MAGMATISME PADA ZONA SUBDUKSI
I.1
Magmatisme Pada Zona Subduksi
Konsep tektonik lempeng menjelaskan
bahwa kulit bumi terdiri dari beberapa bagian lempeng yang kaku (rigid), yang bergerak satu sama lain
diatas massa astenosfer yang plastis dengan kecepatan rata-rata 10cm/tahun atau
100 km/10 juta tahun (Morgan, 1968; Hamilton, 1970 dalam Alzwar dkk., 1988).
Berdasarkan konsep tersebut, maka pergerakan lempeng bumi dapat dibagi menjadi
tiga yaitu konvergen (saling bertumbukan), divergen (saling menjauh) dan transform (saling berpapasan) (Lockwood
& Hazlett, 2010), dimana kegiatan magmatisme akan terjadi pada batas-batas
lempeng ini.
Gambar 1.1.
Lokasi-lokasi terbentuknya magma dalam konteks tektonik lempeng. Pada ilustrasi
diatas terlihat jelas bahwa punggungan tengah samudera (MOR) menempati urutan
pertama sebagai penghasil magma terbesar, diikuti oleh zona subduksi, oceanic intraplate dan continental intraplate (Schmincke, 2003)
Batas lempeng konvergen salah
satunya berupa zona subduksi. Zona subduksi adalah bagian dari permukaan bumi
yang dibentuk oleh penenggelaman (subduksi) dari lempeng litosfer yang dingin
dan tebal sampai ke mantel bumi (Tatsumi & Eggins, 1995). Zona subduksi
dicirikan oleh pembentukan palung-palung laut dalam, rantai gunung api (Perfit
& Davidson, 2000) serta konsentrasi hiposenter gempa bumi yang tinggi
(kebanyakan pada kedalaman 100 km sampai > 600 km) pada zona Wadati-Benioff (Schmincke, 2003). Subduksi
ini akan membawa batuan dengan komposisi kimia beragam ke dalam
mantel seperti kerak samudera basaltik, peridotit dan sedimen laut dalam
(Tatsumi & Eggins, 1995). Proses subduksi biasanya akan termanifestasi
dalam bentuk magmatisme dan vulkanisme seperti pada Ring of Fire di Samudera Pasifik (Tatsumi & Eggins, 1995).
Proses magmatisme ini terutama dipengaruhi oleh
volatil (H2O) yang terbawa oleh kerak samudera yang menunjam
dimana akan mendorong terjadinya pelelehan sebagian (partial melting). Pelelehan sebagian ini disebabkan oleh dehidrasi
mineral-mineral pembawa air pada kerak samudera yang menunjam seperti amfibol
(d=110 km) dan plogophit (d=200 km) (Tatsumi & Eggins, 1995).
Gambar 1.2. Vulkanisme diatas zone subduksi.
Penunjaman dari kerak samudera yang dingin menyebabkan upwelling dari mantel panas dibawah busur vulkanik. Senyawa volatil
seperti H2O dilepaskan dari kerak samudera ke mantel diatasnya
sehingga menyebabkan pelelehan (Sigurdsson, 2000)
I.1.1
Pembentukan Magma pada Zona Subduksi
Proses
pembentukan magma diperoleh modelnya menggunakan titik leleh batuan peridotit.
Peridotit dipilih karena merupakan penyusun mantel sebagai sumber asal magma.
Pada batuan ini, pelelehan dapat terjadi karena perubahan 3 parameter dasar
:tekanan (P), temperatur (T) dan komposisi kimia (X), yaitu (Schmincke, 2003):
Gambar 1.3. Tiga
model pembentukan magma basa oleh pelelehan sebagian (partial melting) peridotit dimana a= penambahan temperatur,
b=pengurangan tekanan c=penambahan H2O dan CO2 (Schmincke,
2003)
-
Kenaikan temperatur (T) pada kondisi P
dan X yang konstan
-
Penurunan tekanan P pada T dan X yang
konstan
-
Perubahan X pada P dan T yang konstan
(terutama penambahan fluida khususnya H2O dan CO2)
-
Kombinasi antara satu faktor dengan
faktor yang lain (Lockwood & Hazlett, 2010)
Atom yang
menyusun kristal/mineral mempunyai nomor proton dan elektron tertentu, dan atom
yang bermuatan sering disebut ion. Jika energi panas mengenai ion tersebut,
maka akan menyebabkan ikatannya melemah sehingga akhirnya terjadi pelelehan
(Lockwood & Hazlett, 2010). Jika terjadi fluxing atau percampuran antara mineral dengan mineral/senyawa
lainnya, titik pelelehannya bisa menjadi lebih rendah (Lockwood & Hazlett,
2010)
·
Kenaikan
temperatur pada P&X yang konstan
Berdasarkan percobaan pada peridotit, kenaikan
temperatur pada tekanan dan komposisi kimia konstan dapat menyebabkan suatu
batuan mengalami pelelehan sebagian. (Schimnke, 2003).
Ada
beberapa teori yang menyebutkan tentang sumber panas penyebab kenaikan
temperatur, salah satunya adalah peluruhan dari unsur-unsur radioaktif seperti
U, Th dan K yang jumlahnya melimpah sejak pembentukan bumi pada 4,6 milyar
tahun yang lalu (Schimnke, 2003) menjadi mineral-mineral yang lebih stabil dan
ringan (Lockwood & Hazlett, 2010). Panas ini terlepas secara konstan dengan
cara bermigrasi ke permukaan bumi yang lebih dingin dan akhirnya teradiasi ke
atmosfer. Selain itu, sumber panas juga bisa berasal dari proses friksi mekanik
yang menghasilkan pelelehan sebagian contohnya pada bagian dasar lempeng
litosfer yang bergerak di sepanjang zona Wadati Benioff.
Tabel 1.1. Kontribusi
relatif dari panas yang dihasilkan oleh peluruhan radioaktif berdasarkan studi
geonutrino (Araki et al (2005) dalam Lockwood & Hazlett (2010))
§ Penurunan Tekanan pada Suhu dan
Komposisi Kimia yang tetap
Ketika temperatur dari suatu batuan mantel konstan,
maka penurunan tekanan bisa menyebabkan pelelehan sebagian (Schminke, 2003)
karena tekanan akan menjaga ikatan antar ion
tetap kuat sehingga strukturnya
tetap kristalin (Lockwood & Hazlett, 2010). Dengan kata lain, panas
internal dari batuan yang naik selama penurunan tekanan cukup untuk memicu
terjadinya pelelehan. Proses ini sangat tepat untuk sistem padatan kering,
contohnya ketidakhadiran fluida (Schminke, 2003)
Proses
penurunan tekanan dari material mantel yang naik merupakan mekanisme
pembentukan magma yang paling penting (Schminke, 2003) karena kebanyakan
aktivitas gunung api di dunia dihasilkan dari pelelehan karena penurunan
tekanan ini (Lockwood & Hazlett, 2010)
§ Penambahan unsur kimia pada suhu
dan tekanan yang tetap
Pada
proses pembentukan magma yang ketiga, tekanan (P) dan temperatur (T) adalah
dalam kondisi konstan, akan tetapi dengan adanya penambahan fase fluida seperti
H2O dan CO2 maka akan menyebabkan titik pelelehan batuan
menjadi lebih rendah.
Gambar 2.4. Grafik
yang menunjukkan penurunan titik leleh akibat penambahan H2O dan CO2
pada magma. Suhu pada saat magma belum terkena penambahan unsur kimia disebut dry solidus (Sigurdsoon, 2000)
I.1.2
Komposisi Magma
Magma merupakan
istilah yang diberikan untuk campuran material padat dan cair yang bersifat mudah bergerak. Pada bumi,
material cair (liquid) ini merupakan campuran dari silikat kompleks
dan gas-gas terlarut seperti air, karbondioksida dan senyawa-senyawa lainnya
(Rogers & Hawkesworth, 2000). Karena batuan beku merupakan manifestasi
magma yang paling mudah diidentifikasi, maka komposisi magma biasa ditentukan menggunakan
komposisi batuan beku. Komposisi batuan beku diuraikan dalam bentuk unsur
mayor, unsur minor dan unsur jarang (Rogers & Hawkesworth, 2000).
Unsur-unsur tersebut menurut Rogers & Hawkesworth (2000) antara lain:
a. Unsur mayor
adalah unsur yang mempunyai kelimpahan oksida > 1wt.%, mengontrol sifat
magma serta merupakan penyusun utama mineral esensial.
Contoh:
SiO2, Al2O3,
FeO, Fe2O3, CaO, MgO dan Na2O
b. Unsur minor
mempunyai kelimpahan oksida 0,1-1 % , sebagai pengganti dari unsur mayor pada
mineral esensial atau bisa membentuk sejumlah kecil mineral aksesoris.
Contoh:
K2O, TiO2, MnO dan
P2O5
c. Unsur jarang mempunyai
kelimpahan oksida < 0,1 % berat serta sebagai pengganti dari unsur mayor
maupun unsur minor pada mineral esensial maupun aksesoris.
Contoh:
LILE (Cs, Rb, K, Ba, Sr, Pb), HFSE (Sc, Y, Th, U, Pb, Zr)
d. Unsur volatil dan oksida, pada
bagian bumi yang dalam semua unsur volatil akan larut dalam magma, tetapi
ketika tekanan berkurang karena pergerakan magma keatas maka gas akan membentuk
fase uap yang terpisah dari magma (Nelson, 2012)
Contoh:
H2O, CO2, SO2, F, Cl, etc.
I.1.3 Diferensiasi Magma
I.1.3.1 Proses Fraksinasi
Kristalisasi Magma
Diferensiasi
adalah proses dimana terbentuk magma turunan yang secara kimia dan mineralogi
berbeda dari magma asal (parental magma)
(Schmincke, 2003).
Gambar 2.5. Ilustrasi proses fraksinasi kristalisasi pada dapur
magma (Tarbuck & Lutgens, 2004)
Diferensiasi
diperkirakan terjadi pada dapur magma dengan kedalaman lebih dari 10 kilometer
di kerak bumi, ketika magma dalam kondisi stagnan, mendingin secara perlahan
dan mulai mengkristal (Schmincke, 2003). Proses diferensiasi meliputi dua hal
yaitu fraksinasi kristalisasi (mekanisme utama) dan asimilasi (Schmincke,
2003).
Selama
proses fraksinasi kristalisasi, kristal-kristal mineral yang lebih berat (berat
jenis tinggi) akan tenggelam dalam magma yang berkomposisi lebih asam membentuk
timbunan kristal (cumulates)
(Schmincke, 2003).
I.1.3.2 Proses Asimilasi dan Magma
Mixing
Proses
diferensiasi yang lain yakni asimilasi dan percampuran magma (magma mixing). Asimilasi ini merupakan
perubahan komposisi magma, sebagai akibat adanya reaksi antara magma dengan
batuan dinding yang berkomposisi berbeda (Schmincke, 2003). Proses asimilasi
ini bisa mengubah komposisi kimia magma secara lebih jauh (Schmincke, 2003).
Sedangkan percampuran magma (magma mixing)
ini terjadi ketika magma dari dua dapur magma yang berbeda menyatu sehingga
membentuk magma baru dengan komposisi campuran antara keduanya.
Gambar 2.6. Ilustrasi proses asimilasi dan proses percampuran
magma yang terjadi pada dapur magma (Tarbuck & Lutgens, 2004)
Selanjutnya,
proses diferensiasi ini akan menyebabkan perubahan komposisi kimia pada magma
menjadi lebih asam (felsic) pada
perjalanannya keatas sebelum mencapai permukaan bumi. Magma yang sudah
mengalami perubahan komposisi kimia akibat proses diferensiasi ini disebut
magma turunan (Schminke, 2003).
ini sumberny buku ap ?
BalasHapusMacDonald, Gordon A., 1972, Volcanoes, Prentice-Hall, Inc : Englewood Cliffs:New Jersey
HapusParfitt, Elizabeth dan Lionel Wilson., 2008, Fundamentals of Physical Volcanology, Blackwell Science Ltd: Malden, USA
Schminke, Hans Ulrich., 2003, Vulcanism, Springer-Verlag: Heidelberg
Perfit, Michael R dan Jon P. Davidson., 2000, Plate Tectonic and Volcanism, University of Florida & University of California, Los Angeles, Academic Press: USA
Lockwood, John P. dan Richard W.Hazlett., 2010, Volcanoes Global Perspective, Wiley-Blackwell A John Wiley & Sons, Ltd., Publication
Alzwar, Muzil, Hanang Samodra dan Jonathan J.Tarigan., 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung Api, Nova: Bandung
Tatsumi, Yoshiyuki dan Steve Eggins., 1995, Subduction Zone Magmatism, Blackwell Science: Oxford
Lutgens, Frederick K dan Edward J. Tarbuck., 2004, Foundations of Earth Science, Prentice Hall PTR: New Jersey
Sigurdsson, Haraldur., 2000, Introduction, University of Rhode Island, Academic Press: USA
Rogers, Nick dan Chris Hawkesworth., 2000, Composition of Magma, The Open University, Academic Press: USA
Delmelle, Pierre & John Stix., 2000, Volcanic Gases, Universite de Montreal & McGill University, Academic Press: USA
Wallace, Paul dan Alfred T.Anderson, Jr., 2000, Volatiles in Magma, Texas A&M University dan University of Chicago, Academic Press: USA
Padrón, Eleazar., 2012, Helium Gas As Volcano Eruption Detector, Spain Technological Institute
Ewert, J.W.; Murray, T.L.; Lockhart, A.B.; dan Miller, C.D., 1993,
Preventing Volcanic Catastrophe:The U.S. International Volcano Disaster Assistance