Malam sebelumnya, kami semua susah tidur. Bukan dikarenakan keadaan sekitar yang gelap gulita, tetapi karena kegerahan yang benar-benar menyiksa. Posisi tidur kami yang di ruang tengah menyebabkan tidak ada angin sedikitpun yang masuk melalui ventilasi. Alhasil semaleman hanya bolak balik sana sini. Kami tidur di sebuah tikar dan bantal yang dibawakan oleh Yodi dan temannya Dendy.
Malam itu kami makan malam dengan supermi hasil bikinan Arin. Kebetulan di kantor kecamatan itu ada kompor yang bisa dipakai, untuk berasnya, Fredo meminta sedikit ke Yodi. Kami makan bersama di tengah kegelapan, hanya setitik senter dari HP yang menerangi ruangan itu. Setelah makan, Fredo terlihat melontarkan lelucon-lelucon, maksudnya sih supaya Yodi dan Dendy ketawa. Soalnya mereka pendiam banget gan, pemalu.
Keesokan harinya Arin-lah yang bangun paling pagi,
meminta kami untuk menemaninya hunting sunrise. Tapi karena ane dan Fredo tidak ada yang menunjukkan kesan mau bangun, Arin ngambek dan memutuskan pergi ke pantai sendiri. Ane segera bangun, memaksa Fredo bangun untuk menyusul Arin pergi ke pantai. Gimana kalau nanti Arin tiba-tiba ilang? Hahaha. Itulah yang memenuhi benak ane sehingga segera menyusul ke Pantai. Begitulah Arin, dia adalah pecinta keindahan alam sejati. segala macam kondisi dan medan akan dilaluinya untuk mendapatkan pemandangan spektakular, beda dengan kami yang malas.
Ternyata tidak sia-sia ane mengalahkan kemalasan untuk menyusul Arin. Sunrise pagi ini di Pantai Kolbano cukup indah meskipun
tidak bulat sempurna. Untaian sinar matahari yang hangat dipantulkan oleh
bebatuan sehingga menambah kesan magis. Cukup lama kami berdiam diri pagi itu di
pantai, menikmati karunia Tuhan yang begitu indahnya. Pemandangan seperti ini
memang sangat jarang kami dapatkan di tempat tinggal kami. Secara samar-samar, kami mulai melihat manusia yang bermunculan dari rumah-rumah di pesisir pantai tapi kami tidak mengobrol karena jarak yang cukup jauh.
Sunrise, perhatikan batunya menjadi berwarna keemasan (MUTYA PRAMESWARI)
Sunrise di pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)
Seiring naiknya matahari, ternak-ternak mulai dikeluarkan oleh warga. Kambing, Sapi, Ayam, semuanya sibuk mencari makan. Seakan turut mengucapkan syukur atas berkah Tuhan hari ini. Berada di tempat terpencil seperti ini memang selalu mengajarkan ane untuk bersyukur gan. Ane merasa ane itu orang kota yang selalu mengeluh dan mengeluh, bahkan dibandingkan Yodi dan Dendy, kami hanyalah seperti orang kota yang manja.
Kerakal-bongkah di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)
Bukti pernah menginjakkan kaki di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)
Ombak berdebur ringan, kami sadar, di kejauhan sana ada negara Australia. Negara maju dengan penduduknya yang makmur, tapi entah kenapa raga ini tak ingin beranjak, hanya ingin menikmati waktu berharga ane di tempat seperti ini. Menurut info yang aku dengar dari Kak Oliv, akan dibangun dermaga di dekat Pantai Kolbano ini. Aku mengamini pernyataan itu, semoga dengan dibangunnya dermaga akan membuat ekonomi masyarakat lebih makmur dan daerah sekitar sini menjadi lebih berkembang.
Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)
Saat dirasa matahari mulai meninggi dan udara semakin panas, kami segera bergegas kembali ke Kantor Camat Kolbano untuk mandi, sarapan dan bersiap-siap pulang. Menurut info dari Kak Oliv, satu-satunya transportasi yang tersedia bagi kami untuk pulang ke Kupang hari itu adalah naik mobil carry yang bisa ditunggu di jalan raya (sekitar 200 meter dari kantor kecamatan).
Mandi, seperti biasa kami harus angkut-angkut air dari sumur, dan makan, lagi-lagi pakai mie rebus yang dimasakkan Arin. Untuk nasinya, kami lagi-lagi minta sedikit beras kepada Yodi, kami juga mengajak mereka makan bersama. meski dengan menu yang sederhana, kebersamaan seperti ini telah membuat apapun yang biasa menjadi luar biasa. Setelah berberes singkat, kami pun bersiap berangkat ke jalan raya.
Sedikit cerita lucu sewaktu sedang beres-beres, tiba-tiba saja ane melihat ada kelabang yang masuk ke celana panjang Arin.
"Rin, Rin, ada kelabang masuk ke celanamu!"
Wajah Arin langsung pucat seketika, saat itu ane benar-benar melihat wajah Arin yang begitu ketakutan.
"Lompat-lompato Rin! Supaya jatuh kelabangnya!"
Arin segera lompat-lompat dan untunglah ane melihat kelabang itu jatuh.
"Udah Rin! Udah jatuh kelabangnya!"
"Beneran? beneran?"
"Iya, sumpah, aku lihat jatuhnya kok!"
Setelah kejadian itu Arin pun baru sadar kalau yang masuk barusan itu kelabang. Dikira dia kalajengking, hahahaha, pantas aja wajahnya sepucat mayat waktu ane bilangin.
Melupakan tragedi kelabang, kami pun segera berjalan ke jalan raya diantarkan Yodi sama Dendy. Di sepanjang jalan kami menjumpai beberapa warga yang menyapa kami dengan ramah, udara panas, air minum habis, tidak ada warung. Dalam perjalanan mencari mobil, hujan deh, lagi-lagi hujan. Tapi
itu justru menjadikan daerah sekitar segar jadi tidak terlalu masalah. Setidaknya dahaga kami tertahankan.
Menunggu carry ditemani hujan (MUTYA PRAMESWARI)
Kami menunggu carry di sebuah warung di pinggir jalan. Dengan rasa dahaga yang tak tertahankan, kami segera membeli beberapa minuman rasa untuk semuanya. Akhirnya pukul 11.30, mobil pick up yang membawa kami ke
Kupang datang juga. Jangan ditanya ya, karena ini NTT, tentu saja kami para
manusia bisa diangkut dengan mesin padi, bahkan pick up depan ane sama kambing,
babi, hahaha seru habis. Kami juga mengenal 3 kakak asal Sumba, Soe dan Belu (kalau nggak salah) sehingga menjadi teman ngobrol. Perjalanan ini kami lalui selama 4 jam, capek juga gan
karena kita harus duduk dengan punggung tegak karena tidak ada senderan.
Perjalanan sempat dilalui dengan kebut-kebutan para sopir pick up (rebutan cari
penumpang padahal pick upnya aja udah penuh), hujan cukup deras, sampai
berhenti cukup lama di desa kecil untuk mengambil mesin padi.
Mobil carry yang membawa kami ke Kupang (MUTYA PRAMESWARI)
Pukul 04.00 sore,
akhirnya kami sudah sampai di Kupang, diturunkan di Lasiana, kemudian naik bemo
menuju Masjid Fountain. Arin dan Fredo rencana mau shalat dulu disini,
sementara ane numpang mandi di kamar mandi masjid. Tidak lupa ane menghubungi
Any, yang akan menjemput kami di Pantai Tedis karena malam ini rencana kami menginap
di kos Any.
Selesai dengan urusan masing-masing, kami segera naik
bemo lampu 10 menuju Pantai Tedis. Saat kami sampai suasana Pantai sudah cukup
ramai dengan para pemuda-pemudi yang nongkrong. Karena Any belum datang, ane
memutuskan ke konter HP sejenak untuk mengganti chasing sementara Arin dan
Fredo menuju toko oleh-oleh untuk membeli berbagai macam barang. Ane menyusul
setelah itu.
Disitu kami membeli berbagai macam oleh-oleh seperti baju
dengan tulisan “I Love Kupang”, Kain Tenun, dan berbagai pernak-pernik lainnya.
Ane Cuma belanja 1 baju dan langsung dipakai, sementara Arin dan Fredo
berbelanja cukup banyak, bahkan Arin sampai 1,2 juta haha. Karena kami belanja
cukup banyak, kami pun diberi pisang dan air mineral sama empunya toko.
Akhirnya Any dan kedua temannya pun datang dan kami makan
bakso di Pantai Tedis. Wuah saat itu suasananya begitu cozy dan asyik gan, kami
makan ditemani musik anak muda Kupang serta deburan ombak Laut Tedis. Disitu
kami saling bercerita satu sama lain dan hanyut dalam tawa kegembiraan. Dalam
hati ane bersyukur, trip ini berjalan dengan lancar sampai hari terakhir, tanpa
kurang satu apapun. Ane juga bersyukur melihat senyum kegembiraan di wajah
kedua teman ane. Berarti tugas ane sudah berhasil, memperkenalkan wajah wisata
Pulau Timor kepada mereka. Meskipun waktunya agak kurang tepat karena sedang
musim hujan, meskipun beberapa tempat tidak jadi kami kunjungi karena suatu
hal, tapi melihat ekspresi kedua teman ane dan kegembiraan di hati ane, ane
yakin trip ini bisa dikatakan sukses.