Aku tertegun melihat peta Kompleks Lumbini di depanku.
"Wuahh....ternyata luas banget Lumbini itu. Nggak mungkin kita mengelilinginya dengan jalan kaki, apalagi waktu kita hanya dua jam sebelum bus ke Kathmandu berangkat," kataku ke Fredo.
Belum sempat Fredo menjawab seorang lelaki tua mendekati kami dan menawarkan tumpangan cycle rickshaw untuk berkeliling Lumbini. Memang tidak memungkinkan mengelilingi Lumbini dengan jalan kaki, ujarnya. Kecuali kaki mau gempor dan hanya membuang-buang waktu. Lelaki tua itu meminta 500 Rupee untuk mengantarkan kita berdua keliling Kompleks Lumbini.
Aku menawar 400 Rupee, beralasan kita mahasiswa yang jalan dengan uang pas-pasan. Tawar menawar sejenak, dia akhirnya setuju dengan tarif 400 Rupee dan mulai mengayuh sepedanya membawa kami berkeliling.
Lumbini merupakan salah satu situs ziarah umat Buddha yang berlokasi di Distrik Rupandehi. Menurut tradisi Buddha, di tempat inilah Ratu Mayadevi melahirkan Siddharta Gautama pada tahun 528 SM tepatnya di Kuil Mayadevi. Desain Situs Lumbini sendiri cukup unik, disini kita menjumpai zona biara yang cukup luas. Tidka ada toko-toko, hotel ataupun restoran. Biaranya sendiri terbagi menjadi dua yaitu Zona Biara Timur dan Zona Biara Barat, dimana zona timur dibangun biara-biara beraliran Theravadin, sementara zona barat dibangun biara-biara beraliran Mahayana dan Vajrayana. Biara-biara tersebut dibangun oleh negara-negara yang kebanyakan mempunyai penduduk mayoritas beragama Buddha, tetapi ada juga biara yang dibangun oleh Jerman dan Perancis.
Biara pertama yang kami kunjungi adalah biara milik negara Myanmar. Sebuah pagoda berwarna keemasan yang sering disebut Pagoda Lokamani Cula Burma berdiri gagah di depan kami.
"Panas....panas...", ujarku kepada Fredo sesaat setelah melangkahkan kaki untuk mengelilingi pagoda. Kita memang diwajibkan melepas alas kaki saat masuk ke area biara.
"Udah ayo kita keliling cepat saja terus segera lanjut," kata Fredo.
Kami berjalan cepat-cepat mengelilingi biara dan segera melanjutkan perjalanan ke biara selanjutnya. Lelaki Nepal pengayuh cycle rickshaw kami terlihat semangat mengayuh sepedanya. Keringat mulai berjatuhan di pelipisnya, tapi tidak menghalanginya untuk terus emnjawab keingintahuan kami tentang Nepal.
"Sir, di Nepal mayoritas Hindu atau Buddha?" tanyaku. Aku penasaran karena di negara inilah pemimpin spiritual Buddha terbesar lahir.
"Hindu madam..70 persen orang Nepal beragama Hindu, " katanya.
"Sir, disini sangat tenang dan damai. Sebelumnya kami di India keadaan sangat ribut, jadi sangat aneh sekarang jadi sepi," kata Fredo.
"Yeah, disini lebih baik dari Kathmandu," kata lelaki itu lagi.
"Sir, kamu bisa berbicara bahasa Hindi?" tanya Fredo lagi.
"No, kita berbicara bahasa Nepal disini Sir," jawabnya tanpa lelah.
Bla bla bla masih banyak pertanyaan lain yang kami ajukan kepada supir auto rickshaw kami. Pemberhentian kami selanjutnya adalah biara milik negara India. Beberapa anak tangga menyambut kami sebelum masuk ke kompleks biara utama, seperti biasa kami juga harus melepas alas kaki disini.
"Dari Indonesia ya Pak?" aku mendengar Fredo bertanya kepada seorang Bapak yang juga hendak memasuki biara India.
"Iya, iya," jawab Bapak tersebut, "Kamu juga?"
"Iya Pak..," jawab Fredo.
"Wah Bapak dari Indonesia ya? Kami baru ketemu orang Indonesia pertama ini pak selama jalan dari India," kataku ikut nimbrung.
bla, bla, bla, selanjutnya kami langsung mengobrol dengan akrab. Rasanya senang sekali bertemu teman sebangsa kalau sedang jalan-jalan di luar negeri begitu. Setelah mengobrol sejenak aku segera mengelilingi biara ini. Di sepanjang dindingnya dilukis cerita Buddha ketika pertama kali meninggalkan istana dan memutuskan mengakhiri penderitaan duniawi untuk menjadi pertapa, godaan-godaan ketika Buddha mulai bertapa, ketika Sujata Garh memberinya makanan dan minuman ketika Buddha sudah sangat lemah, ketika Buddha memperoleh pencerahan, dan saat Buddha memberikan ajaran Dhamma kepada pengikutnya. Cerita gambar yang menarik, aku mengambil setiap foto. Sungguh aku sangat menghormati Sang Buddha.
Oiya, Bapak dari Indonesia tadi datang dengan istrinya. Istri bapak tersebut segera bergabung dengan kami setelah selesai mengelilingi kompleks biara.
"Ibu Buddha ya? Saya lihat tadi ibu berdoa," tanyaku.
"Tidak, saya Katolik, tapi tidak apa-apa kan kita berdoa? Kita harus mengucap syukur karena perjalanan sudah diberkahi sampai kesini," jawab ibu tersebut.
"Iya bu. Oya dari mana bu?"
"Dari Surabaya. Ini sudah hari-hari terakhir kami disini. Sebelumnya kami dari Kathmandu dan Phokara. Saya senang disini karena suasananya tenang. Di Kathmandu sering hujan. Kalau kalian dari mana?"
"Kami dari India bu. Setelah ini akan lanjut ke Kathmandu. Bagus ya bu disana?"
"Yah bagus kok, cuma waktu kami disana sering mendung setiap hari, " kata ibu itu lagi.
"Kalau Phokara menurut kami biasa saja ya. Bahkan malah kaya Sarangan. Tau Sarangan kan? Yang di Gunung Lawu itu, katanya lagi.
"Wah trimakasih Bu infonya. Sedikit menghibur kami, karena sebenarnya kami mau ke Phoakra tapi karena kereta dari India telat sehingga terpaksa dibatalkan."
Kami masih mengobrol panjang setelah itu, bahkan sempat foto-foto. Usia mereka bisa dibilang tidak lagi muda, tetapi semangat menjelajahnya masih mengagumkan. Aku harap aku bisa seperti mereka, mempunyai semangat berpetualang tanpa dibatasi usia. Mereka memberikan kami banyak nasehat sebelum kami berpisah pada arah sebaliknya.
Trimakasih Bapak, Ibu, saya akan selalu mengingat kalian!
Peta Kompleks Lumbini, luas banget ya (GALUH PRATIWI)
Salah satu gerbang keluar Kompleks Lumbini (GALUH PRATIWI)
Zona biara dibagi dua yaitu zona biara barat (bagian atas) dan zona biara timur (bagian selatan). Zona tersebut berdasarkan aliran Buddha yang diyakini. (GALUH PRATIWI)
Pagoda Lukamani Cula Burma (milik Myanmar) (GALUH PRATIWI)
Pagoda Lukamani Cula Burma (milik Myanmar) (GALUH PRATIWI)
Ukiran pada pagoda sangat detail, indah dan cantik (GALUH PRATIWI)
Semangat mengantarkan kami keliling (GALUH PRATIWI)
Kenampakan bagian depan biara milik India (GALUH PRATIWI)
Kelahiran dan langkah pertama Pangeran Siddharta, dibelakangnya adalah sosok Ibunya, Ratu Mayadevi. Langkah kaki Pangeran Siddharta ditandai oleh bunga teratai. (GALUH PRATIWI)
Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan semua kesengsaraan duniawi dan memotong rambutnya di Sungai Anoma untuk menjadi seorang pertapa (GALUH PRATIWI)
Pangeran Siddharta melakukan praktek meditasi di Uruvela, Gaya selama 6 tahun. Melakukan penyiksaan diri untuk melepaskan diri dari kesengsaraan duniawi. Tubuhnya menjadi sangat kurus dan lemah saat itu. (GALUH PRATIWI)
Seorang perempuan desa bernama Sujata Garh tidak tega melihat kondisi Pangeran Siddharta yang sudah sangat lemah sehingga menawarinya nasi susu. Dari situlah Pangeran Siddharta menyadari bahwa penyiksaan diri yang ekstrim bukanlah jalan untuk memperoleh pencerahan. Kemudian beliau pindah bermeditasi di bawah pohon bodhi dan memperoleh pencerahan, mengajarkan ajaran "jalan tengah" dan menjadi Buddha (GALUH PRATIWI)
Seekor gajah dan kera menawari Buddha madu dan buah-buahan untuk dimakan (GALUH PRATIWI)
Buddha merawat Biksu Putigatta Tissa yang sedang sakit (GALUH PRATIWI)
Buddha mengajarkan Dhamma kepada pengikut-pengikutnya di Sarnath (sekarang di India dekat kota Bodh Gaya) (GALUH PRATIWI)
Buddha menjinakkan gajah yang mengamuk di Nalagiri (GALUH PRATIWI)
Posisi terakhir Buddha sebelum meninggal. Posisi ini banyak diabadikan di beberapa patung Buddha di berbagai belahan dunia seperti Bangkok (Wat Pho) dan Mojokerto (Mahavira Majapahit) (GALUH PRATIWI)
0 comments:
Posting Komentar