Air terjun tertinggi di Jawa. Itulah gelar yang disematkan pada Air Terjun Madakaripura yang berlokasi di Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Dengan ketinggiannya yang mencapai 200 meter, Madakaripura hanya kalah tinggi dari Air Terjun Sigura-gura yang berada di Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 250 meter.
Perjalanan saya kesini sebenarnya berawal dari ketidaksengajaan. Pada awalnya saya sedang memegang tugas hidup yang sangat penting di Pasuruan (mengambil data skripsi-red). Kebetulan ada teman dari Jogja (Arin) yang berencana akan menemani saya mengambil data skripsi, kemudian kami berencana akan mengunjungi Gunung Bromo setelahnya. Perjalanan dari Pasuruan ke Gunung Bromo mengantarkan kami mampir sejenak ke Air Terjun Madakaripura. Air Terjun Madakaripura ini sendiri sudah berada pada kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Kami sampai di Air Terjun Madakaripura pukul sepuluh, kemudian membayar Rp 3000 untuk tiket masuk dan menitipkan tas besar serta helm di warung setempat. Sewaktu mengisi perut untuk persiapan treking menuju Air Terjun utama, kami sempat didesak oleh para guide lokal yang terus memaksa untuk menggunakan jasa mereka. Aku dan Arin menolak tegas karena kami rasa kami bisa melalui jalur treking via sungai tersebut. Sebenarnya pemerintah Kabupaten Probolinggo sudah cukup berbaik hati dengan menyediakan jalur untuk jalan kaki dari tempat parkir ke air terjun utama, tetapi karena berbagai hal, jalan tersebut banyak yang runtuh sehingga pada beberapa titik kita harus berjalan lewat sungai yang (cukup) deras di bagian bawah (info tahun 2014).
Arca Patih Gajah Mada
Oya, ketika kita sampai di tempat parkir air terjun, kita akan menjumpai arca Patih Gajah Mada yang sedang bersemedi. Menurut penduduk setempat yang diambil dari cerita zaman dahulu, kata Madakaripura mempunyai makna 'tempat terakhir'. Konon, Patih Gajah Mada menghabiskan akhir hayatnya dengan bersemedi di goa dekat air terjun utama.
Kami memulai perjalanan treking ke Air Terjun Madakaripura. Karena jalan dekat tempat parkir rusak, sejak awal treking kami harus melewati aliran hilir sungai yang cukup deras dengan bebatuan andesit besar sampai sangat terhampar tak karuan. Baru beberapa langkah kaki ini berjalan di air sungai yang dingin, kami terperosok dan aku menyarankan Arin supaya kita menggunakan pemandu saja. Arin awalnya menolak. Tapi aku tidak mau mengambil resiko, jalan terlalu berbahaya dan licin.
Rute treking ke Air Terjun Utama
Terkadang harus berjalan di sungai dengan air yang sedingin es
Memakai pemandu membuat suasana treking menjadi lebih aman. Sungai ini dipeluk oleh punggung-punggung bukit yang begitu tingginya. Hujan yang masih mengguyur sebagian besar Probolinggo telah menyebabkan tanaman tumbuh menghijau dengan begitu rimbun. Air sungai bergemericik, berusaha meloloskan diri melalui celah-celah bebatuan yang mungkin telah melalui perjalanan jauh dari gunung sana. Burung-burung berkicau bahagia. Memang udara segar, air bersih melimpah, serta makanan yang melimpah ruah menjadikan kawasan ini tempat tinggal yang sempurna untuk makhluk hidup.
Kami meneruskan perjalanan menuju air terjun utama. Beberapa kali kami harus berjalan menyeberang sungai karena jalan treking ambruk. Kemungkinan diserang banjir karena konstruksinya tidak terlalu kuat. Beberapa kali aku maupun Arin hampir terjatuh, tetapi pemandu kami dengan sigap segera menangkap. Memang untuk penyusur sungai pemula seperti aku, medan ini masih terlalu berat. Setidaknya kami harus berjalan 1 kilometer untuk bisa melihat kenampakan air terjun utama yang merupakan tertinggi di Jawa.
Limpahan air berbentuk tirai alami
Setengah jam berjalan, pakaianku sudah setengah basah. Padahal besok aku masih harus menggunakan celana ini untuk menangkas dinginnya Gunung Bromo esok pagi. Kekuatiran itu langsung sirna begitu aku menyaksikan pemandangan yang begitu indah tak biasa. Di depanku terhampar sebuah ceruk yang dikelilingi tebing menjulang tinggi dan meneteskan air sejajar membentuk tirai tembus pandang. Tebing tersebut dibungkus oleh tanaman hijau yang begitu tebal dan menyegarkan. Ketinggiannya tidak main-main, sekali alam mengamuk dan melongsorkan masa batuannya, kami tak tau lagi kepada siapa lagi harus berlindung. Hanya Tuhanlah yang senantiasa menjaga semua yang mengunjungi Air Terjun Madakaripura hari itu.
Jalan sempit nan licin sebelum mencapai lokasi utama (sebelah kanan)
Kami berjalan lebih jauh lagi untuk mencari keberadaan sang air terjun utama. Kami dihadapkan pada sebuah tebing licin, basah dan sempit yang harus sedikit didaki untuk mendekat ke air terjun utama. Pemandu menyarankan untuk ekstra berhati-hati disini, karena kalau terpeleset akibatnya bisa fatal. Kami merangkak dengan hati-hati dan akhirnya sampai di bawah air terjun utama.
VOILA!! Akhirnya aku benar-benar mengunjungi air terjun tertinggi di Jawa, tertinggi kedua di Indonesia!!!
Bukan perjuangan mudah untuk treking kesini, dan aku berhasil melaluinya. Aku begitu takjub dengan ciptaan Tuhan didepanku. Air jatuh dengan begitu derasnya dari hulu sungai di atas sana. Begitu tingginya sampai aku harus mendongakkan kepalaku sampai ujung pangkal leher. Air terjun tersebut berada pada sebuah ruangan alam berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 25 meter. Desiran air dan angin terus menerpa tubuhku tanpa ampun. Dengan ketinggian seperti itu, memang wajar gaya gravitasi akan menyebabkan kecepatan yang luar biasa pada saat air jatuh. Badanku sudah basah kuyup, tapi aku tak peduli dan terus menikmati keindahan alam ini.
Air Terjun Madakaripura
Di balik air terjun utama, terdapat sebuah goa yang merupakan tempat Patih Gajah Mada bersemedi sebelum akhir hayatnya. Goa tersebut sangat sulit untuk dicapai karena untuk kesana kita harus melewati kolam air tempat jatuhnya air dengan kedalaman 7 meter dan arus air yang sangat deras. Menurut cerita dari pemanduku, pernah ada kasus orang tewas di kolam itu karena dikira kedalamannya dangkal. Kami cukup berhati-hati untuk tidak terlalu mendekat dengan kolam tersebut.
Perjalanan treking kembali, mengajarkanku tentang satu hal. Bahwa manusia terlihat begitu kecil di hadapan Sang Pencipta. Alam ini begitu baik mengizinkan kita untuk melihat keelokannya, haruslah rasa syukur dan rendah hati senantiasa terus berkembang di ketulusan hati yang paling dalam.
Manusia begitu kecil dibandingkan ciptaan Tuhan.