Hujan yang cukup kencang pada dini hari telah membangunkan tidur cantik ane di malam pertama di Kupang. Karena posisi Hotel Susi dipinggir laut, bisa ditebak gan, dini hari tadi terjadi badai menggelepar-gelepar yang membuat bulu kuduk ane merinding. Ane yakin Fredo sama Arin takut juga kok sebenernya, tapi semuanya hanya diam dan tetap memaksa tidur. Ane sempet putus asa juga sih, wah kok hujannya kayak gini ya semoga aja besok cerah karena kami berencana mengunjungi banyak tempat. Udah sewa motor lagi. Doa ane terkabul.
"Gan, gan, btw LELEBO itu apa to gan?"
"Oiya gan ane lupa menjelaskan. Kenapa ane memilih kata LELEBO untuk topik tulisan ini? LELEBO itu suatu ungkapan dalam Bahasa Timor sana yang artinya "Lebih Baik". Jadi Tanah Timor LELEBO berarti Tanah Timor Lebih Baik. Lewat tulisan ini ane ingin menunjukkan bahwa Tanah Timor adalah tanah yang indah dan masyarakatnya baik."
Keesokan paginya, pukul 05.30 kedua motor yang kami sewa sudah diantarkan ke penginapan. Cuaca cerah berawan. Dan tentu saja yang menerima motor, nego masalah jam, serta menemui Pak Nato adalah Si Fredo. Ane ma Arin? Lanjot tiduur..... Enaknya traveling sama cowok itu, bisa disia-sia, disuruh apapun biasanya mau, sementara kami berdua masih ngorok selimutan di kasur hahaha. Kami mendapatkan motor Revo dan Mio, dan karena Fredo merasa dia yang menerima motor, ane dikasi motor Mio yang kalau starter harus di standart dua dulu. Huh, dasar. Kena apesnya, menangan lagi orangnya.
Pagi itu kami memutuskan makan dulu di warung makan Jawa, selesai makan
sempat ada tragedi motor revo yang ditumpangi Fredo ambruk karena dia nggak
kuat nahan ketawa. Bujubuset dah, motor baru dipinjem belum ada 2 jam udah dijatuhin. Untung motor orang nggak rusak. Destinasi
pertama kami adalah Gua Kristal yang berada di jalur Pelabuhan Bolok. Gaya-gayanya sih mau renang gitu - padahal nggak ada yang bawa baju ganti - dsahh.........
Di perjalanan menuju Gua Kristal, kami sempat mampir ke Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center beralamat tepat di Jl. Soekarno No 24 Fontein, Kota Kupang. Pertama ane melihat Masjid ini, kesannya memang wahh banget gan. Masjid ini terlihat berdiri gagah dengan 3 kubah berwarna biru, selain itu terdapat menara pada salah satu sisinya. Kami sempat berbincang dengan kakak penjaga masjid yang mengatakan bahwa masjid ini mulai dibangun pada 2012 dan selesai pada akhir 2013. Interior masjid ini sendiri sangat indah gan, bersih dan luas sekali. Tempat shalat untuk pria dan wanita pun dipisahkan dengan batas yang cukup jelas. Tidak diragukan lagi, merupakan masjid terbesar dan termegah di Kota Kupang gan.
Pembangunan Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center mencerminkan kerukunan umat beragama disini gan. Meski Islam tidak mayoritas, tahap demi tahap pembangunan Masjid Raya dan Islamic Center berjalan tanpa kendala apapun. Itu terbukti ketika peletakan batu pertama hadir turut andil memberi sumbangan Bapak Gubernur NTT (yang beragama katolik) dan Walikota Kota Kupang NTT. Pembangunan masjid ini sendiri menghabiskan biaya sekitar 8 milyar.
Di perjalanan menuju Gua Kristal, kami sempat mampir ke Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center beralamat tepat di Jl. Soekarno No 24 Fontein, Kota Kupang. Pertama ane melihat Masjid ini, kesannya memang wahh banget gan. Masjid ini terlihat berdiri gagah dengan 3 kubah berwarna biru, selain itu terdapat menara pada salah satu sisinya. Kami sempat berbincang dengan kakak penjaga masjid yang mengatakan bahwa masjid ini mulai dibangun pada 2012 dan selesai pada akhir 2013. Interior masjid ini sendiri sangat indah gan, bersih dan luas sekali. Tempat shalat untuk pria dan wanita pun dipisahkan dengan batas yang cukup jelas. Tidak diragukan lagi, merupakan masjid terbesar dan termegah di Kota Kupang gan.
Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center (GALUH PRATIWI)
Bagian dalam Masjid Raya Nurussa’adah dan Islamic Center (GALUH PRATIWI)
Bagian yang ditutup kain hijau untuk shalat kaum perempuan (GALUH PRATIWI)
Selesai dari sini, dalam perjalanan ke Gua Kristal kami sempat mampir ke
Situs Kuburan Belanda yang ada di Kelurahan Nunhila. Lokasi kuburan ini berada
di pinggir jalan menuju Pelabuhan Bolok gan, jadi tidak terlalu susah
mencarinya. Ane sempat membaca beberapa nisan, semuanya nama Belanda dan
kebanyakan meninggal di abad 16, sewaktu Belanda sempat menguasai Pulau Timor.
Beberapa nisan sudah pudar dan tidak terbaca karena terlalu tua gan. Melalui kuburan Belanda ini, kita bisa melihat pemandangan Selat Rote yang sangat indah. Kami tidak terlalu lama disini dan segera meneruskan perjalanan.
Pemandangan Selat Rote dari Situs Kuburan Belanda Nunhila (GALUH PRATIWI)
Salah satu nisan orang Belanda yang meninggal pada abad 16 (GALUH PRATIWI)
Salah satu nisan orang Belanda yang tulisannya mulai tidak terlihat terkikis waktu (GALUH PRATIWI)
Kami belum bisa menemukan Gua Kristal, sang penunjuk jalan -Arin- malah menuntun kita ke Pelabuhan Bolok. Pelabuhan Bolok merupakan salah satu pelabuhan
terpenting di Kota Kupang untuk pelayaran jarak jauh. Fyi, pelabuhan di Kupang
itu ada 2 gan, Bolok dan Tenau. Kalau Pelabuhan Tenau untuk pelayaran jarak
dekat seperti ke Pulau Rote. Untuk pelayaran ke Jawa, kalimantan, sulawesi,
semuanya dari Pelabuhan Bolok. Saat itu hanya ada beberapa kapal besar yang
sedang bersandar karena memang pelayaran sedang ditutup karena ombak tinggi. Beberapa nelayan terlihat mulai beraktivitas di sekitar pantai, mencari penghidupan. Kalau biasanya pelabuhan itu kondisi perairannya keruh, beda dengan Pelabuhan Bolok ini gan. Airnya biru bersih, bahkan menurut beberapa sumber yang ane baca bisa melakukan kegiatan snorkeling di perairan sekitar Bolok. Memang terbukti semakin sedikit manusia, alam semakin terjaga ya gan.
Beberapa kapal yang bersandar pada Pelabuhan Bolok (GALUH PRATIWI)
Nelayan di Pelabuhan Bolok (GALUH PRATIWI)
Jalan menuju Gua Kristal ini lumayan susah juga gan nyarinya, setelah
bertanya kepada beberapa orang, akhirnya kami sampai juga ke Polair (Polisi
Air) yang berjarak 200 meter dari gua. Kami pun menitipkan motor disitu,
kemudian melanjutkan berjalan kaki ke Gua Kristal. Tidak ada petunjuk apapun
gan untuk kesini, jadi nanti ikuti aja bekas tapak kaki dari rerumputan di
sekitarnya.
Kondisi jalan dari Polair menuju Gua Kristal (GALUH PRATIWI)
Kondisi jalan tanah sebelum lokasi Gua Kristal (GALUH PRATIWI)
Turun ke Gua Kristal (GALUH PRATIWI)
Gua Kristal (GALUH PRATIWI)
Jalan masuk ke Gua Kristal ini sempit, gelap, licin, bau eek kelelawar
dan terjal gan. Jadi harus super hati-hati supaya tangan jangan sampai pegang
eek kelelawar pas pegangan, atau kaki jangan sampai terpeleset. Lebih baik
menggunakan senter karena cukup gelap ketika sudah sampai di bawah. Airnya pun
benar-benar bening dan biru seperti kristal gan, itulah mengapa gua ini disebut
Gua kristal. Bukan karena ada kristal besar-besar, ada intan, ada emas, tapi
karena airnya bening seperti kristal terutama jika terkena sinar matahari yang
masuk melalui celah bebatuan. Kami (saya dan fredo) menghabiskan waktu beberapa
saat dengan berenang disini (berenang di pinggir doank, mau ke tengah takut ditarik monster gua ke bawah haha), airnya sendiri sangat segar dan berasa payau, yang
menandakan di suatu tempat di bawah, ada lubang yang tembus ke laut (jadi
teringat Film Sanctum hahahaha). Menurut beberapa sumber yang kami baca, waktu terbaik untuk mengunjungi gua ini antara jam 09.00 sd 14.00 gan. Itu saatnya sinar matahari pas mengarah ke gua sehingga membuat warna air menjadi bening kebiruan.
Selesai renang dan berfoto-foto, kami pun segera melanjutkan perjalanan
ke tujuan selanjutnya, Air Terjun Oenesu. Jarak dari Gua Kristal ke Air Terjun
Oenesu cukup jauh gan, dengan ketidaktahuan jalan juga, kita membutuhkan
sekitar 1 jam untuk menemukan tempat ini. Perjalanan kami juga beberapa kali
dihambat oleh hujan yang tiba-tiba aja menyerbu dengan derasnya. Biaya masuknya
Rp 3000,00 per orang. Untuk menuju Air Terjun ini, kita harus menuruni anak
tangga sekitar 100 meter.
Air Terjun Oenesu (GALUH PRATIWI)
Air Terjun Oenesu 3 Tingkat (GALUH PRATIWI)
Air Terjun Oenesu (GALUH PRATIWI)
Karena sedang musim hujan, tentu saja kami tidak mengharapkan ketemu air
terjun yang bening, dangkal dan indah. Nyatanya, kami menjumpai air terjun
3 tingkat dengan debit air yang cukup deras serta berwarna coklat. Saat itu pun
kami tidak dianjurkan berenang gan karena terlalu bahaya. Sebenarnya saat musim
kemarau, Air Terjun Oenesu ini airnya akan berwarna bening dan bisa untuk
berenang gan. Karena tidak ada yang bisa kami nikmati selain foto dan membuat
video, kami segera meninggalkan tempat ini untuk menuju Pantai Tablolong.
Di tengah jalan, lagi-lagi kami harus berhenti karena hujan lagi gan.
Hufft, memang terlalu banyak cobaan kalau traveling di musim hujan. Karena
waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, sementara Any harus ujian jam 4,
akhirnya kami merelakan tidak ke Pantai Tablolong dan kembali ke Kota Kupang.
Sebagai pengganti Pantai Tablolong, kami pun bergegas melajukan motor ke
arah Museum NTT yang hanya buka sampai jam 5 sore. Waktu itu kami tidak
dikenakan biaya untuk masuk karena sedang direnovasi. Museum Daerah Nusa Tenggara Timur adalah sebuah museum provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak di Kota Kupang. Terletak di Jl. Raya Eltari II. Museum ini didirikan pada 1986.
Dan saat sudah di dalam, kami malah ketemu petugas Museum, Kak Riki, yang dengan fasihnya menjelaskan tentang setiap pameran yang ada disitu. Kak RIki menjelaskan dengan cukup detail tentang setiap peraga yang kami jumpai. Museum ini memiliki 6.199 koleksi yang berasal dari kelompok etnis yang mendiami 14 kabupaten dan kota di wilayah NTT. Disini asik banget loh gan, kita bisa lihat bendera merah putih sepanjang 1 km yang dibawa oleh Front Pembela Merah Putih terkait berpisahnya Timor leste dari Indonesia, benda-benda peninggalan zaman Perunggu yang ada di NTT, tradisi berburu paus di Desa Lamarela Lembata, tulang ikan paus yang ditemukan di pantai NTT, berbagai jenis kain adat dari Kabupaten se-NTT, Replika rumah-rumah adat kabupaten di NTT, dan lain-lain. Dengan biaya masuk yang begitu murah, kita bisa mengenal sejarah serta budaya provinsi NTT dengan baik gan.
Denah Museum NTT (GALUH PRATIWI)
Bendera merah putih dengan panjang 1000 m yang diserahkan oleh Front Pembela Merah Putih sebagai wujud cinta tanah air Indonesia terkait berpisahnya Timor Leste (GALUH PRATIWI)
Barang-barang peninggalan masa lalu (GALUH PRATIWI)
Barang-barang peninggalan masa lalu (GALUH PRATIWI)
Replika kapal yang digunakan masyarakat NTT untuk melaut (GALUH PRATIWI)
Koleksi kain adat dari kabupaten se-NTT (GALUH PRATIWI)
Rangka Ikan Paus Biru yang ditemukan terdampar di Pantai Oeba pada 4 Oktober 1973 dengan panjang 25 meter dan lebar 4 meter (GALUH PRATIWI)
Perahu kayu (disebut PALEDANG) yang digunakan untuk berburu paus. Perahu ini memang dirancang terbuka supaya mudah dalam memantau buruan. Layar dibuat dari daun gewang. Perburuan dibantu dengan menggunakan tombak/harpun yang biasa disebut tempuling. Tali panjang yangdisebut tali Leo diikatkan pada mata tempuling, ditambah bambu sepanjang 4 m sebagai alat bantu tikam. Sebuah perahu Paledang biasanya memuat hingga 7 orang yang didalamnya terdapat seorang juru tikam/lamata/balalaing (GALUH PRATIWI)
Dan saat sudah di dalam, kami malah ketemu petugas Museum, Kak Riki, yang dengan fasihnya menjelaskan tentang setiap pameran yang ada disitu. Kak RIki menjelaskan dengan cukup detail tentang setiap peraga yang kami jumpai. Museum ini memiliki 6.199 koleksi yang berasal dari kelompok etnis yang mendiami 14 kabupaten dan kota di wilayah NTT. Disini asik banget loh gan, kita bisa lihat bendera merah putih sepanjang 1 km yang dibawa oleh Front Pembela Merah Putih terkait berpisahnya Timor leste dari Indonesia, benda-benda peninggalan zaman Perunggu yang ada di NTT, tradisi berburu paus di Desa Lamarela Lembata, tulang ikan paus yang ditemukan di pantai NTT, berbagai jenis kain adat dari Kabupaten se-NTT, Replika rumah-rumah adat kabupaten di NTT, dan lain-lain. Dengan biaya masuk yang begitu murah, kita bisa mengenal sejarah serta budaya provinsi NTT dengan baik gan.
Sebagai pengganti karena batal mengunjungi Pantai
Tablolong, kami melajukan motor ke arah Oesapa untuk mengunjungi Pantai
Lasiana. Menurut beberapa sumber yang kami baca, sunset di Lasiana itu sangat
indah gan. Tapi lagi-lagi kami gagal mendapatkan sunset karena mendung. Mendung,
mendung dan mendung. Hufftt. Saat itu suasana sangat sepi, hanya ada kami
sebagai pengunjung. Tidak ada penjual makanan/gula aren juga. Ane tidak terlalu terkesan karena banyak sekali sampah bertebaran gan.
Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)
Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)
Jajaran pohon lontar disepanjang pesisir Pantai Lasiana (GALUH PRATIWI)
Sebagai penutup hari, kami pun melajukan motor kembali ke Pasar Malam
Kampung Solor untuk makan malam seafood. Kami mengorder kepiting asam
manis, cumi saos tiram dan udang asam manis. Huaaa, bisa dibayangkan rasanya,
enaaaaak banget gan makan sambil ditemani alunan lagu ambon dan dangdut.
Semuanya cuma habis 150ribuan aja, murah ya padahal kepitingnya besar banget.
Malam itu kami bermimpi dengan manis.Target hari kedua tercapai
90 %. Besok akhirnya ke ATAMBUA!!
Ikan segar di Pasar Malam Kampung Solor (GALUH PRATIWI)
Mata ane langsung tertuju ke kepiting (GALUH PRATIWI)
Menutup hari dengan makan seafood (GALUH PRATIWI)
0 comments:
Posting Komentar