Bagi saya, ketulusan Mama Tegar untuk mengundang dan menerima saya di rumahnya lebih bernilai daripada keindahan Pulau Noko yang ada di foto ini.
Pulau Noko (GALUH PRATIWI)
Sudah 3 jam lebih aku menunggu kapal yang akan menyeberangkanku ke Pulau Gili Timur tanpa hasil. Aku mendengus kesal. Matahari bersinar semakin garang, seakan tak mempedulikan para manusia yang memohon ampunan di bawahnya. Semakin siang, semakin banyak orang yang mengantri akan menyeberang ke Pulau Gili Timur. Mereka adalah orang-orang Pulau Bawean yang akan menghadiri pernikahan di Pulau Gili Timur. Saya diperbolehkan menumpang kapal gratis, dengan syarat, diangkut bersama rombongan paling terakhir.
Mama Tegar, itulah nama ibu yang sempat mengobrol dengan saya sembari menunggu kapal. Mama Tegar merupakan warga asli Pulau Gili Timur yang hari ini berkunjung ke Pulau Bawean untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Perawakannya yang tinggi besar berbanding terbalik dengan sifatnya yang begitu akrab saat mengajak saya mengobrol. Mama Tegar bertanya apa alasan saya ke Pulau Bawean. Saya berkata saya tidak tahu, saya hanya ingin mengunjungi Pulau Bawean, itu saja. Tetapi sebenarnya, di balik itu saya ingin melihat Indonesia secara lebih mendalam. Saya ingin mencari alasan, apa yang membuat masyarakat di pulau kecil ini masih mau bertahan di daerah yang notabene terpencil dan hampir dikatakan serba kekurangan.
Kawatir dengan nasib saya, Mama tegar mengajak saya menginap di rumahnya. Saya mengiyakan, karena memang tidak mempunyai rencana apapun. Saya akhirnya tidak jadi ikut kapal pernikahan, tetapi naik kapal rakyat dengan tarif 5ribu/orang. Perjalanan selama 1 jam yang membuat saya merinding disko karena ombak yang terus memukul-mukul kapal tanpa ampun. Pada beberapa kesempatan, cipratan air yang begitu tinggi sudah masuk ke tubuh kapal. Saya hanya bisa berpasrah, berharap Tuhan akan menyertai langkah saya.
Rumah Mama Tegar adalah sebuah rumah sederhana tanpa listrik maupun sinyal HP sepeserpun di pesisir Pulau Gili Timur. Saya tidak diperbolehkan melakukan apapun disini, saya tidak diperbolehkan membantu menyiapkan makanan, membantu mencuci piring, membantu mengangkut air, membantu apapun tidak boleh. Saat akan minum, saya diberikan air minum Club 1,5 liter yang mereka beli di Pulau Bawean, karena air disitu rasanya payau (mereka sendiri meminum air payau tersebut). Saat akan tidur, saya diberikan karpet khusus dengan bantal dan selimut tebal (padahal mereka tidur beralaskan tikar tipis di lantai). Saat saya memaksa membantu, saya malah dimarahi. Saya hanya disuruh duduk. Semua perlakuan istimewa itu membuat saya gundah dan merasa tidak enak, begitulah Mama Tegar.
Siangnya, suami Mama Tegar mengantarkan saya ke Pulau Manokan Aeng, sebuah pulau yang bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air laut surut. Katanya saya bisa diculik kalau jalan sendirian (hehehe ada-ada saja, saya pikir siapa yang akan menculik saya yang terlihat banget tidak punya uang ini). Sorenya, dengan kapal kecil mereka, Mama Tegar, suaminya dan kedua anaknya mengantarkan saya ke Pulau Noko, sebuah pulau kecil dengan pasir seputih tepung yang bisa dicapai dengan berjalan kaki ketika air laut surut. Karena sore itu air sudah pasang, kami harus menggunakan perahu klotok.
Pulau Noko adalah sebuah pulau kecil berukuran seperti lapangan sepakbola dengan pasir putih seperti tepung dan air biru bersih. Saya berlari-lari, berenang, mencari bintang laut, mencari rumput laut, ikan, kerang-kerang dengan anak-anak Mama Tegar, sementara Mama tegar dan suaminya mengamati kami dari gubuk-gubuk kecil sembari bermesraan. Saya merasa begitu bahagia dengan kesederhanaan dan penerimaan ini. Semua ambisi saya seketika hilang berbaur dengan penerimaan dan rasa syukur yg mendalam. Saya merasa begitu bahagia karena senyum-senyum keikhlasan mereka. Inilah yang akan selalu saya ingat dan kenang, Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar