Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work.

4.27.2016

Cekungan Pase 'A' North Sumatera Utara

1.      PENDAHULUAN
Cekungan Sumatera Bagian Utara /North Sumatera Basin telah lama dikenali sebagai salah satu cekungan yang banyak menghasilkan  hidrokarbon di Indonesia. Penemuan hidrokarbon onshore pertama kali di cekungan ini terjadi pada tahun 1885 (Clifton) dan selanjutnya eksplorasi onshore maupun offshore dilakukan setelahnya sampai sekarang (Fitriandi, 2006). Secara regional, Subcekungan Pase ‘A’ North di Sumatera Utara termasuk dalam bagian Cekungan Sumatera Bagian Utara.

Secara geologi, Cekungan Sumatera Bagian Utara dibatasi oleh Dataran Malaka pada sebelah timur, Busur Asahan pada sebelah selatan, Perbukitan Barisan pada sebelah barat dan Kepulauan Andaman di sebelah utara. (Fitriandi, 2006).

Gambar 1. Lokasi dan lingkup Cekungan Sumatera Bagian Utara pada bagian yang dibatasi garis merah (Ryder, 1999)

2.      GEOLOGI REGIONAL
2.1  Setting Tektonik
Setting tektonik pada Cekungan Sumatera Bagian Utara secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu aktivitas tektonik selama Pre-Tersier dan Tersier. (Fitriandi, 2006) Pada Pre-Tersier, aktivitas tektonik ditandai oleh munculnya vulkanisme dengan bukti keterdapatan intrusi. Intrusi tersebut bersifat asam dengan produk batuan granodiorit dan granit. (Fitriandi, 2006)
Selama Kala Tersier, aktivitas tektonik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok besar yaitu Pre-Miosen, Miosen dan Post-Miosen. Aktivitas tektonik pada Pre-Miosen secara garis besar menghasilkan  pola struktural berarah  N-S (utara-selatan). Zona sesar dominan sering disebut “98 fault zone” dikarenakan letaknya yang pada garis bujur 980dan berarah N-S (utara-selatan). Pola struktural pada Miosen dan Post Miosen secara garis besar berarah NW-SE yang relevan dengan memanjangnya pengangkatan Bukit Barisan (Fitriandi, 2006).
Gambar 2. Elemen tektonik regional dari Cekungan Sumatera Bagian Utara dengan kelurusan dominan berarah U-S dan BL-T (Anonim)

Selama Tersier, terjadi proses penurunan  (subsidence) pada Cekungan Sumatera Bagian Utara sehingga menyebabkan pengendapan setebal lebih dari 5500 meter sedimen pada bagian tengah cekungan. Orogenesa saat itu terjadi sangat aktif yang ditunjukkan oleh gradien temperatur yang tinggi yaitu sebesar 2,70F / 100 ft, cukup besar dibandingkan dengan rata-rata nilai gradien temperatur dunia yang sebesar 10-1,50F/100ft (Fitriandi, 2006).

2.2  Stratigrafi
2.2.1        Basement (Batuan Dasar)
Batuan dasar/batuan induk pada Cekungan Sumatera Bagian Utara terdiri dari batupasir, batugamping dan batudolomit. Ciri khasnya adalah tebal, padat dan mempunyai banyak rekahan tetapi belum terubah menjadi batuan metamorf. Pada beberapa contoh core yang diambil (yang tidak dilakukan dating), pada awalnya sangat sulit menentukan  bahwa batuan-batuan sedimen tersebut adalah basement. Pemahaman tentang basement ini diperjelas dengan bukti data geofisika yaitu dengan adanya resistivitas dan kecepatan gelombang yang tinggi pada batuan sedimen ini dibanding dengan batuan di sekitarnya. Sementara, pada bagian atas dari section ini, diidentifikasikan  dengan batas seismik yang menerus dan dalam, yang sering disebut Beicip (1977) sebagai “economic basement”.

2.2.2        Formasi Tampur
Formasi ini merupakan formasi tertua yang terendapkan setelah kelompok batuan sedimen pada basement. Litologi penyusun satuan ini berupa kalkarenit dan kalsilutit yang masif maupun bioklastik. Selain batugamping klastik, formasi ini juga tersusun oleh konglomerat basaltik dan batugamping dolomit. Formasi ini diendapkan pada kondisi sub litoral  sampai open marineselama Eosen Akhir sd Awal Oligosen, terbentuk sebagai formasi transgresif yang kemudian ditumpuki oleh Formasi Bampo dan Bruksah. Batugamping Tampur Eosen secara umum hanya terbentuk pada Paparan Malaka (Ryacudu & Sjahbuddin, 1994). Selanjutnya, sejarah perkembangan Cekungan Sumatera Bagian Utara pada Tersier dapat dibagi menjadi 3 fase utama yaitu:
-          Syn Rift
-          Transisional (sag phase)
-          Compressional
Selanjutnya, stratigrafi yang berkembang sangat dipengaruhi oleh ketiga fase evolusi tektonik tersebut (Fitriandi, 2006).

2.2.3        Fase Syn Rift Awal: Formasi Bampo dan Bruksah
Fase syn rift awal terjadi pada Paleogen Tengah (Eosen?) dan terus berlanjut sampai Miosen Awal, waktu dimana pola struktural seperti horsts, graben dan half-grabens berarah N-S dan NE-SW berkembang. Pada kala itu juga merupakan waktu terjadinya transgresi laut besar (yang didefinisikan sebagai kenaikan relatif dari muka air laut pada cekungan, yang kemungkinan disebabkan oleh back arc subsidence. Pada graben-fill  terdiri dari batupasir asal darat dan konglomerat. Ketika transgresi semakin berkembang, area pengendapan batupasir berkurang dan saat itu deposisi shale mendominasi. Endapan pasir yang terakhir secara luas terakumulasi pada coastal plain. Ciri khas shale-nya adalah berwarna abu-abu gelap sampai hitam dan terendapkan pada lingkungan laut dalam (bathyal) (Fitriandi, 2006).
            Batupasir dan konglomerat yang terendapkan pada fase ini terdiri dari Formasi Bruksah, yang ditetapkan oleh Cameron et al (1083) dari pemetaan lapangan pada Perbukitan Barisan. Litologi yang berkembang terdiri dari konglomerat batugamping dan breksi, batupasir kuarsa dengan kandungan mika dan batulumpur lanauan. Formasi Bruksah ini ditumpuki oleh Formasi Bampo, sekuen marine black shale, silt stone dan muddily fibre grainedyang mempunyai ketebalan 500-2400 m. Korelasi stratigrafi mengindikasikan bahwa bagian atas dari Formasi Bruksah ekuivalen dengan umur Formasi Bampo (Fitriandi, 2006).

2.2.4        Fase Transisi Late syn-rift dan transisi :  Formasi Belumai dan Peutu
Fase transisi dari evolusi cekungan terjadi selama early miocene hingga early mid miecene dan memperlihatkan aktivitas tektonik yang relatif lambat. Pergerakan ke arah N-S yang menyebabkan patahan, walaupun back arc mengalami subsidence secara perlahan kembali. Hal ini merupakan karakteristik dari regresi (muka air laut turun tetapi suplai sedimen sedikit) dan pengisian cekungan. Sebagai bagian tengah graben terisi dan menjadi dangkal, calcareous marine sand, dan batulanau dengan argiliaceous dan sady limestone terakumulasi didalam. Deposit isi cekungan inilah yang menekan Formasi Belumai.
Pada Formasi Belumai batupasir dan batulanau secara umum tersusun oleh kuarsa dan sangat calcareous (diatas 40-50% karbonat). Kandungan kuarsa menurun ke arah baratdaya hanya menjadi 10-30%, diperkirakan sebagai akibat dari semakin jauhnya jarak dari sumber pasir pada Malaca platform.
Pada late early miocene terjadi transgresi, diperkirakan hasil dari keberlanjutan subsidence dengan muka air laut naik. Pasir pada bagian tengah horst Malaca platform tergenang dan menjadi tempat batugamping laut dangkal terdeposisi, termasuk reef yang menekan Formasi Peutu (Kamili et al,1976) dan ketebalan yang signifikan dari shale melapisi Formasi Boang.
Proses sedimentasi pada cekungan Belumai berlangsung kembali selama akumulasi skeletal  limestone Peutu dan reef pada platform. Sehingga secara umur Formasi Peutu dan bagian atas dari Formasi Belumai ekuivalen.
Dibagian terdalam dari cekungan Sumatra Utara, deposit Belumai berupa mundstone dan calcareous shale yang sulit untuk dibedakan dari lapisan Baong. Bagian tengah dan atas shale Baong berwarna abu-abu kehijauan hingga coklat, tetapi bagian bawah Baong berwarna abu-abu gelap hingga hitam. Kontak antara Peutu dan Belumai dengan dilapisi Baong menunjukan penurunan jumlah kalsium karbonat.

2.2.5        Transgresi Mayor  : Formasi Baong
Transgresi mayor terjadi pada interval sedimentasi Peutu/bagian atas Belumai. Onset meningkat pada muka air laut realtif dengan muka air laut naik hingga 15,5m (N8-N9), perubahan dari lingkungan paralik ke batial . perubahan dalam tektonik rezim adalah bukti dari reaktivasi dan inversi dari horst graben tua sistem patahan.
Regional subsidence menyebabkan perubahan kedalaman, menjadi ekstensif foreland basin. Cekungan pada Formasi Baong terisi dengan ketebalan sekitar 750-2500m dengan didominasi oleh mudrock monotonous abu-abu dan coklat.
Distribusi dari bagian bawah shale Baong mengindikasikan kondisi batial. Dominasi mudrock terdapat pada bagian bawah Baong, tetapi turbidite sand juga terjadi di area sepanjang tepian cekungan.

2.2.6        Syn-Inversion Regime: Formasi Keutapang dan Younger
Fase Foreland akhir mengakhiri pengisian pada cekungan. Setelah itu, tektonik transpresional berlanjut, tetapi influk material sedimen  bergantung kepada penurunan cekungan. Sedimentasi terjadi dengan model delta, yang dikendalikan oleh perubahan muka air laut relatif dan supply sedimen (Fitriandi, 2006).
Formasi Keutapang menandai sedimentasi besar fasies delta untuk pertama kalinya. Ketebalan formasi ini bervariasi antara 700-1500 m pada Aceh Timur. Berdasarkan data fosil foraminifera planktonik, umur formasi ini berkisar antara N15-N19 atau Miosen Akhir sampai Pliosen Awal. Litologi penyusunnya terdiri dari batupasir abu-abu kebiruan atau batupasir abu-abu kecoklatan yang berselang-seling dengan shale  dan batugamping (jarrang dan tipis). Ukuran butir batupasir bervariasi dari sangat halus sampai kerakal konglomerat, hal ini menunjukkan proses perubahan eneergi yang berlangsung sangat efektif. Batupasir yang berkembang umumnya mengandung glaukonit dan/atau berfosil. Fragmen-fragmen batubara umum ditemukan, berselang-seling dengan shale  (Fitriandi, 2006).
Kontak bagian atas Formasi Keutapang merupakan kontak gradasional karena susah dicari baik berdasarkan data singkapan ataupun data bawah permukaan. Perubahan gradasional itu diketahui dari Formasi Seurela yang lebih banyak mengandung shale sehingga membentuk topografi yang rendah dan berupa bukit-bukit melingkar. Umur Formasi Seurela adalah N18-N19 dan mempunyai ketebalan yang bervariasi antara 700-900 m (Fitriandi, 2006)
Formasi Seurela terdiri dari shale abu-abu kebiruan. Shale abu-abu kebiruan ini ditumpuki oleh batupasir medium sd kasar dan batupasir konglomeratik. Baik shale maupun pasir yang  mempunyai kandungan fosil dan terdapat fragmen batubara. Klastika vulkanik melimpah pada batupasir (Bennett et al., 1981).
Setelah Formasi Seurela, diendapkan Formasi Julu Rayeu yang terdiri dari dari material sedimen klastika berbutir kasar. Lignit banyak muncul pada shale dan berselang-seling dengan batupasir, dimana lingkungan purbanya bervariasi dari alluvial sampai parallic (Fitriandi, 2006) Di atas Formasi Julu Rayeu, diendapapkan Formasi Idi, yang didekripsikan oleh Bennett et al., (1981) terdiri dari semi consolidated gravels, sand & mudstones.
Gambar 3. Stratigrafi regional dari Cekungan Sumatera Bagian Utara (Fitriandi, 2006)

Gambar 4. Stratigrafi regional dari sebagian Cekungan Sumatera Bagian Utara (Cameron, et al., 1982)

Gambar 5. Legenda Stratigrafi (Cameron, et al., 1982)

2.3  Petroleum System
2.3.1        Source Rock
Terdapat dua formasi yang menjadi source rock potensial pada Cekungan Sumatera Bagian Utara, yaitu Formasi Baong yang berumur Miosen dan Formasi Bampo yang berumur Oligosen sampai Miosen Akhir.
Pada Formasi Baong, interval source rock terbaik ada pada bagian bawah dimana mudstone terendapkan pada lingkungan neritik luar sd batial. Batuan-batuan itu, kemungkinan dibatasi oleh graben yang berarah utara-selatan (Mulhadiono, et all., 1977; Kingstone, 1978). Meskipun Baong Mudstone tidak melimpah  kandungan organiknya, namun karena memiliki kandungan karbon melebihi 1,5 % maka memungkikan untuk membentuk volume hidrokarbon yang esensial (Fitriandi, 2006).
Pada Formasi Bampo yang berumur Oligosen sampai Miosen Akhir, , interval source rock terbaik ada pada batuan mudstones yang diendapkan pada lingkungan  laut dangkal selama fase rifting (Kamili, et al., 1976).

2.3.2        Reservoir
Target utama reservoir dalam eksplorasi pada cekungan Sumatera Utara adalah Formasi Balumai yang dominan tersusun atas batupasir,serta beberapa batugamping secarasetempat-setempat.Selain batupasir, juga terdapat batugamping terumbu pada Formasi Peutu dengan umur MiosenAwal – Tengah yang banyak dijadikan target eksplorasi yang banyak disebut sebagai Batugamping Arun (Soepardjadi, 1983), Malacca Carbonates (Mundt, 1982), atau Malaca Member (McArthur and Helm, 1983).
Minyak yang belum matang banyak terdapat pada batupasir Formasi Keutapang dan Seurula. Formasi Keutapang terbentuk sebagai prograding delta yang disebabkan oleh adanya pengangkatan Bukit Barisan secara perlahan (Mulhadiono, 1976). Sedangkan Formasi Seurula terbentuk akibat debris volkaniklastik dengan ukuran yang lebih kasar (Keats, 1979).
Kebanyakan reservoir pada cekungan Sumatera Utara memiliki lapisan shale yang impermeable, seperti pada bagian bawah Formasi Belumai, Formasi Baong dan Formasi Keutupang. Lapisan shale inidapat berperan sebagai seal pada petroleum system di Cekungan Sumatera Utara. Banyaknyastruktur geologi dan trap stratigrafi yang terbentuk ketika terjadi deformasi pada Sunda Microplate juga turut berperan dalam pembentukan cebakan hidrokarbon pada Cekungan Sumatera Utara (Fitriandi, 2006)
Prospek hidrokarbon pada cekungan Sumatera Utara yang paling besar berasal dari batupasir Formasi Belumai. Batupasir Formasi Belumai hanya pernah diuji dengan pendekatan struktur geologi.Diduga reservoir utama pada formasi ini terletak dalam suatu trap stratigrafi, dimana dalam trap tersebut batupasir Formasi Belumai akan mendapatkan source langsung dari shale Formasi Belumai/ Baong pada bagian bawah. (Fitriandi, 2006)


DAFTAR PUSTAKA
N.R.Cameron, et al., dkk, 1982, Peta Geologi Lembar Medan, Sumatera Utara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Fitriani, Primandita, 2006, Basin Summaries-Indonesia, Jakarta: Patra Nusa Data

Pertamina BPPKA, ed., 1996, Petroleum geology of Indonesian basin principles, methods and application:  Volume I North Sumatra Basin: Pertamina BPPKA, Jakarta, Indonesia, 85 p.


0 comments:

Posting Komentar