3.28.2016

Tanah Timor LELEBO 1 : Tanah Timor Lebi Bae

Perjalanan ini dimulai dengan kegalauan yang sangat.

Kegalauan itu silahkan dibaca disini.

Ada kesedihan sekaligus kebahagiaan yang mengawali perjalanan ane ke Pulau Timor ini gan. Kesedihan ane silahkan lihat di link diatas, kebahagiaan ane karena akhirnya ane bisa ketemu lagi dengan teman-teman, adik-adik, sahabat di Pulau Timor.

Let's the story begin!!!

Pulau Timor akan menjadi tujuan backpackeran ane selanjutnya di awal tahun 2014. Dengan berbagai trik promosi dan rayuan, ane berhasil mengajak dua teman kuliah (Arin dan Fredo) untuk bergabung di trip ini. Sebelum berangkat trip ke Pulau Timor ini, ane sebenarnya mengalami banyak kegalauan gan. Hal itu karena sebenarnya ane mempunyai rencana ................ pada bulan yang sama dan tanggal yang sama. Udah mempersiapkan segalanya, udah tinggal cap cus, eh tapi tiba-tiba semuanya berantakan karena sesuatu hal di kampus dan otak ane yang kadang emang miring. Karena fulus cuma cukup untuk satu trip aja dan nilai tukar mata uang asing yang semakin kuat tak karuan, akhirnya ane memilih trip ke Pulau Timor. 


Brruuuuummmmmm.........nguinggg.....Pesawat Garuda membelah langit Surabaya dengan sukses. Dalam hati aku bersyukur, akhirnya aku bisa kembali ke Tanah Timor. Semenjak Kuliah Kerja Nyata (KKN) berakhir pada September 2013, ane memang mempunyai cita-cita untuk kembali ke Tanah Timor. Entah kenapa, ane jatuh cinta banget sama Tanah Timor.

Pukul 14.00 WITA, akhirnya mendaratlah kami di Bandara El Tari, Kupang, NTT. Ane, Arin dan Fredo mempunyai rencana untuk menjelajah Pulau Timor selama 1 minggu ke depan. Sesaat sebelum mendarat dan Si Garuda mulai merendahkan ketinggian membelah langit Kota Kupang, ane mendapatkan pemandangan yang cukup aneh yaitu Pulau Timor terlihat sangat hijau dan subur, sangat kontras dengan saat aku datang bulan Juli 2013 lalu yang terlihat gersang dan coklat dimana-mana. Ternyata wajah Pulau Timor mengalami perubahan yang cukup signifikan gan dari musim kemarau ke musim hujan.

Kedatangan kami ke Pulau Timor langsung disambut dengan hujan deras, maklum kami kesana bulan Januari, pas puncak musim hujan. Awal yang nggak banget untuk sebuah petualangan. Saat itu kami dijemput juga oleh kedua teman asal Kupang, Any dan Ety. Setelah menunggu selama kurang lebih 45 menit, akhirnya kami naik taksi bandara seharga Rp 100.000,00 (Januari 2014) untuk mencari penginapan di sekitar Ketapang Satu. Sebenarnya kalau hanya berempat, tarif taksinya hanya Rp 70.000,00 aja gan. Kalau mau cara murah bisa juga gan, cukup berjalan kaki sejauh 500 meter keluar Bandara El tari sampai ke bundaran, habis itu naik bemo kuning dari Penfui sampai Kota Kupang, sambung bemo lampu 10 dari Kupang ke Ketapang Satu. Totalnya hanya Rp 3000,00 per orang. Nyesel deh dulu nggak pake cara ini.

Berdiskusi tanpa hasil tentang ‘malam ini harus nginap dimana’, semuanya terkesan pasrah ke ane karena ane dianggap udah tau Kupang padahal belum tau apa-apa, kami pun diantarkan oleh supir taksi ke Penginapan Susi di Jalan Sumatera 37 dengan tarif Rp 120.000,00 per malam (@Rp40.000,00), segera saja kami menyetujui karena penginapannya cukup oke dan kasurnya pun ada tiga. Yang jadi masalah hanya kamar mandinya, karena airnya hanya akan dikeluarkan saat pagi dan sore hari gan, selebihnya kita harus bilang ke pemilik penginapan untuk menyalakan air  kalau mau mandi/buang air. Hal ini dikarenakan dengan litologi batugamping serta lokasi yang cukup dekat dengan laut, menjadikan Kota Kupang sering kesulitan air tawar bersih gan. Selain itu yang bikin kami agak ilfeel sama ini penginapan, masa WC duduknya itu menghadap tembok hahaha. Kalau ane baca review bule di internet tentang ni Hotel Susi, dia menyebut kamar mandinya ala hepatitis. Pemasangan WCnya kayak kebalik gitu gan, alhasil pas buang air kami harus menghadap tembok. Hal ini mengakibatkan Arin nggak mau buang air di penginapan, mintanya di pom bensin haha. Ane mah santai aja, malah boker bisa sambil tidur, kepala disandarin di tembok ahahah.
Hotel Susi (GALUH PRATIWI)


Setelah istirahat sejenak dan merencanakan rute yang akan kami kunjungi sore ini lewat peta yang dibawa Arin (iya, dia emang paling rajin bawa peta Kupang ukuran A0), kami pun beranjak keluar dari penginapan dan siap menjelajahi Kota Kupang. Rencananya, sore ini kami akan mengunjungi Taman Nostalgia yang berada di Jalan El Tari, setelahnya melihat sunset di Pantai Lasiana diakhiri ke Pantai Tedis untuk makan malam.


Keluar dari penginapan, kami sudah disambut dengan udara segar Kota Kupang sehabis hujan dan Pantai Ketapang Satu yang cukup indah dengan ombaknya yang bergulung-gulung. Pantai Ketapang Satu merupakan salah satu pantai paling terkenal di kota kupang gan, disebut Ketapang Satu karena disitu ada satu pohon Ketapang yang cukup besar. Selain itu yang membuat Pantai Ketapang Satu lebih bagus adalah, di sepanjang pesisirnya dibangun tempat duduk yang bisa digunakan untuk bersantai dan nongkrong di sore hari. Selain itu, dari sini kami juga bisa melihat Pulau Kera, sayang kami nggak bisa kesana karena selama bulan Januari ini semua jenis bentuk pelayaran ditutup karena ombak tinggi. Alhasil kami harus menghapus Pulau Rote, Semau dan Kera dari list kami. Salah satu hal yang membuat kami GR, kami tu sering diliatin gitu gan. Mungkin terpesona dengan kegantengan dan kecantikan nona n nyong Jawa hahaha. Sini, sini, sini *Peluk.
Pulau Kera dilihat dari Pantai Ketapang Satu (GALUH PRATIWI)

Naik bemo lampu 10 dari Ketapang Satu, kami sampai di Taman Nostalgia gan. Sore itu suasana taman cukup ramai oleh para pemuda-pemudi lokal yang sedang berolahraga maupun nongkrong. Tujuan pertama kami tentunya ingin melihat dan berfoto dengan Gong Perdamaian Nusantara (GPN) yang berada di sisi timur taman. 
Taman Nostalgia di sore hari (GALUH PRATIWI)

Sebenarnya daerah di sekitar GPN itu dibatasi dengan rantai gan, jadi kita nggak bisa foto dekat gong. Ane sempet kecewa n mau masuk paksa tapi dilarang sama Any. Tapi ane nggak habis pikir, kami segera meminta izin kepada Polisi Taman yang kantornya dekat dengan TN supaya diijinkan masuk mendekati GPN untuk sekedar berfoto. Kedua Bapak Polisi itu sangat baik dan mengijinkan kami, jadi akhirnya bisa foto-foto deh hehehe.

Eh tentu saja kami nggak foto-foto aja ya gan, tapi harus tahu sejarah GPN ini sendiri. Gong Perdamaian Nusantara (GPN) yang merupakan sarana persaudaraan dan pemersatu bangsa ini didatangkan dari Desa Pakis Aji, Kecamatan Plajan, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Ane sempet mikir dibawanya kesini naek pesawat kali ya, secara jauh banget dari Jepara. Kalau naik kapal kan lama. Gong ini sendiri berusia sangat tua yaitu 450 tahun (lebih tua dari manusia manapun yang masih hedup gan), dimiliki oleh Ibu Musrini, yang adalah ahli waris generasi ketujuh dari pencetus gong. GPN terbuat dari bahan campuran kuningan (bronze) dan perunggu, berdiameter 2 meter dengan berat ± 100 kg. GPN bermakna keseimbangan kehidupan dan memberi nilai lebih, kebanggaan, citra baik dan sumber pendapatan sepanjang masa bagi daerah yang menerimanya. GPN ini diresmikan oleh Susilo Bambang Yudoyono pada 8 Februari 2011 gan. Kok tau gan? Ada tanda tangannya soalnya gan.
Gong Perdamaian Nusantara (GALUH PRATIWI)

Struktur GPN menampilkan :

1.     Lingkaran luar : Logo 444 Kabupaten/Kota se-Indonesia.

2.     Lingkaran tengah : Logo 33 Provinsi se-Indonesia.

3.   Lingkaran dalam : Tulisan “Gong Perdamaian Nusantara”, sepasang bunga pada  kiri-kanan, tulisan ”sarana persaudaraan” dan “Pemersatu Bangsa”.

4.     Lingkaran isi : Simbol 5 Agama yang diakui Bangsa Indonesia.

5.     Lingkaran puncak : Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

6.   Logo Daerah Kota Kupang diletakan dibagian tengah atas berdampingan dengan Kabupaten Jepara, Kedua Logo Kota dan Kabupaten tersebut berlatar hitam sehingga membedakannya dengan Kabupaten/Kota lainnya.

7.   Pada sisi kanan Gong ditulis Hak Cipta Oleh Djuyoto Suntani (Presiden Komite Perdamaian Dunia) didukung oleh Bambang Herry Purnomo, Susianty Kawira, Frans Lebu Raya dan Daniel Adoe.
Tugu Peresmian GPN oleh mantan presiden SBY (GALUH PRATIWI)

Selain GPN, spot foto lainnya yang menarik di Taman Nostalgia adalah tulisan Gong Perdamaian dengan simbol tangan sedang bersalaman di sisi samping gong. Kota Kupang memang sengaja dipilih sebagai salah satu kota yang memperoleh GPN karena disini keanekaragaman budaya sangat besar tp mereka sanggup hidup berdampingan satu sama lain gan. Seperti diketahui, sebagian besar warga Kupang ini merupakan pendatang gan, baik pendatang sejak zaman dahulu (nenek moyang) maupun pendatang baru, termasuk juga kami 3 manusia keren pendatang dari Jawa ini gan. Pendatang tersebut berasal dari Rote, Flores, Alor, Bugis, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Ambon, NTB dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Kesemuanya membawa budaya mereka masing-masing dan berasimilasi menjadi budaya Kota Kupang. Meskipun begitu, budaya yang paling kental disini baik dari segi bahasa maupun lagu-lagu itu adalah budaya Ambon gan. Asli deh, Lagu Ambon ini kebanyakan galau gan karena ditinggal kekasih merantau atau selingkuh.
Tulisan Gong Perdamaian yang menggambarkan persaudaraan (GALUH PRATIWI)

Puas berfoto di GPN, kami kembali ke kantor polisi untuk mengucapkan terimakasih kepada Bapak Polisi, eh jadinya malah kami ngobrol ngalor ngidul yang tentunya ada maksud terselubung untuk menyewa motor dibalik itu. Bapak Nato dan Bapak Edu, namanya, keduanya berasal dari Dili dan bekerja di Kupang. Keduanya sangat ramah dan memberi kami banyak informasi tentang Kota Kupang. Dan Si Fredo pun beraksi, bertanya kepada Bapak Nato apakah ada persewaan motor di Kupang untuk kami berkeliling besok. Kami memang berencana mengunjungi banyak tempat esok hari, dimana semuanya tidak memungkinkan dengan bemo/angkutan umum lainnya, harus menggunakan kendaraan pribadi. Saya dan Fredo beralasan, kami mau membuat liputan tentang pariwisata Pulau Timor, dimana saya adalah fotografernya, Fredo penulisnya dan Arin yang nego-nego (Well, akhirnya cuma ane kayaknya yang menepati janji ini dengan membuat tulisan di blog tercinta ane). Akhirnya Bapa Nato menawarkan kami untuk menyewa motornya dan satu temanya, setelah nego harga, kami mendapatkan tarif Rp 60.000,00/motor untuk pemakaian dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Cukup fair.
Taman Nostalgia (GALUH PRATIWI)

Taman Nostalgia (GALUH PRATIWI)

Taman Nostalgia (GALUH PRATIWI)

Kami masih cukup lama ngobrol-ngobrol ngalor ngidul dengan Pak Nato dan Pak Edu sesorean itu. Setelah saling bertukar kontak untuk keperluan pengantaran motor esok hari, kami pun pamit dan melanjutkan menjelajah Taman Nostalgia. Rencana melihat sunset di Pantai Lasiana kami batalkan karena sore itu suasana sedang mendung serta hari mulai menggelap (sumpah, malesin banget jalan pas musim ujan gini). Selain GPN, di Taman Nostalgia ini terdapat arena olahraga seperti lapangan luas yang bisa digunakan untuk bermain skateboard, sepatu roda, lapangan basket, jogging track dan arena bermain anak. Selain itu juga ada tugu berbentuk buku dan pensil. Di bagian belakang taman, terdapat area kuliner yang bisa dimanfaatkan untuk memanjakan lidah.

Perjalanan kami berlanjut dengan bemo lampu 10 ke Pantai Tedis. Pantai Tedis ini juga merupakan salah satu pantai untuk nongkrong terbaik di Kupang gan karena banyak pedagang kaki lima seperti bakso solo, jagung bakar, roti bakar dengan harga cukup terjangkau. Untuk semangkok bakso Solo dibanderol Rp 12.000, Jagung Bakar dengan sambal khas Kupang (Rp 5000), martabak alias terang bulan, serta pisang penyet (Rp 10000) dengan pilihan 2 toping: keju-cokelat atau kacang-gula. Minuman yang dijual bervariasi antara minuman dingin berbagai rasa, pop ice, jus, teh, kopi, dan lain-lain. Tersedia juga wifi gratis di Pantai Tedis. Saat itu dengan pertimbangan mau makan ringan terlebih dahulu, kami memesan jagung bakar dengan teh manis. Kalau pesan jagung rasa pedas manis, jangan harap dapat kaya di Jawa ya gan hehe. Kita akan dikasi jagung bakar tawar, kemudian diberi sepiring kecil sambel ulek dan garam. Jadi sambelnya terpisah, itulah cara orang Kupang menikmati jagung pedas manis.
Suasana Pantai Tedis sehabis hujan (GALUH PRATIWI)

Nongkrong di Pantai Tedis (GALUH PRATIWI)

Setelah nongkrong selama 1,5 jam di Pantai Tedis, kami pun memutuskan pulang ke penginapan karena hari sudah malam. Bemo di Kota Kupang ini hanya beroperasi sampai jam 19.30 sehingga kalau sudah tidak ada bemo kami harus jalan kaki/naik ojek. Setelah sampai penginapan, kami segera tertidur tanpa makan malam (karena tidak menjumpai warung makan di Ketapang Satu), dan menyiapkan tenaga untuk menjelajah Kabupaten Kupang esok hari. Kebetulan udah punya motor sewaan. Ciao!

Lanjut ke : PART 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar