Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

11.02.2016

Surabaya, 2 November 2016 : Suka Masak

Bisa kukatakan, sekarang ini masak adalah salah satu hobiku selain traveling. Menurutku masak itu seperti seni, kita menambahkan berbagai macam bumbu dengan tujuan mendapatkan rasa lezat. Kisahku bersama hobiku satu ini cukup unik karena bahkan aku sangat tidak menyukai sewaktu temanku menyuruhku masak.

"Nggak bisa aku, aku nggak ngerti gimana caranya nakar bawang putih, bawang merah, garam, jahe, nggak ngerti sama sekali aku," kataku dengan nada menolak yang jelas setiap temanku menyuruhku mencoba memasak.

Tapi benci itu memang jaraknya sangat tipis dengan cinta. Setelah serangkaian percobaan memaksaku memasak, akhirnya aku setuju sewaktu akan diajarin masak. Aku ingat, sayur pertama yang kucoba masak sendiri adalah tumis kangkung. Tumis merupakan salah satu jenis masakan yang paling gampang, dan aku terkejut karena rasanya lumayan enak.

Sejak saat itulah aku mulai mencoba masak sendiri. Berbekal tanya resep dan cara memasaknya ke ibuku, resep gratisan dari internet dan tanya- tanya ke temanku, aku mulai sering memasak sendiri. Kuakui rasanya tidak selalu enak, kadang terlalu asin, terlalu asam, terlalu banyak jahe, terlalu banyak bawang, tapi tidak jarang juga rasanya benar-benar enak.

After all, foto-foto di bawah ini adalah masakan yang aku masak:

Bihun kuah ayam (GALUH PRATIWI)

Tengkleng ayam (GALUH PRATIWI)

Sosis sapi saus tiram (GALUH PRATIWI)

Tumis kangkung dan udang goreng (GALUH PRATIWI)

Keripik bayam (GALUH PRATIWI)

Makaroni ayam (GALUH PRATIWI)

Nasi goreng kornet sapi (GALUH PRATIWI)

Tumis pare sawi dan tempe sambel tomat (GALUH PRATIWI)

Opor Ayam (GALUH PRATIWI)

Ayam sambel kecap (GALUH PRATIWI)

Tumis kangkung dendeng sapi (GALUH PRATIWI)

Sop ceker ayam (GALUH PRATIWI)

Tumis daun singkong, tempe goreng dan sambel bawang (GALUH PRATIWI)

Sambel bawang jeruk purut (GALUH PRATIWI)

Persiapan masak sawi putih + brokoli (GALUH PRATIWI)

Persiapan masak tumis kangkung campur tempe dan telur puyuh (GALUH PRATIWI)

Apa saja izin di bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilayani oleh Pemprov Jawa Timur?

Seperti kita ketahui bersama, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, proses perizinan di berbagai bidang pelayanan dasar termasuk bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dialihkan ke provinsi. Hal ini berarti setiap pemohon izin yang ingin mengajukan izin di bidang ESDM wajib membawa berkasnya ke Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Provinsi Jawa Timur. 

Alamat Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Provinsi Jawa Timur:

Jalan Pahlawan Nomor 116, Krembangan Selatan, Surabaya, 60175
No. Telp: (031) 3577691

Lantas, apa saja izin bidang ESDM yang dimaksud? Tabel di bawah ini akan menjelaskannya:

Mengacu pada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 49 Tahun 2016 pasal 5 ayat 1-5 berikut ini adalah pelayanan izin di bidang ESDM yang dilayani:


Izin pada sub urusan Mineral dan Batubara

Izin Sub Urusan Geologi/Air Tanah

Sub Urusan Ketenagalistrikan



Izin pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan

Bagaimana mekanisme perizinannya?
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2016 pasal 6 berikut mekanisme perizinannya:

email : galuhsaina@gmail.com 
(fast respon)

Surabaya, 2 November 2016 : Usaha Ternak

Aku baru menyadari, aku mempunyai passion di bidang peternakan dan pertanian. Memikirkan akan mempunyai usaha di kedua bidang itu membuatku bersemangat. Ini adalah cita-citaku, menjadi pengusaha. Ide memulai usaha ternak ini kumulai pada Februari 2015, setelah aku lulus kuliah.

Februari 2015, aku mendapatkan kejutan tak terduga. Bulan itu adalah bulan terakhir aku mendapatkan beasiswa dari CIMB Niaga karena pada 16 Februari 2015 aku telah resmi dinyatakan wisuda oleh UGM. Aku membutuhkan waktu sekitar 4,5 tahun untuk mneyelesaikan pendidikanku.

Perjanjian beasiswa ini pada awalnya adalah CIMB Niaga akan memberikan beasiswa kepada kami selama 4 tahun, jadi kalau lulusnya lebih dari 4 tahun harus menanggung biaya kuliah sendiri serta tidak diberi uang saku lagi. Tapi entah kapan, kebijakan peraturan ini tiba-tiba berubah. CIMB Niaga tetap memberikan beasiswa kepada kami sampai kami wisuda, entah batasnya sampai berapa tahun. Aku yang tidak tahu dan tidak sadar, kaget karena tiba-tiba mendapati uang Rp 5.000.000 bercokol di rekening ponselku.

Saat itu aku lagi senang-senangnya berjualan, berwirausaha, karena memang itulah satu-satunya peluangku untuk mendapatkan uang sebelum bekerja. Aku berjualan barang-barang seperti baju, celana, HP bekas, kucing, tas, syal tenun, sepeda, meja, buku, dan sebagainya di grup jual beli barang bekas anak kos Jogjakarta ataupun lewat OLX. Penghasilanku lumayan, setidaknya aku bisa mendapatkan lebih dari satu juta rupiah. Konsekuensinya, waktu itu aku hampir setiap hari bolak-balik Jogja sambil kehujanan hanya untuk melayani COD dengan pembeli. Pada hari kelima, aku drop san sakit panas setelah kehujanan dan kecapekan berhari-hari.

Kembali ke kaget karena tiba-tiba di rekeningku ada uang Rp 5.000.000, aku mulai berpikir banyak hal. Jiwa wirausahaku bereaksi. Aku berpikir, jika aku menggunakan uang ini untuk traveling, pastilah langsung habis dan belum ada dampak cepatnya. Bagaimana kalau aku menggunakannya untuk investasi? Aku mulai berpikir keras. Apa yang bisa kulakukan dengan uang ini?

Aku tiba-tiba teringat tawaran temanku dari NTT yang mengatakan kalau harga sapi disana hanya Rp 1.500.000/ekor, sungguh terlalu murah dibandingkan di Jawa karena di NTT merupakan sentra produksi sapi bali. Aku mulai mengandai-andai,

'apa kubelikan sapi dulu aja ya?' 
'kan tahun depan pasti sudah tambah besar atau bahkan mungkin beranak.'

Aku segera membicarakan ideku ini dengan ayahku. Ayahku merasa sedikit keberatan, menanyakan apakah temanku itu bisa dipercaya. Aku bilang aku bisa percaya dan aku yakin akan keputusanku. Aku segera menyampaikan keputusanku ke temanku, aku ingin membeli seekor sapi betina yang seharga Rp 1.500.000.

Temanku menyetujui, dan beberapa hari kemudian aku diberi kabar buruk.

"Kak, sapinya tidak ada yang seharga Rp 1.500.000, stoknya habis. Kalau mau yang lebih besar ada tapi harganya Rp 2.500.000."

"Waduuh, bagaimana ya? Jadi nggak jadi dong?" jawabku dengan kecewa.

"Tadi mama bilang, bagaimana kalau beli kambing enam ekor saja? Kebetulan ada yang sedang jual murah per ekor hanya dihargai Rp 250.000 saja."

"Aku pikir-pikir dulu ya.."

Dan akhirnya beberapa hari kemudian aku memutuskan membeli kambing 6 ekor. Lega rasanya sudah menginvestasikan sedikit uangku pada sesuatu yang bisa berkembang. Aku rasa ini adalah passionku.







###

Pada pertengahan 2015, aku membeli 10 ekor ayam di NTT seharga Rp 35.000/ekor. Investasi senilai Rp 350.000 ini aku lakukan dengan kepercayaan ayam-ayam betina ini bisa berkembang biak dengan baik dan menguntungkan. Tuhan akan menjaga.


###

Pada awal 2016, aku memutuskan membeli seekor sapi betina kembali di NTT karena ada yang menjualnya murah seharga Rp 2.500.000/ekor. Aku merasa sayang kalau uang tabunganku hanya kusimpan di bank saja tanpa ada penambahan berarti. Aku berharap ke depannya sapi betina ini bisa berkembang biak.



###

Pertengahan 2016, aku kembali membeli dua ekor sapi jantan dari teman yang sama. Investasi yang kulakukan sebesar Rp 7.000.000. Semoga tahun depan bisa segera dijual. Kalau bisa aku ingin mengirimnya ke Jawa, dijual di Jawa sini supaya harga belinya lebih tinggi. Aku sedang mencari cara dan orang untuk itu. Kebetulan temanku peternakan UGM sudah pernah melakukannya. Aku akan menanyakan cara padanya.



###

Oktober 2016, aku kembali membeli seekor sapi jantan kembali seharga Rp 3.500.000 dari orang yang sama. Sapi jantan tersebut dijual agak murah karena penjual tersebut sedang membutuhkan uang. Aku berharap yang terbaik, semoga semua investasi ini tahun depan bisa menghasilkan. Aku senang menjalankan sesuatu berdasar passionku, aku tidak merasa terbebani.


11.01.2016

Gresik, 10 Oktober 2015: Ditolak Bukit Jamur Sampai ke Pantai Delegan

Aku mempunyai prinsip, selagi kerja di Surabaya, aku ingin mengunjungi tempat wisata sebanyak mungkin di Jawa Timur. Kapan lagi kan? Aku tidak harus mengeluarkan ekstra biaya untuk membeli tiket kereta api ke Jawa Timur dahulu. Hanya perlu aku, seorang teman (aku kurang suka jalan-jalan sendiri), Si Merah (Motor Shogun 125 kesayanganku) dan uang secukupnya.

Ini hari Sabtu, hari yang mungkin ditunggu-tunggu oleh sebagian besar karyawan pemerintahan sepertiku karena bisa dibilang merupakan hari liburan. Jika tidak terpaksa, sebenarnya aku malas sekali kalau harus menghabiskan akhir pekan di kos, karena aktivitasku hanya berkisar pada tidur, nonton film, internetan dan tidur kembali. Justru membuat badanku pegal-pegal karena tidak banyak gerak. Mau mencuci malas, bersih-bersih kos malas, memasak malas. Alhasil hanya seperti siput seharian, tiduran sambil nyemil dan internetan. Benar-benar gaya hidup yang tidak sehat. Karena itulah aku sering dilanda kejenuhan pada akhir pekan.

"Eh ke Bukit Jamur yuk? Aku lihat di internet bagus nih, Nggak jauh kok dari Surabaya sini mungkin sekitar 20 kiloan" kataku ke teman bolangku.

Aku melihat sebuah tempat wisata yang konon katanya merupakan bekas pertambangan. Terlihat adanya sisa-sisa batuan yang ditinggalkan dan membentuk seperti jamur. Sepertinya cocok untuk foto-foto walau aku yakin cuaca pasti panas banget disana.

"Ayok dah," kata temanku dengan semangat.

Setelah persiapan singkat dan mengisi penuh bensin untuk Si Merah, aku segera melajukan motor dari Surabaya Pusat ke arah Kota Gresik. Menurut google map, jarak yang harus kami tempuh sekitar 18 kilo. melewati ruas jalan Gresik Gadukan Timur - Jalan Kalianak Timur - Jalan Greges Timur - Jalan Tambak Osowilangun - Jalan Kragan Rembang Surabaya. 

Pemandangan yang kami jumpai di sepanjang jalan kurang menarik. Truk-truk barang raksasa mendominasi di jalanan yang lebarnya hanya sekitar 10 meter ini, membuat jalanan sering macet jika berpapasan. Sisanya, mobil-mobil pribadi, angkot, dan ratusan motor tumpah ruah di jalanan ini. Udara panas masih menyengat, debu-debu dan asap kendaraan bercampur.

Satu jam kemudian kami sudah sampai Kota Gresik. Bangunan industri dengan gudang-gudangnya yang besar langsung menyambut kami. Hal ini tentunya tidak mengherankan karena Kabupaten Gresik merupakan subwilayah pengembangan bagian (SWPB) yang tidak terlepas dari kegiatan subwilayah pengembangan Gerbang Kertasusila (Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan). Gresik termasuk salah satu bagian dari 9 subwilayah pengembangan jawa timur yang kegiatannya diarahkan pada sektor pertanian, industri, perdagangan, maritim, pendidikan, dan industri wisata.

Aku melajukan Si Merah ke utara untuk menuju Bukit Jamur. Menurut google map, kami harus melalui jarak sekitar 27 kilometer melewati ruas jalan Gresik-Tuban. Disinilah masalah dimulai. Sekitar setengah jam setelah melewati Kota Gresik, tiba-tiba ban motor Si Merah bocor... Duh, aseem!!

"Waduh bocor ini bannya," kataku dengan kesal.

"Yaudah cari tambal ban dulu aja.... Eh duuh aku kok sesak nafas ya," jawab teman bolangku dengan panik.

"Waduuh, kenapa kamu?" tanyaku setengah panik.

"Gak apa-apa, kamu jalan dulu aja cari tambal ban. Aku tunggu disini."

Setelah susah payah menyeberang jalanan yang sangat ramai, akhirnya aku menemukan tambal ban dan segera menjemput temanku, untunglah dia sudah tidak apa-apa.

"Gimana keadaanmu?"

"Udah gak apa-apa kok. Sumpah tadi sesek banget rasanya."

Ya ampun! Ada-ada saja........


###

Selesai tragedi ban bocor dan sesak nafas, semuanya menjadi lebih baik dan lancar. Aku memacu Si Merah secepatnya, ingin cepat sampai karena cuaca sangat panas. Kami membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai daerah dekat Bukit Jamur.

"Stop, stop, daerah dekat sini," kata temanku tiba-tiba. Dia membawa HP dengan google map untuk petunjuk.

"Loh, ini kan pintu masuk perusahaan tambang? beneran disini?" tanyaku setengah yakin.

"Iya bener kok disini."

Karena tempat masuk perusahaan tambang tersebut tidak ada gerbang dan suasana terlihat sepi, aku langsung melajukan Si Merah . Sekitar 50 meter berjalan di jalanan tanah berkapur tersebut, terdengar suara seseorang memanggilku sembari meniup peluit.

Waduh...

"Mbak, mbak, dilarang masuk kesana."

"Iya Pak, bagaimana?" tanyaku dari kejauhan sembari melajukan motor ke arah mereka.

"Begini mbak, hari ini tidak boleh masuk kesana karena ini pertambangan masih aktif. Masih banyak truk dan alat berat keluar masuk jadi berbahaya."

"Tapi kami mau menuju Bukit Jamur saja Pak," protesku. Bukit Jamur ini merupakan kawasan pertambangan yang sudah tidak aktif lagi.

"Hari Minggu saja mbak kembali kesini. Silahkan datang dan lihat sepuasnya, kalau hari ini memang ditutup.

Aku kembali membujuk dan sedikit merengek, mengatakan kalau aku datang jauh-jauh dari Surabaya hanya untuk lihat Bukit Jamur tapi mereka tidak peduli dan disuruh datang hari Minggu saja. Yahh...akhirnya aku keluar lagi ke jalan dengan pasrah.

"Nggak ada jalan lain ya kesana? Coba lihat google map," kataku.

"Ada sih, tapi akhirnya tetap harus masuk ke kawasan pertambangan ini."

Sial. Masa aku sudah jauh-jauh kesini harus kembali tanpa mengunjungi tempat apapun. Aku segera membuka google dan mencari tempat wisata di Gresik. Aku menemukan nama Pantai Delegan. 

"Kita ke Pantai Delegan aja ya, jaraknya cuma 25 kilo kok dari sini."

Akhirnya kami dan Si Merah melanjutkan perjalanan kembali ke arah utara melewati ruas jalan Gresik Tuban. Jalanan masih seperti sebelumnya, datar dengan perkampungan di kanan kiri. Cuaca sudah sedikit membaik, tidak sepanas sebelumnya. Semakin mendekati pesisir pantai, jalanan menjadi semakin kecil dan relatif sepi sehingga aku bisa melajukan Si Merah dengan leluasa.

Kami membutuhkan waktu sekitar satu jam sebelum akhirnya sampai ke kawasan Pantai Delegan. Aku membelokkan motor ke arah kanan jalan karena aku yakin itu adalah objek wisata Pantai Delegan.

"Loh, kok jalannya ke Pantai malah dipagerin?"kataku dengan heran setelah memarkir motor.

"Coba lewat sana," kata temanku.

"Sama, dipagerin juga ternyata."

"Ah yaudah kita makan dulu aja, itu ada warung disana."

Kami menghabiskan sesorean itu dengan cerita-cerita pengalaman dan bergosip di bangku-bangku taman yang berjajar di dekat pantai. Sepiring kentang goreng dan segelas milo hangat menjadi peneman yang setia. Meskipun mungkin ini aktivitas yang biasa saja dan bisa dilakukan dimana saja, tetapi aku tetap senang karena aku bisa benar-benar refreshing dari aktivitas yang itu-itu saja. Akhirnya karena hari sudah menunjukkan semakin sore, kami bergegas pulang.

"Mas, ini Pantai Delegan bukan ya? Kok jalan ke pantainya malah dipagerin gitu?" tanyaku penasaran saat membayar makanan.

"Bukan mbak, Pantai Delegan masih ke arah barat lagi. Kira-kira seratus meteran terus nanti belok kanan."

Owalah! Hahaha. Kami hanya bisa tertawa. Si penjual sampai terlihat bingung/


###

Mengikuti petunjuk arah yang diberikan penjual warung, akhirnya aku menemukan gerbang selamat datang di Pantai Delegan. Segera kulajukan Si Merah masuk sebelum akhirnya kami disemprit kembali oleh petugas yang berjaga.

Aduuh, apa lagi sih ini??

"Mbak, mbak, udah tutup."

"Waduuh, sebentar saja Pak. Saya hanya mau foto-foto terus keluar," ujarku setengah memohon.

"Okelah, tapi jam 5 tutup ya."

"Baik Pak."

Hahaha, akhirnya aku masuk juga. Disini kami hanya berfoto-foto singkat. Masa sih udah jauh-jauh kesini nggak ada kenang-kenangan fotonya sama sekali?

Disitulah aku menunjuk Laut Jawa di kejauhan sana. Seratus kilometer di sebelah utara sana ada Pulau Bawean, pulau yang ingin kukunjungi. Melihat laut yang begitu luas dan tak berujung membuatku merinding. Benarkah aku akan mengunjungi Bawean? Benarkah kapal yang mengantarkanku akan melaju 100 kilometer kesana? Aku berharap iya.

Setelah nongkrong singkat, kami memutuskan segera pulang karena hari mulai menggelap. Perjalanan Pantai Delegan - Surabaya kami lalui selama kurang lebih 2 jam melewati ruas jalan yang sama dengan tadi. Perjalanan yang cukup berkesan!

Salah tempat, ini bukan Pantai Delegan (GALUH PRATIWI)

Ini Pantai Delegan (GALUH PRATIWI)

Pantai Delegan (GALUH PRATIWI)

Wisatawan di Pantai Delegan (GALUH PRATIWI)

Pendopo di Pantai Delegan (GALUH PRATIWI)

Kenang-kenangan dari Pantai Delegan, 100 kilometer ke utara sana adalah Pulau Bawean (pulau yang kukunjungi seminggu kemudian) (GALUH PRATIWI)

Road Trip Bromo via Tumpang 4 : Perjalanan Pulang

Peta jalur Road Trip sejauh kurang lebih 283 kilometer (Google Map dengan Modifikasi GALUH PRATIWI)

Kedinginan menjadi menu wajib kami di Cemoro Lawang. Tidurku tidak terlalu nyenyak semalam. Aku sering terbangun karena kedinginan yang begitu menusuk, padahal sudah pakai kaos kaki dan selimut tebal. Hmmm....aku menjadi kagum dengan orang-orang yang tinggal disini. Bisa menahan suhu belasan derajat setiap hari.

Badanku kaku karena kurang bergerak. Setiap sedikit pergerakan seakan membuat udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah selimut. Aku melanjutkan tiduran sambil main HP, masih terlalu malas memikirkan bersentuhan dengan air untuk ke kamar mandi.

"Eh mau ke Bromo sama Penanjakan nggak nih?" tanyaku ke temanku.

"Boleh. Eh tapi kita nggak punya jaket kan basah semua."

"Iya juga ya, yaudah lihat nanti aja."

Tidak seperti traveler lain di penginapan kami yang sejak pagi-pagi buta sudah menuju Penanjakan, kami menghabiskan sepagian itu untuk tiduran dan bercerita-cerita. Sinar matahari pagi secara perlahan mulai menembus jendela kamar kami, memberi nuansa kehangatan yang dirindukan disini.

Aku melongok lewat jendela. Di luar sana, aktivitas mulai berjalan seperti biasa. Toko-toko mulai dibuka, pedagang sayur naik turun membawa dagangannya, turis-turis hilir mudik, jeep-jeep pelancong naik turun meninggalkan debu asap knalpot yang menghitam.

Karena batas check out adalah jam dua belas, setelah bersantai sepagian akhirnya kuberanikan untuk menginjakkan kaki ke kamar mandi. Aku memutuskan untuk mandi karena sejak kemarin sore belum mandi. Guyuran pertama membawa rasa linu-linu sampai ke tulang-tulangku. Aku menggigil.

"Brrrrrr.....dingin banget," ujarku dengan bibir membeku. " Hebat ya orang yang hidup dan tinggal disini..."

Aku menyelesaikan mandi secepat mungkin, ingin sesegera mungkin membungkus tubuh dengan selimut. Selesai mandi dan beres-beres, kami segera check out dari penginapan dan bersiap menuju Bromo karena temanku akhirnya meminta kesana.

"Brrrrr....dinginnyaa....," ujar temanku sewaktu baru saja melangkahkan kaki keluar penginapan.

"La gimana? Jadi ke Bromo atau nggak?" tanyaku.

"Nggak deh, aku nggak kuat dingin, langsung turun aja ya. Lagian aku males harus lewat medan pasir lagi"

"Hahaha, okelah."

Akhirnya kami tidak jadi ke Bromo dan langsung pulang. Aku langsung melajukan Si Merah ke arah utara menyusuri Jalan Raya Bromo Tosari dan Jalan Raya Lumbang, jarak yang harus kami tempuh sekitar 50 kilometer. Jika perjalanan lancar, maka kami akan tembus di Bayeman, Kabupaten Probolinggo di ujung utara nanti.

Begitu kami turun, pemandangan didominasi oleh perkebunan warga yang menghampar luas. Berbagai macam sayuran seperti sawi, kol, wortel, dan berbagai macam tanaman hortikultura lainnya. Sayur mayur tersebut tumbuh subur akibat limpahan abu vulkanik dari Gunung Bromo yang membawa banyak manfaat. Si Merah terus melaju ke bawah melewati kelokan demi kelokan yang seakan tiada henti. Perubahan suhu mulai kami rasakan seiring ketinggian berubah. Saat tembus di Jalan Raya Lumbang, udara sudah berubah menjadi panas. 

'Selamat datang kembali,' ujarku dalam hati.

Kami membutuhkan waktu satu setengah jam untuk akhirnya sampai di pertigaan Bayeman. Segera saja Si Merah aku arahkan ke Kota Pasuruan. Jalanan datar dan membosankan sejauh 15 kilometer sudah membentang di hadapan kami. Bus-bus, truk, mobil, motor saling bertemu dan meninggalkan asap hitam menggumpal. Aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi, ingin sesegera mungkin sampai di Surabaya. Perjalanan pulang memang berbeda dengan perjalanan berangkat ya soal semangat.

Kami sempat mampir berhenti untuk sarapan di warung penyetan di pinggir Jalan Raya Pantura di Pasuruan. Sepiring nasi ikan gurami dan es teh meluncur mulus di perutku yang kelaparan.

Setelah kembali berhenti untuk mengisi bensin, akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang. Udara panas masih menyengat, asap knalpot beterbangan, dari Kota Pasuruan aku melajukan Si Merah menuju Bangil kemudian membelok ke utara menuju SIdoarjo. Kami membutuhkan sekitar 2 jam sampai Sidoarjo.

Karena perut kembali keroncongan dan tanganku lelah, lagipula sinar matahari masih menyengat, kami memutuskan istirahat kembali di warung Lontong Kupang di Kota Sidoarjo. Sepiring sate kerang dan segelas es degan meluncur mulus ke perutku. Jajan teruuus.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang. Syukurlah sewaktu keluar dari warung, cuaca sudah berubah. Mendung menggantung dengan begitu manjanya di langit. Segera saja aku melajukan Si Merah sejauh 22 kilometer kembali ke Surabaya. Akhirnya 1 jam kemudian aku, temanku dan Si Merah telah kembali dengan selamat di kos. Kembali menikmati udara panas Surabaya. Udara panas yang sewaktu di Cemoro Lawang begitu aku rindukan, sementara di sini begitu aku benci. Bagaimanapun, perjalanan ini telah mengajarkanku arti bersyukur yang sesungguhnya.

FINISHED

Road Trip Bromo via Tumpang 3 : Kedinginan

Mesin Si Merah terus menderu menaiki jalan aspal yang berlubang disana-sini. Hujan masih mengguyur deras, air hujan mengalir dengan begitu ganasnya menuruni jalan beraspal. Aku mengendarai Si Merah sehati-hati mungkin, takut kalau sampai terpeleset.

Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di Cemoro Lawang. Tantangan kami selanjutnya adalah menemukan penginapan untuk menghangatkan diri malam ini. Aku masih belum tau apakah besok akan mengunjungi Gunung Bromo dan Penanjakan atau tidak. Aku pernah kesini pada 2014 tetapi lewat jalur Pasuruan - Probolinggo - Bromo, sedangkan temanku belum pernah kesini.

Aku menyusuri deretan rumah-rumah penduduk, mencermati apakah ada tulisan penginapan di depannya. Karena setahuku jika menginap di homestay rumah penduduk, akan lebih murah daripada menginap di Hotel/Hostel. 

Kami berputar-putar sesaat sebelum menepikan motor di penginapan yang terlihat nyaman. Namun suasana sangat sepi, berkali-kali aku ketok pintu kantor dan restoran. 

"Wah sial pulsaku habis. Aku pinjem HP-mu ya, coba aku telfon ke penginapannya," kataku ke temanku. Kebetulan di bagian depan penginapan ada papan informasi yang memuat nomor telfon penginapan.

"Wah gak bisa dihubungi semua nomornya," kataku dengan menggerutu.

Kebetulan waktu itu ada tiga orang yang sepertinya dari Vietnam (memperhatikan bahasa mereka) yang juga mencari penginapan. Mereka meninggalkan tempat itu setelah memperhatikan tidak ada tanda-tanda penjaga disitu.

Kami mengendarai Si Merah ke arah atas lagi untuk mencari penginapan yang lain, sebuah hotel yang bangunannya cukup bagus. Aku ragu akan mendapatkan harga murah disini, tetapi dicoba saja.

"Kamar ekonomi sudah habis mbak, tinggal kamar yang tipe ini," kata resepsionis sambil menunjuk sebuah kamar yang bertarif Rp 600.000/malam.

Aku segera ngacir keluar, mahal banget! Biarpun aku mampu membayarnya, aku nggak akan mengambilnya. Budget untuk penginapan yang kusediakan hanya Rp 200.000 - Rp 300.000.

Sementara kebingungan di luar, seorang bapak penjual syal dan kaos kaki penghangat mendekati kami, " Mbak, mari saya antarkan ke penginapan yang Rp 200.000/malam. Saya tahu di bawah. Kalau hotel memang agak mahal."

"Sebentar ya Pak, saya nyoba cari online dulu."

"Oke mbak."

Tapi setelah mencoba mencari di berbagai situs reservasi penginapan online, aku merasa penginapan tersebut cukup jauh dari tempat kami sekarang. Harus turun lebih dari sepuluh kilometer. Akhirnya kami pasrah mengikuti bapak tersebut dan menginap di Homestay Teguh dengan tarif Rp 200.000/malam.

Akhirnya bisa menghangatkan diri dan beristirahat!

"Trimakasih ya pak. Bayarnya bagaimana?" tanyaku.

"Ke saya aja tidak apa-apa, nanti saya sampaikan ke pemilik penginapan," kata bapak itu. Aku percaya saja karena aku melihat dia dan pemilik penginapan berbincang di awal, sepertinya mereka sudah saling kenal.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian kering. Kami hanya tiduran sambil berselimut rapat. Dingiiiin banget rasanya, apalagi habis kehujanan. Menyentuh air membuat tulang-tulangku ngilu. Aku hanya bisa meringkuk di balik selimut sembari bermain HP. Bergerak saja rasanya sudah sangat malas, membuat telapak kakiku kaku karena kedinginan.

Kami hanya bercerita dan menggosip beberapa jam setelahnya. Tidak berniat melakukan apapun. Kami yang biasanya kepanasan di Surabaya, sekarang kedinginan seperti ini membuat kami cukup menikmatinya walaupun menderita, yang jelas, aku senang refreshing ini berjalan lancar. Aku harap bisa mengurangi kegalauan dan kebosanan yang sempat memuncak sebelum kesini.

"Eh cari makan yuk, tau-tau udah gelap aja. Aku lapar," kataku.

"Ayo."

Akhirnya kami makan di sebuah warung makan rames sederhana. Sepiring nasi rames dengan lauk telur dan udang serta secangkir teh panas meluncur mulus ke perutku. Aku rasa luamayan mahal ya, kami menghabiskan hampir Rp 25.000/orang. Aku sempat membeli kaos kaki setelah itu karena tidak kuat dengan dinginnya.

Akhirnya malam itu kami beristirahat dengan tenang dan hangat. Meskipun aku terbangun beberapa kali karena masih kedinginan, tapi itu tidak jadi masalah. Menyiapkan fisik untuk kembali pulang ke Surabaya besok!

Road Trip Bromo via Tumpang 2 : Berjuang di Lautan Pasir Tengger

Motor terus kulajukan melewati jalanan yang semakin sepi dan dingin. Aku sudah tidak memikirkan apapun, yang terpenting adalah sampai ke Cemoro Lawang secepatnya.

Sekitar setengah jam berkendara, kami dihadapkan pada jalan yang bercabang. Sebelum berangkat, aku sempat mempelajari google map dan mengetahui cabang jalan ini adalah jalan ke Ranu Pane jika lurus (titik pendakian ke Gunung Semeru) dan Bromo jika belok kiri. Setelah bertanya pada warga lokal untuk memastikan, kami mengambil jalur belok ke kiri melewati jalan aspal yang terus menurun.

Kami takjub! Pemandangan di sebelah kiri jalan mungkin adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat. Perbukitan berwarna hijau membentang dengan guratan-guratan ngarai hasil erosi yang sangat indah. Perbukitan menghijau segar. Membuat kami terbengong-bengong dan terus menatap ke sebelah kiri di sepanjang jalan turun ke Lautan Pasir Tengger.

Alur-alur erosi pada tebing yang membentuk pemandangan menakjubkan (GALUH PRATIWI)

Bukit-bukit kecil berhiaskan kabut (GALUH PRATIWI)

Hijau dan segar lagipula pemandangan sangat sepi (GALUH PRATIWI)

Pemandangan terindah yang pernah kulihat (GALUH PRATIWI)

Menakjubkan, bukan? (GALUH PRATIWI)

Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto. Sesekali jeep para wisatawan melaju di sebelah kanan kami. Mereka menyapa kami dengan ramah. Sementara kami terus turun, hujan rintik-rintik mulai berjatuhan. Aku agak panik karena bahkan kita belum mulai berjalan di lautan pasir. Bagaimana jika hujan deras? Bagaimanapun aku terus memacu motor ke arah bawah.

Aku dan Si Merah (GALUH PRATIWI)

Rerumputan bernyanyi dengan gembira (GALUH PRATIWI)

Hujan semakin bertambah deras seiring motor kami telah hampir sampai ke jalur lautan pasir. Ketika itu ada dua cabang jalan yang membingungkan, dimana kalau belok kiri langsung menuju ke jalur off road jeep, sementara kalau lurus jalannya masih aspal tapi entah berakhir dimana. Seharusnya kami memang harus lewat jalur off road, tetapi karena aku melihat tanahnya yang sangat gembur dan tebal, pastilah Si Merah susah sekali berjalan disitu. Akhirnya aku memutuskan mengambil jalan lurus aspal dahulu. Aku melihat sebuah rumah kecil disitu, ingin berteduh sebentar sembari menunggu hujan reda.

"Mas...arah ke Cemoro Lawang lewat mana ya?" tanyaku kepada dua orang laki-laki yang sedang berteduh di rumah kecil tersebut. Sepertinya mereka melakukan rute reversed dengan kami, dimana mereka berasal dari Cemoro Lawang dan akan menuju Tumpang.

"Lewat sini bisa mbak. Oiya, jalan ke arah Tumpang hujan nggak?" jawabnya.

"Aman mas, cuma gerimis," jawabku kemudian.

Akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan dengan memakai mantel. Adapun sepertinya bukan ide bagus jika aku harus berteduh di rumah kecil ini. Suasana sangat sepi, dan berada di tengah antah berantah.

Bismillah, aku mulai melajukan laju motor di Lautan Pasir Tengger. Sepuluh kilometer adalah ajrak yang harus kami tempuh sampai ke Cemoro Lawang. Tetapi pemandangan alam di sekitar benar-benar membius kami. Bagaimana tidak? Tebing berjajar di sebelah kanan dan kiri kami dengan begitu cantiknya, alur-alur hasil erosi terlihat kokoh. Kabut menambah kesan mistis. Aku merasa seperti berada di antara New Zealand dan Hawai'i. Entahlah keindahannya tidak bisa kugambarkan lagi.

Ini Lautan Pasir Tengger atau Hawai'i? Atau New Zealand? (GALUH PRATIWI)

Bunga-bunga ungu bermekaran (GALUH PRATIWI)

Kabut menggantung pada ujung dinding kaldera (GALUH PRATIWI)

Hujan mulai sedikit mereda. Si Merah berjalan terus dengan agak terseok-seok. Bisa kuingat, kami beberapa kali hampir jatuh terpeleset pasir. Mengingat ini, aku hanya bisa mengemudikan Si Merah dengan kecepatan maksimal 40-50 kilometer per jam. Karena sekali ngebut, '''ssssseeetttttt....." pasti ban akan selip.

Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto-foto dengan latar perbukitan beralur yang menghampar luas. Pemandangan itu masih dipercantik dengan bunga-bunga kecil berwarna keunguan yang terhampar luas. Sungguh luar biasa perjalanan ini.

Siapa yang bosan melihat pemandangan seperti ini? (GALUH PRATIWI)

Kabut mulai turun, mendung datang lagi (GALUH PRATIWI)

Bukit kembar (GALUH PRATIWI)

Kabut semakin turun, suhu semakin dingin (GALUH PRATIWI)

Bunga-bunga ikut berbahagia(GALUH PRATIWI)

Indonesia sungguh indah (GALUH PRATIWI)

Siapa yang tidak terkagum-kagum akan kuasa-Nya? (GALUH PRATIWI)

DI jalan, kami sempat bertemu dengan para rider-rider yang sedang melaksanakan touring dengan arah yang berlawanan dengan kami. Mereka menggunakan motor-motor besar dengan ban yang kokoh sehingga bisa melaju dengan leluasa. Si Merah hanya bisa memandang mereka dengan nyinyir.

"Ssssssseeetttttttt...."

Aku hampir terpeleset lagi entah keberapa kalinya karena terlalu asik memandang pemandangan sehingga lupa melajukan kecepatan terlalu kencang.

Jalur Lautan Pasir dari Tumpang ke Cemoro Lawang tidak hanya satu, banyak cabang off road yang bercabang-cabang. Kita dibebaskan untuk melewati jalur mana saja yang enak sepanjang mengikuti jalur ke arah utara. Aku terus melajukan motor karena gerimis mulai datang lagi, kabut mulai turun. Kami bertemu dengan beberapa pengendara motor maupun jeep lain yang juga hendak menuju Cemoro Lawang. Sedikit melegakan. Ternyata kami tidak sendiri di padang pasir ini.

Kami terus melajukan motor. Jalan off road yang semula cukup keras karena basah mulai berubah menjadi agak lembut dan gembur. Sangat menyulitkan Si merah. Kami harus berganti jalur beberapa kali dengan sedikit mendorong-dorong motor karena susahnya bukan main. Untunglah pada beberapa bagian sudah dibuatkan jalur motor, dimana tanahnya cukup keras sehingga kami bisa menjalankan Si Merah agak kencang.

Beberapa kali di jalan, kami menjumpai rombongan turis asing yang terlihat berjalan kaki menyusuri keindahan Kaldera Tengger. Meskipun hujan mulai datang, mereka terlihat masih bersemangat jalan. Mantel plastik berwarna-warni menjadi pemandangan yang menarik dan kontras dan perpaduan warna hijau dan abu-abu di sekitarnya.

Tiba-tiba, hujan mulai berubah deras dan kami mulai panik. Jujur aku takut sekali kalau sampai ada petir karena padang ini sangat luas dan tidak ada objek tertinggi selain kami. Jalanan mulai berubah sepi. Beberapa pengendara motor yang kami temui sudah mendahului kami dengan rentang jarak yang cukup jauh. Kami memutuskan memakai mantel plastik kembali dan segera melanjutkan perjalanan.

Hujan berubah semakin deras. Udara menjadi sangat dingin. Tanganku terus mencengkeram setir, berusaha tidak memikirkan apapun selain segera mencapai Cemoro Lawang sesegera mungkin. Kami mulai kebingungan karena jalur jeep (yang terlihat dari bekas roda) mulai kabur, sementara padang berubah menjadi sangat luas. Aku menjalankan Si Merah lewat jalur pasir sebelah kiri, aku malah menjumpai banyak bongkahan-bongkahan batu yang bertebaran.

'Wah, sepertinya ini bukan jalurnya.... Banyak batu-batu besar bertebaran.. Bagaimana ini? Aku harus tetap tenang,' kataku dalam hati.

"Itu ada motor disana, lewat sana!" kata temanku dari belakang. Suaranya beradu dengan derasnya hujan. Pakaianku sudah basah semua karena aku hanya menggunakan mantel plastik yang kekecilan. Dinginnya udara dan kakunya tanganku sudah tidak kupedulikan lagi.

Aku segera memotong jalur dan mengarah ke pengendara motor di kejauhan yang ditunjuk temanku. Aku berusaha memacu Si Merah semaksimal mungkin, aku tidak mau kehilangan jejak pengendara tersebut. Gawat kalau tersesat di tengah hujan lebat begini.

Si Merah kupacu melewati beberapa kali turunan dan naikan kecil. Saat pengendara motor tersebut hampir tidak kelihatan, aku mulai panik. Akhirnya setelah beberapa saat memotong jalur, kami kembali juga ke jalur jeep. Terlihat dari bekas gilasan ban pada pasir yang terlihat memanjang. Aku lega sekali. Setidaknya bekas gilasan ban ini akan membawa kami ke Cemoro Lawang.

"Tenang...Tenang...Kalau udah lewat jalur jeep kita pasti aman kok sampai ke Cemoro Lawang," kataku ke temanku. Aku ragu ini untuk membuat temanku tenang atau untuk menenangkan diriku sendiri.

Hujan masih mengguyur dengan lebatnya. SI Merah terus kulajukan mengikuti jalur jeep. Kami melewati jalur lurus sekitar setengah jam sebelum akhirnya melihat tiang-tiang berwana kuning. Aku bahagia sekali. Aku terus mengikuti tiang-tiang tersebut karena aku yakin itu akan mengantarkanku ke jalan aspal yang menuju Cemoro Lawang.

"Eh itu bapaknya belok kesana!" kata temanku menunjuk ke arah kanan, sementara tiang-tiang kuning itu sendiri menuju ke arah kiri.

"Loh, ini tiangnya kearah sini,"kataku setengah protes melawan derasnya hujan.

"Kesana aja, itu bapaknya kesana," kata temanku.

Aku segera membelokkan arah Si Merah mengikuti jalur bapak pengendara motor yang menjadi penuntun kami tadi. Dan setelah beberapa saat, akhirnya kami menjumpai jalan naik..............berupa jalan aspal! Aku ingat sekali jalan ini adalah jalan aspal yang menuju Cemoro Lawang karena aku pernah ke Bromo sebelumnya! 

Oh, akhirnya!!