Bromo, salah satu gunung api paling aktif di Jawa Timur
dengan ketinggian 2.329 meter akan menjadi tujuan saya selanjutnya. Dari Air
Terjun Madakaripura, saya memacu motor Supra Fit kesayangan ke arah selatan
menuju Desa Cemoro Lawang. Jalan yang harus kami lalui cukup terjal, berupa
jalanan khas pegunungan yang meliuk-liuk tajam. Dibandingkan dengan jalan ke
Tawangmangu atau Kaliadem, jalan menuju Cemoro Lawang yang merupakan titik
terakhir sebelum Lautan Pasir Tengger lebih curam dan banyak kelokan.
Kami – saya dan Arin – menghabiskan malam di sebuah
penginapan sederhana di Desa Cemoro Lawang bertarif Rp 150.000/malam/kamar.
Desa Cemoro Lawang merupakan titik terakhir yang bisa digunakan para wisatawan
untuk bermalam sebelum menyaksikan sunrise di Puncak Penanjakan keesokan
subuhnya. Di Desa Cemoro Lawang juga inilah para pemburu sunrise bisa
memesan/melakukan booking jeep yang bisa mereka gunakan untuk menjelajah Lautan
Pasir Tengger esok pagi. Bagi kami yang ingin berhemat, cukup dengan sepeda
motor Supra Fit. Saya yakin sepeda motor ini bisa berjalan di Lautan Pasir
Tengger.
Udara sore maupun malam di Cemoro Lawang pada bulan Maret
benar-benar dingin sampai menggigit tulang. Selepas meletakkan barang-barang
dan membersihkan diri, dengan balutan selimut tebal saya sempatkan keluar dan
duduk di balkon tingkat dua untuk menikmati pemandangan. Muka saya langsung
beku begitu duduk di luar, tapi entah kenapa saya tidak ingin masuk. Sembari
menarik nafas dalam-dalam, saya mulai berpikir alangkah hebatnya orang-orang
disini yang bisa menahan dingin seperti ini setiap hari.
Sembari duduk menikmati pemandangan, sayup-sayup saya
mendengar alunan Bahasa Sansekerta yang melantun dengan merdu dari sebuah
pengeras suara nun jauh disana. Saya sempat mengira suara tersebut adalah suara
pengajian dari masjid. Setelah saya telaah sesaat, saya tahu bahasa tersebut
bukan Bahasa Arab yang biasa digunakan saat pengajian atau shalat, melainkan
Bahasa Sansekerta. Segera saya sadar, bahwa di Kawasan Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru
ini berdiam Suku Tengger, salah satu suku yang diyakini merupakan keturunan
langsung dari Kerajaan Majapahit dan memeluk Agama Hindu sebagai kepercayaan
utama mereka. Saya memberi hormat dalam hati, menikmati setiap lantunan Bahasa
Sansekerta yang menyusup sampai ke relung hati.
Malam harinya, kami sempat keluar untuk makan malam dan
mencari bensin untuk persiapan menuju Puncak Penanjakan esok pagi. Saya juga
sempat membeli sarung tangan karena lupa membawa. Kami tidur awal untuk menjaga
stamina karena esok harus bangun subuh-subuh.
Jam 3 pagi, saya sudah terbangun. Setelah membersihkan diri,
saya segera bersiap menggunakan pakaian setebal mungkin untuk berangkat ke
Puncak Penanjakan. Badan saya tak bisa berhenti menggigil karena tusukan udara
dingin yang begitu menggigit. Setelah Dataran Tinggi Dieng, saya rasa di
Kawasan Tengger inilah saya merasakan dingin yang begitu menggigit. Setiap
tarikan nafas membuat bagian ujung hidung saya linu dan mengeras, setiap
bersentuhan dengan air serasa tertusuk ratusan jarum. Namun saya berusaha
mengalahkan semua itu dan menetapkan satu tujuan, Puncak Penanjakan.
Langit masih gelap gulita ketika saya dan Arin memacu motor
menuju Lautan Pasir Kaldera Tengger. Tidak ada yang bisa kami lihat selain
pasir yang tersorot oleh lampu depan motor. Jeep-jeep yang sudah dipesan
(kebanyakan oleh turis mancanegara) terlihat sudah bersiap-siap berangkat.
Awalnya, saya tidak merasa takut. Karena saya yakin, saya bisa jalan beriringan
dengan jeep. Saya yakin, jalan pasir yang biasa dilalui jeep akan menjadi keras
dan bisa dilalui motor saya. Ternyata, saya salah total.
Belum 500 meter kami berjalan, kami sudah tak tau arah! Semuanya
hitam, gelap dan seakan tak berujung. Kami tidak menjumpai jeep seperti yang
kami harapkan. Justru kegelapan tak berujung yang entah kemana. Oh sial, Kami
telah tersesat!
Saya berhenti sesaat dan berdiskusi dengan Arin, apakah ini
benar jalan ke Puncak Penanjakan. Kalau iya, kenapa tidak ada satupun jeep yang
kami jumpai dari tadi. Kenapa lampu jeep yang berwarna kuning pucat malah
terlihat di kejauhan sana? Ketakutan mulai menjalar ke tubuh saya. Kami ini
kemana??
Di tengah ketakutan dan kebingungan, saya mendengar
sayup-sayup suara bapak-bapak yang memanggil kami. Saya semakin takut, jika dia
adalah kriminal, saya sudah pasrah. Saya hanya berharap, niat baik kami kesini
bisa dipahami oleh Lautan Pasir Tengger dengan tidak membiarkan hal buruk
terjadi pada kami.
“Mbak...mbak....mau kemana?”
“Mau ke Puncak Penanjakan, Pak.”
“Wah, kalian salah jalan. Ini jalan ke arah Tumpang (ke arah
Malang). Kalau jalan ke Puncak Penanjakan lewat sana. Mari saya antar.”
Awalnya kami sempat menolak menggunakan pemandu karena akan
menambah beban biaya dan mengurangi sense
of adventure. Tetapi prinsip seperti itu terkadang tidak bisa diaplikasikan
di lapangan, di lautan pasir luas seperti ini, di kegelapan total seperti ini.
Setelah berunding tarif singkat, kami sepakat untuk memberi bapak itu Rp 50.000
untuk mengantarkan kami sampai ke Puncak Penanjakan. Saya tetap berboncengan
dengan Arin, sementara Bapak itu berjalan di depan kami, menunjukkan jalan yang
benar.
Anggapan saya bahwa jalan bekas jeep itu keras dan bisa
dilalui dengan mudah oleh motor ternyata salah juga. Jalur tersebut tetaplah
berupa pasir lunak yang menenggelamkan ban motorku setiap saat. Jeep-jeep
melesat dengan leluasa di samping kami, seperti menertawakan motorku yang
tersengal-sengal melawan gundukan pasir. Saya menertawakan pikiran saya yang
pada awalnya sempat ingin berjalan beriringan dengan jeep untuk menuju Puncak
penanjakan. Jeep yang berjalan setengah jam setelah kami saja melesat
mendahului kami dengan leluasa, bagaimana mau berjalan beriringan? Yang ada
kami disundul jeep, bukan mengiringi jeep.
Gundukan pasir semakin tinggi, kemudian setelahnya turunan
yang cukup tajam. Bisa ditebak, saya dan Arin terjatuh. Untung saja motor tidak
menimpa kami. Bapak pemandu jalan yang tahu segera menyarankan supaya Arin
membonceng dia saja. Saya menyarankan hal serupa, sehingga akhirnya Arin
berboncengan motor dengan pemandu, saya sendirian.
Kebiasaan menjadi pemandu rupanya membuat Bapak itu melaju
dengan leluasa di gundukan pasir Kaldera Tengger. Saya semakin jauh tertinggal
di belakang karena masih jalan dengan motor tersengal-sengal. Kekuatiran saya semakin
menjadi ketika saya mulai kehilangan jejak bapak pemandu dan Arin. Tapi saya
berusaha sabar dan kuat, saya tetap mengegas motor dengan tangan yang sudah
sekaku mayat. Saya sudah tidak bisa merasakan tangan saya lagi. Rasanya begitu
sakit ketika digunakan untuk mengegas motor.
Setengah jam bergumul dengan jalan gundukan pasir, kami
akhirnya menjumpai jalan aspal yang mengarah keatas. Saya lega sekali ketika
menjumpai jalan ini, karena tidak harus berjuang dengan gundukan pasir lagi.
Jalan aspal ini merupakan jalan utama untuk menuju Puncak Penanjakan. Kami
harus melalui sekitar 2 kilometer ke atas untuk sampai ke tempat parkir Puncak
Penanjakan.
Sampai di tempat parkir, kami masih harus jalan kaki sekitar
10 menit untuk sampai ke Puncak Penanjakan. Karena tangan saya yang semakin
kram dan tidak terasa, saya mampir warung kopi untuk menyeruput secangkir
coklat panas dan memanaskan tangan. Tangan saya langsung kesemutan begitu panas
dari anglo menjalar. Ahh, begitu nikmat arti sebuah udara panas disini. Betapa
saya sering mengomel udara terlalu panas ketika sedang di rumah.
Selesai menghangatkan diri, kami melanjutkan perjalanan
keatas. Banyak sekali wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi
Puncak Penanjakan, bahkan menurut pengamatan saya turis mancanegara lebih
mendominasi. Kami sampai diatas pukul 4.00 dan segera mencari tempat terbaik di
antara ratusan orang untuk menyaksikan sunrise.
Menunggu matahari terbit di tengah udara dingin Puncak
Penanjakan sepertinya memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Saya terus menggigil
sembari meremas-remas tangan. Langit masih gelap gulita, dengan lukisan
Perbukitan Tengger yang gagah menjulang. Saya terus menunggu pertunjukan alam
yang sebentar lagi akan tersaji di depan mata saya. Sunrise.
Perlahan demi perlahan, semburat jingga kekuningan mulai
muncul di belakang perbukitan. Semburat ini semakin lama semakin terang dan
membesar, seakan mengungkap keagungan ciptaan Tuhan selembar demi selembar.
Para turis mancanegara maupun lokal mulai sibuk mengarahkan kamera
masing-masing. Semua yang hadir seakan tidak mau terlewatkan momen sedikitpun
saat sang raja tata surya mulai naik ke peraduan.
Dipadu dengan semburan angin dingin pegunungan, perlahan demi
perlahan matahari mulai terlihat. Sinar yang
dipancarkan sangat indah, mengusir semua kegelapan dan kekosongan yang ada di
depannya. Semuanya takjub, kagum dan tak bisa melepas mata. Ini sangat indah!