Air terjun satu-satunya di Pulau Madura!
Gelar itulah yang disematkan pada Air Terjun Toroan yang membuat saya semakin penasaran kesini. Saya ingat, pertama kali mengetahui ada objek wisata bernama Air Terjun Toroan pada 2012 melalui sebuah link di Facebook. Melihat keelokan air terjun tersebut - dimana aliran airnya langsung terjun ke laut lepas - saya tertarik dan berjanji akan mengunjungi Air Terjun ini suatu saat nanti. Janji itu terpenuhi pada 10 September 2015.
Berbekal sepeda motor Suzuki Shogun 2004, uang 200 ribu, 3 buah pear, sebotol air minum dan seorang kawan, saya melarikan diri dari penat dan panasnya Kota Surabaya menuju Pulau Madura - yang sebenarnya malah lebih panas. Kami berangkat pukul 10 pagi dan menempuh perjalanan sekitar 108 km melewati Jalur Pantura Pulau Madura. Rute yang kami lewati yakni Surabaya - Jembatan Suramadu - Kota Bangkalan - Aermata - Klampis -Ketapang - Air Terjun Toroan.
Rute Surabaya-Toroan
Sebenarnya untuk menuju Air Terjun Toroan ada 3 jalur. Jika dilihat pada gambar diatas, -bisa memilih jalur merah (jalur Pantura), jalur biru (jalur Kamal-Kalianget 1) ataupun jalur abu-abu (jalur Kamal-Kalianget 2). Tapi karena alasan belum pernah lewat Pantura, saya memutuskan akan lewat Pantura. Rute yang benar-benar menggosongkan kulit saya. Madura benar-benar panas! Apalagi kalau kita melakukan perjalanan tengah hari (kayak saya yang kurang kerjaan).
Perjalanan saya sempat terhenti di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan daerah Ketapang untuk makan siang ayam bakar. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 dan panas semakin menggila. Kami berteduh beberapa saat disini dan mengobrol dengan seorang bapak sebelum melanjutkan kembali perjalanan.
Sampai di Pasar Ketapang kami cukup kebingungan karena tidak ada petunjuk apapun mengenai Air Terjun Toroan (saat itu kami masih belum mengenal teknologi GPS - hahaha). Bertanya kepada beberapa orang (yang menurut saya mereka ramah sehingga saya bertanya-tanya letak galaknya orang Madura dimana), saya diberi petunjuk bahwa setelah pasar ini saya disuruh lurus terus ke arah timur sampai melewati 2 jembatan besar berwarna kuning. Pada jembatan kedua inilah Air Terjun Toroan berada. Kami mengikuti sarannya dan menemukan Air Terjun Toroan dengan cukup mudah.
Air Terjun Toroan ini memang tidak terlihat dari jalan. Ketika sudah sampai di jembatan kuning kedua, kita akan dihadapkan pada suatu turunan tanah yang cukup curam. Bagi yang membawa motor, bisa dititipkan di bawah (dekat pertambangan pasir) dengan biaya Rp 5000/motor. Dari parkir motor, kita cukup berjalan sekitar 200 meter ke arah barat untuk bisa menyaksikan keindahan air terjun ini.
Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)
Tonjolan bebatuan gamping di sekitar Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)
Pohon tumbuh dengan subur di sekitar Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)
Aliran Air Terjun Toroan langsung menuju ke laut (GALUH PRATIWI)
Begitu melihat Air Terjun Toroan saya benar-benar kaget! Madura yang begitu gersang dan panas ternyata memiliki objek wisata seindah ini! Meskipun Indonesia masih dilanda musim kemarau, limpahan air dari Sungai Sumber Payung yang membentuk Air Terjun Toroan ini masih cukup banyak. Dengan ketinggian air terjun mencapai 20 meter, limpahan air terdengar bergemericik merdu sebelum bermuara ke Laut Jawa. Tonjolan bebatuan gamping di sekitarnya melengkapi keindahan pemandangan. Pohon-pohon terlihat subur dan bahagia karena limpahan air yang menerus tanpa henti. Saya rasa, inilah surga Pulau Madura. Untuk bermain di sekitar Air Terjun saya rasa cukup aman karena tonjolan bebatuan gamping melindungi dari limpasan ombak Laut Jawa. Hanya jika ingin berenang di kolam pas di bawah air terjun saya sarankan hati-hati karena info yang saya dapat katanya cukup dalam.
Di tengah keindahan Air Terjun Toroan, saya melihat suatu ironi yang cukup menyayat hati. Perempuan dan laki-laki usia paruh baya sibuk bolak-balik mengambil pasir laut dengan keranjang ataupun ember kecil mereka. Disini memang dilakukan penambangan pasir laut tradisional. Para laki-laki bertubuh kekar sibuk mengeruk pasir dengan sekop mereka untuk diletakkan di tempat penampungan sementara, sementara para perempuan dan laki-laki lainnya mengangkutnya keatas. Jangan tanya, jalan yang harus mereka lewati adalah bebatuan gamping yang cukup tajam disana-sini. Semua itu mereka lakukan demi rupiah, demi menghidupi keluarga mereka. Saya mengamati semangat dan kelenturan mereka dalam membawa ember-ember pasir yang ditahan di kepala.
Saya masih duduk dan menikmati pemandangan sejenak disini. Sebenarnya ingin sekali menyaksikan sunset, tetapi karena keterbatasan waktu (perjalanan kembali ke Surabaya memakan waktu 3 jam) saya memutuskan segera jalan pulang setelah puas menikmati kesejukan Air Terjun Toroan. Sungguh, traveling selalu mengajarkan saya untuk selalu bersyukur dan menghargai hidup beserta semua elemen yang Tuhan berikan pada kita.
Melawan ganasnya ombak Laut Jawa untuk mengeruk pasir (GALUH PRATIWI)
Mengangkut pasir dari tempat penampungan ke atas (GALUH PRATIWI)
Mengangkut pasir dengan ember kecil (GALUH PRATIWI)
Saya masih duduk dan menikmati pemandangan sejenak disini. Sebenarnya ingin sekali menyaksikan sunset, tetapi karena keterbatasan waktu (perjalanan kembali ke Surabaya memakan waktu 3 jam) saya memutuskan segera jalan pulang setelah puas menikmati kesejukan Air Terjun Toroan. Sungguh, traveling selalu mengajarkan saya untuk selalu bersyukur dan menghargai hidup beserta semua elemen yang Tuhan berikan pada kita.
Saya di Air Terjun Toroan (GALUH PRATIWI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar