Motor terus kulajukan melewati jalanan yang semakin sepi dan dingin. Aku sudah tidak memikirkan apapun, yang terpenting adalah sampai ke Cemoro Lawang secepatnya.
Sekitar setengah jam berkendara, kami dihadapkan pada jalan yang bercabang. Sebelum berangkat, aku sempat mempelajari google map dan mengetahui cabang jalan ini adalah jalan ke Ranu Pane jika lurus (titik pendakian ke Gunung Semeru) dan Bromo jika belok kiri. Setelah bertanya pada warga lokal untuk memastikan, kami mengambil jalur belok ke kiri melewati jalan aspal yang terus menurun.
Kami takjub! Pemandangan di sebelah kiri jalan mungkin adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat. Perbukitan berwarna hijau membentang dengan guratan-guratan ngarai hasil erosi yang sangat indah. Perbukitan menghijau segar. Membuat kami terbengong-bengong dan terus menatap ke sebelah kiri di sepanjang jalan turun ke Lautan Pasir Tengger.
Alur-alur erosi pada tebing yang membentuk pemandangan menakjubkan (GALUH PRATIWI)
Bukit-bukit kecil berhiaskan kabut (GALUH PRATIWI)
Hijau dan segar lagipula pemandangan sangat sepi (GALUH PRATIWI)
Pemandangan terindah yang pernah kulihat (GALUH PRATIWI)
Menakjubkan, bukan? (GALUH PRATIWI)
Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto. Sesekali jeep para wisatawan melaju di sebelah kanan kami. Mereka menyapa kami dengan ramah. Sementara kami terus turun, hujan rintik-rintik mulai berjatuhan. Aku agak panik karena bahkan kita belum mulai berjalan di lautan pasir. Bagaimana jika hujan deras? Bagaimanapun aku terus memacu motor ke arah bawah.
Aku dan Si Merah (GALUH PRATIWI)
Rerumputan bernyanyi dengan gembira (GALUH PRATIWI)
Hujan semakin bertambah deras seiring motor kami telah hampir sampai ke jalur lautan pasir. Ketika itu ada dua cabang jalan yang membingungkan, dimana kalau belok kiri langsung menuju ke jalur off road jeep, sementara kalau lurus jalannya masih aspal tapi entah berakhir dimana. Seharusnya kami memang harus lewat jalur off road, tetapi karena aku melihat tanahnya yang sangat gembur dan tebal, pastilah Si Merah susah sekali berjalan disitu. Akhirnya aku memutuskan mengambil jalan lurus aspal dahulu. Aku melihat sebuah rumah kecil disitu, ingin berteduh sebentar sembari menunggu hujan reda.
"Mas...arah ke Cemoro Lawang lewat mana ya?" tanyaku kepada dua orang laki-laki yang sedang berteduh di rumah kecil tersebut. Sepertinya mereka melakukan rute reversed dengan kami, dimana mereka berasal dari Cemoro Lawang dan akan menuju Tumpang.
"Lewat sini bisa mbak. Oiya, jalan ke arah Tumpang hujan nggak?" jawabnya.
"Aman mas, cuma gerimis," jawabku kemudian.
Akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan dengan memakai mantel. Adapun sepertinya bukan ide bagus jika aku harus berteduh di rumah kecil ini. Suasana sangat sepi, dan berada di tengah antah berantah.
Bismillah, aku mulai melajukan laju motor di Lautan Pasir Tengger. Sepuluh kilometer adalah ajrak yang harus kami tempuh sampai ke Cemoro Lawang. Tetapi pemandangan alam di sekitar benar-benar membius kami. Bagaimana tidak? Tebing berjajar di sebelah kanan dan kiri kami dengan begitu cantiknya, alur-alur hasil erosi terlihat kokoh. Kabut menambah kesan mistis. Aku merasa seperti berada di antara New Zealand dan Hawai'i. Entahlah keindahannya tidak bisa kugambarkan lagi.
Ini Lautan Pasir Tengger atau Hawai'i? Atau New Zealand? (GALUH PRATIWI)
Bunga-bunga ungu bermekaran (GALUH PRATIWI)
Kabut menggantung pada ujung dinding kaldera (GALUH PRATIWI)
Hujan mulai sedikit mereda. Si Merah berjalan terus dengan agak terseok-seok. Bisa kuingat, kami beberapa kali hampir jatuh terpeleset pasir. Mengingat ini, aku hanya bisa mengemudikan Si Merah dengan kecepatan maksimal 40-50 kilometer per jam. Karena sekali ngebut, '''ssssseeetttttt....." pasti ban akan selip.
Kami berhenti beberapa kali untuk berfoto-foto dengan latar perbukitan beralur yang menghampar luas. Pemandangan itu masih dipercantik dengan bunga-bunga kecil berwarna keunguan yang terhampar luas. Sungguh luar biasa perjalanan ini.
Siapa yang bosan melihat pemandangan seperti ini? (GALUH PRATIWI)
Kabut mulai turun, mendung datang lagi (GALUH PRATIWI)
Bukit kembar (GALUH PRATIWI)
Kabut semakin turun, suhu semakin dingin (GALUH PRATIWI)
Bunga-bunga ikut berbahagia(GALUH PRATIWI)
Indonesia sungguh indah (GALUH PRATIWI)
Siapa yang tidak terkagum-kagum akan kuasa-Nya? (GALUH PRATIWI)
DI jalan, kami sempat bertemu dengan para rider-rider yang sedang melaksanakan touring dengan arah yang berlawanan dengan kami. Mereka menggunakan motor-motor besar dengan ban yang kokoh sehingga bisa melaju dengan leluasa. Si Merah hanya bisa memandang mereka dengan nyinyir.
"Ssssssseeetttttttt...."
Aku hampir terpeleset lagi entah keberapa kalinya karena terlalu asik memandang pemandangan sehingga lupa melajukan kecepatan terlalu kencang.
Jalur Lautan Pasir dari Tumpang ke Cemoro Lawang tidak hanya satu, banyak cabang off road yang bercabang-cabang. Kita dibebaskan untuk melewati jalur mana saja yang enak sepanjang mengikuti jalur ke arah utara. Aku terus melajukan motor karena gerimis mulai datang lagi, kabut mulai turun. Kami bertemu dengan beberapa pengendara motor maupun jeep lain yang juga hendak menuju Cemoro Lawang. Sedikit melegakan. Ternyata kami tidak sendiri di padang pasir ini.
Kami terus melajukan motor. Jalan off road yang semula cukup keras karena basah mulai berubah menjadi agak lembut dan gembur. Sangat menyulitkan Si merah. Kami harus berganti jalur beberapa kali dengan sedikit mendorong-dorong motor karena susahnya bukan main. Untunglah pada beberapa bagian sudah dibuatkan jalur motor, dimana tanahnya cukup keras sehingga kami bisa menjalankan Si Merah agak kencang.
Beberapa kali di jalan, kami menjumpai rombongan turis asing yang terlihat berjalan kaki menyusuri keindahan Kaldera Tengger. Meskipun hujan mulai datang, mereka terlihat masih bersemangat jalan. Mantel plastik berwarna-warni menjadi pemandangan yang menarik dan kontras dan perpaduan warna hijau dan abu-abu di sekitarnya.
Tiba-tiba, hujan mulai berubah deras dan kami mulai panik. Jujur aku takut sekali kalau sampai ada petir karena padang ini sangat luas dan tidak ada objek tertinggi selain kami. Jalanan mulai berubah sepi. Beberapa pengendara motor yang kami temui sudah mendahului kami dengan rentang jarak yang cukup jauh. Kami memutuskan memakai mantel plastik kembali dan segera melanjutkan perjalanan.
Hujan berubah semakin deras. Udara menjadi sangat dingin. Tanganku terus mencengkeram setir, berusaha tidak memikirkan apapun selain segera mencapai Cemoro Lawang sesegera mungkin. Kami mulai kebingungan karena jalur jeep (yang terlihat dari bekas roda) mulai kabur, sementara padang berubah menjadi sangat luas. Aku menjalankan Si Merah lewat jalur pasir sebelah kiri, aku malah menjumpai banyak bongkahan-bongkahan batu yang bertebaran.
'Wah, sepertinya ini bukan jalurnya.... Banyak batu-batu besar bertebaran.. Bagaimana ini? Aku harus tetap tenang,' kataku dalam hati.
"Itu ada motor disana, lewat sana!" kata temanku dari belakang. Suaranya beradu dengan derasnya hujan. Pakaianku sudah basah semua karena aku hanya menggunakan mantel plastik yang kekecilan. Dinginnya udara dan kakunya tanganku sudah tidak kupedulikan lagi.
Aku segera memotong jalur dan mengarah ke pengendara motor di kejauhan yang ditunjuk temanku. Aku berusaha memacu Si Merah semaksimal mungkin, aku tidak mau kehilangan jejak pengendara tersebut. Gawat kalau tersesat di tengah hujan lebat begini.
Si Merah kupacu melewati beberapa kali turunan dan naikan kecil. Saat pengendara motor tersebut hampir tidak kelihatan, aku mulai panik. Akhirnya setelah beberapa saat memotong jalur, kami kembali juga ke jalur jeep. Terlihat dari bekas gilasan ban pada pasir yang terlihat memanjang. Aku lega sekali. Setidaknya bekas gilasan ban ini akan membawa kami ke Cemoro Lawang.
"Tenang...Tenang...Kalau udah lewat jalur jeep kita pasti aman kok sampai ke Cemoro Lawang," kataku ke temanku. Aku ragu ini untuk membuat temanku tenang atau untuk menenangkan diriku sendiri.
Hujan masih mengguyur dengan lebatnya. SI Merah terus kulajukan mengikuti jalur jeep. Kami melewati jalur lurus sekitar setengah jam sebelum akhirnya melihat tiang-tiang berwana kuning. Aku bahagia sekali. Aku terus mengikuti tiang-tiang tersebut karena aku yakin itu akan mengantarkanku ke jalan aspal yang menuju Cemoro Lawang.
"Eh itu bapaknya belok kesana!" kata temanku menunjuk ke arah kanan, sementara tiang-tiang kuning itu sendiri menuju ke arah kiri.
"Loh, ini tiangnya kearah sini,"kataku setengah protes melawan derasnya hujan.
"Kesana aja, itu bapaknya kesana," kata temanku.
Aku segera membelokkan arah Si Merah mengikuti jalur bapak pengendara motor yang menjadi penuntun kami tadi. Dan setelah beberapa saat, akhirnya kami menjumpai jalan naik..............berupa jalan aspal! Aku ingat sekali jalan ini adalah jalan aspal yang menuju Cemoro Lawang karena aku pernah ke Bromo sebelumnya!
Oh, akhirnya!!
0 comments:
Posting Komentar