1.18.2016

[PART 10] Tinta Hindustan: Pembakaran Mayat

Tubuh-tubuh kaku berbungkus kain cerah itu dibakar menggunakan setangkup kayu bakar yang ditaburi minyak tanah. Satu hal yang cukup aneh: Tidak ada yang menangis!!

Selama hidup, belum pernah aku melihat mayat dibakar di depan mataku secara langsung. Sebagai keturunan China, aku memang pernah datang ke acara pemakaman nenekku di Tiongting yang ending-nya jasad dibakar kemudian abunya dibuang ke laut. Tapi itu semua dilakukan di dalam peti, di sebuah ruang pembakaran tertutup. Tidak di depan mata kepalaku, tanpa peti, tanpa ruang pembakaran, seperti yang aku saksikan di India tepatnya di Kota Varanasi.

Tuiit, tuiit, krepyar....Varanasi Junction..Varanasi Junction...

Tukang Rickshaw

Suara khas kereta api India membangunkanku dari perjalanan 12 jam Agra-Varanasi. Hmmmm....Varanasi, akhirnya sampai juga aku di kota ini. Salah satu kota tersuci bagi Umat Hindu India karena keberadaan Sungai Gangga.Turun dari kereta kami sudah disambut dengan panas matahari yang begitu menyengat serta deru klakson yang seakan tanpa henti. Setiap mesin yang bergerak seakan selalu tidak sabar dan menekan klakson tanpa henti. Tapi bagi kami yang sudah 8 hari menjelajah India, mendengar deru klakson bersahut-sahutan itu sudah menjadi suatu kebiasaan dan kemakluman.

Menumpang autorickshaw, kami pun diantarkan ke penginapan yang sudah kami booking sebelumnya via penjaga hotel di Agra. Aku sendiri lupa apa nama penginapan itu, yang jelas tidak di sepanjang lorong ghat Sungai gangga. Sial-lah kami karena kehabisan kamar AC, sehingga harus ditempatkan di kamar non AC yang super panas. Saat itu masih musim hujan di India dengan tingkat penguapan Sungai gangga yang tinggi sehingga udara menjadi begitu panas dan lembab. Hanya dengan diam, keringat sudah membanjiri tubuhku.

Selesai meletakkan beban tas, kami segera meluncur ke jalanan Varanasi untuk berpetualang di ghat-ghat yang banyak tersebar di pinggir sungai. Sebagai kota tersuci di India dengan enam puluh ribu manusia yang berdatangan dari seluruh India maupun dunia pertahun, masyarakat lokal telah sadar akan potensi itu dengan membuka usaha penjualan kain sutra baik yang berkualitas pasar loak maupun modern. Hanya dengan berjalan disini, kita seakan ditarik ke zaman beberapa puluh tahun silam. Sungguh klasik.


Sekelompok wanita India

Setelah Delhi, aku rasa di Varanasi inilah aku benar-benar merasakan tumpukan manusia yang luar biasa. Inilah bukti bahwa India merupakan salah satu negara terbesar dengan penduduk lebih dari satu miliar. Seakan tak ada sudut yang tak ada manusia disitu. Toko kain bertebaran di kanan kiri jalan, bangunan usang bertingkat dengan kabel listrik bertebaran, sapi-sapi duduk di tengah jalan, penjual tabung gas, cycle rickshaw, seakan sudah menjadi pemandangan yang terlalu biasa.

Sebenarnya ada banyak ghat di sepanjang Sungai Gangga, tetapi dengan dorongan kaki yang melangkah tanpa tujuan kami akhirnya terdampar di Ghat Dassaswameth. Saat itu aku kecewa karena Sungai gangga sedang banjir sehingga kami tidak bisa jalan-jalan di sepanjang tangga ghat dengan leluasa karena tingginya air. Jika air Sungai Gangga tidak sedang tinggi, sebenarnya kami bisa jalan-jalan dari satu ghat ke ghat yang lain.
Ghat Dassaswameth

Mandi suci

Kematian di Sungai Gangga adalah suci
Tapi itu semua tidak menghilangkan kesempatan kami untuk tetap menyaksikan ritual mandi masyarakat Hindu Varanasi mandi di Sungai Gangga karena meskipun sungai sedang banjir dan air berwarna coklat keruh, mereka tetap menjalankan ritual mandi dengan kusyuk. Ritual mandinya sendiri cukup unik, mereka akan mencelup-celupkan tubuh mereka beberapa kali (sampai kepala tenggelam). Beberapa brahmana junior mengambil air sungai gangga di tempat penampungan semacam cerek. Saat sedang duduk itulah aku dapat info kalau jam 7 malam di Ghat Dassaswameth ini akan diadakan suatu ritual pemujaan Sungai Gangga yang dinamakan Ganga Aarti, tentu saja tidak akan kami lewatkan. Konon katanya kami bisa melihat Ganga Aarti diatas boat yang terjajar rapi di pinggir Sungai Gangga dengan membayar 50 Rupee.
Menunggu Ganga Aarti dimulai, kami mulai menjelajah bagian lain dari Kota Varanasi. Kami berjalan melewati lorong-lorong di sepanjang pinggir ghat yang terlihat sangat jorok dan kotor. Manusia dengan peluh meleleh berlalu lalang tiada habis. Pandangan mereka seakan tak bisa lepas dari kami yang terlihat asing bagi mereka. Bahkan kami sempat melihat seorang laki-laki yang mencelupkan tubuhnya begitu saja ke lorong got untuk membersihkan kotoran. Tubuhnya terlihat dipenuhi kotoran kehitaman, dengan beberapa orang membantu mengangkat kotorannya dari atas. Sungguh pemandangan yang membuat kami bergidik dan hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi inilah salah satu bagian dari pengalaman kami di India yang tak akan terlupakan.


Cycle Rickshaw

Penjual perlengkapan puja

Sadhu

Sapi di tengah jalan

Membeli perlengkapan puja

Perlengkapan puja
Berputar kesana-kemari di sepanjang lorong, akhirnya kami menemukan Viswanath Temple. Aku ingin mengunjungi tempat ini setelah membaca pengalaman Rini Raharjanti yang merekomendasikan tempat ini. Sebelum masuk kami diperiksa oleh penjaga wanita yang meminta menunjukkan paspor kami. Karena temanku keberatan untuk menunjukkan paspor yang sudah tersimpan rapi di tas pinggang, dia menolak untuk masuk dan menyuruhku masuk sendirian ke dalam. Karena tidak ingin berjalan sendirian dengan resiko tersesat, aku terpaksa mengurungkan niat dan mengikuti temanku untuk menjauhi keriuhan lorong di sepanjang tepi Sungai Gangga ini.
Ghat Manikarnika. Disinilah tempat tujuan kami selanjutnya. Ghat utama di Sungai Gangga yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Kami ingin melihat, bagaimana tradisi orang Hindu India dalam membakar mayat. Kami segera naik cycle rickshaw seharga 50 Rupee untuk menuju Ghat Manikarnika.
Supir cycle rickshaw kami seorang bapak tua yang kelihatan sudah kewalahan mengayuh sepeda untuk mengangkut kami berdua. Dengan kesadaran, saya bertanya apakah kami terlalu berat untuk badan kurus tuanya. Dia menjawab ‘tidak’ dan kembali mengayuh sepeda dengan semangat di tengah riuhnya lalu lalang manusia di Varanasi. Sungguh belum pernah aku melihat orang sebegitu banyak di depanku. Bapak tua mengantarkan kami dengan sukses ke Ghat Manikarnika. Dia sempat berdebat dengan supir cycle rickshaw satunya yang membawa travelmate saya yang lain, karena kami memberinya 100 Rupee, sementara teman kami memberinya 50 Rupee.
Di Sungai Gangga, setiap jasad dibakar di Manikarnika Ghat, atau tempat pembakaran utama. Ghat ini beroperasi selama 24 jam untuk membakar sebanyak 150 sampai 240 jenazah setiap hari. Tidak semua jasad di India dibakar. Ada beberapa pengecualian, yakni jasad holy man, wanita hamil, anak-anak, orang yang menderita cacar air, dan orang yang dipatuk ular kobra.
Jika mereka meninggal dunia, jasad mereka akan dibungkus dengan kain kafan kemudian diikatkan ke batu besar. Jasad bersama batu tadi lalu ditenggelamkan di tengah Sungai Gangga. Tak jarang ditemukan mayat mengambang di Sungai Gangga. Menurut orang di sana, kemungkinan ikatan batu pada mayat di dasar sungai longgar atau bahkan mayat itu terlepas dari batu sehingga mengapung di permukaan sungai.
Saat kami datang, terlihat sedang dilakukan ritual pembakaran mayat. Disini dilarang memotret sehingga kami bisa dengan leluasa menikmati upacara pembakaran tanpa harus pusing memikirkan foto. Suasana di Ghat Manikarnika terlihat begitu padat, mungkin keluarga dari mendiang jenazah. Saat sedang melihat upacara dari halaman sebuah rumah, aku mendengar suara-suara seperti nyanyian dalam Bahasa Hindi. Ternyata ada jenazah baru lagi yang akan dibakar. Karena kedua travelmate saya Chinese dan menurut adat mereka tidak boleh melihat pembakaran mayat secara langsung, mereka memilih menghindar dan melihat dari bawah. Aku? Oh tentulah aku penasaran, bagaimana bisa mereka membakar mayat di depan mata kepala mereka sendiri. Aku tetap di tempat dan menanti suara-suara yang semakin keras tersebut.
Sesaat kemudian, muncullah rombongan laki-laki yang mengusung keranda sederhana dengan sebujur tubuh kaku berbungkus kain cerah. Salah satu hal janggal yang aku herankan, tidak ada satupun orang yang menangis di belakang rombongan laki-laki tersebut. ‘ Apa mereka tidak sedih ada keluarga mereka yang meninggal?’ batinku. Apa bagi mereka drama kematian merupakan hal yang sangat biasa? Renunganku terus memaksa mendapatkan jawaban, sementara jenazah itu mulai dinaikkan ke Ghat Manikarnika untuk memulai proses pembakaran.
Penjual gorengan di Ghat Manikarnika

Drama kehidupan dan kematian memang terus terjadi di Ghat Manikarnika tanpa saling mempedulikan satu sama lain. Di sisi lain ada mayat sedang dibakar di Ghat, pada bagian bawah Ghat tidak jauh dari pembakaran terdapat penjaja gorengan yang dengan asyiknya menggoreng makanan tanpa mempedulikan desisan daging manusia yang terbakar di sampingnya. Bau bakaran daging manusia yang menyengat itu seakan sudah jadi santapan sehari-harinya. Satu hal yang kupelajari disini, bagi mereka kehidupan adalah perjuangan. Tak ada yang bisa menyamakan proses kehidupan dan kematian disini, semuanya berjalan menurut takdir yang mereka punya saat itu.


Sungai Gangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar