1.19.2016

Air Terjun Madakaripura 24 Maret 2014: Persinggahan Terakhir Patih Gadjah Mada

Air terjun tertinggi di Jawa. Itulah gelar yang disematkan pada Air Terjun Madakaripura yang berlokasi di Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Dengan ketinggiannya yang mencapai 200 meter, Madakaripura hanya kalah tinggi dari Air Terjun Sigura-gura yang berada di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 250 meter.

Perjalanan saya kesini sebenarnya berawal dari ketidaksengajaan. Pada awalnya saya sedang memegang tugas hidup yang sangat penting di Pasuruan (mengambil data skripsi-red). Kebetulan ada teman dari Jogja (Arin) yang berencana akan menemani saya mengambil data skripsi, kemudian kami berencana akan mengunjungi Gunung Bromo setelahnya. Perjalanan dari Pasuruan ke Gunung Bromo mengantarkan kami mampir sejenak ke Air Terjun Madakaripura. Air Terjun Madakaripura ini sendiri sudah berada pada kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Kami sampai di Air Terjun Madakaripura pukul sepuluh, kemudian membayar Rp 3000 untuk tiket masuk dan menitipkan tas besar serta helm di warung setempat. Sewaktu mengisi perut untuk persiapan treking menuju Air Terjun utama, kami sempat didesak oleh para guide lokal yang terus memaksa untuk menggunakan jasa mereka. Aku dan Arin menolak tegas karena kami rasa kami bisa melalui jalur treking via sungai tersebut. Sebenarnya pemerintah Kabupaten Probolinggo sudah cukup berbaik hati dengan menyediakan jalur untuk jalan kaki dari tempat parkir ke air terjun utama, tetapi karena berbagai hal, jalan tersebut banyak yang runtuh sehingga pada beberapa titik kita harus berjalan lewat sungai yang (cukup) deras di bagian bawah (info tahun 2014).

Arca Patih Gajah Mada

Oya, ketika kita sampai di tempat parkir air terjun, kita akan menjumpai arca Patih Gajah Mada yang sedang bersemedi. Menurut penduduk setempat yang diambil dari cerita zaman dahulu, kata Madakaripura mempunyai makna 'tempat terakhir'. Konon, Patih Gajah Mada menghabiskan akhir hayatnya dengan bersemedi di goa dekat air terjun utama.

Kami memulai perjalanan treking ke Air Terjun Madakaripura. Karena jalan dekat tempat parkir rusak, sejak awal treking kami harus melewati aliran hilir sungai yang cukup deras dengan bebatuan andesit besar sampai sangat terhampar tak karuan. Baru beberapa langkah kaki ini berjalan di air sungai yang dingin, kami terperosok dan aku menyarankan Arin supaya kita menggunakan pemandu saja. Arin awalnya menolak. Tapi aku tidak mau mengambil resiko, jalan terlalu berbahaya dan licin.


Rute treking ke Air Terjun Utama

Terkadang harus berjalan di sungai dengan air yang sedingin es

Memakai pemandu membuat suasana treking menjadi lebih aman. Sungai ini dipeluk oleh punggung-punggung bukit yang begitu tingginya. Hujan yang masih mengguyur sebagian besar Probolinggo telah menyebabkan tanaman tumbuh menghijau dengan begitu rimbun. Air sungai bergemericik, berusaha meloloskan diri melalui celah-celah bebatuan yang mungkin telah melalui perjalanan jauh dari gunung sana. Burung-burung berkicau bahagia. Memang udara segar, air bersih melimpah, serta makanan yang melimpah ruah menjadikan kawasan ini tempat tinggal yang sempurna untuk makhluk hidup.

Kami meneruskan perjalanan menuju air terjun utama. Beberapa kali kami harus berjalan menyeberang sungai karena jalan treking ambruk. Kemungkinan diserang banjir karena konstruksinya tidak terlalu kuat. Beberapa kali aku maupun Arin hampir terjatuh, tetapi pemandu kami dengan sigap segera menangkap. Memang untuk penyusur sungai pemula seperti aku, medan ini masih terlalu berat. Setidaknya kami harus berjalan 1 kilometer untuk bisa melihat kenampakan air terjun utama yang merupakan tertinggi di Jawa.

Limpahan air berbentuk tirai alami

Setengah jam berjalan, pakaianku sudah setengah basah. Padahal besok aku masih harus menggunakan celana ini untuk menangkas dinginnya Gunung Bromo esok pagi. Kekuatiran itu langsung sirna begitu aku menyaksikan pemandangan yang begitu indah tak biasa. Di depanku terhampar sebuah ceruk yang dikelilingi tebing menjulang tinggi dan meneteskan air sejajar membentuk tirai tembus pandang. Tebing tersebut dibungkus oleh tanaman hijau yang begitu tebal dan menyegarkan. Ketinggiannya tidak main-main, sekali alam mengamuk dan melongsorkan masa batuannya, kami tak tau lagi kepada siapa lagi harus berlindung. Hanya Tuhanlah yang senantiasa menjaga semua yang mengunjungi Air Terjun Madakaripura hari itu.

Jalan sempit nan licin sebelum mencapai lokasi utama (sebelah kanan)

Kami berjalan lebih jauh lagi untuk mencari keberadaan sang air terjun utama. Kami dihadapkan pada sebuah tebing licin, basah dan sempit yang harus sedikit didaki untuk mendekat ke air terjun utama. Pemandu menyarankan untuk ekstra berhati-hati disini, karena kalau terpeleset akibatnya bisa fatal. Kami merangkak dengan hati-hati dan akhirnya sampai di bawah air terjun utama.

VOILA!! Akhirnya aku benar-benar mengunjungi air terjun tertinggi di Jawa, tertinggi kedua di Indonesia!!!

Bukan perjuangan mudah untuk treking kesini, dan aku berhasil melaluinya. Aku begitu takjub dengan ciptaan Tuhan didepanku. Air jatuh dengan begitu derasnya dari hulu sungai di atas sana. Begitu tingginya sampai aku harus mendongakkan kepalaku sampai ujung pangkal leher. Air terjun tersebut berada pada sebuah ruangan alam berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 25 meter. Desiran air dan angin terus menerpa tubuhku tanpa ampun. Dengan ketinggian seperti itu, memang wajar gaya gravitasi akan menyebabkan kecepatan yang luar biasa pada saat air jatuh. Badanku sudah basah kuyup, tapi aku tak peduli dan terus menikmati keindahan alam ini.


Air Terjun Madakaripura

Di balik air terjun utama, terdapat sebuah goa yang merupakan tempat Patih Gajah Mada bersemedi sebelum akhir hayatnya. Goa tersebut sangat sulit untuk dicapai karena untuk kesana kita harus melewati kolam air tempat jatuhnya air dengan kedalaman 7 meter dan arus air yang sangat deras. Menurut cerita dari pemanduku, pernah ada kasus orang tewas di kolam itu karena dikira kedalamannya dangkal. Kami cukup berhati-hati untuk tidak terlalu mendekat dengan kolam tersebut.

Perjalanan treking kembali, mengajarkanku tentang satu hal. Bahwa manusia terlihat begitu kecil di hadapan Sang Pencipta. Alam ini begitu baik mengizinkan kita untuk melihat keelokannya, haruslah rasa syukur dan rendah hati senantiasa terus berkembang di ketulusan hati yang paling dalam.

Manusia begitu kecil dibandingkan ciptaan Tuhan.

[PART 11] Tinta Hindustan: Ganga Aarti

Udara di Varanasi bulan Agustus benar-benar panas. Panas yang menyiksa, demikianlah bisa aku gambarkan. Kami mendapatkan penginapan tua yang sangat panas dan lembab. Sebuah kipas tua mendenging tanpa henti, semakin menambah lembab serta panas kamar kami karena menguapkan air untuk mendinginkan kamar. Setelah mandi yang kurang menyegarkan, kami bersiap menuju Ghat Dassaswameth untuk menyaksikan Ganga Aarti.

Berdasar cerita yang aku dapat dari supir Auto Rickshaw, banyak orang-orang India dari seluruh penjuru negeri yang memang khusus datang ke Varanasi untuk melakukan ritual keagamaan. Bahkan menurut statistik yang ada, ada sekitar 60 ribu orang yang datang ke Varanasi baik dari penjuru India maupun dunia setiap tahunnya.

Pengunjung Ghat Dassaswameth

Ritualnya ada beberapa macam.  Pertama, mereka akan mandi suci di Sungai Gangga dulu kemudian setelahnya akan melakukan puja kepada Dewa Shiva (di Shiva Temple yang ada di dalam kompleks Banares Hindu University), Dewa Hanoman (di Monkey Temple), dan tempat pemujaan lainnya. Bukan hanya melakukan ritual keagamaan, bahkan mereka yang sudah tua (dan merasa sudah akan mati) akan pindah ke Varanasi supaya bisa mati disana dan abunya dibuang ke Sungai Gangga. Pada pagi hari, akan semakin banyak orang-orang yang mandi dan melakukan ritual doa disini. Ritual mandinya adalah mereka akan mencelup-celupkan tubuhnya beberapa kali sampai kepala terendam. Beberapa orang memotong rambutnya kemudian potonnya dibuang ke Sungai gangga. Hal itu dipercaya akan membawa keberuntungan dan umur panjang.

Sampah di Sungai Gangga tidak jauh dari Ghat Dassaswameth

Satu hal yang membuatku cukup menelan ludah adalah tingkat polusi berupa sampah, bahan kimia serta jasad yang membusuk pada Sungai Gangga. Menurut riset yang saya baca, dalam 100 mililiter air dari Sungai Gangga terkandung bakteri sebanyak 1,5 juta. Padahal air bersih yang kita biasa gunakan untuk mandi normalnya mengandung 500 bakteri dalam 100 mililiter air. Bisa kita bayangkan, sungguh luar biasa kotornya, tetapi bagaimanapun, Sungai Gangga tetap menjadi salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat Varanasi dan akan selalu disucikan oleh pemeluk agama Hindu.

Seorang nenek dengan penjual diya

Drama keagamaan dan kehidupan terjadi bersamaan pada ghat-ghat Sungai Gangga. Di satu ghat kita bisa melihat orang-orang yang melakukan ritual keagamaan, sementara pada sisi ghat yang lain ada orang yang mencuci pakaian, gosok gigi, maupun membuang limbah. Tetapi mereka yang mandi disana seakan tidak memperdulikan semua itu dan hanya fokus kepada hubungan mereka dengan Tuhan. Itulah yang aku kagumi! Orang India sangat religius. Tidak ada yang membatasi hubungan mereka dengan Tuhan.

Begitu besarnya arti Sungai Gangga bagi pemeluk agama Hindu India sehingga mereka melakukan upacara pemujaan Ganga Aarti yang dilaksanakan di tepi Ghat Dassaswameth. Ganga Aarti dilaksanakan ketika hari mulai petang di tiga kota tersuci India yakni Haridwar, Rishikesh dan Varanasi. Ganga Aarti merupakan ritual keagamaan yang menggunakan api sebagai persembahan kepada Dewi Gangga (Dewi sungai tersuci di India). Persembahan tersebut berbentuk lampu berbentuk seperti pohon natal dengan api kecil pada ceruk-ceruknya. Ritual ini dilengkapi dengan diya, berupa bunga dengan lilin yang dilepaskan ke Sungai Gangga. Dengan melepas bunga dengan lilin ini, dipercaya keinginan kita akan dikabulkan.

Pukul setengah 7 malam, setelah sebelumnya membeli diya, saya sudah duduk di sebuah boat yang terikat di pinggir Sungai Gangga untuk menyaksikan Ganga Aarti. Semakin jarum jam berputar, semakin banyak orang-orang yang berdatangan ke Ghat Dassaswameth. Boat-boat dan pinggiran Ghat Dassaswameth dipenuhi oleh ratusan orang-orang yang seakan begitu saja datang entah dari penjuru mana. Tidak ada batasan usia. Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, nenek, kakek, turis semuanya tumpah ruah disini dengan satu tujuan. Bagi mereka yang benar-benar ingin beribadah, mereka ingin memuja Dewi Gangga. Bagi turis, kami hanya ingin melihat bagaimana tradisi orang Hindu India dalam memuja Dewi Gangga. Aku sempat berbincang dengan seorang ibu muda yang datang dari Kolkata khusus untuk melakukan ritual keagamaan disini. 

Tumpah riuh penonton Ganga Aarti

Ganga Aarti dimulai pukul tujuh malam, dengan empat pendeta Hindu yang berbaris sejajar sembari membawakan lagu pujian untuk Dewi Gangga. Suasana religius menggantung di udara ketika mereka mulai membunyikan lonceng keempat arah penjuru bumi dengan searah jarum jam (utara, timur, selatan, barat). Setelahnya lonceng tetap dibawa, kemudian dengan tangan satunya mereka mengangkat cawan kecil berasap, dilanjutkan cawan besar berasap, lampu api, sesuatu berbentuk seperti kipas, dan lain-lain. Semuanya terdiam dan takjub, larut pada suasana keintiman dengan Dewi penguasa Sungai.
“Krincing…krincing…krincing...krincing”

Suara alunan lonceng terus membelah kesunyian Sungai Gangga. Pujian pemujaan terus dikumandangkan dalam Bahasa Hindi. Orang-orang yang mempunyai tujuan beribadah mulai menakupkan telapak tangan mereka. Kata-kata doa senantiasa keluar dari bibir mereka, dengan pandangan fokus pada empat pendeta Hindu yang terus melantunkan lagu pemujaan.
Pendeta Hindu melakukan pemujaan kepada Dewi Gangga

Ganga Aarti berlangsung selama satu jam, dan pada akhir pemujaan, empat pendeta Hindu tersebut meneriakkan kata-kata, "Yaaa!!!! Yaaaa!!!!", yang kemudian diikuti oleh semua umat Hindu maupun turis yang menonton. Semuanya bergembira dan senang. Sesaat kemudian, ritual selesai ditandai dengan para umat menagkup api dengan tangan pada diya masing-masing dan mengangkat telapak tangan mereka setinggi dahi untuk mendapatkan pemurnian dan berkah dari Dewi Gangga.
Seorang wanita India dengan diya

Lantunan doa tak hentinya diucapkan sembari mengangkat diya

Selesai upacara orang-orang mulai beranjak meninggalkan Ghat Dassaswameth. Wajah setiap orang terlihat bahagia, lepas dari dosa dan diberkahi. Aku dan kedua travelmate tetap berada di tempat sejenak untuk menikmati suasana Sungai Gangga pada malam hari. Saat memandang Sungai Gangga dari boat, aku bergidik ngeri. Begitu suci, luas dan terhormatnya sungai ini. Di kejauhan aku hanya bisa melihat sungai yang nyaris tanpa batas. Gelap, gelap dan gelap. Aku bahkan tidak tahu sudah berapa mayat yang ada di dasar sungai ini sekarang. Semua itu membuatku merasa kecil dibandingkan semua kuasa Tuhan yang menciptakan semua ini.

Boat Sungai Gangga

1.18.2016

[PART 10] Tinta Hindustan: Pembakaran Mayat

Tubuh-tubuh kaku berbungkus kain cerah itu dibakar menggunakan setangkup kayu bakar yang ditaburi minyak tanah. Satu hal yang cukup aneh: Tidak ada yang menangis!!

Selama hidup, belum pernah aku melihat mayat dibakar di depan mataku secara langsung. Sebagai keturunan China, aku memang pernah datang ke acara pemakaman nenekku di Tiongting yang ending-nya jasad dibakar kemudian abunya dibuang ke laut. Tapi itu semua dilakukan di dalam peti, di sebuah ruang pembakaran tertutup. Tidak di depan mata kepalaku, tanpa peti, tanpa ruang pembakaran, seperti yang aku saksikan di India tepatnya di Kota Varanasi.

Tuiit, tuiit, krepyar....Varanasi Junction..Varanasi Junction...

Tukang Rickshaw

Suara khas kereta api India membangunkanku dari perjalanan 12 jam Agra-Varanasi. Hmmmm....Varanasi, akhirnya sampai juga aku di kota ini. Salah satu kota tersuci bagi Umat Hindu India karena keberadaan Sungai Gangga.Turun dari kereta kami sudah disambut dengan panas matahari yang begitu menyengat serta deru klakson yang seakan tanpa henti. Setiap mesin yang bergerak seakan selalu tidak sabar dan menekan klakson tanpa henti. Tapi bagi kami yang sudah 8 hari menjelajah India, mendengar deru klakson bersahut-sahutan itu sudah menjadi suatu kebiasaan dan kemakluman.

Menumpang autorickshaw, kami pun diantarkan ke penginapan yang sudah kami booking sebelumnya via penjaga hotel di Agra. Aku sendiri lupa apa nama penginapan itu, yang jelas tidak di sepanjang lorong ghat Sungai gangga. Sial-lah kami karena kehabisan kamar AC, sehingga harus ditempatkan di kamar non AC yang super panas. Saat itu masih musim hujan di India dengan tingkat penguapan Sungai gangga yang tinggi sehingga udara menjadi begitu panas dan lembab. Hanya dengan diam, keringat sudah membanjiri tubuhku.

Selesai meletakkan beban tas, kami segera meluncur ke jalanan Varanasi untuk berpetualang di ghat-ghat yang banyak tersebar di pinggir sungai. Sebagai kota tersuci di India dengan enam puluh ribu manusia yang berdatangan dari seluruh India maupun dunia pertahun, masyarakat lokal telah sadar akan potensi itu dengan membuka usaha penjualan kain sutra baik yang berkualitas pasar loak maupun modern. Hanya dengan berjalan disini, kita seakan ditarik ke zaman beberapa puluh tahun silam. Sungguh klasik.


Sekelompok wanita India

Setelah Delhi, aku rasa di Varanasi inilah aku benar-benar merasakan tumpukan manusia yang luar biasa. Inilah bukti bahwa India merupakan salah satu negara terbesar dengan penduduk lebih dari satu miliar. Seakan tak ada sudut yang tak ada manusia disitu. Toko kain bertebaran di kanan kiri jalan, bangunan usang bertingkat dengan kabel listrik bertebaran, sapi-sapi duduk di tengah jalan, penjual tabung gas, cycle rickshaw, seakan sudah menjadi pemandangan yang terlalu biasa.

Sebenarnya ada banyak ghat di sepanjang Sungai Gangga, tetapi dengan dorongan kaki yang melangkah tanpa tujuan kami akhirnya terdampar di Ghat Dassaswameth. Saat itu aku kecewa karena Sungai gangga sedang banjir sehingga kami tidak bisa jalan-jalan di sepanjang tangga ghat dengan leluasa karena tingginya air. Jika air Sungai Gangga tidak sedang tinggi, sebenarnya kami bisa jalan-jalan dari satu ghat ke ghat yang lain.
Ghat Dassaswameth

Mandi suci

Kematian di Sungai Gangga adalah suci
Tapi itu semua tidak menghilangkan kesempatan kami untuk tetap menyaksikan ritual mandi masyarakat Hindu Varanasi mandi di Sungai Gangga karena meskipun sungai sedang banjir dan air berwarna coklat keruh, mereka tetap menjalankan ritual mandi dengan kusyuk. Ritual mandinya sendiri cukup unik, mereka akan mencelup-celupkan tubuh mereka beberapa kali (sampai kepala tenggelam). Beberapa brahmana junior mengambil air sungai gangga di tempat penampungan semacam cerek. Saat sedang duduk itulah aku dapat info kalau jam 7 malam di Ghat Dassaswameth ini akan diadakan suatu ritual pemujaan Sungai Gangga yang dinamakan Ganga Aarti, tentu saja tidak akan kami lewatkan. Konon katanya kami bisa melihat Ganga Aarti diatas boat yang terjajar rapi di pinggir Sungai Gangga dengan membayar 50 Rupee.
Menunggu Ganga Aarti dimulai, kami mulai menjelajah bagian lain dari Kota Varanasi. Kami berjalan melewati lorong-lorong di sepanjang pinggir ghat yang terlihat sangat jorok dan kotor. Manusia dengan peluh meleleh berlalu lalang tiada habis. Pandangan mereka seakan tak bisa lepas dari kami yang terlihat asing bagi mereka. Bahkan kami sempat melihat seorang laki-laki yang mencelupkan tubuhnya begitu saja ke lorong got untuk membersihkan kotoran. Tubuhnya terlihat dipenuhi kotoran kehitaman, dengan beberapa orang membantu mengangkat kotorannya dari atas. Sungguh pemandangan yang membuat kami bergidik dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi inilah salah satu bagian dari pengalaman kami di India yang tak akan terlupakan.


Cycle Rickshaw

Penjual perlengkapan puja

Sadhu

Sapi di tengah jalan

Membeli perlengkapan puja

Perlengkapan puja
Berputar kesana-kemari di sepanjang lorong, akhirnya kami menemukan Viswanath Temple. Aku ingin mengunjungi tempat ini setelah membaca pengalaman Rini Raharjanti yang merekomendasikan tempat ini. Sebelum masuk kami diperiksa oleh penjaga wanita yang meminta menunjukkan paspor kami. Karena temanku keberatan untuk menunjukkan paspor yang sudah tersimpan rapi di tas pinggang, dia menolak untuk masuk dan menyuruhku masuk sendirian ke dalam. Karena tidak ingin berjalan sendirian dengan resiko tersesat, aku terpaksa mengurungkan niat dan mengikuti temanku untuk menjauhi keriuhan lorong di sepanjang tepi Sungai Gangga ini.
Ghat Manikarnika. Disinilah tempat tujuan kami selanjutnya. Ghat utama di Sungai Gangga yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Kami ingin melihat, bagaimana tradisi orang Hindu India dalam membakar mayat. Kami segera naik cycle rickshaw seharga 50 Rupee untuk menuju Ghat Manikarnika.
Supir cycle rickshaw kami seorang bapak tua yang kelihatan sudah kewalahan mengayuh sepeda untuk mengangkut kami berdua. Dengan kesadaran, saya bertanya apakah kami terlalu berat untuk badan kurus tuanya. Dia menjawab ‘tidak’ dan kembali mengayuh sepeda dengan semangat di tengah riuhnya lalu lalang manusia di Varanasi. Sungguh belum pernah aku melihat orang sebegitu banyak di depanku. Bapak tua mengantarkan kami dengan sukses ke Ghat Manikarnika. Dia sempat berdebat dengan supir cycle rickshaw satunya yang membawa travelmate saya yang lain, karena kami memberinya 100 Rupee, sementara teman kami memberinya 50 Rupee.
Di Sungai Gangga, setiap jasad dibakar di Manikarnika Ghat, atau tempat pembakaran utama. Ghat ini beroperasi selama 24 jam untuk membakar sebanyak 150 sampai 240 jenazah setiap hari. Tidak semua jasad di India dibakar. Ada beberapa pengecualian, yakni jasad holy man, wanita hamil, anak-anak, orang yang menderita cacar air, dan orang yang dipatuk ular kobra.
Jika mereka meninggal dunia, jasad mereka akan dibungkus dengan kain kafan kemudian diikatkan ke batu besar. Jasad bersama batu tadi lalu ditenggelamkan di tengah Sungai Gangga. Tak jarang ditemukan mayat mengambang di Sungai Gangga. Menurut orang di sana, kemungkinan ikatan batu pada mayat di dasar sungai longgar atau bahkan mayat itu terlepas dari batu sehingga mengapung di permukaan sungai.
Saat kami datang, terlihat sedang dilakukan ritual pembakaran mayat. Disini dilarang memotret sehingga kami bisa dengan leluasa menikmati upacara pembakaran tanpa harus pusing memikirkan foto. Suasana di Ghat Manikarnika terlihat begitu padat, mungkin keluarga dari mendiang jenazah. Saat sedang melihat upacara dari halaman sebuah rumah, aku mendengar suara-suara seperti nyanyian dalam Bahasa Hindi. Ternyata ada jenazah baru lagi yang akan dibakar. Karena kedua travelmate saya Chinese dan menurut adat mereka tidak boleh melihat pembakaran mayat secara langsung, mereka memilih menghindar dan melihat dari bawah. Aku? Oh tentulah aku penasaran, bagaimana bisa mereka membakar mayat di depan mata kepala mereka sendiri. Aku tetap di tempat dan menanti suara-suara yang semakin keras tersebut.
Sesaat kemudian, muncullah rombongan laki-laki yang mengusung keranda sederhana dengan sebujur tubuh kaku berbungkus kain cerah. Salah satu hal janggal yang aku herankan, tidak ada satupun orang yang menangis di belakang rombongan laki-laki tersebut. ‘ Apa mereka tidak sedih ada keluarga mereka yang meninggal?’ batinku. Apa bagi mereka drama kematian merupakan hal yang sangat biasa? Renunganku terus memaksa mendapatkan jawaban, sementara jenazah itu mulai dinaikkan ke Ghat Manikarnika untuk memulai proses pembakaran.
Penjual gorengan di Ghat Manikarnika

Drama kehidupan dan kematian memang terus terjadi di Ghat Manikarnika tanpa saling mempedulikan satu sama lain. Di sisi lain ada mayat sedang dibakar di Ghat, pada bagian bawah Ghat tidak jauh dari pembakaran terdapat penjaja gorengan yang dengan asyiknya menggoreng makanan tanpa mempedulikan desisan daging manusia yang terbakar di sampingnya. Bau bakaran daging manusia yang menyengat itu seakan sudah jadi santapan sehari-harinya. Satu hal yang kupelajari disini, bagi mereka kehidupan adalah perjuangan. Tak ada yang bisa menyamakan proses kehidupan dan kematian disini, semuanya berjalan menurut takdir yang mereka punya saat itu.


Sungai Gangga

[PART 9] Tinta Hindustan: Mahtab Bagh

Taj Mahal berwarna keemasan.

Perjalanan kami berlanjut ke The Moon Garden (Taman Bulan). Sebuah taman indah, yang dibangun segaris dengan Taj Mahal dengan pemisah keduanya berupa Sungai Yamuna. Disini kami akan melihat dan mengabadikan sunset yang akan memantulkan sinar keemasannya pada dinding marmer Taj Mahal. Tentu saja pemandangan langka yang hanya bisa disaksikan dalam momen sesaat sewaktu matahari tenggelam. Tarif masuknya cukup masuk akal, 100 Rupee.

Jalan masuk Taman Bulan berupa jalan tanah setapak dengan tanaman hijau berbaris rapi di kanan kirinya. Hujan yang baru saja mengguyur Kota Agra membuat udara sangat segar dan bersih. Kaki lelah kami terus masuk untuk menyingkap tabir hubungan antara Taman Bulan dan Taj Mahal.

Mahtab Bagh dibangun sedemikian rupa dengan posisi segaris dan simetri dengan Taj Mahal, dan tidak diragukan lagi bahwa taman ini dibangun dan direncakan sebagai bagian tak terpisahkan dari desain awal Taj Mahal, selama periode 1631-1635 A.D. Sepertinya taman ini mendapatkan nama ‘Mahtab Bagh’ (The Moon Garden) karena merupakan tempat ideal untuk melihat Taj Mahal pada malam bulan purnama.
Keanggunan Taj Mahal

Taman Bulan disebut juga Mahtab-Bagh dibangun pada 1631-1635 A.D. Babur (penguasa Kerajaan Mughal 1520-1530 A.D) datang ke Agra segera setelah pertempuran Panipat (20 April 1526). Di Agra, beliau merasa sangat disiksa oleh panas, angin panas dan debu. Babur juga mengeluh, dalam laporannya, tentang kurangnya ketersediaan air mengalir (melalui kanal dan air terjun) dan taman dimana Babur biasa melihat dan melihat taman yang banyak di Samarqand, seperti Bach-I-Dilkusha, Bagh-I-Chenar dan Bagh-I-Bihisht. 

Babur juga merupakan penemu beberapa taman di Kabul seperti Bagh-I-Vafa, Bagh-I-Kalan, Bagh-I-Banafsha, Bagh-I-Padshani dan Bagh-I-Chenar. Pada saat itu memang terdapat tradisi bahwa Babur akan membuat taman pada sisi kiri (timur) pinggir Sungai Yamuna di Agra, seperti contohnya Bagh-I-Gul Afshan (taman yang dikelilingi bunga-bunga) (sekarang Ram-Bagh); Bagh-I-Zar-Afshan (Taman yang dikelilingi emas) (sekarang Chauburj); dan Bagh-I-Hasht Bihisht (taman terdiri delapan surga).

Seperti yang terekam di ingatan Babur, beliau mencatat bahwa kaum bangsawannya juga mendirikan taman disini, begitu banyak sehingga “Kaum miskin yang tidak pernah melihat suatu tanah yang terencana dengan begitu simetri dan kemudian diletakkan sesuatu indah diatasnya, pada sisi Jun (Sungai Yamuna) seperti kediaman kita sebelumnya, Kabul. Dalam catatannya dikatakan bahwa Bagh-I-Hasht Bihisht yang dibangun di depan Agra Fort. Kemungkinan besar, pada atau dekat dengan tempat ini,  sehingga memudahkan Babur untuk menyeberangi sungai dan mencapai tempat ini dengan cepat dan sering. Kerajaan Mughal tentu saja menduduki daerah ini, dan untuk memenuhi kebutuhan religius mereka, Humayun (berkuasa 1530-1540,1555) membangun sebuah masjid besar di lokasi ini. 

Masjid ini sanggup bertahan dan mengandung prasasti tertanggal A.H. 937/1530 A.D. Berdasarkan pengamatan astronominya, sekarang ini di reruntuhan dan dikatahui sebagai ‘Gyarah Siddi’ juga terletak di sekitar area ini. Area ini mempunyai bekas-bekas reruntuhan Taman Mughal. Selanjutnya, Akbar (1556-1605) rupanya memberikan tempat ini, pada kedua sisi sungai, di Jagir, kepada Raja Man Singh Kachhwaha dari Amer, sehingga desa di sekitarnya diketahui bernama ‘Kachhpura’.

Shah Jahan (1628-1658), cucu dari akbar, mendapatkan tempat ini (pada kedua tepi sungai) untuk membangun sebuah makam menakjubkan untuk mengenang kematian istrinya Mumtaz Mahal, dari cucu Man Singh, Mirza Raja Jai Singh, sebagai pengganti dari 4 haveli, sebagaimana tertuang di catatan. Mausoleum raksasa, Viz, Taj Mahal, dengan tambahan beberapa bangunan seperti chowk (halaman yang mengelilingi dinding), dalans, gerbang masuk dan taman luas di depan, dengan ketinggian 3 level mundur, pada bagian kanan tepui sungai, terdapat makam utama yang menakjubkan dibangun dari marmer putih, berdiri dengan luasnya di tepi sungai. Shah Jahan juga membangun taman luas ini,Viz. Mahtab-Bagh sesuai tradisi dibangun oleh Babur, pada bagian kiri (timur) dari sungai, menghadap Taj Mahal, hanya untuk memberi latar belakang yang indah untuk makam utama.

Pada bagian dalam taman yang menghadap Sungai Yamuna dan Taj Mahal, terdapat reruntuhan sisa-sisa bangunan yang sepertinya merupakan "sisa-sisa bangunan agung masa lalu". Sisa bangunan dari batu bata dan batupasir merah tersebut berdiri teronggok rendah, seakan melupakan sejarah keemasannya masa lalu. Turis mancanegara maupun orang lokal memanfaatkan sisa bangunan itu untuk duduk menunggu matahari terbenam.

Taj Mahal terlihat masih ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Tidak diragukan lagi, Shah Jahan memang sukses menjadikan Taj Mahal sebagai perhatian dunia. Turis mancanegara berbondong-bondong datang ke India untuk melihat makamnya dan istrinya. Suatu penghormatan dan pengakuan yang memang Shah Jahan ingin dapatkan. Ia tidak mau, seorangpun melupakan besar cintanya kepada Shah Jahan.

Semburat jingga matahari di kejauhan

Perlahan demi perlahan, matahari mulai meringkuk ke peraduannya. Para turis mancanegara maupun turis lokal mulai sibuk mengarahkan kamera untuk memotret "pemandangan emas" yang sudah ditunggu sedari tadi. Setiap orang sibuk mencari posisi terbaik untuk berfoto bersama "Taj Mahal emas" yang hanya datang dalam satu kilasan momen. Semuanya kagum, takjub, melihat keterampilan yang begitu luar biasa dari para pengrajin Persia zaman dahulu untuk membangun Taj Mahal.

Kami mencari posisi yang lebih strategis dan sepi di pojok bagian timur Taman Bulan. Dari sana, kami bisa mengabadikan Taj Mahal dari sisi samping dengan latar Sungai Yamuna. Di seberang sungai, kami bisa melihat sekelompok orang lokal yang menjalankan upacara di pinggir sungai. Mereka terlihat berdiri berjajar sembari meneriakkan kata-kata dalam Bahasa Hindi. Paduan suara doa, mantra serta pemandangan magis Taj Mahal seakan menarik kami pada suasana yang benar-benar khidmat.

1.17.2016

JAKARTA 1 April 2015: First chaotic day in South Jakarta

GEOLOGIST in BANK

What do you do?

I get a lot of similar questions from my friends. 

"What are you doing at the bank?"

"What kind of job are you doing at the bank?"

"How are you dressed in the bank?"

"How much is your salary?"

FYI, to take a responsibility for my scholarship, I interned at the Bank CIMB Niaga Center (South Jakarta) on April 2, 2015 through June 18, 2015. There, I was placed in the legal division. Division completely odd to me. I just wish people would accept me well there. I did not really think about the work that will be done later.

Based on my internet search, the function of the legal division is to Assist the Director of Administration and Finance to coordinate the activities Handling Company Law, such as the handling of legal issues and legal opinions related to business and administration, as well as to develop and control quality standards, monitoring and evaluation in the control company's quality products and services, including the practice of good corporate governance.

Well, I don't understand. Really. 
I just caught that my work seems to be a lot to deal with legislation.

My first day in Jakarta was not really happy. I departed from solo to Cikarang using the night bus with a somber heart. I do not ever want to live and work in Jakarta. I don't like the chaotic, traffic, pollution and the high living cost. But I have to go and take this responsibility.

I arrived in Cikarang in the early morning. I was planning to stay and rest a few hours in my sister's house in Cikarang before leaving for Jakarta. Distance between Cikarang and Jakarta is not too far, just 1.5 hours using a public bus. I slept well that morning, and woke up at 12 pm to get ready leaving for Jakarta. My heart still somber, I don't have spirit. I don't know why. I'm going alone.

Trip from Cikarang to Jakarta show me the real side of Jakarta traffic jams. Trip that normally drivable 1.5 hours become 4 hours due to traffic jams. I have never seen so many cars and buses at the same time. At 4 pm, I arrived at Terminal Blok M and immediately make Trans Jakarta card for Rp 40,000 for the busway pass. Route I should passed : Blok M-Dukuh Atas-Mampang Prapatan. From Dukuh Atas, I should change busway corridor 6 to Mampang Prapatan. 

I do not know this is the next mental exam in Jakarta.

Ride busway from Blok M to Dukuh Atas was okey. The bus was clean, big and comfortable. Although I did not get a seat, I stood quite comfortable and enjoy the view of the modern South Jakarta. This trip took about 45 minutes journey until Dukuh Atas. This is where my suffering begins

With so many passengers queuing, I wait so long in a stuffy room boxed glass to get a bus to Mampang Prapatan. Each bus comes, passengers are always scrambling and pushing each other. I should carry a bag full of clothes and rescucer driven to and fro. Sweat already flooded my body. I felt like crying. My legs were tired, my body was tired from lack of sleep and now I have to wait for hours to get a bus. Plus, I don't even know the exact location of my kost.

People began to shout and protest to bus conductor. They are protesting because from some bus passes, everything just ended in Kuningan Timur stop (1 stop before Mampang Prapatan stop), there is no bus that ended in Ragunan stop as they wish. I'm getting stress. People shouted angrily. There is no other choice, I had to take a bus that ended in Kuningan Timur stop. I will walk from Kuningan Timur stop to Mampang Prapatan Stop. I saw in my map, the distance was not so far, approximately 1 kilometer.

My suffering finally ended when I step down in Kuningan Timur stop. There, I started walking south until find Mampang Prapatan stop. The streets are very crowded and jammed. Several times I had to cross a large intersection with full horn from motorcycles or car. No one's care that I'am walking with leg, whereas they using machine. I pray that I can survive.

From Mampang Prapatan stop, I keep walking with my tired leg until find Blue Bird Main Office. My kost candidate mothers have said the location of my kost is located in the alley behind the Blue Bird Main Office. He told me to take the alley on the right Blue bird and go about 200 meters to find the mosque. Her house is next to the mosque. I had to ask some people to find the location of the house and eventually completely until 8 pm.

My kost mother is a nice woman with active speaking style. After we talked for a while and resolve administrative thing, I went to bed. Tomorrow is my first working day at the bank.

###

APRIL 2, 2015

I woke up at 03.30 am and shower. This is Jakarta, and with it's traffic jams, I do not know what time to leave for office. My office will began at 08.30 am. So I decided to take bus as morning as I can. Bus route that I should pass was Mampang Prapatan-Dukuh Atas II, from Dukuh Atas II, I have to cross the bridge to Dukuh Atas I stop and take bus to Gelora Bung Karno stop. Simple, but in Jakarta it could be chaotic when we left too late.

I arrived at the Gelora Bung Karno Stop too early, at 7:15. CIMB Niaga building is in sight, but I do not dare to enter. I do not know what to do. I contacted a friend of mine who has been first internship led me there for the first day in office. He agreed and I waited 1 hour for him to came.


With confidence that began to rise, I walk with my friend into CIMB Niaga building. I took the lift until 16th floor and he introduced me to few people there. People were nice and appreciate my arrival. When waiting for my boss to come, I was talking with my friend. When was talking, one of the staff reprimanded:

"if you want to speak, you can speak out there"

I was very surprised. 

I say sorry and keep silent until my boss coming. Pfftt.

My boss is a good woman, patient and understanding. My first day I filled with correcting some files and afterwards do nothing. I played my handphone all day until going back office at 05.30.

Can you say my first day in South Jakarta is chaotic? Maybe a little bit.