Tubuh-tubuh kaku berbungkus kain cerah itu
dibakar menggunakan setangkup kayu bakar yang ditaburi minyak tanah. Satu hal
yang cukup aneh: Tidak ada yang menangis!!
Selama hidup, belum pernah aku melihat mayat
dibakar di depan mataku secara langsung. Sebagai
keturunan China, aku memang pernah datang ke acara pemakaman nenekku di
Tiongting yang ending-nya jasad
dibakar kemudian abunya dibuang ke laut. Tapi itu semua dilakukan di dalam
peti, di sebuah ruang pembakaran tertutup. Tidak di depan mata kepalaku, tanpa
peti, tanpa ruang pembakaran, seperti yang aku saksikan di India tepatnya di
Kota Varanasi.
Tuiit, tuiit, krepyar....Varanasi Junction..Varanasi Junction...
Suara khas kereta api India membangunkanku
dari perjalanan 12 jam Agra-Varanasi. Hmmmm....Varanasi, akhirnya sampai juga
aku di kota ini. Salah satu kota tersuci bagi Umat Hindu India karena
keberadaan Sungai Gangga.Turun dari kereta kami sudah disambut dengan panas
matahari yang begitu menyengat serta deru klakson yang seakan tanpa henti. Setiap mesin yang bergerak seakan selalu tidak sabar dan menekan klakson tanpa henti. Tapi
bagi kami yang sudah 8 hari menjelajah India, mendengar deru klakson
bersahut-sahutan itu sudah menjadi suatu kebiasaan dan kemakluman.
Menumpang autorickshaw,
kami pun diantarkan ke penginapan yang sudah kami booking sebelumnya via penjaga hotel di Agra. Aku sendiri lupa apa
nama penginapan itu, yang jelas tidak di sepanjang lorong ghat Sungai gangga. Sial-lah kami karena kehabisan kamar AC, sehingga
harus ditempatkan di kamar non AC yang super panas. Saat itu masih musim hujan
di India dengan tingkat penguapan Sungai gangga yang tinggi sehingga udara
menjadi begitu panas dan lembab. Hanya dengan diam, keringat sudah membanjiri tubuhku.
Selesai meletakkan beban tas, kami segera
meluncur ke jalanan Varanasi untuk berpetualang di ghat-ghat yang banyak tersebar di pinggir sungai. Sebagai kota tersuci di India dengan enam puluh ribu manusia yang berdatangan dari seluruh
India maupun dunia pertahun, masyarakat lokal telah sadar akan potensi itu dengan membuka
usaha penjualan kain sutra baik yang berkualitas pasar loak maupun modern.
Hanya dengan berjalan disini, kita seakan ditarik ke zaman beberapa puluh tahun
silam. Sungguh klasik.
Setelah Delhi, aku rasa di Varanasi inilah
aku benar-benar merasakan tumpukan manusia yang luar biasa. Inilah bukti bahwa
India merupakan salah satu negara terbesar dengan penduduk lebih dari satu
miliar. Seakan tak ada sudut yang tak ada manusia disitu. Toko kain bertebaran
di kanan kiri jalan, bangunan usang bertingkat dengan kabel listrik bertebaran,
sapi-sapi duduk di tengah jalan, penjual tabung gas, cycle rickshaw, seakan sudah menjadi pemandangan yang terlalu
biasa.
Sebenarnya ada banyak ghat di sepanjang Sungai Gangga,
tetapi dengan dorongan kaki yang melangkah tanpa tujuan kami akhirnya
terdampar di Ghat Dassaswameth. Saat
itu aku kecewa karena Sungai gangga sedang banjir sehingga kami tidak bisa
jalan-jalan di sepanjang tangga ghat dengan
leluasa karena tingginya air. Jika air Sungai Gangga tidak sedang tinggi,
sebenarnya kami bisa jalan-jalan dari satu ghat ke ghat yang lain.
Ghat Dassaswameth
Mandi suci
Kematian di Sungai Gangga adalah suci
Tapi itu semua tidak menghilangkan
kesempatan kami untuk tetap menyaksikan ritual mandi masyarakat Hindu Varanasi
mandi di Sungai Gangga karena meskipun sungai sedang banjir dan air berwarna
coklat keruh, mereka tetap menjalankan ritual mandi dengan kusyuk. Ritual
mandinya sendiri cukup unik, mereka akan mencelup-celupkan tubuh mereka
beberapa kali (sampai kepala tenggelam). Beberapa brahmana junior mengambil air
sungai gangga di tempat penampungan semacam cerek. Saat sedang duduk itulah aku
dapat info kalau jam 7 malam di Ghat Dassaswameth ini akan diadakan suatu
ritual pemujaan Sungai Gangga yang dinamakan Ganga Aarti, tentu saja tidak akan
kami lewatkan. Konon katanya kami bisa melihat Ganga Aarti diatas boat yang
terjajar rapi di pinggir Sungai Gangga dengan membayar 50 Rupee.
Menunggu Ganga Aarti
dimulai, kami mulai menjelajah bagian lain dari Kota Varanasi. Kami berjalan
melewati lorong-lorong di sepanjang pinggir ghat yang terlihat sangat jorok dan
kotor. Manusia dengan peluh meleleh berlalu lalang tiada habis. Pandangan
mereka seakan tak bisa lepas dari kami yang terlihat asing bagi mereka. Bahkan
kami sempat melihat seorang laki-laki yang mencelupkan tubuhnya begitu saja ke
lorong got untuk membersihkan kotoran. Tubuhnya terlihat dipenuhi kotoran
kehitaman, dengan beberapa orang membantu mengangkat kotorannya dari atas.
Sungguh pemandangan yang membuat kami bergidik dan hanya bisa geleng-geleng
kepala. Tapi inilah salah satu bagian dari pengalaman kami di India yang tak akan terlupakan.
Cycle Rickshaw
Penjual perlengkapan puja
Sadhu
Sapi di tengah jalan
Membeli perlengkapan puja
Perlengkapan puja
Berputar kesana-kemari
di sepanjang lorong, akhirnya kami menemukan Viswanath Temple. Aku ingin
mengunjungi tempat ini setelah membaca pengalaman Rini Raharjanti yang
merekomendasikan tempat ini. Sebelum masuk kami diperiksa oleh penjaga wanita
yang meminta menunjukkan paspor kami. Karena temanku keberatan untuk
menunjukkan paspor yang sudah tersimpan rapi di tas pinggang, dia menolak untuk
masuk dan menyuruhku masuk sendirian ke dalam. Karena tidak ingin berjalan
sendirian dengan resiko tersesat, aku terpaksa mengurungkan niat dan mengikuti
temanku untuk menjauhi keriuhan lorong di sepanjang tepi Sungai Gangga ini.
Ghat Manikarnika.
Disinilah tempat tujuan kami selanjutnya. Ghat utama di Sungai Gangga yang
digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Kami ingin melihat, bagaimana
tradisi orang Hindu India dalam membakar mayat. Kami segera naik cycle rickshaw
seharga 50 Rupee untuk menuju Ghat Manikarnika.
Supir cycle rickshaw
kami seorang bapak tua yang kelihatan sudah kewalahan mengayuh sepeda untuk
mengangkut kami berdua. Dengan kesadaran, saya bertanya apakah kami terlalu
berat untuk badan kurus tuanya. Dia menjawab ‘tidak’ dan kembali mengayuh
sepeda dengan semangat di tengah riuhnya lalu lalang manusia di Varanasi.
Sungguh belum pernah aku melihat orang sebegitu banyak di depanku. Bapak tua
mengantarkan kami dengan sukses ke Ghat Manikarnika. Dia sempat berdebat dengan
supir cycle rickshaw satunya yang membawa travelmate saya yang lain, karena kami
memberinya 100 Rupee, sementara teman kami memberinya 50 Rupee.
Di Sungai Gangga, setiap
jasad dibakar di Manikarnika Ghat, atau tempat pembakaran utama. Ghat ini
beroperasi selama 24 jam untuk membakar sebanyak 150 sampai 240 jenazah setiap
hari. Tidak semua jasad di India dibakar. Ada beberapa pengecualian, yakni
jasad holy man, wanita hamil, anak-anak, orang yang
menderita cacar air, dan orang yang dipatuk ular kobra.
Jika mereka meninggal
dunia, jasad mereka akan dibungkus dengan kain kafan kemudian diikatkan ke batu
besar. Jasad bersama batu tadi lalu ditenggelamkan di tengah Sungai Gangga. Tak
jarang ditemukan mayat mengambang di Sungai Gangga. Menurut orang di sana,
kemungkinan ikatan batu pada mayat di dasar sungai longgar atau bahkan mayat
itu terlepas dari batu sehingga mengapung di permukaan sungai.
Saat kami datang,
terlihat sedang dilakukan ritual pembakaran mayat. Disini dilarang memotret
sehingga kami bisa dengan leluasa menikmati upacara pembakaran tanpa harus
pusing memikirkan foto. Suasana di Ghat Manikarnika terlihat begitu padat,
mungkin keluarga dari mendiang jenazah. Saat sedang melihat upacara dari
halaman sebuah rumah, aku mendengar suara-suara seperti nyanyian dalam Bahasa
Hindi. Ternyata ada jenazah baru lagi yang akan dibakar. Karena kedua
travelmate saya Chinese dan menurut adat mereka tidak boleh melihat pembakaran
mayat secara langsung, mereka memilih menghindar dan melihat dari bawah. Aku?
Oh tentulah aku penasaran, bagaimana bisa mereka membakar mayat di depan mata
kepala mereka sendiri. Aku tetap di tempat dan menanti suara-suara yang semakin
keras tersebut.
Sesaat kemudian,
muncullah rombongan laki-laki yang mengusung keranda sederhana dengan sebujur
tubuh kaku berbungkus kain cerah. Salah satu hal janggal yang aku herankan,
tidak ada satupun orang yang menangis di belakang rombongan laki-laki tersebut.
‘ Apa mereka tidak sedih ada keluarga mereka yang meninggal?’ batinku. Apa bagi
mereka drama kematian merupakan hal yang sangat biasa? Renunganku terus memaksa
mendapatkan jawaban, sementara jenazah itu mulai dinaikkan ke Ghat Manikarnika
untuk memulai proses pembakaran.
Drama kehidupan dan kematian memang terus terjadi di Ghat Manikarnika tanpa saling mempedulikan satu sama lain. Di sisi lain ada mayat sedang dibakar di Ghat, pada bagian bawah Ghat tidak jauh dari pembakaran terdapat penjaja gorengan yang dengan asyiknya menggoreng makanan tanpa mempedulikan desisan daging manusia yang terbakar di sampingnya. Bau bakaran daging manusia yang menyengat itu seakan sudah jadi santapan sehari-harinya. Satu hal yang kupelajari disini, bagi mereka kehidupan adalah perjuangan. Tak ada yang bisa menyamakan proses kehidupan dan kematian disini, semuanya berjalan menurut takdir yang mereka punya saat itu.
Penjual gorengan di Ghat Manikarnika
Drama kehidupan dan kematian memang terus terjadi di Ghat Manikarnika tanpa saling mempedulikan satu sama lain. Di sisi lain ada mayat sedang dibakar di Ghat, pada bagian bawah Ghat tidak jauh dari pembakaran terdapat penjaja gorengan yang dengan asyiknya menggoreng makanan tanpa mempedulikan desisan daging manusia yang terbakar di sampingnya. Bau bakaran daging manusia yang menyengat itu seakan sudah jadi santapan sehari-harinya. Satu hal yang kupelajari disini, bagi mereka kehidupan adalah perjuangan. Tak ada yang bisa menyamakan proses kehidupan dan kematian disini, semuanya berjalan menurut takdir yang mereka punya saat itu.
Sungai Gangga
0 comments:
Posting Komentar