Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.21.2016

Tanah Timor LELEBO 11 : Seminggu terakhir di Atambua

Sewaktu ane memutuskan untuk extend liburan di Atambua, ane masih nggak tahu akan berapa hari lagi disana. Saat itu yang ada di pikiran ane, ane hanya ingin menuntaskan rasa kangen ini sampai ke titik paling habis. 

Perjalanan ke Atambua masih seperti kemarin, Kupang - Camplong - Soe - NikiNiki - Kefamenanu - Halilulik (Desa  Rinbesi Hat). Pada saat sampai Camplong, ane sempat berpikiran ingin berhenti di Soe, melanjutkan petualangan ke Desa Fatumnasi. Tapi membayangkan kesendirian ane jadi malas dan tetap di bus sampai ke Halilulik.

Ane sampai di Desa Rinbesi Hat menjelang petang, sekitar pukul 18.00. Rinel langsung menyambut ane dan mengajak ane ke rumahnya. Selesai meletakkan tas, ane langsung diajak 2 adik (Rinel dan Elis) untuk JJS di Desa Rinbesi Hat. Seakan semua beban hilang ketika melakukan semua hal bersama adek-adek ane.

Ane menghabiskan waktu seminggu setelahnya di Desa Rinbesi Hat, 4 hari nginap di rumah Rinel dan 3 hari terakhir di rumah Any. Memang empat hari setelah ane ke Atambua, Any sudah menyelesaikan ujiannya di Kupang dan pulang ke Atambua. Kegiatan ane sehari-hari berkisar tidur, nongkrong, makan, JJS, JJP, pergi belanja ke pasar, jalan-jalan ke Atambua, makan mie ayam solo di Atambua.

Selama di Rinbesi Hat juga ane dikenalkan Rinel dengan mama besarnya, ane sering main ke rumahnya dan ngobrol-ngobrol seru sampe dibawain oleh-oleh nanas dan madu sebelum pulang. Sama Mama Rita (mamanya Any), ane dikasih kain tenun. Disuruh makan dengan dominasi menu daging biasa ane dapatkan disini, padahal mereka sendiri jarang makan daging. Terimakasih semuanyaa......

Selain jalan-jalan, ane juga mengunjungi rumah bapa dan mama yang ada di Desa Rinbesi Hat, khususnya Dusun Dinleo tempat ane melaksanakan KKN dulu. Tidak ada yang berubah dari mereka, mereka semua tetap baik dan ramah.

Salah satu rumah yang ane singgahi adalah rumah keluarga Elis, salah satu adek ane juga di Rinbesi Hat. Ane bertamu dan mengobrol-ngobrol ringan dengan mereka. Sewaktu ane mau pamit pulang, neneknya Elis bahkan menangisi kepergian ane. Ane merasa begitu terharu dengan ini semua. Mereka sederhana tapi berusaha memberikan yang terbaik untuk ane. Sungguh suatu perlakuan yang langka didapatkan di perkotaan pada zaman sekarang ini.

Kepulangan ane adalah tanggal 5 Februari 2014, setelah semalam kembali menginap di kos Any. Trip ini adalah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan buat ane.

Terimakasih ATAMBUA!

Finished...

Terimakasih Elis.

Terimakasih Mama Shinta, Mama Elis, Elis, Noel dan Herman.

Terimakasih alm. Mama Yanti, Yanti dan Remi

Terimakasih Remi dan Noel.

Terimakasih Mama Tere dan Mega.

Terimakasih Lena.

Terimakasih Linda dan Jazmin.

Terimakasih Pace, Mega dan adiknya Pace.

Terimakasih Andri, Rinel, Yanti, Pace, Gusti dan Lena..

Terimakasih Lena, Yanti, Gusti dan Andri

Tanah Timor LELEBO 10 : 2 hari di Kupang

Sendiri.


Itulah kesan yang ane rasakan sehabis melepas kepergian Fredo sama Arin di Bandara El Tari. Biasanya, 8 hari terakhir ane selalu ditemani canda tawa mereka, kini ane sendiri. Ane harus bisa membuat suasana nyaman itu menurut versi ane sendiri, itu janji ane.

Berjalan kembali ke arah Kota Kupang, ane diajak Ani n the gank ke Pasar Inpres Naikoten untuk belanja sayur. Rencana hari ini kita akan masak-masak bersama a.k.a Any mau ngajarin ane masak. Saat itu ane sama sekali belum bisa masak gan.

Di Pasar Naikoten, kami belanja beberapa sayur, minyak goreng dan keperluan lainnya. Jenis barang yang dijual di Pasar Naikoten ini lengkap banget gan, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, tersier ada semua. Pas kami berjalan di pasar, nggak henti-hentinya kami dipanggil para pedagang untuk sedikit melihat dagangan mereka. Untuk keperluan penulisan cerita di blog, sebenarnya ane sudah membuat video dan foto yang cukup banyak disini. Deta membantu ane membuat video, tapi sayang pas pulang ane lupa minta video itu lagi.

Dua hari setelahnya ane habiskan di Kupang, nginep di kos Any. Well, sebenarnya ane nggak terlalu betah di Kupang juga sih gan. Selain nggak ada yang bisa ane lakukan, Any dan teman-temannya juga orangnya sangat pendiam dan lebih sering cerita sendiri, ane sendiri juga nggak terlalu banyak ngomong sehingga terkadang bingung mau ngapain dan ngomong apa.

Kegiatan ane cuma berkisar pada tiduran, nongkrong di depan kos, ngobrol, makan, sampai pada hari kedua ane putuskan mau kembali ke Atambua. Ane merasa lebih nyaman disana dengan adek-adek ane. Sebenarnya tujuan ane di Kupang 2 hari itu mau istirahat dan sekalian bareng Any ke Atambua, karena sebentar lagi Any sudah liburan semester. Karena ada beberapa ujian yang ditunda, alhasil pihak kampus Any menunda liburan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Mendengar itu, ane pun segera memutuskan akan ke Atambua duluan.


Atambua, aku datang lagi!!

Tanah Timor LELEBO 9 : Kepulangan Arin dan Fredo

Hari terakhir Arin dan Fredo di Pulau Timor!

Ada rasa bahagia sekaligus sedih yang menyeruak ke hatiku hari ini. Bahagia karena trip berjalan lancar sampai hari terakhir, sedih karena sebentar lagi ane bakal ditinggal sama mereka. Rencana ane memang akan extend di Pulau Timor dalam batas waktu yang belum ditentukan gan. Terutama ane masih pengen lebih lama di Desa Rinbesi Hat, seakan rasa kangen dengan suasana desa ini dan adek-adek disana belum puas ane salurkan.

Malam sebelumnya, kami bertiga menginap di kos Any. Setelah makan bakso di Pantai Tedis, kami berenam (Ane, Fredo, Arin, Any dan dua temannya) segera naik bemo lampu 10 dan meluncur ke kos Any di daerah Oebobo. Sebenarnya nyesal juga sih kenapa sejak dari hari pertama nggak nginap di kos Any aja, kan bisa mengirit pengeluaran hehehehe. Kami sempat membeli gorengan untuk santai sambil ngobrol di kos.

Any mempunyai roomate, namanya Angel. Angel orangnya agak pemalu dan pendiam sewaktu kami datang, tapi banyolan Fredo senantiasa menyairkan suasana. Dengan aplikasi gratisan di HP-nya, dia menyuruh setiap orang meniup kue ulang tahun di HP, mengukur denyut jantung lewat aplikasi yang lain, cerita-cerita, pokoknya nggak mutu deh tapi bisa menyairkan suasana.

Any dan teman-temannya begitu welcome sama kami. Karena kami datang bertiga, Angel tidur di kamar kos sebelah, jadi di kamar itu ada Any, Arin, Ane dan Fredo. Bahkan kami diberi tambahan kasur dari kamar sebelah (yang berarti yang tidur di kamar sebelah nggak pake kasur). Keramahan ini benar-benar membuat kami merasa nyaman dan merasa sangat diterima gan.

Keesokan paginya, kami bangun pukul 6 dan Any segera memasakkan kami nasi. Untuk lauknya Fredo membeli beberapa telur asin di dekat kos Any. Setelah sarapan dan bersiap-siap, kami pun berangkat ke bandara. Jadwalnya, Fredo dan Arin akan naik pesawat Citilink yang take off pukul 10.00. Saat itu kami berenam yang ke bandara, yakni ane, Arin, Fredo, Any, Deta dan Angel. Kami naik bemo ke arah Penfui, turun di bundaran yang mengarah ke bandara, disambung naik ojek sampai ke bandara. Karena masih ada sedikit waktu sebelum take off, kami sempat foto-foto di patung kuda, patung El Tari, patung Komodo serta tulisan bandara El Tari Kupang bersama-sama. Memang sedih rasanya harus berpisah dengan travelmate setelah seminggu lebih selalu bersama mereka. Ane langsung merasa sendiri dan kesepian, tapi kehadiran Any dan teman-temannya telah menghilangkan rasa sepi di hati ini untuk melanjutkan petualangan berikutnya. 
Berfoto bersama sebelum take off (GALUH PRATIWI)

Berfoto bersama sebelum take off (GALUH PRATIWI)

Patung Kuda Putih di Bandara El Tari (GALUH PRATIWI)

Patung Jenderal El Tari  (GALUH PRATIWI)

Berfoto bersama sebelum berpisah (GALUH PRATIWI)


Tanah Timor LELEBO 8: Yodi dan Dendy

Malam sebelumnya, kami semua susah tidur. Bukan dikarenakan keadaan sekitar yang gelap gulita, tetapi karena kegerahan yang benar-benar menyiksa. Posisi tidur kami yang di ruang tengah menyebabkan tidak ada angin sedikitpun yang masuk melalui ventilasi. Alhasil semaleman hanya bolak balik sana sini. Kami tidur di sebuah tikar dan bantal yang dibawakan oleh Yodi dan temannya Dendy.

Malam itu kami makan malam dengan supermi hasil bikinan Arin. Kebetulan di kantor kecamatan itu ada kompor yang bisa dipakai, untuk berasnya, Fredo meminta sedikit ke Yodi. Kami makan bersama di tengah kegelapan, hanya setitik senter dari HP yang menerangi ruangan itu. Setelah makan, Fredo terlihat melontarkan lelucon-lelucon, maksudnya sih supaya Yodi dan Dendy ketawa. Soalnya mereka pendiam banget gan, pemalu.

Keesokan harinya Arin-lah yang bangun paling pagi, meminta kami untuk menemaninya hunting sunrise. Tapi karena ane dan Fredo tidak ada yang menunjukkan kesan mau bangun, Arin ngambek dan memutuskan pergi ke pantai sendiri. Ane segera bangun, memaksa Fredo bangun untuk menyusul Arin pergi ke pantai. Gimana kalau nanti Arin tiba-tiba ilang? Hahaha. Itulah yang memenuhi benak ane sehingga segera menyusul ke Pantai. Begitulah Arin, dia adalah pecinta keindahan alam sejati. segala macam kondisi dan medan akan dilaluinya untuk mendapatkan pemandangan spektakular, beda dengan kami yang malas.

Ternyata tidak sia-sia ane mengalahkan kemalasan untuk menyusul Arin. Sunrise pagi ini di Pantai Kolbano cukup indah meskipun tidak bulat sempurna. Untaian sinar matahari yang hangat dipantulkan oleh bebatuan sehingga menambah kesan magis. Cukup lama kami berdiam diri pagi itu di pantai, menikmati karunia Tuhan yang begitu indahnya. Pemandangan seperti ini memang sangat jarang kami dapatkan di tempat tinggal kami. Secara samar-samar, kami mulai melihat manusia yang bermunculan dari rumah-rumah di pesisir pantai tapi kami tidak mengobrol karena jarak yang cukup jauh.
Sunrise, perhatikan batunya menjadi berwarna keemasan (MUTYA PRAMESWARI)


Sunrise di pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Seiring naiknya matahari, ternak-ternak mulai dikeluarkan oleh warga. Kambing, Sapi, Ayam, semuanya sibuk mencari makan. Seakan turut mengucapkan syukur atas berkah Tuhan hari ini. Berada di tempat terpencil seperti ini memang selalu mengajarkan ane untuk bersyukur gan. Ane merasa ane itu orang kota yang selalu mengeluh dan mengeluh, bahkan dibandingkan Yodi dan Dendy, kami hanyalah seperti orang kota yang manja.
Kerakal-bongkah di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Bukti pernah menginjakkan kaki di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)

Ombak berdebur ringan, kami sadar, di kejauhan sana ada negara Australia. Negara maju dengan penduduknya yang makmur, tapi entah kenapa raga ini tak ingin beranjak, hanya ingin menikmati waktu berharga ane di tempat seperti ini. Menurut info yang aku dengar dari Kak Oliv, akan dibangun dermaga di dekat Pantai Kolbano ini. Aku mengamini pernyataan itu, semoga dengan dibangunnya dermaga akan membuat ekonomi masyarakat lebih makmur dan daerah sekitar sini menjadi lebih berkembang.
 Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)

Saat dirasa matahari mulai meninggi dan udara semakin panas, kami segera bergegas kembali ke Kantor Camat Kolbano untuk mandi, sarapan dan bersiap-siap pulang. Menurut info dari Kak Oliv, satu-satunya transportasi yang tersedia bagi kami untuk pulang ke Kupang hari itu adalah naik mobil carry yang bisa ditunggu di jalan raya (sekitar 200 meter dari kantor kecamatan).

Mandi, seperti biasa kami harus angkut-angkut air dari sumur, dan makan, lagi-lagi pakai mie rebus yang dimasakkan Arin. Untuk nasinya, kami lagi-lagi minta sedikit beras kepada Yodi, kami juga mengajak mereka makan bersama. meski dengan menu yang sederhana, kebersamaan seperti ini telah membuat apapun yang biasa menjadi luar biasa. Setelah berberes singkat, kami pun bersiap berangkat ke jalan raya.

Sedikit cerita lucu sewaktu sedang beres-beres, tiba-tiba saja ane melihat ada kelabang yang masuk ke celana panjang Arin. 

"Rin, Rin, ada kelabang masuk ke celanamu!"

Wajah Arin langsung pucat seketika, saat itu ane benar-benar melihat wajah Arin yang begitu ketakutan.

"Lompat-lompato Rin! Supaya jatuh kelabangnya!"

Arin segera lompat-lompat dan untunglah ane melihat kelabang itu jatuh.

"Udah Rin! Udah jatuh kelabangnya!"

"Beneran? beneran?"

"Iya, sumpah, aku lihat jatuhnya kok!"

Setelah kejadian itu Arin pun baru sadar kalau yang masuk barusan itu kelabang. Dikira dia kalajengking, hahahaha, pantas aja wajahnya sepucat mayat waktu ane bilangin.

Melupakan tragedi kelabang, kami pun segera berjalan ke jalan raya diantarkan Yodi sama Dendy. Di sepanjang jalan kami menjumpai beberapa warga yang menyapa kami dengan ramah, udara panas, air minum habis, tidak ada warung. Dalam perjalanan mencari mobil, hujan deh, lagi-lagi hujan. Tapi itu justru menjadikan daerah sekitar segar jadi tidak terlalu masalah. Setidaknya dahaga kami tertahankan.
Menunggu carry ditemani hujan (MUTYA PRAMESWARI)

Kami menunggu carry di sebuah warung di pinggir jalan. Dengan rasa dahaga yang tak tertahankan, kami segera membeli beberapa minuman rasa untuk semuanya. Akhirnya pukul 11.30, mobil pick up yang membawa kami ke Kupang datang juga. Jangan ditanya ya, karena ini NTT, tentu saja kami para manusia bisa diangkut dengan mesin padi, bahkan pick up depan ane sama kambing, babi, hahaha seru habis. Kami juga mengenal 3 kakak asal Sumba, Soe dan Belu (kalau nggak salah) sehingga menjadi teman ngobrol. Perjalanan ini kami lalui selama 4 jam, capek juga gan karena kita harus duduk dengan punggung tegak karena tidak ada senderan. Perjalanan sempat dilalui dengan kebut-kebutan para sopir pick up (rebutan cari penumpang padahal pick upnya aja udah penuh), hujan cukup deras, sampai berhenti cukup lama di desa kecil untuk mengambil mesin padi.
Mobil carry yang membawa kami ke Kupang (MUTYA PRAMESWARI)

Pukul 04.00 sore, akhirnya kami sudah sampai di Kupang, diturunkan di Lasiana, kemudian naik bemo menuju Masjid Fountain. Arin dan Fredo rencana mau shalat dulu disini, sementara ane numpang mandi di kamar mandi masjid. Tidak lupa ane menghubungi Any, yang akan menjemput kami di Pantai Tedis karena malam ini rencana kami menginap di kos Any.

Selesai dengan urusan masing-masing, kami segera naik bemo lampu 10 menuju Pantai Tedis. Saat kami sampai suasana Pantai sudah cukup ramai dengan para pemuda-pemudi yang nongkrong. Karena Any belum datang, ane memutuskan ke konter HP sejenak untuk mengganti chasing sementara Arin dan Fredo menuju toko oleh-oleh untuk membeli berbagai macam barang. Ane menyusul setelah itu.

Disitu kami membeli berbagai macam oleh-oleh seperti baju dengan tulisan “I Love Kupang”, Kain Tenun, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Ane Cuma belanja 1 baju dan langsung dipakai, sementara Arin dan Fredo berbelanja cukup banyak, bahkan Arin sampai 1,2 juta haha. Karena kami belanja cukup banyak, kami pun diberi pisang dan air mineral sama empunya toko.

Akhirnya Any dan kedua temannya pun datang dan kami makan bakso di Pantai Tedis. Wuah saat itu suasananya begitu cozy dan asyik gan, kami makan ditemani musik anak muda Kupang serta deburan ombak Laut Tedis. Disitu kami saling bercerita satu sama lain dan hanyut dalam tawa kegembiraan. Dalam hati ane bersyukur, trip ini berjalan dengan lancar sampai hari terakhir, tanpa kurang satu apapun. Ane juga bersyukur melihat senyum kegembiraan di wajah kedua teman ane. Berarti tugas ane sudah berhasil, memperkenalkan wajah wisata Pulau Timor kepada mereka. Meskipun waktunya agak kurang tepat karena sedang musim hujan, meskipun beberapa tempat tidak jadi kami kunjungi karena suatu hal, tapi melihat ekspresi kedua teman ane dan kegembiraan di hati ane, ane yakin trip ini bisa dikatakan sukses.

Tanah Timor LELEBO 7 : Kebaikan Kak Oliv

Udara masih dingin, matahari masih belum menampakkan sinarnya, sarapan masih belum disiapkan, ketika HP ane tiba-tiba berbunyi nyaring. Mata masih terlalu berat, selimut masih enggan diturunkan, tapi karena ane kepikiran kemungkinan yang telfon itu Kak Oliv, ane paksakan diri untuk bangkit dan mengangkat telfon. Kak Oliv ngomong dalam waktu singkat sudah tiba di Soe dan minta ketemuan di hotel kami. Ane segera cuci muka dan gosok gigi untuk menunggu Kak Oliv di lobby.

Beberapa saat kemudian, Kak Oliv datang. Orangnya baik banget, dan kami ngobrol nyambung cukup lama. Dari yang basa basi, penting, nggak penting, kami obrolkan semuanya. 

Btw, siapa sih gan Kak Oliv?

Kak Oliv itu temennya suami Mama Tere gan, yang ane inepin rumahnya di Rinbesi Hat kemarin. Dia kebetulan kerjanya di Kantor Kecamatan Kolbano, yang hanya berjarak 150 meter dari Pantai Kolbano. Otomatis, Kak Oliv-lah yang mengatur semua perjalanan kami ke Kolbano. Dia yang mencarikan bus kesana (menelpon sopirnya untuk menjemput kami di hotel), bahkan mengizinkan kami menginap semalam di Kantor Kecamatan Kolbano.

Setelah berbincang lama, barulah ane sadar kenapa Kak Oliv bela-belain telfon dini hari tadi. Karena katanya, bus dari Soe ke Kolbano hanya ada 2x sehari yaitu jam 5 pagi sama 1 siang. Itulah mengapa Kak Oliv memaksa kami bertemu kemarin malam, supaya kami bisa naik bus yang jam 5 pagi. Karena kesalahpahaman ini, kami hanya mempunyai pilihan naik bus jam 1 siang. Sembari menunggu waktu tersebut, ane mengusulkan untuk menjelajah Taman Wisata Buat terlebih dahulu, yang hanya berjarak 5 km dari pusat kota. Semuanya setuju dan kita naik ojek PP Rp 100.000/bertiga menuju salah satu taman terindah di Soe ini.
Kondisi jalan menuju Taman Wisata Bu'at (MUTYA PRAMESWARI)

Perjalanan ke Taman Wisata Buat kami lalui selama kurang lebih setengah jam karena jalannya jelek. Tarif ke Taman Wisata Buat ini sendiri dikenakan Rp 5000,00/orang dan menurut ane hal itu sebanding banget dengan apa yang kita dapatkan di dalam gan. Saat itu suasana taman lagi-lagi sepi, tidak ada wisatawan lain selain kami. Tidak tampak adanya penjaga yang menarik biaya masuk sehingga kami langsung melaju dengan leluasa.
Gerbang masuk Taman Wisata Bu'at (MUTYA PRAMESWARI)

Taman rekreasi ini dibuat oleh Pemda Kabupaten TTS yang berada dihutan lindung Bu’at. Dimana taman ini dibuat untuk menjadi tempat rekreasi keluarga. Taman ini sangat sejuk karena dikelilingi pohon-pohon yang tinggi dan rindang seperti pohon pinus, mahoni mapun pohon cendana. Masuk ke dalam, kami langsung disuguhi dengan sebuah jalan kecil yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan bunga-bunga, saat itu spot yang pertama kami kunjungi adalah Sapi Perah dan Biogas. Di Taman ini memang terdapat peternakan sapi perah, dimana kotoran sapi akan diolah menjadi biogas yang selanjutnya bisa disalurkan ke rumah-rumah warga. Sewaktu kami kesana, biogas terlihat sudah jadi dan bisa digunakan gan.


Taman Wisata Bu'at (MUTYA PRAMESWARI)


Taman Wisata Bu'at (MUTYA PRAMESWARI)

Selain spot sapi perah dan biogas, di Taman Wisata Buat ini juga ada pembibitan berbagai macam buah seperti strowberry dan jeruk. Sewaktu kami kesana pembibitan terlihat belum terlalu lama dimulai sehingga masih sangat sedikit yang sudah berbuah. Selain buah terdapat juga bibit bunga-bungaan, jagung, pohon cendana, pinus dan lain-lain. Perpaduan berbagai macam tumbuhan ini membuat Taman Wisata Buat terlihat sangat asri dan cantik gan.
Pembibitan Stawberry (MUTYA PRAMESWARI)


Jagung (MUTYA PRAMESWARI)


Pembibitan Jeruk (MUTYA PRAMESWARI)


Stawberry (MUTYA PRAMESWARI)

Di dalam Taman Wisata Buat ini sendiri bisa ditemukan penginapan yang cukup cozy, ane sempat tanya, untuk menginap 1 malem dikenakan tarif mulai dari Rp 150.000,00/rumah.  Cukup fair karena rumahnya cukup luas gan. Selain itu juga terdapat kandang yang dibatasi kawat dengan beberapa monyet di dalamnya. Sewaktu kami memberikan makanan dari luas, monyet-monyet tersebut berebut dan berteriak tanpa henti.
Villa yang bisa disewa di Taman Wisata Bu'at (MUTYA PRAMESWARI)

Dalam perjalanan pulang kembali ke Soe, kami sempat dimampirkan tukang ojek ke sebuah kubangan yang ‘katanya’ ada buaya disitu. Di Pulau Timor ini memang masih cukup sering dijumpai buaya gan, baik di pantai, muara maupun rawa. Tapi saat itu kami tidak menjumpai kenampakan buaya, mungkin lagi berendam kali ya.


Katanya ada buaya disini (MUTYA PRAMESWARI)

Pukul 13.00, akhirnya kami berangkat juga menggunakan bus lokal menuju Kolbano. Jalan dari Soe ke Kolbano ini cukup mulus dan berkelok-kelok tanpa henti, kami lalui selama kurang lebih 2,5 jam dengan tarif Rp 25.000/orang. Saat itu kami diturunkan di Kantor Camat Kolbano, yang jaraknya 100 meter dari  Pantai Batu Kolbano yang terkenal itu. Rencana malam ini kami akan tidur disini, dimana Kak Oliv bekerja disini. Kak Oliv memberi pesan kami harus menemui Kak Yanto saat sampai di Kantor Camat Kolbano. Tapi saat kami sampai suasana begitu sepi, dan setelah mengetok-etok rumah Kak Yanto berdasarkan petunjuk dari Kak Oliv, kami tidak juga mendapatkan jawaban. Pokoknya sepi habis gan, kami hanya ditemani oleh kambing dan sapi yang hilir mudik.
Pemandangan di depan Kantor Camat Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Pemandangan di depan Kantor Camat Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Padang Savana di depan Kantor Camat Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Padang Savana di depan Kantor Camat Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)

Akhirnya ane menelpon Kak Oliv untuk memberitahu kalau Kak Yanto tidak ada di tempat. Oleh Kak Oliv, kami diminta menghubungi Yodi, yang katanya rumahnya di belakang kantor desa. Kami menemukan rumah Yani dengan cukup mudah, dan ternyata Kak Oliv menyuruh Yodi untuk mempersiapkan ruangan di kantor camat untuk kami tidur nanti malam, memberi petunjuk untuk tempat memasak, mencuci piring. Hmmm baik sekali Kak Oliv ini ya. Ane bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik di sepanjang perjalanan ini.

Setelah membereskan barang kami pun segera beranjak ke Pantai Kolbano untuk melihat sunset. Saat itu suasana begitu sepi gan, hanya segelintir manusia saja yang kami lihat, sisanya ternak-ternak warga. Ane sampai membuat lelucon dengan Fredo kalau disini ternak lebih banyak dari manusianya hehehe.

Pantai Kolbano, wuaah, ternyata di sepanjang pesisirnya itu batu semua gan. Batunya berbentuk oval, dengan warna yang bermacam-macam seperti putih, merah dan coklat. Karena keindahan batunya inilah akhrnya sifat keserakahan manusia timbul dengan menambangnya gan. Di sepanjang pesisir ane lihat banyak lubang-lubang bekas tambang. Kata Yodi, memang banyak yang menambang batu di Pantai Kolbano ini karena laku dijual dengan harga cukup tinggi. Kenyataan itu tentulah membuat ane sedih karena jika kegiatan penambangan liar ini terus dilakukan, otomatis lama kelamaan batu di Pantai Kolbano akan habis gan. Dengan habisnya batu disini, otomatis hanya akan tersisa pasir kasar sehingga satu-satunya pesona pantai ini akan hilang. Semoga kedepannya diberikan peraturan yang tegas gan untuk para penambang liar.
Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)
Sore itu kami bermain-main di Pantai cukup lama. Menikmati deburan ombak, terapi batu di telapak kaki kami serta highlight utamanya tentu saja sunset. Tidak ada satupun dari kami yang berani berenang karena Pantai Kolbano ini cukup curam dan dalam gan, dimana jauh ke sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Tentu saja kami tidak mau beresiko dan hanya menikmati suasana pantai yang sangat tenang dan damai.
Sunset di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Sunset di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)


Sunset di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)

Puas menikmati sunset kami segera kembali ke penginapan untuk mandi gan, dan nggak usah ditanya, tentu saja kami harus angkut-angkut air dari sumur. Dengan lokasi yang berada di pinggir pantai, Kecamatan Kolbano memang sering dipusingkan dengan kurangnya ketersediaan air bersih. Kami bekerja sama untuk memenuhi bak mandi kantor kecamatan. Fredo yang menimba, Arin yang mengoper air ke kantor kecamatan, sementara ane yang memasukkan air ke bak mandi.
Sore menjelang malam di Pantai Kolbano (MUTYA PRAMESWARI)

Suasana malam disini, jangan ditanya ya gan. Setiap jam 7 sampai 9, Kecamatan Kolbano akan dikenakan mati lempu bergilir dan bisa ditebak, guelapnya! Tidak ada satupun penerangan disini, sehingga kami bisa melihat gugusan bintang dengan sempurna. Bahkan Fredo mengatakan melihat Galaksi Bima Sakti. Ane justru senang gan, dengan keadaan seperti ini, ane merasa benar-benar menyatu dengan alam. Tanpa mempedulikan apapun, tanpa mengkhawatirkan apapun.

Tanah Timor LELEBO 6 : Air Terjun Oehala

Kabupaten Timor Tengah Selatan, tepatnya Kota Soe, akan jadi tujuan kami selanjutnya. Setelah menikmati savana, nuansa perbatasan negeri dan laut di Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara, kali ini tujuan kami adalah pegunungan. Timor Tengah Selatan merupakan kabupaten yang mempunyai topografi sebagian dataran dan sebagian pegunungan. Dataran yang luas dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian atau sawah. Salah satu komoditas utama pertanian adalah jeruk Soe yang terkenal. Selain itu kabupaten ini terkenal sebagai gudang ternak dan juga kayu cendana yang harum, namun semakin langka. Kebanyakan penduduk disini berprofesi sebagai petani, sisanya PNS.

Merapikan barang-barang, kami pun berpamitan singkat dan berfoto-foto dengan keluarga Mama Tere. Bagi Arin dan Fredo, mungkin ini adalah perjumpaan terakhir mereka dengan keluarga Mama Tere. Tapi bagiku, ini bukan yang terakhir karena setelah trip berakhir ane rencana mau extend seminggu di Atambua. Perjalanan dari Atambua ke Soe kami tempuh selama kurang lebih 6 jam dengan menggunakan bus lokal.

Di Soe, kami diturunkan konjak (bahasa lokal untuk kenek bus) di Hotel Bahagia 1. Tapi setelah nanya tarifnya, mahaal juga ya. Untuk kamar paling murah itu Rp 250.000,00/malam. Tapi memang fasilitas hotelnya bagus si gan, halaman parkir luas, ada warnetnya (1 jam Rp 15.000,00), kamar luas (tidak perlu AC karena Soe sudah cukup dingin). Tapi karena merasa masih terlalu mahal, kami segera mencari informasi penginapan di warnet. Salah satu hotel yang kami telfon adalah Hotel Bahagia II, yang berjarak 500 meter ke arah timur Hotel Bahagia I. Saat itu Arin yang telfon, mendengar kabar kalau di Hotel Bahagia II tarif  1 malamnya bertiga sebesar Rp 75.000,00. Huaaa? Kok murah? Langsung aja kami meluncur kesana dengan berjalan kaki.

Di jalan menuju Hotel Bahagia II ini kami sempat mampir di kantor polisi Kota Soe. Disitu kami sempat mampir sejenak, menanyakan lokasi masjid di Kota Soe. Sebenarnya itu kode si gan, supaya ditawarin nginep di kantor polisi, tapi nggak ada satupun polisi yang mengerti maksud kami. Yaudah deh hahaha. Akhirnya kami memutuskan naik angkot karena jaraknya masih lumayan jauh. Saat di angkot, Kakak Supir menanyakan kepada kami mau menuju kemana, setelah menjawab mau ke Air Terjun Oehala, dia pun menawarkan untuk mengantar dengan tarif Rp 120.000,00/3 orang. Ane dan Arin yang duduk di kursi depan pun langsung menyetujui, karena Air Terjun Oehala memang masih berjarak sekitar 10 km dari Kota Soe.

Fredo yang duduk di belakang nggak tau apa-apa sempat sedikit ngambek karena kami membuat keputusan sendiri hahaha. Dia ngomong, harusnya kita berdiskusi dulu bertiga kalau mau memutuskan sesuatu, dan seharusnya kita menuju Hotel Bahagia II dahulu, siapa tahu disana bisa nyewa motor. Ane dan Arin hanya terdiam, nggak tau harus berbuat apa karena sudah terlanjur deal dengan Kakak Sopir.

Menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 menit dari pusat kota, sampailah kami di Air Terjun Oehala. Di parkiran terlihat beberapa motor dan mobil yang berjajar, hmmm, sepertinya kali ini kami tidak sendiri.

Air terjun Oehala 7 tingkat (GALUH PRATIWI)


Indonesia Timur memang terkenal dengan keindahan alamnya yang sebagian besar belum terjamah oleh tangan manusia. Mata kami langsung terbelalak begitu melihat keindahan Air Terjun Oehala. Kemarahan Fredo langsung menghilang. Limpahan air mengalir dengan begitu derasnya dari ketinggian sana membentuk undak-undakan alami. Meski saat itu sedang musim hujan, tapi tak nampak sedikitpun kekeruhan di airnya. Airnya berwarna kehijauan, bening, debit besar, dingin dan menyegarkan.

Berada di kaki Gunung Mutis, Air Terjun Oehala yang juga sering disebut Air Terjun 7 Tingkat merupakan salah satu tempat terindah dan wajib dikunjungi gan jika ke Pulau Timor. Disebut Air Terjun 7 Tingkat karena air terjun ini mempunyai 7 tingkatan air terjun dengan susunan teratur yang akhirnya bermuara di Samudra Hindia. Lokasinya hanya berjarak sekitar 10 km dari Kota Soe, dan dengan biaya masuk senilai Rp 3000,00 saja.

Screen Shoot Lokasi:
Lokasi Air Terjun Oehala (GALUH PRATIWI)

Cara kesini.
Untuk menuju Air Terjun Oehala ada beberapa alternatif pilihan transportasi:

1.       Naik kendaraan pribadi (mobil/motor) dari Kupang/Soe.
a.      Dari Kupang Arahkan kendaraan anda ke Kota Soe (3 jam) – Menuju Arah Kota Kapan ±10 km (0,5 jam) – Air Terjun Oehala.

2.       Naik bus sambung ojek dari Kupang/Soe.
a.       Dari Kupang: Naik bus tujuan Kupang-Kefamenanu / Kupang-Atambua minta diturunkan di pertigaan yang menuju Kota Kapan (3,5 jam) – Naik ojek sampai ke Air Terjun Oehala (45 menit).

Fasilitas:
-          Parkir
-          Lopo
-          Ruang ganti seadanya
-          Warung jajanan (diatas)
-          Tempat parkir tidak ada penjaga

Must dibawa:
-          Makanan dan minuman hangat
-          Mantol
-          Tikar
-          Pelampung


Air terjun Oehala 7 tingkat (GALUH PRATIWI)

Menurut ane, air terjun ini masih sangat alami dan bersih. Bahkan saat musim kemarau sekalipun, warna airnya tetap hijau kebiruan dengan debit air yang lebih besar. Disini aman untuk berenang karena kedalaman kolam air terjun yang dangkal, tetapi tetap harus waspada karena di beberapa titik cukup dalam gan. Jika membawa anak sebaiknya memakai pelampung.
Hutan alami di sekitar Air terjun Oehala 7 tingkat (MUTYA PRAMESWARI)

Hutan alami di sekitar Air terjun Oehala 7 tingkat (MUTYA PRAMESWARI)

Air terjun Oehala 7 tingkat (MUTYA PRAMESWARI)

Air terjun Oehala 7 tingkat (MUTYA PRAMESWARI)


Selain untuk melepas penat, lokasi sekitar Air Terjun Oehala juga biasa digunakan masyarakat lokal untuk pertemuan karena terdapat beberapa lopo-lopo dengan desiran angin gunung yang sejuk.

Puas bermain air di Air Terjun Oehala, kami naik ojek menuju Hotel Bahagia II, dengan tarif Rp 15.000/orang. Ternyata pas menuju resepsionis hotel dan membaca tarif yang ditulis di kertas, kami kaget karena ternyata kamar termurah itu Rp 150.000,00, itupun buat 2 orang. Ane pun langsung tanya ke Arin,

“Loh, ini paling murah Rp 150.000,00, tadi katamu Rp 75.000,00 Rin?”

Arin yang lagi ngambek (kayaknya lagi badmood) pun njawab,

“Iya udah, aku emang selalu salah. Bla-bla-bla?”

Ane yang awalnya cuma sekedar nanya kebenaran informasi yang didengar Arin langsung merasa nggak enak. Hehehe. Akhirnya ane cuma diem dan kami pun memutuskan menginap disitu. Kami sedikit merayu resepsionis supaya diizinkan bertiga di ruangan itu. Untungnya diizinkan. Malamnya kami makan di warung makan samping penginapan, karena cukup sulit gan mencari warung makan dalam jangkauan jalan kaki di dekat Hotel Bahagia II.

Kota Soe ini secara umum terletak di kaki pegunungan gan, makanya udara terasa seger dan dingin sewaktu malam. Seperti halnya Atambua, di Kota Soe tidak terlalu tampak aktivitas yang cukup berarti di malam hari. Jalanan sepi dan gelap, hanya ada beberapa toko-toko kelontong dan warung makan yang masih buka untuk mencari rejeki. Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, kami memutuskan tidur. Kemarahan Arin sudah lumayan mereda, syukurlah.

Sebenarnya malam itu ane ada janji dengan Kak Oliv, saudara suami Mama Tere yang akan memberi kami tumpangan tempat tidur sewaktu di Kolbano nanti gan. Rencananya memang besok kami akan menuju Kolbano, yang terkenal dengan pantai batunya. Ane tunggu-tunggu sampe molor, nggak ada telfon ataupun sms yang masuk. Akhirnya Kak Oliv memang menghubungi, tapi baru jam 1 malem, dimana kami sudah molor semua, akhirnya kami baru bertemu Kak Oliv keesokan harinya.