Kemacetan sepanjang jalan Bandara KLIA2 - KL Sentral (GALUH PRATIWI)
Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15 WM (waktu Malaysia), tapi bus yang kami tumpangi masih bergerak merayap. Kemacetan tak terhindarkan. Mobil berjajar panjang, seakan tak ada celah untuk menyalip mereka. Antrian mengular sampai ratusan meter ke depan.
'Gawat, kami harus check in penerbangan Air Asia ke Kochi jam 20.00! Bagaimana mungkin kami bisa terjebak dengan situasi semacam ini, benar-benar kebodohan diawal perjalanan,' gerutuku dalam hati.
'Bagaimana pula aku masih berpikiran mengunjungi Batu Caves segala? Di saat pesawat kami dari Yogyakarta ke Kuala Lumpur sudah delay, kami masih berleha-leha di bandara KLIA2 sampai setengah lima, sekarang masih mau ke KL Sentral entah apa tujuannya. Tidak mungkin mengunjungi Batu Caves, keluar KL Sentral pun tidak mungkin. Waktu terlalu mepet. Kami sama sekali tidak memperhitungkan faktor kemacetan.'
Bus kembali bergerak merayap, belum ada tanda-tanda kemacetan ini akan berakhir. Waktu semakin berputar. Kami mengusir kegusaran dengan bercerita, saling berbagi pengalaman setelah sekian lama tidak berjumpa. Menggunakan Bahasa Jawa dengan volume suara yang cukup keras, aku rasa hanya kamilah satu-satunya penumpang di dalam bus yang berbicara terus sepanjang jalan.
'Well, daripada menyesali pilihan yang sudah kita lakukan, lebih baik kita ambil sisi positifnya dan terus berbahagia.'
Perlahan kemacetan mulai mereda. Bus mulai berjalan dengan lancar, walau supir - seorang lelaki keturunan India berperawakan tegap - tetap menggunakan kecepatan sedang. Papan petunjuk arah ke KL Sentral mulai terlihat.
'Semoga sudah dekat,' ujarku dalam hati, sembari mengotak-atik google offline yang daritadi tidak berfungsi.
Bus kami meluncur melewati kawasan perkotaan yang cukup padat. Tiba-tiba, bus menepi. Ah, ternyata kami sudah sampai KL Sentral. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.45. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain berjalan tergesa-gesa, mencari makan, dan segera kembali ke KLIA2 secepatnya.
Selesai membungkus makanan seharga 11 ringgit - sebuah nasi kari ayam - kami segera berjalan cepat ke konter kereta ekspress KL Sentral - KLIA2. Tidak ada pilihan lain, kami tidak mau mengambil resiko naik bus kembali. Lebih baik kehilangan sedikit uang ringgit daripada harus kehilangan tiket pesawat ke India malam ini.
"110 ringgit untuk 2 tiket," kata wanita di loket penjualan kereta ekspress.
Perkataan yang membuat kami menelan ludah. Apa?? 110 ringgit hanya untuk tiket kereta? Benar-benar pemborosan dan kebodohan di awal perjalanan. Bagaimana kami bisa memutuskan hal seperti ini? Bagaimanapun aku paling benci pemborosan uang untuk hal tidak berguna di awal perjalanan. Tapi sudahlah, ini sudah terjadi. Aku hanya bisa berpasrah mengambil sisi positifnya.
11 Ringgit (tiket bus KLIA2 - KL Sentral), 11 ringgit (makan), 55 ringgit (tiket kereta ekspress). 77 ringgit hanya untuk makan. Jika uang sebesar itu digunakan untuk makan di Bandara KLIA2, tentulah sudah mendapatkan menu lezat.
0 comments:
Posting Komentar