2.16.2016

Hutan Kera Nepa 10 September 2015: Dilarang mengambil kera!

Perjalanan saya di Madura berlanjut ke Hutan Kera Nepa. Sebuah hutan di pesisir Laut Jawa yang sarat cerita sejarah.

Beberapa kilometer keluar dari Air Terjun Toroan (pada Jalan Sampang - Ketapang - Banyuates), sementara berkendara santai di atas motor, sudut mata saya melihat ada plang bertuliskan "Hutan Kera Nepa". Menurut beberapa sumber yang saya baca, lokasi Hutan Kera Nepa ini ternyata masih satu kawasan dengan Air Terjun Toroan. Hutan Kera Nepa terletak di Desa Nepa, Kecamatan Banyuates. Saya mengarahkan motor mengikuti petunjuk plang tersebut dan kebingungan karena saya malah mutar-mutar di perkampungan dengan jalan sempit.

Saya pesimis. 

"Masak hutan ada di tengah kampung begini? Tetapi plang-nya benar menunjukkan ke arah sini kok."

Akhirnya setelah bertanya kepada seorang bapak, saya pun sampai di Hutan Kera Nepa. Ternyata Hutan Kera Nepa ini memang terletak di ujung kampung, pada pesisir Laut Jawa Utara. Saat kami datang suasana sangat sepi, tak ada wisatawan sama sekali padahal waktu itu sedang akhir pekan. Kami hanya perlu membayar Rp 3000 untuk biaya parkir motor, setelahnya masuk kesini gratis.

 Dilarang menebang pohon dan mengambil kera (GALUH PRATIWI)

Begitu memasuki gerbang bertuliskan Hutan Kera Nepa, saya sudah disambut oleh puluhan kera yang malu-malu mendekati saya. Mereka cukup jinak dan tidak agresif sama sekali. Tetapi saya tetap berhati-hati. Saya sudah tahu trik-trik kera seperti ini, dan menjaga semua bawang bawaan saya dengan super ekstra hati-hati. Hal yang menurut saya sedikit lucu, pada bagian depan gerbang terpampang larangan untuk "mengambil kera". Saya pikir siapa yang akan mencuri kera disini ya? 

Begitu memasuki hutan lebih jauh, di kiri kanan kami terhampar tumbuhan tropika yang menjulang tinggi dan rapat. Sinar matahari sore menyeruak melalui celah ranting dan dedaunan. Kami berjalan semakin ke dalam dan menikmati udara segar yang berhembus melalui dedaunan. Semakin ke dalam, jumlah monyet yang melirik-lirik kami semakin sedikit. 
Kera-kera jinak di Hutan Kera Nepa (GALUH PRATIWI)

 Bagian dalam Hutan Kera Nepa (GALUH PRATIWI)

Rimbunnya pepohonan di Hutan Kera Nepa (GALUH PRATIWI)

  Bangku-bangku kosong (GALUH PRATIWI)

Kera jinak dan tidak agresif (GALUH PRATIWI)

Fasilitas yang disediakan di dalam Hutan Kera Nepa ini sendiri menurut saya sudah cukup yakni terdapat beberapa bangku panjang dan tempat sampah. Sepenglihatan saya, tempat wisata ini sangat bersih hampir tak ada sampah sedikitpun, hanya guguran dedaunan yang menghampar luas.

Berdasarkan literatur yang saya baca, Hutan Kera Nepa ini ternyata bukan sekedar hutan dengan puluhan kera di dalamnya. Konon, di dalam hutan ini ada dua kelompok kera yang menempati dua bagian dari kawasan hutan yaitu sebelah utara dan selatan. Dua kawasan itu dibatasi oleh sebuah kayu yang dianggap sebagai tugu perbatasan. Mitos yang berkembang, masing-masing kelompok kera tidak akan mau menyeberangi atau melewati tugu tersebut kecuali ada kera yang sakit atau membutuhkan pertolongan untuk melahirkan. Mitos lainnya yang berkembang dari masyarakat sekitar, hutan ini merupakan merupakan tempat berpijaknya manusia pertama kali yang babat alas pulau madura bernama Bindoro Gong (pada abad XII-IX).
"Bindoro Gong merupakan pendatang yang mendirikan kerajaan pertama kali di Madura dan mewariskan kerajaannya kepada putranya bernama Raden Segoro (yang dimakamkan di tengah hutan dengan penanda/ nisan berupa kayu pohon). Karena Raden Segoro tidak mempunyai ahli waris maka sebelum meninggal dia menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya. Karena merasa tidak puas dengan pemimpin yang baru maka kedua kelompok rakyat pun sering bertikai, Raden Praseno bersedih melihat hal ini dan akhirnya beliau membagi wilayah tersebut menjadi dua bagian,
Tapi dasar sifat manusia yang selalu kurang puas dengan apa yang didapatkannya mereka masih sering bertikai antara kelompok satu dengan yang lainya dan pada akhirnya membuat dewata marah dan mengutuk mereka menjadi monyet dan memberi penanda diantara batas wilayah tersebut dengan patok kayu (pohon) dan barang siapa melanggar batas kayu tersebut akan mendapat kutukan bertubi tubi kecuali yang melanggar untuk saling memberi pertolongan dan pengobatan (kera yang sakit dan akan melahirkan)."
Well, sejarah yang sangat menarik dari tempat wisata yang secara tidak sengaja saya temukan dan kunjungi. Saya selalu tertarik dengan tempat sederhana yang menyimpan banyak sejarah, dan Hutan Kera Nepa telah membuktikannya.

Air Terjun Toroan 10 September 2015: Setitik kesegaran di gersangnya Pulau Madura

Air terjun satu-satunya di Pulau Madura!

Gelar itulah yang disematkan pada Air Terjun Toroan yang membuat saya semakin penasaran kesini. Saya ingat, pertama kali mengetahui ada objek wisata bernama Air Terjun Toroan pada 2012 melalui sebuah link di Facebook. Melihat keelokan air terjun tersebut - dimana aliran airnya langsung terjun ke laut lepas - saya tertarik dan berjanji akan mengunjungi Air Terjun ini suatu saat nanti. Janji itu terpenuhi pada 10 September 2015.

Berbekal sepeda motor Suzuki Shogun 2004, uang 200 ribu, 3 buah pear, sebotol air minum dan seorang kawan, saya melarikan diri dari penat dan panasnya Kota Surabaya menuju Pulau Madura - yang sebenarnya malah lebih panas. Kami berangkat pukul 10 pagi dan menempuh perjalanan sekitar 108 km melewati Jalur Pantura Pulau Madura. Rute yang kami lewati yakni Surabaya - Jembatan Suramadu - Kota Bangkalan - Aermata - Klampis -Ketapang - Air Terjun Toroan. 

Rute Surabaya-Toroan

Sebenarnya untuk menuju Air Terjun Toroan ada 3 jalur. Jika dilihat pada gambar diatas, -bisa memilih jalur merah (jalur Pantura), jalur biru (jalur Kamal-Kalianget 1) ataupun jalur abu-abu (jalur Kamal-Kalianget 2). Tapi karena alasan belum pernah lewat Pantura, saya memutuskan akan lewat Pantura. Rute yang benar-benar menggosongkan kulit saya. Madura benar-benar panas! Apalagi kalau kita melakukan perjalanan tengah hari (kayak saya yang kurang kerjaan). 


Perjalanan saya sempat terhenti di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan daerah Ketapang untuk makan siang ayam bakar. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 dan panas semakin menggila. Kami berteduh beberapa saat disini dan mengobrol dengan seorang bapak sebelum melanjutkan kembali perjalanan.

Sampai di Pasar Ketapang kami cukup kebingungan karena tidak ada petunjuk apapun mengenai Air Terjun Toroan (saat itu kami masih belum mengenal teknologi GPS - hahaha). Bertanya kepada beberapa orang (yang menurut saya mereka ramah sehingga saya bertanya-tanya letak galaknya orang Madura dimana), saya diberi petunjuk bahwa setelah pasar ini saya disuruh lurus terus ke arah timur sampai melewati 2 jembatan besar berwarna kuning. Pada jembatan kedua inilah Air Terjun Toroan berada. Kami mengikuti sarannya dan menemukan Air Terjun Toroan dengan cukup mudah.

Air Terjun Toroan ini memang tidak terlihat dari jalan. Ketika sudah sampai di jembatan kuning kedua, kita akan dihadapkan pada suatu turunan tanah yang cukup curam. Bagi yang membawa motor, bisa dititipkan di bawah (dekat pertambangan pasir) dengan biaya Rp 5000/motor. Dari parkir motor, kita cukup berjalan sekitar 200 meter ke arah barat untuk bisa menyaksikan keindahan air terjun ini.


 Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)

  Tonjolan bebatuan gamping di sekitar Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)

 Pohon tumbuh dengan subur di sekitar Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)

                       Aliran Air Terjun Toroan langsung menuju ke laut (GALUH PRATIWI)

Begitu melihat Air Terjun Toroan saya benar-benar kaget! Madura yang begitu gersang dan panas ternyata memiliki objek wisata seindah ini! Meskipun Indonesia masih dilanda musim kemarau, limpahan air dari Sungai Sumber Payung yang membentuk Air Terjun Toroan ini masih cukup banyak. Dengan ketinggian air terjun mencapai 20 meter, limpahan air terdengar bergemericik merdu sebelum bermuara ke Laut Jawa. Tonjolan bebatuan gamping di sekitarnya melengkapi keindahan pemandangan. Pohon-pohon terlihat subur dan bahagia karena limpahan air yang menerus tanpa henti. Saya rasa, inilah surga Pulau Madura. Untuk bermain di sekitar Air Terjun saya rasa cukup aman karena tonjolan bebatuan gamping melindungi dari limpasan ombak Laut Jawa. Hanya jika ingin berenang di kolam pas di bawah air terjun saya sarankan hati-hati karena info yang saya dapat katanya cukup dalam.

Di tengah keindahan Air Terjun Toroan, saya melihat suatu ironi yang cukup menyayat hati. Perempuan dan laki-laki usia paruh baya sibuk bolak-balik mengambil pasir laut dengan keranjang ataupun ember kecil mereka. Disini memang dilakukan penambangan pasir laut tradisional. Para laki-laki bertubuh kekar sibuk mengeruk pasir dengan sekop mereka untuk diletakkan di tempat penampungan sementara, sementara para perempuan dan laki-laki lainnya mengangkutnya keatas. Jangan tanya, jalan yang harus mereka lewati adalah bebatuan gamping yang cukup tajam disana-sini. Semua itu mereka lakukan demi rupiah, demi menghidupi keluarga mereka. Saya mengamati semangat dan kelenturan mereka dalam membawa ember-ember pasir yang ditahan di kepala.


 Melawan ganasnya ombak Laut Jawa untuk mengeruk pasir (GALUH PRATIWI)

Mengangkut pasir dari tempat penampungan ke atas (GALUH PRATIWI)

 Mengangkut pasir dengan ember kecil (GALUH PRATIWI)

Saya masih duduk dan menikmati pemandangan sejenak disini. Sebenarnya ingin sekali menyaksikan sunset, tetapi karena keterbatasan waktu (perjalanan kembali ke Surabaya memakan waktu 3 jam) saya memutuskan segera jalan pulang setelah puas menikmati kesejukan Air Terjun Toroan. Sungguh, traveling selalu mengajarkan saya untuk selalu bersyukur dan menghargai hidup beserta semua elemen yang Tuhan berikan pada kita.
 Saya di Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)