1. PENDAHULUAN
Cekungan Sumatera
Bagian Utara /North Sumatera Basin
telah lama dikenali sebagai salah satu cekungan yang banyak menghasilkan hidrokarbon di Indonesia. Penemuan
hidrokarbon onshore pertama kali di
cekungan ini terjadi pada tahun 1885 (Clifton) dan selanjutnya eksplorasi onshore maupun offshore dilakukan setelahnya sampai sekarang (Fitriandi, 2006).
Secara regional, Subcekungan Pase ‘A’ North di Sumatera Utara termasuk dalam
bagian Cekungan Sumatera Bagian Utara.
Secara geologi,
Cekungan Sumatera Bagian Utara dibatasi oleh Dataran Malaka pada sebelah timur,
Busur Asahan pada sebelah selatan, Perbukitan Barisan pada sebelah barat dan
Kepulauan Andaman di sebelah utara. (Fitriandi, 2006).
Gambar 1. Lokasi dan lingkup Cekungan Sumatera
Bagian Utara pada bagian yang dibatasi garis merah (Ryder, 1999)
2.
GEOLOGI
REGIONAL
2.1
Setting
Tektonik
Setting tektonik pada Cekungan Sumatera
Bagian Utara secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu aktivitas
tektonik selama Pre-Tersier dan Tersier. (Fitriandi, 2006) Pada Pre-Tersier,
aktivitas tektonik ditandai oleh munculnya vulkanisme dengan bukti keterdapatan
intrusi. Intrusi tersebut bersifat asam dengan produk batuan granodiorit dan
granit. (Fitriandi, 2006)
Selama
Kala Tersier, aktivitas tektonik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu
Pre-Miosen, Miosen dan Post-Miosen. Aktivitas tektonik pada Pre-Miosen secara
garis besar menghasilkan pola struktural
berarah N-S (utara-selatan). Zona sesar
dominan sering disebut “98 fault zone”
dikarenakan letaknya yang pada garis bujur 980dan berarah N-S
(utara-selatan). Pola struktural pada Miosen dan Post Miosen secara garis besar
berarah NW-SE yang relevan dengan memanjangnya pengangkatan Bukit Barisan
(Fitriandi, 2006).
Gambar 2. Elemen tektonik regional dari
Cekungan Sumatera Bagian Utara dengan kelurusan dominan berarah U-S dan BL-T
(Anonim)
Selama
Tersier, terjadi proses penurunan (subsidence) pada Cekungan Sumatera
Bagian Utara sehingga menyebabkan pengendapan setebal lebih dari 5500 meter
sedimen pada bagian tengah cekungan. Orogenesa saat itu terjadi sangat aktif
yang ditunjukkan oleh gradien temperatur yang tinggi yaitu sebesar 2,70F
/ 100 ft, cukup besar dibandingkan dengan rata-rata nilai gradien temperatur
dunia yang sebesar 10-1,50F/100ft (Fitriandi, 2006).
2.2 Stratigrafi
2.2.1
Basement (Batuan Dasar)
Batuan dasar/batuan induk pada Cekungan
Sumatera Bagian Utara terdiri dari batupasir, batugamping dan batudolomit. Ciri
khasnya adalah tebal, padat dan mempunyai banyak rekahan tetapi belum terubah
menjadi batuan metamorf. Pada beberapa contoh core yang diambil (yang tidak
dilakukan dating), pada awalnya
sangat sulit menentukan bahwa
batuan-batuan sedimen tersebut adalah basement.
Pemahaman tentang basement ini diperjelas dengan bukti data geofisika yaitu
dengan adanya resistivitas dan kecepatan gelombang yang tinggi pada batuan
sedimen ini dibanding dengan batuan di sekitarnya. Sementara, pada bagian atas
dari section ini,
diidentifikasikan dengan batas seismik
yang menerus dan dalam, yang sering disebut Beicip (1977) sebagai “economic basement”.
2.2.2
Formasi
Tampur
Formasi ini merupakan formasi tertua
yang terendapkan setelah kelompok batuan sedimen pada basement. Litologi penyusun satuan ini berupa kalkarenit dan
kalsilutit yang masif maupun bioklastik. Selain batugamping klastik, formasi
ini juga tersusun oleh konglomerat basaltik dan batugamping dolomit. Formasi
ini diendapkan pada kondisi sub litoral sampai open
marineselama Eosen Akhir sd Awal Oligosen, terbentuk sebagai formasi
transgresif yang kemudian ditumpuki oleh Formasi Bampo dan Bruksah. Batugamping
Tampur Eosen secara umum hanya terbentuk pada Paparan Malaka (Ryacudu &
Sjahbuddin, 1994). Selanjutnya, sejarah perkembangan Cekungan Sumatera Bagian
Utara pada Tersier dapat dibagi menjadi 3 fase utama yaitu:
-
Syn Rift
-
Transisional (sag phase)
-
Compressional
Selanjutnya,
stratigrafi yang berkembang sangat dipengaruhi oleh ketiga fase evolusi
tektonik tersebut (Fitriandi, 2006).
2.2.3
Fase
Syn Rift Awal: Formasi Bampo dan Bruksah
Fase
syn rift awal terjadi pada Paleogen Tengah (Eosen?) dan terus berlanjut sampai
Miosen Awal, waktu dimana pola struktural seperti horsts, graben dan half-grabens
berarah N-S dan NE-SW berkembang. Pada kala itu juga merupakan waktu
terjadinya transgresi laut besar (yang didefinisikan sebagai kenaikan relatif
dari muka air laut pada cekungan, yang kemungkinan disebabkan oleh back arc subsidence. Pada graben-fill terdiri dari batupasir asal darat dan
konglomerat. Ketika transgresi semakin berkembang, area pengendapan batupasir
berkurang dan saat itu deposisi shale mendominasi.
Endapan pasir yang terakhir secara luas terakumulasi pada coastal plain. Ciri khas shale-nya
adalah berwarna abu-abu gelap sampai hitam dan terendapkan pada lingkungan laut
dalam (bathyal) (Fitriandi, 2006).
Batupasir
dan konglomerat yang terendapkan pada fase ini terdiri dari Formasi Bruksah,
yang ditetapkan oleh Cameron et al (1083) dari pemetaan lapangan pada
Perbukitan Barisan. Litologi yang berkembang terdiri dari konglomerat
batugamping dan breksi, batupasir kuarsa dengan kandungan mika dan batulumpur
lanauan. Formasi Bruksah ini ditumpuki oleh Formasi Bampo, sekuen marine black shale, silt stone dan muddily fibre grainedyang mempunyai
ketebalan 500-2400 m. Korelasi stratigrafi mengindikasikan bahwa bagian atas
dari Formasi Bruksah ekuivalen dengan umur Formasi Bampo (Fitriandi, 2006).
2.2.4
Fase Transisi Late syn-rift dan transisi : Formasi Belumai dan Peutu
Fase transisi dari evolusi cekungan
terjadi selama early miocene hingga early mid miecene dan memperlihatkan
aktivitas tektonik yang relatif lambat. Pergerakan ke arah N-S yang menyebabkan
patahan, walaupun back arc mengalami subsidence secara perlahan kembali. Hal
ini merupakan karakteristik dari regresi (muka air laut turun tetapi suplai
sedimen sedikit) dan pengisian cekungan. Sebagai bagian tengah graben terisi
dan menjadi dangkal, calcareous marine sand,
dan batulanau dengan argiliaceous dan sady limestone terakumulasi didalam.
Deposit isi cekungan inilah yang menekan Formasi Belumai.
Pada Formasi Belumai batupasir dan
batulanau secara umum tersusun oleh kuarsa dan sangat calcareous (diatas 40-50% karbonat). Kandungan kuarsa menurun ke
arah baratdaya hanya menjadi 10-30%, diperkirakan sebagai akibat dari semakin
jauhnya jarak dari sumber pasir pada Malaca platform.
Pada late
early miocene terjadi transgresi, diperkirakan hasil dari keberlanjutan
subsidence dengan muka air laut naik. Pasir pada bagian tengah horst Malaca
platform tergenang dan menjadi tempat batugamping laut dangkal terdeposisi,
termasuk reef yang menekan Formasi Peutu (Kamili et al,1976) dan ketebalan yang
signifikan dari shale melapisi Formasi Boang.
Proses sedimentasi pada cekungan Belumai
berlangsung kembali selama akumulasi skeletal
limestone Peutu dan reef pada platform. Sehingga secara umur Formasi
Peutu dan bagian atas dari Formasi Belumai ekuivalen.
Dibagian terdalam dari cekungan Sumatra
Utara, deposit Belumai berupa mundstone dan calcareous shale yang sulit untuk
dibedakan dari lapisan Baong. Bagian tengah dan atas shale Baong berwarna
abu-abu kehijauan hingga coklat, tetapi bagian bawah Baong berwarna abu-abu
gelap hingga hitam. Kontak antara Peutu dan Belumai dengan dilapisi Baong
menunjukan penurunan jumlah kalsium karbonat.
2.2.5
Transgresi
Mayor : Formasi Baong
Transgresi mayor terjadi pada interval
sedimentasi Peutu/bagian atas Belumai. Onset meningkat pada muka air laut
realtif dengan muka air laut naik hingga 15,5m (N8-N9), perubahan dari
lingkungan paralik ke batial . perubahan dalam tektonik rezim adalah bukti dari
reaktivasi dan inversi dari horst graben tua sistem patahan.
Regional subsidence menyebabkan
perubahan kedalaman, menjadi ekstensif foreland basin. Cekungan pada Formasi
Baong terisi dengan ketebalan sekitar 750-2500m dengan didominasi oleh mudrock
monotonous abu-abu dan coklat.
Distribusi dari bagian bawah shale Baong
mengindikasikan kondisi batial. Dominasi mudrock terdapat pada bagian bawah
Baong, tetapi turbidite sand juga
terjadi di area sepanjang tepian cekungan.
2.2.6
Syn-Inversion
Regime: Formasi Keutapang dan Younger
Fase Foreland
akhir mengakhiri pengisian pada cekungan. Setelah itu, tektonik transpresional berlanjut, tetapi influk
material sedimen bergantung kepada
penurunan cekungan. Sedimentasi terjadi dengan model delta, yang dikendalikan
oleh perubahan muka air laut relatif dan supply
sedimen (Fitriandi, 2006).
Formasi Keutapang menandai sedimentasi
besar fasies delta untuk pertama kalinya. Ketebalan formasi ini bervariasi
antara 700-1500 m pada Aceh Timur. Berdasarkan data fosil foraminifera
planktonik, umur formasi ini berkisar antara N15-N19 atau Miosen Akhir sampai
Pliosen Awal. Litologi penyusunnya terdiri dari batupasir abu-abu kebiruan atau
batupasir abu-abu kecoklatan yang berselang-seling dengan shale dan batugamping
(jarrang dan tipis). Ukuran butir batupasir bervariasi dari sangat halus sampai
kerakal konglomerat, hal ini menunjukkan proses perubahan eneergi yang
berlangsung sangat efektif. Batupasir yang berkembang umumnya mengandung
glaukonit dan/atau berfosil. Fragmen-fragmen batubara umum ditemukan,
berselang-seling dengan shale (Fitriandi, 2006).
Kontak bagian atas Formasi Keutapang
merupakan kontak gradasional karena susah dicari baik berdasarkan data
singkapan ataupun data bawah permukaan. Perubahan gradasional itu diketahui
dari Formasi Seurela yang lebih banyak mengandung shale sehingga membentuk topografi yang rendah dan berupa bukit-bukit
melingkar. Umur Formasi Seurela adalah N18-N19 dan mempunyai ketebalan yang
bervariasi antara 700-900 m (Fitriandi, 2006)
Formasi Seurela terdiri dari shale abu-abu kebiruan. Shale abu-abu kebiruan ini ditumpuki
oleh batupasir medium sd kasar dan batupasir konglomeratik. Baik shale maupun pasir yang mempunyai kandungan fosil dan terdapat
fragmen batubara. Klastika vulkanik melimpah pada batupasir (Bennett et al.,
1981).
Setelah Formasi Seurela, diendapkan
Formasi Julu Rayeu yang terdiri dari dari material sedimen klastika berbutir
kasar. Lignit banyak muncul pada shale dan
berselang-seling dengan batupasir, dimana lingkungan purbanya bervariasi dari alluvial sampai parallic (Fitriandi, 2006) Di
atas Formasi Julu Rayeu, diendapapkan Formasi Idi, yang didekripsikan oleh
Bennett et al., (1981) terdiri dari semi
consolidated gravels, sand & mudstones.
Gambar 3. Stratigrafi regional dari Cekungan
Sumatera Bagian Utara (Fitriandi, 2006)
Gambar 4. Stratigrafi regional dari sebagian Cekungan
Sumatera Bagian Utara (Cameron, et al., 1982)
Gambar 5. Legenda Stratigrafi (Cameron, et al., 1982)
2.3 Petroleum System
2.3.1
Source Rock
Terdapat dua formasi yang menjadi source rock potensial pada Cekungan
Sumatera Bagian Utara, yaitu Formasi Baong yang berumur Miosen dan Formasi
Bampo yang berumur Oligosen sampai Miosen Akhir.
Pada Formasi Baong, interval source rock terbaik ada pada bagian
bawah dimana mudstone terendapkan
pada lingkungan neritik luar sd batial. Batuan-batuan itu, kemungkinan dibatasi
oleh graben yang berarah utara-selatan (Mulhadiono, et all., 1977; Kingstone,
1978). Meskipun Baong Mudstone tidak
melimpah kandungan organiknya, namun
karena memiliki kandungan karbon melebihi 1,5 % maka memungkikan untuk
membentuk volume hidrokarbon yang esensial (Fitriandi, 2006).
Pada Formasi Bampo yang berumur Oligosen
sampai Miosen Akhir, , interval source
rock terbaik ada pada batuan mudstones
yang diendapkan pada lingkungan laut
dangkal selama fase rifting (Kamili,
et al., 1976).
2.3.2
Reservoir
Target utama reservoir
dalam eksplorasi pada cekungan Sumatera Utara adalah Formasi Balumai yang
dominan tersusun atas batupasir,serta beberapa batugamping secarasetempat-setempat.Selain
batupasir, juga terdapat batugamping terumbu pada Formasi Peutu dengan umur MiosenAwal
– Tengah yang banyak dijadikan target eksplorasi yang banyak disebut sebagai Batugamping
Arun (Soepardjadi, 1983), Malacca
Carbonates (Mundt, 1982), atau Malaca
Member (McArthur and Helm, 1983).
Minyak yang
belum matang banyak terdapat pada batupasir Formasi Keutapang dan Seurula. Formasi
Keutapang terbentuk sebagai prograding
delta yang disebabkan oleh adanya pengangkatan Bukit Barisan secara perlahan
(Mulhadiono, 1976). Sedangkan Formasi Seurula terbentuk akibat debris
volkaniklastik dengan ukuran yang lebih kasar (Keats, 1979).
Kebanyakan
reservoir pada cekungan Sumatera Utara memiliki lapisan shale yang impermeable,
seperti pada bagian bawah Formasi Belumai, Formasi Baong dan Formasi Keutupang.
Lapisan shale inidapat berperan sebagai seal pada petroleum system di Cekungan
Sumatera Utara. Banyaknyastruktur geologi dan trap stratigrafi yang terbentuk ketika
terjadi deformasi pada Sunda Microplate juga
turut berperan dalam pembentukan cebakan hidrokarbon pada Cekungan Sumatera
Utara (Fitriandi, 2006)
Prospek hidrokarbon pada
cekungan Sumatera Utara yang paling besar berasal dari batupasir Formasi Belumai.
Batupasir Formasi Belumai hanya pernah diuji dengan pendekatan struktur geologi.Diduga
reservoir utama pada formasi ini terletak dalam suatu trap stratigrafi, dimana dalam
trap tersebut batupasir Formasi Belumai akan mendapatkan source langsung dari
shale Formasi Belumai/ Baong pada bagian bawah. (Fitriandi, 2006)
DAFTAR
PUSTAKA
N.R.Cameron, et al., dkk,
1982, Peta Geologi Lembar Medan, Sumatera Utara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Fitriani, Primandita, 2006, Basin Summaries-Indonesia, Jakarta:
Patra Nusa Data
Tidak ada komentar:
Posting Komentar