Saat menyusun rencana perjalanan ke India,
sebenarnya Gaya tidak aku masukkan dalam daftar kota yang ingin kukunjungi. Aku lebih memilih Kota
Allahabad, sebuah kota 131 km sebelah barat Varanasi sebagai alternatif kota penyambung antara Agra dan Varanasi.
Tetapi karena kehabisan tiket kereta Agra-Allahabad, aku memutuskan Gaya
sebagai alternatif kota penyambung antara Varanasi dan Kolkata. Alasan klasik,
aku tidak mau berada terlalu lama di kereta sehingga membutuhkan satu kota
penyambung.
Ternyata Gaya inilah yang membuatku mendapat
travelmate. Salah satu travelmate-ku yang beragama Buddha merasa terhormat dia
bisa mendapatkan kesempatan mengunjungi Bodhgaya, tempat dimana Sang Buddha
Sidharta Gautama memperoleh pencerahan. Bodhgaya bisa dikatakan merupakan salah
satu tempat tersuci bagi umat Buddha. Sungguh India merupakan negara yang
sangat unik dan beragam terbukti dengan lahirnya beberapa agama besar dunia di
negara ini.
“Jreengg...jrenggg...Krepyar..Gaya Railway
Hai.”
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam saat
kami tiba di Stasiun Gaya. Begitu turun dari kereta semburan udara panas
langsung menyerbu kami kembali meskipun tidak sepanas di Varanasi. Kami segera
melangkah ke depan dengan harapan segera menemukan Auto Rickshaw untuk
mengantarkan kami ke penginapan. Di pusat informasi, kami sempat bertemu turis
wanita asal Amerika yang menyarankan kami untuk tinggal di stasiun saja sampai
pagi, esok hari baru naik Auto Rickshaw ke Bodhgaya. Karena menurutnya adalah
sangat rawan naik Auto Rickshaw tengah malam begini ke Bodhgaya. Jarak Stasiun
Gaya dan Bodhgaya sendiri adalah 11 km.
Dengan kekeras-kepalaan kami, kami bertiga
tetap saja mencari Auto Rickshaw untuk mengantarkan kami ke Bodhgaya saat itu
juga. Mendapatkan supir yang cukup terpercaya – setidaknya dari wajahnya –
dengan tarif 300 Rs, kami mulai berjalan meninggalkan Stasiun Gaya. Entahlah
apa yang akan terjadi, kami hanya butuh udara dingin dan sebuah kamar untuk
malam ini.
Semakin menjauhi Stasiun Gaya, jalanan
menjadi semakin sepi dan gelap. Di kanan kiri hanya terdapat sawah dan sesekali
rumah penduduk yang sudah tertutup rapat. Di depan hanya ada jalan gelap kosong
yang seakan tak berujung. Hati ini mulai gelisah, sebenanya kami mau dibawa kemana?
Aku sudah memikirkan berbagai alternatif jika supir ini mau berbuat jahat
kepada kami. Salah satu alternatif yang aku pikirkan adalah langsung melompat
dan bersembunyi di semak-semak. Sungguh alternatif yang sangat pengecut.
Menit demi menit berjalan seakan membuat
keringat dinginku semakin mengalir deras. Aku juga bisa melihat di wajah kedua
travelmate-ku, bahwa mereka juga ketakutan. Pix San mulai bertanya beberapa
kali kepada supir, “Where you will taking
us?” Si supir hanya menjawab dengan gumaman yang tidak jelas. Ketakutan
kami semakin di ujung syaraf. Kami seharusnya mendengarkan nasehat turis wanita
Amerika tadi!
Setengah jam kemudian, kami sampai di sebuah
pertigaan dan supir Auto Rickshaw bertanya kepada kami, “Where you will stay?”. Pix San segera menjawab nama penginapan
yang sudah kami incar sebelumnya
berdasarkan rekomendasi pemilik penginapan di Varanasi. Supir terlihat
kebingungan dan mulai berbicara dengan Bahasa Hindi kepada beberapa temannya yang
berada di sekitar pertigaan. Keringat dingin mulai bercucuran, ‘Apa yang mereka
bicarakan? Apa mereka sedang merencanakan sesuatu untuk berbuat jahat kepada
kami?’ Aku benar-benar benci perasaan ketakutan seperti ini. Tidak ada satupun
dari kami yang bisa bela diri atau semacamnya. Kami pasrah sewaktu supir
mengemudikan Auto Rickshaw menuju gang kecil yang cukup padat pemukiman.
Tiba-tiba, dengan sentakan rem ringan, supir
Auto Rickshaw meminta kami turun. Kami diturunkan di depan sebuah rumah besar
yang belakangan kutahu adalah penginapan yang akan kami inapi malam ini.
Ternyata kami sudah sampai! Aku bersyukur, kami masih selamat malam ini.
Seharusnya ini merupakan salah satu pengalaman yang tidak boleh kami ulang,
apalagi jika solo backpacker.
Berunding singkat dengan penjaga penginapan,
kami mendapatkan sebuah kamar – Air Conditioner – ya, AC dengan tarif 1000Rs
per-malam. Penjaga penginapan itu adalah seorang laki-laki India yang terus menerus bertanya
kepada kami tentang semua hal. Kami yang
sudah bosan dan capek memaksa untuk cepat tidur dan masuk kamar. Kondisi penginapan terlihat kotor (di bak cuci saya jumpai piring kotor bertumpuk-tumpuk), tapi ah sudahlah, saya capek. Besok kami
akan menjelajah Bodhgaya!
PS: Maaf tidak ada foto yang saya dan travelmate ambil karena posisi kami dalam keadaan capek karena sampai Gaya sudah tengah malam.
0 comments:
Posting Komentar