermaga, sementara nelayan sibuk memperbaiki jaring mereka. Di sekitar pelabuhan, masyarakat lokal terlihat sibuk membongkar hasil tangkapan dan barang-barang dagangan. Ada deretan pasar kecil yang menjual hasil laut segar, sayur-mayur, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Orang-orang saling berinteraksi dengan antusias, termasuk beberapa wisatawan yang menikmati suasana otentik. Di kejauhan, tampak birunya laut yang menyatu dengan langit cerah serta pulau-pulau kecil yang menjadi latar belakang. 

Tiba di Pelabuhan Ba'a, Pulau Rote

Suasana Pelabuhan Ba'a, Pulau Rote

Oya sebelumnya aku udah koordinasi dengan Kak Eman dan dia berkata akan jemput aku dan Richa dengan 2 motor. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk ketemu Kak Eman dengan senyum dan wajah ramahnya.

"Kita ke basecamp dulu ya. Nanti nunggu motornya disana. Baru bisa diantarkan agak siang soalnya," kata Kak Eman. Dari pelabuhan aku bonceng Kak Eman dan Richa bonceng temennya Kak Eman.

"Oh iya siap kak gpp."

"Tujuannya hari ini mau kemana aja?" Tanya Kak Eman lagi.

"Oh hari ini rencana cuma mau ke Pantai Nemberala kak. Check in penginapan aja. Besok baru kita lanjut eksplor mungkin ke Pantai Oeseli dan Bukit Mando'o."

"Wah sip iya bagus itu. Sebenarnya ada lokasi bagus lagi, danau garam. Tapi lokasinya agak diujung, jauh. Kalau kamu cuma 3 hari disini ga cukup kayaknya," kata Kak Eman sambil suaranya beradu dengan angin di atas motor.

"Iya kak, cuma singkat kita disini soalnya keterbatasan libur," kataku.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di basecamp yang Kak Eman maksud. Ternyata disana ada beberapa teman Kak Eman juga.

"Duduk disini ya. Aku coba konfirmasi motornya," kata Kak Eman.

"Iya kak aman," kataku.

Selanjutnya kami masih menunggu beberapa saat sementara Kak Eman masih koordinasi dengan temannya yang mau disewa motornya. Well sebenarnya ini bukan persewaan resmi sih, tapi Kak Eman yang bantu kami menyewakan dari temannya. Tapi sepertinya motornya juga sementara masih dipakai jadi kami masih menunggu beberapa saat disini. Tiba-tiba setelah koordinasi Kak Eman ngabarin kami,

"Kak ini temanku ada yang bisa sewain tapi tarifnya 250.000 untuk 3 hari 2 malam. Gimana?" 

"Wah oke gpp kak, aman kak." Kataku segera. Karena menurutku masih wajar juga sih harganya. Lagipula kami nggak ada pilihan lain. 

"Oke kak, sekitar sejaman lagi dia baru bisa antar motornya."

"Iya kak siap kami tunggu aja," kataku.

Sekitar jam 2 siang, motornya akhirnya diantarkan. Setelah menyelesaikan pembayaran dengan si empunya dan serah terima STNK akhirnyaaa kami bisa jalan juga. Aku langsung set google maps ke arah Pantai Nemberala.

"Aku jalan dulu ya kak. Nanti kontak-kontak lagi," kataku ke Kak Eman.

"Siaap, hati-hati kak."

Ruteku motoran hari ini dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala

Akhirnya dimulailah perjalananku dan Richa membelah Pulau Rote pertama kalinya untuk menuju ke arah barat daya pulau, Pantai Nemberala. Perjalanan ini menempuh jarak 30 km dan bisa ditempuh dalam 1-1,5 jam. Perjalanan awalnya masih berada di sekitaran Desa Namodale jadi masih cukup ramai, namun semakin ke arah barat menjadi semakin sunyi dan sepi. Aku dan Richa melaju pelan di atas jalan aspal yang mulus, di bawah terik matahari yang membakar. Pemandangan di sekitar kami didominasi oleh lanskap gersang khas Rote—padang savana kering, pohon lontar yang menjulang, dan bukit-bukit kecil yang terlihat tandus.

Semakin ke arah barat, sangat jarang manusia yang kami jumpai. Sebaliknya, kami sering bertemu kawanan sapi yang berjalan santai di tengah jalan, kambing yang merumput di tepi aspal, kerbau yang bermalas-malasan di bawah naungan pohon, dan sesekali babi yang berlarian di dekat rumah-rumah tradisional yang jarang terlihat. Kehadiran hewan-hewan ini seperti menjadi satu-satunya tanda kehidupan di sepanjang perjalanan kami.

Pemandangan sepanjang jalan dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala

Pemandangan sepanjang jalan dari Pelabuhan Ba'a ke Pantai Nemberala


Sepanjang jalan, angin panas menerpa wajah. Keheningan di sepanjang jalan hanya dipecahkan oleh suara mesin motor dan gesekan kerikil kecil yang terpental dari ban. Ketika mendekati Pantai Nemberala, angin mulai berubah. Hembusan segar dari laut perlahan menggantikan udara panas, memberi isyarat bahwa perjalanan kami hampir sampai. 

Sebelum sampai kesini, kami belum booking penginapan. Rencana mau langsung cari aja di sekitaran Pantai Nemberala. Deru mesin motor mengantarkan kami ke Hotel Tirosa. Sebuah hotel sederhana yang berada di tepi Laut Nemberala langsung. Kami menunggu sesaat pemilik penginapan datang, dan setelah tranksasi pembayaran singkat, kami mendapatkan sebuah bungalow simpel tapi cantik yang disampinnnya langsung terbentang cantiknya Laut Nemberala. Halaman bungalow ini terlihat dipenuhi pohon kelapa yang meliuk-liuk mengikuti arah angin. Suasana sangat tenang dan damai. Karena bulan Desember ini masih low season, suasana sangat sepi.

Hotel Tirosa, Pantai Nemberala

Suasana sangat damai dan tenang disini

Tiduran singkat di kamar, tak terasa hari telah sore. Perutku yang tadi sudah kuisi makan siang di jalan mulai memberontak lagi hehehe.. Kebetulan di perjalanan ini aku membawa rice cooker mini dan mie rebus.

'Bikin mie rebus sama kopi ah nanti dinikmati di pantai sambil lihat sunset,' batinku.

"Cha, yuk kita ke pantai. Lihat sunset," kataku.

"Duluan aja ya, nanti aku nyusul," katanya. Sepertinya Richa masih mau santai-santai di kamar.

Jalan menuju Pantai Nemberala dari Hotel Tirosa. Bersih, indah dan nyaman.

Akhirnya aku berjalan sendiri ke pantai di belakang hotel. Pantainya sendiri aku lihat sore itu sangat tenang, hanya riak-riak gelombang kecil yang dibungkus dengan laut yang membiru. Meskipun ada satu hal yang cukup menggangguku, sampah kiriman. Ya karena Bulan Desember Indonesia sedang musim penghujan dengan angin muson baratnya. Musim hujan telah membawa sampah-sampah kiriman, menumpuk di beberapa sudut garis pantai, memberikan pemandangan yang agak kontras dengan keindahan alam sekitarnya. Namun aku tidak mau terlalu merisaukannya, hanya mau fokus ke laut, langit dan kedamaian yang kudapatkan disini. Aku menemukan spot dan meletakkan beberapa barangku. Jadi yaa disinilah aku. Membawa indomie kuah panas di rantang mini rice cooker, kopi segelas, alunan musik meditasi Buddha, air mineral ditemani deburan ombak aku mengasingkan diri disini. Sepi sekali. Tidak ada manusia. Sangat indah, nyaman, dan membahagiakan. Aku suka kehidupan sederhana disini.......kehidupan  tanpa beban berlebihan....tanpa ambisi berlebihan.

Menyepi dan menyendiri ditemani kedamaian...

Saat sedang bersantai, tiba-tiba aku mendengarkan suara "krusuk-krusuk" di belakangku. Dan setelah menengok, tidak lain dan tidak bukan adalah..... sekumpulan babi wkwkwk..Aku cukup kaget karena ternyata mereka banyak banget berkeliaran bebas di pantai wkwk. Mereka dengan santai berjalan-jalan di pasir, sesekali mengendus dan mengorek pasir dengan moncongnya untuk mencari kepiting atau sisa-sisa makanan. Moncongnya jadi penuh pasir soalnya suka ngeruk-ngeruk tanah. Pemandangan ini memberikan kesan lokal yang unik, soalnya baru di Pantai Nemberala inilah aku melihat babi-babi berkeliaran dengan begitu santainya. Namun mereka tidak terlalu menggangguku kok, jadi aku cuek aja😁😁.

Kumpulan babi..

Induk babi dan anak-anaknya.

Induk babi dan anak-anaknya sedang mencari snack diantara pasir Pantai Nemberala

Tidak berapa lama Richa menyusulku di pantai, dan seperti aku pada awalnya, dia juga kaget melihat babi-babi berkeliaran wkwk.. Tapi lama-lama kita mulai terbiasa dan membiarkan saja mereka tanpa mengusirnya, toh tidak terlalu mengganggu. 

"Ayo cha hunting foto-foto," kataku mengarahkan kamera  dengan background pantai dan sunset yang mulai mendominasi.

Sunset di Pantai Nemberala

Mama-mama sedang mencari rumput laut dengan background sunset Pantai Nemberala

Kiss with the sunset....

Babi yang selalu mencari makan dengan background sunset Pantai Nemberala

Sunset Pantai Nemberala, Pulau Rote, NTT

Cukup banyak foto yang kuambil di sunset sore hari itu, karena memang benar-benar secantik itu. Gabungan warna antara biru, kuning, orange, merah, bercampur menjadi satu di langit, terlihat melingkupi lautan yang sore itu terlihat sangat tenang.  Sesekali kami menyapa warga lokal yang lewat dan mengambil rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama disini. Biasanya warga akan mengambilnya untuk kemudian dijemur sampai kering dan dijual.

Tidak terasa, kami hunting foto dan menikmati sunset sampai langit telah menggelap. Segera kita jalan kembali ke hotel. Ada satu kejadian lucu pas kami hampir sampai pintu hotel, tiba-tiba kami berpapasan dengan sekelompok babi yang terdiri dari 1 induk dan beberapa anaknya. Nah waktu berpapasan itu kita sama-sama kaget, tiba-tiba semua babi itu nge-freeze a.k.a jadi patung semua. Itu tidak sesuai ekspetasi ane dimana harusnya kan mereka lari atau gimana ya.

"Loh loh babinya kok nge-freeze semua cha. Kok jadi patung," kataku sedikit tergelak namun juga agak ngeri, takutnya tiba-tiba diserang wkwk..

Cukup lama babi itu dalam posisi freeze, mungkin 5-7 detik. Setelah itu mereka lari kocar-kacir. Ahahaha... Bener-bener aku baru menjumpai babi mode ngepatung pas kaget itu disini. Setelah kubrowsing, ternyata ini penjelasannya:

Perilaku babi yang "ngefreeze" atau terdiam beberapa detik sebelum akhirnya lari adalah respons alami yang dikenal sebagai freezing response. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri mereka saat merasa terkejut atau terancam. Penjelasannya:

1. Insting Menghindari Bahaya
Ketika mereka mendeteksi potensi ancaman, seperti kehadiran manusia yang tiba-tiba, mereka berhenti bergerak untuk mencoba memahami situasinya. Hal ini membantu mereka mengevaluasi apakah ancaman itu nyata dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

2. Kondisi Refleks
Banyak hewan, termasuk babi, memiliki refleks "fight, flight, or freeze." Freezing memberi mereka waktu untuk berkamuflase atau tidak menarik perhatian predator.

3. Respons Evolusi
Di alam liar, predator biasanya tertarik pada gerakan. Dengan berhenti bergerak, babi mungkin berharap untuk tidak terlihat oleh "ancaman" (dalam hal ini, kamu).

Setelah 5-7 detik, mereka mungkin memutuskan bahwa kamu adalah ancaman dan akhirnya melarikan diri. Perilaku ini sangat umum pada banyak hewan liar. 


Malamnya, tidak banyak hal yang aku dan Richa lakuin karena suasana disini sangat sepi. Oya karena keterbatasan tempat mencari makan, kami mengambil paket makan malam dari penginapan, dan pas makan malam baru sadar kalau ternyata di bungalow sebelah ada traveler lainnya juga yang menginap. Seorang traveler Indonesia dengan teman bulenya. Kita makan sambil bercerita banyak hal tentang perjalanan ini.

Malam telah datang dan aku memutuskan untuk istirahat lebih cepat karena besok akan bermotoran mengunjungi beberapa tempat. Aku bersyukur hari ini semuanya berjalan dengan baik dan lancar. Meski pantai tidak dalam kondisi terbaiknya, 10 Desember 2016 ini tetap meninggalkan kesan mendalam—tentang kesederhanaan, kealamian, dan keheningan Rote yang begitu berbeda.

Part Setelahnya : Disini