4.13.2016

Tanah Timor LELEBO 4 : Perbatasan Indonesiaku

Pagi telah datang.....

Selamat pagi Rinbesi Hat!

Ane, Fredo sama Arin cukup terlelap malam kemarin karena memang kita sama-sama capek sehabis perjalanan jauh. Udara bersih pedesaan menyejukkan wajah ane begitu ane keluar rumah. Mengingat kebiasaan lama 6 bulan lalu, setelah bercakap sejenak dengan Nenek Anis dan Mama Tere, ane segera menuju sumur untuk cuci muka dan menggosok gigi. Beberapa saat kemudian, Fredo dan Arin melakukan hal serupa. Mungkin ini bukan hal biasa untuk mereka, kita harus membersihkan diri di dekat sumur, tapi kulihat wajah mereka baik-baik saja. Syukurlah....

Untuk buang air ataupun mandi, kami harus mengangkut air menggunakan ember dari sumur ke kamar mandi di belakang rumah Mama Tere. Tentunya hal ini sangat kontras dengan keadaan kami di Jawa dimana untuk mandi kami tinggal menyalakan keran air. Disinilah traveling selalu mengajarkan ane untuk berjuang, bersyukur dan mengurangi mengeluh. Selesai bersih-bersih, Mama Tere sudah menyiapkan teh manis dan kue untuk kami. Kami memang sangat diterima di keluarga ini gan.
Fredo berpose dengan Mama dan Bapa Anis (GALUH PRATIWI)

Fredo berpose dengan Mama Tere dan anak-anaknya (GALUH PRATIWI)

Hari ini kami berencana akan mengunjungi perbatasan negeri (Motaain), Kolam Susu, Atapupu dan Teluk Gurita. Tiga dari tempat tersebut sudah pernah aku kunjungi 6 bulan yang lalu, tapi aku merasa tidak keberatan sama sekali untuk mengunjunginya lagi. Paginya, aku sempat mengajak Fredo dan Arin untuk bersilahturahmi di rumah Bapak Desa Rinbesi Hat dan Bakustulama, dua desa yang pernah dijadikan lokasi KKN oleh kelompokku. Well, sebenarnya ada alasan sih, supaya sekalian bisa pinjam motor karena kami baru punya 1 motor hehe. Pak Gery, kepala desa Rinbesi Hat menyambut kami dengan ramah dan kami berbincang cukup lama bahkan dikasi sprite, demikian juga dengan Bapak Desa Bakustulama. Tapi karena motornya sedang dipakai semua, akhirnya ane meminta tolong teman disini (Ardjo) untuk mengantarkan kami ke Atapupu. Sebenarnya saat itu Ardjo lagi ada urusan mau lihat nilai di universitas, tapi karena orangnya terlalu baik, dia pun setuju untuk mengantarkan kami.

Perjalanan ke Motaain pun dimulai gan. Rute yang harus kami lewati adalah Halilulik-Atambua-Atapupu-Motaain, membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Jalan aspal yang menghubungkan Atambua dengan Atapupu bisa dibilang sangat mulus dan sudah sangat baik gan. Sepanjang jalan kami disuguhi dengan pemandangan perbukitan dengan batuannya yang berwarna-warni (ada hijau, merah, abu-abu, hitam). Selain batunya yang unik, kami juga beberapa kali melewati pantai di sebelah kiri jalan. Pemandangannya sangat indah gan. Lautan yang membentang luas dikelilingi oleh perbukitan hijau yang meliuk-liuk. Karena ingin berfoto, kami pun berhenti di Pantai Atapupu sejenak. Karena sedang musim hujan, tentulah bisa ditebak gan, airnya coklat.
Berpose di Pantai Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi batuan yang unik di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi batuan yang unik di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kondisi jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Perbukitan subur menghijau di sepanjang jalan Atambua - Atapupu (GALUH PRATIWI)

Kami pun melanjutkan perjalanan Atapupu-Motaain. Disinilah petualangan sebenarnya dimulai gan, karena pada beberapa bagian keadaan jalan benar-benar digenangi tanah dan air hujan. Kemungkinan karena longsor akibat intensitas hujan yang besar. Ane sempat mau benar-benar jatuh dan sudah pasrah saat melewati kubangan tanah dan air, sementara belum sempat ngerem. Arin sampai udah teriak bersiap-siap mau jatuh, tapi untunglah ane masih bisa mengontrol setang motor yang udah gelang geleng kanan kiri nggak karuan. Wuaahh, terimakasih Tuhan.
Kondisi jalan Atambua - Atapupu akibat ada longsoran tanah (GALUH PRATIWI)

Mengabaikan kondisi jalan yang cukup parah, kami benar-benar menikmati pemandangan ‘hijau’ yang disediakan di sepanjang jalan Atapupu-Motaain. Julukan ‘Gersang’ yang sudah melekat cukup lama pada Provinsi Nusa Tenggara Timur seakan hilang ketika kami melihat pohon-pohon dan alang-alang yang tumbuh dengan suburnya. Saat musim hujan seperti ini, biasanya masyarakat NTT akan memanfaatkannya untuk menanam padi. Nanti hasil panennya akan mereka simpan di lumbung untuk dijual maupun dikonsumsi sendiri. Hal ini memang harus dilakukan karena perbandingan musim hujan dan musim kemarau di Pulau Timor itu 3:9 gan, jadi 3 bulan musim hujan, 9 bulan musim kemarau. Tentulah mereka harus bisa menyimpan dan menanam padi jika tidak ingin menghabiskan uang berlebih untuk membeli beras lagi.

Setengah jam kemudian, akhirnya sampailah kami di Pintu Perbatasan Motaain gan. Pintu Perbatasan Motaain ini merupakan pintu perbatasan utama Indonesia dengan Timor Leste, dimana aktivitas lintas perbatasan dibatasi dari jam 08.00 sampai 16.00 WITA. Sesaat setelah sampai kita akan dihadapkan dengan pos polisi, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Tumbuhan serta Hewan serta Karantina kesehatan. Cukup ketat ya? Namanya juga perbatasan antar negara. Tapi karena kita hanya berkunjung singkat, kita tidak harus melewati deretan kantor tersebut untuk masuk Timor Leste.
Gerbang Fare Well, Selamat jalan Indonesia (GALUH PRATIWI)

Gerbang Selamat Datang Indonesia (GALUH PRATIWI)

Tanpa membuang waktu, setelah memarkir motor dan meminta izin kepada TNI, kami segera melangkahkan kaki menuju spot legendaris yaitu garis kuning (Yellow Lines) atau bentangan garis berwarna kuning diatas jembatan yang menandai batas resmi antara Indonesia dan Timor Leste. Garis ini terletak sekitar 50 meter ke arah timur dari gerbang "Selamat Jalan Indonesia". Jika melangkahkan kaki diantara garis kuning ini, maka kita secara resmi berdiri di 2 negara dalam waktu bersamaan. Kurang keren apa gan? Hehehehe!! Hal itu masih disempurnakan dengan pemandangan Pantai Motaain pada sisi utara dan perbukitan hijau yang menghampar luas pada sisi timur.
Garis kuning, sebagai pembatas resmi antara Indonesia dan Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Begitu memasuki Timor Leste, bahasa resmi mulai berubah. Kami melihat beberapa papan dengan tulisan Bahasa Portugis. Selain Tetun, Bahasa Portugis merupakan bahasa resmi yang digunakan disini gan. Untuk mata uangnya mereka menggunakan USD. Selain itu kami juga melihat deretan mobil travel dengan plat Timor Leste. Mobil travel ini memang sengaja ngetem di perbatasan gan, untuk mengangkut para penumpang dari Indonesia yang akan melanjutkan perjalanan ke Dili (ibukota Timor Leste).
Deretan mobil berplat Timor Leste berjajar menunggu penumpang (GALUH PRATIWI)

Kami melangkahkan kaki lebih jauh ke Timor Leste, sebelum akhirnya menemukan sebuah gerbang bertuliskan "Bem Vindo A Timor Leste", Bahasa Portugis yang kurang lebih artinya "Selamat Datang di Timor Leste". Selain Gerbang Selamat Jalan Indonesia dan Garis Kuning, Gerbang "Bem Vindo A Timor Leste" merupakan salah satu spot yang diincar para wisatawan juga gan untuk berfoto. Dari sini, ane sudah bisa melihat kantor imigrasi Timor Leste yang berdiri menghadang 500 meter di sebelah timur. Kantor imigrasi tersebut merupakan batas paling terakhir kita bisa menginjakkan kaki di Timor Leste tanpa paspor dan visa gan. Sedikit cerita, ane pernah menginjakkan kaki sampai ke Batu Gade, sebuah kota perbatasan setelah imigrasi Timor Leste pada 6 bulan yang lalu. Itu semua bisa terjadi karena ane jalan dengan Bapeda Kabupaten Belu gan, ditemani tentara Indonesia dan Timor Leste juga. Keadaan di Batu Gade tidak berbeda jauh dengan Motaain.
Gerbang Bem Vindo A (Welcome to) Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Langkah kaki kami terhenti di 1 spot terakhir sebelum imigrasi yakni tugu dengan tulisan Timor Leste. Tugu berbentuk balok dengan 3 penopang pada bagian bawahnya ini merupakan tugu selamat datang yang cukup terkenal disini. Pada bagian atasnya terdapat bulu-bulu yang dibentuk seperti mahkota dengan lambang negara pada bagian paling atas. Pada bagian bawah tugu terdapat batu yang berisi informasi peresmian tugu tersebut yakni pada 4 Februari 2012, diresmikan oleh Perdana Menteri Timor Leste yakni S. Exa. Kay Rala Xanana Gusmao.
Tugu Timor Leste (GALUH PRATIWI)

Puas mengunjungi Timor Leste dengan status sebagai ‘imigran gelap’, kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi destinasi selanjutnya, Kolam Susu yang berada di Desa Junelu, Kecamatan Kakuluk Mesak. Dari berbagai info yang ane baca di internet, katanya bisa menikmati sajian bandeng bakar disini, karena sebagian besar lahan disitu memang digunakan untuk ternak bandeng. Jadi kami rencana akan makan siang dengan bandeng disini. Dan sejauh ingatan ane, pas ane kesini bulan Agustus 2013 itu memang rame banget gan. Pikiran ane kembali bernostalgia melewati jalanan yang dulu pernah ane lewatin dengan teman-teman KKN ane. Pada 2013 lalu, nama Kolam Susu tiba-tiba meroket setelah dijadikan salah satu jalur destinasi Sail Komodo 2013 gan. Sail Komodo adalah parade akbar kapal-kapal layar yang puncaknya berlangsung pada 27 Juli-7 September 2013. Ratusan kapal layar, termasuk kapal perang, dari berbagai negara akan berangkat (flag off) dari Darwin, Australia.

Kolam Susu? Apakah agan familiar dengan frase tersebut? Jika agan lahir di era 1980-1990 tentulah ingat dengan grup musik legendaris asal Tuban, Koes Plus. Ya, Kolam Susu adalah salah satu lagu ciptaan Koes Plus yang dalam proses pembuatannya terinspirasi dari kunjungan mereka ke Atambua pada 1971. Lagu tersebut menggambarkan keindahan alam nusantara. Tengok saja syairnya:

"Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman..."

Sampai di Kolam Susu, kami semua hanya terdiam. Ternyata sangat sepi, tidak ada pengunjung sama sekali selain kami. Jangankan penjual bandeng bakar, menjumpai manusia lain aja tidak ada. Keadaan Kolam Susu benar-benar seperti tempat wisata yang ditinggalkan. Sepertinya tempat ini memang hanya  ramai pas akhir pekan atau pas liburan aja. Ane sempat merasa tidak enak dengan Fredo dan Arin karena takut mengecewakan mereka. Tapi untunglah mereka tidak menunjukkan ekspresi kesal atau kecewa.

Meskipun sepi, pemandangan di Kolam Susu tetap mempesona gan. Sejatinya disini itu wisata utama yang ditawarkan adalah keberadaan danau-danau besar alami yang difungsikan sebagai tempat untuk mengembangbiakkan bandeng. Danau-danau tersebut dikelilingi oleh perbukitan hijau yang menghampar luas, seakan melindungi keasrian dan keindahan danau. Di sana sini terdapat pohon kedondong hutan dan bakau yang membuat Kolam Susuk terasa berangin sejuk meski matahari menyengat. Kami menghabiskan waktu mencari spot-spot indah untuk foto dengan danau. 
Tambak bandeng di Kolam Susu (GALUH PRATIWI)

Kondisi bagian dalam Kolam Susu yang sangat sepi (GALUH PRATIWI)

Tambak bandeng di dalam Kolam Susu (GALUH PRATIWI)

Selesai dari sini, sebenarnya tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi adalah Teluk Gurita. Tapi karena Ardjo mengatakan lokasinya lumayan jauh dan seperti menunjukkan wajah enggan dan capek, kami pun ngalah dan bersiap pulang kembali ke Atambua karena hari sudah semakin sore juga. 

FYI, sebenarnya jarak dari Kolam Susu ke Teluk Gurita itu hanya 3 kilometer gan. Tapi 3 km pun akan terasa sangat jauh karena jalannya yang berkelok-kelok dan naik turun dengan kemiringan yang tajam. Jalannya pun terbuat dari batu, bukan aspal.

Teluk Gurita yang dalam bahasa setempat disebut Kuit Namon itu sudah lama menjadi tempat pendaratan kapal gan. Lautnya dalam sehingga airnya tampak sangat biru. Lantaran berbentuk teluk, ombak pun jarang datang. Teluk itu juga dipagari bukit-bukit yang menghijau. Pasirnya yang kecokelatan tampak halus. Pas sebagai sebuah dermaga penyeberangan. Dermaga ini biasa digunakan sebagai dermaga penyeberangan ke Pulau Alor.
 
Terus, kenapa dinamai Teluk Gurita? Dalam sejarah pedagang Asia hingga Eropa dulu pernah menyinggahi Teluk Gurita untuk mencari komoditas cendana. Konon, ada kapal Spanyol yang dililit gurita raksasa hingga tenggelam ke dasar teluk. Hingga kini, bangkai kapal itu masih berada di dasar teluk dan berubah menjadi terumbu karang. Saat Jepang masuk, Teluk Gurita difungsikan sebagai pendaratan kapal. Begitu pula ketika Sekutu datang mengusir Jepang.


Mengobati kekecewaan kami karena tidak jadi makan siang dengan bandeng bakar, kami makan sate kambing super enak di Kota Atambua. Jujur malah lebih enak dari bandeng bakar hehe. Seporsi nasi kambing dihargai Rp 15.000,00. Bisa dibilang, disini makanan termewah itu ya  daging ayam gan. Untuk daging kambing, sapi, kepiting, cumi harganya relatif lebih murah dari ayam . Sore itu kami juga membeli oleh-oleh berupa roti kering untuk diberikan ke keluarga Mama Tere. Well, meskipun hari ini target tidak tercapai 100 %, tetapi kami cukup puas karena bisa mampir ke Timor Leste. Sorenya kami terlelap, mempersiapkan diri menyambut hari esok. Esok rencana kami akan berpetualang ke Winnie di Kabupaten TTU untuk mengunjungi Pantai Tanjung Bastian dan perbatasan Salore (Enclave Indonesia-Timor Leste). 
Kota Atambua (GALUH PRATIWI)

Kota Atambua (GALUH PRATIWI)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar