1.1 Definisi dan Arti Penting Volatil Magma
Senyawa volatil
adalah gas-gas yang terlarut dalam magma. Senyawa volatil merupakan unsur pokok
dari magma, serta menyusun volume terbesar dari material yang dierupsikan oleh
gunung api (Lockwood & Hazlett, 2010). Jumlah senyawa volatil yang bisa
terlarut pada magma tergantung pada 3 hal yaitu komponen non volatil pada
magma, temperatur magma dan confining
(lithostatic) pressure (Lockwood & Hazlett, 2010). Kelarutan gas meningkat
dengan meningkatnya tekanan dan
berkurang dengan meningkatnya suhu (Lockwood & Hazlett, 2010).
Volatil magma
yang keluar ke permukaan bumi disebut gas vulkanik. Gas vulkanik merupakan
bagian fundamental dari aktivitas vulkanik (Delmelle & Stix, 2000). Gas
vulkanik bisa bervariasi jenisnya mulai dari emisi uap air asam yang dikeluarkan
oleh gunung api sampai pancaran karbondioksida (CO2) yang tidak
terlihat melalui tanah (Delmelle & Stix, 2000). Gas vulkanik memainkan
peran penting dalam mengontrol kelakuan suatu gunung api (Delmelle & Stix,
2000) terutama terkait dengan volumenya di dalam magma (Lockwood & Hazlett,
2010). Pada magma basaltik, gas-gas yang terlarut diperkirakan mencapai 1 %
sementara pada lelehan kaya silika mencapai 7 % berat (Lockwood & Hazlett,
2010). Pada umumnya, peningkatan jumlah gas dalam suatu gunung api akan
meningkatkan aktivitas keeksplosifan gunung tersebut (Delmelle & Stix,
2000).
Selain mengontrol kelakuan suatu
gunung api (terkait tipe erupsinya), gas vulkanik juga bisa berpengaruh
terhadap iklim dunia dan atmosfer (Lockwood & Hazlett, 2010).
Gambar 1.1. Pelepasan gas pada Mt. Saint Helens. Gunung api ini
terbentuk oleh proses subduksi Lempeng Juan de Fuca ke Lempeng Amerika Utara
(USGS)
Volatil magma yang paling penting
berdasarkan keterdapatan massanya adalah H2O (35-90 mol %), CO2
(5-50 mol %), SO2 (2-30 mol %), HCl dan HF (Schmincke, 2003).
Beberapa gas lain seperti sulfur (S) bisa terbentuk pada beberapa tingkatan
oksidasi yang berbeda tergantung pada temperatur.
Komposisi kimia
magma mempunyai variasi dari basaltik sampai riolitik. H2O, CO2
dan SO2 terbentuk pada magma tersebut tidak hanya berbeda-beda
jumlah absolutnya tetapi juga konsentrasinya. Perbedaan tersebut disebabkan
karena adanya perbedaan batuan sumber magma serta derajat pelelehan sebagian
dan diferensiasi (Schmincke, 2003).
I.2 Proses Pembentukan Gelembung
Gas dari Pelepasan Volatil
Saat magma sudah dalam keadaan
jenuh oleh senyawa volatil, maka akan terjadi pembentukan gelembung gas
(Parfitt & Wilson, 2008). Pembentukan gelembung gas memerlukan
molekul-molekul volatil dengan muatan besar dalam jumlah yang cukup untuk
membuatnya stabil karena jika gelembung yang terbentuk ukurannya terlalu kecil,
maka gaya tegangan permukaan akan mendorongnya/menenggelamkannya kembali ke
magma (Parfitt & Wilson, 2008). Penyatuan dari molekul-molekul volatil
untuk membuat gelembung gas yang stabil dinamakan nukleasi (pengintian).
Nukleasi akan sangat terbantu dengan kehadiran kristal sebagai tempat
pengintian gelembung-gelembung gas. Ketika gelembung gas sudah terbentuk, maka
selanjutnya akan terjadi proses pertumbuhan gelembung dengan 3 macam cara yaitu
(Perfitt & Wilson, 2008):
·
Pertumbuhan
oleh difusi
Cara
difusi melibatkan penyatuan dari molekul-molekul volatil yang sudah dalam
keadaan supersaturated ke dalam gelembung gas yang baru terbentuk. Proses
difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi magma, temperatur
magma dan percampuran dari volatil yang lain. Pertumbuhan dengan difusi akan
menjadi efektif saat gelembung gas masih berukuran kecil karena penambahan
volatil dalam jumlah sangat kecilpun akan meningkatkan ukuran gelembung gas
dengan sangat cepat. Sebaliknya ketika
gelembung gas sudah berukuran besar, difusi menjadi kurang efektif.
·
Pertumbuhan
oleh penurunan tekanan (dekompresi)
Ketika
magma naik dan tekanan yang diberikan
padanya oleh batuan disekitarnya berkurang, gelembung-gelembung gas didalam
magma juga akan mengalami penurunan tekanan sehingga volumenya berkembang. Hal
ini berarti volume dan diameter gas akan berkembang jika tekanan berkurang.
Gelembung gas yang terbentuk pada kedalaman yang relatif dangkal (i.e. 220
meter) maka pertumbuhannya akan lebih banyak dikontrol oleh difusi, sedangkan
yang terbentuk pada kedalaman relatif
dalam (i.e. 5 km) pertumbuhannya lebih banyak dikontrol oleh dekompresi (dimana
perubahan tekanan berlangsung dengan cepat seiring perjalanan gelembung gas ke
atas)
·
Pertumbuhan
oleh penggabungan gas (coalescence)
Penggabungan
gas merupakan proses terakhir yang membantu pertumbuhan suatu gelembung gas.
Proses ini terjadi karena sifat gelembung gas yang buoyan dibandingkan dengan
magma karena densitas yang lebih kecil. Saat perjalanan ke atas ini, akan
banyak terjadi penggabungan gelembung, terutama gelembung kecil yang bergabung
ke gelembung yang lebih besar sehingga meningkatkan volume gas.
I.3 Pengaruh Volatil
Terhadap Sifat Fisik Magma
Berdasarkan data
eksperimental, kandungan volatil terutama H2O, CO2 dan F terbukti dapat mempengaruhi densitas,
viskositas serta proses kristalisasi magma. Hal ini selanjutnya akan
mempengaruhi proses naiknya magma, tipe erupsi dan diferensiasi (Wallace &
Anderson, 2000).
·
Densitas
Berdasarkan estimasi volume molar H2O
pada magma riolitik dan basaltik, terbukti bahwa penambahan jumlah H2O
pada magma akan mengurangi densitasnya. Sebagai contoh, penambahan H2O
terlarut sebanyak 6% berat pada magma riolit akan mengurangi densitasnya sampai
5 % sementara penambahan H2O terlarut pada magma basalt akan
mengurangi densitasnya 2-3% berat (Wallace & Anderson, 2000)
Untuk CO2, karena solubilitasnya yang
rendah, menyebabkan konsentrasinya pada magma menjadi rendah pada kedalaman
kerak (relatif dangkal) sehingga tidak mempunyai efek yang signifikan dalam
mempengaruhi densitas. Pada kedalaman mantel (relatif dalam), terutama pada
magma yang miskin silika dimana solubilitas CO2 relatif tinggi
(larut sebagai karbonat), CO2 bisa mempunyai efek yang signifikan
dalam mengontrol densitas lelehan. Sebagai contoh, penambahan 3% berat CO2
pada magma alkali basalt akan mengurangi densitasnya sebanyak 3%. Untuk
perbandingan, penambahan 3 % berat dari H2O pada magma yang sama
akan mengurangi densitas lelehan sampai 5 % (Wallace & Anderson, 2000)
Sementara untuk volatil lainnya seperti F,
penambahan konsentrasinya dalam suatu lelehan akan mengurangi densitas lelehan
(Wallace & Anderson, 2000).
·
Viskositas
Besarnya viskositas pada suatu magma,
selain tergantung kepada temperatur juga pada komposisi lelehan dimana
komponen yang paling penting adalah SiO2. Dengan bertambahnya
kandungan SiO2 dalam magma, maka viskositasnya akan bertambah
(Wallace & Anderson, 2000).
Kandungan
H2O pada magma juga bisa mempengaruhi viskositasnya, dimana penambahan
H2O terlarut pada magma akan mengurangi viskositasnya, hal ini
disebabkan H2O akan melemahkan atau menghancurkan kerangka aluminosilikat pada magma.
Berdasarkan studi eksperimental, terlihat bahwa pengaruh penambahan H2O terhadap viskositas mempunyai hubungan yang
tidak linear, dimana hal ini juga tergantung kepada temperatur magma.Pada
kisaran 0-3% berat, H2O mempunyai efek yang sangat besar dalam
mengurangi viskositas. Tetpi jika H2O yang terlarut melebihi 3%,
maka efeknya terhadap viskositas mengecil. Hal ini disebabkan karena pada
penambahan 0-3% berat, H2O terlarut dalam magma secara dominan
dalam bentuk OH- yang mengikat
kerangka aluminosilikat sehinnga mempunyai efek yang lebih besar terhadap
viskositas. Penambahan diatas 3% berat, jumlah H2O yang muncul
sebagai OH- sudah mencapai batas maksimum sehingga akhirnya muncul
sebagai molekul H2O yang tidak melemahkan atau menghancurkan ikatan aluminosilikat.
Gambar 1.2.
Grafik yang menunjukkan efek dari penambahan H2O terlarut pada
viskositas isotermal magma riolit (Wallace
& Anderson, 2000)
I.4
Jenis-Jenis Volatil Magma dan Solubilitasnya
I.4.1 H2O
Keterdapatan air dalam magma terjadi dalam dua bentuk yaitu bentuk molekular
(H2O) dan ion hidroksil (OH-) (Schminke, 2003) dimana
proporsi relatif dari keduanya sangat bergantung pada total konsentrasi air
(Wallace & Anderson, 2000). Pada konsentrasi air terlarut yang rendah,
biasanya semua air akan terbentuk sebagai ion hidroksil OH-,
sebaliknya ketika konsentrasi air terlarut dalam magma meningkat maka proporsi
relatif dari molekul H2O juga akan mengalami peningkatan (Wallace
& Anderson, 2000). Kehadiran air dalam magma dicerminkan oleh kristalisasi
mineral-mineral yang mengandung ion OH- seperti amfibol dan mika (Schminke, 2003).
Solubilitas dari H2O pada magma sangat ditentukan oleh
tekanan, temperatur dan komposisi magma dimana solubilitas ini akan meningkat
dengan naiknya tekanan, menurunnya temperatur dan kenaikan kandungan SiO2
(Wallace & Anderson, 2000). Dengan demikian, H2O akan mempunyai solubilitas yang lebih
tinggi pada magma riolit daripada magma basalt. Dengan menggunakan analisis
komposisi kimia dari gelas vulkanik yang masih segar, magma yang dihasilkan disepanjang
zona subduksi sangatlah kaya dengan H2O dan miskin CO2
(Schminke, 2003). Peran H2O sangat penting karena akan menentukan
kecepatan dan tingkat erupsi suatu gunung api (Schminke, 2003).
Gambar 1.3. Grafik yang menunjukkanperbandingan solubilitas H2O pada magma
basaltik dan riolitik pada temperatur yang sama, terlihat bahwa solubilitas air
lebih besar pada magma riolit daripada basaltik pada tekanan lebih dari 0,5 kb
(Wallace & Anderson, 2000)
I.4.2 CO2
Keterdapatan CO2 pada
magma ada dalam bentuk dua spesies yakni sebagai ion karbonat (CO32-) dan molekul CO2
yang kelimpahannya bergantung kepada komposisi lelehan (Wallace & Anderson,
2000) dan tekanan (Schimnke, 2003). Pada magma miskin silika (i.e. basalt,
basanit dan nefelinit) CO2 akan hadir sebagai ion karbonat (CO32-)
sementara pada magma kaya silika akan hadir sebagai molekul CO2. Pada
magma dengan komposisi intermediet (i.e. andesit), kedua spesies CO2 itu
hadir (Wallace & Anderson, 2000).
Sedangkan hubungannya dengan tekanan, CO2 akan terbentuk sebagai
molekul CO2 pada
tekanan tinggi dan ion karbonat (CO32-) pada tekanan
rendah (Schminke, 2003).
Solubilitas
CO2 pada magma terutama sangat dipengaruhi oleh tekanan dan
komposisi magma (Wallace & Anderson, 2000) dimana solubilitas ini akan
berkurang seiring menurunnya tekanan (Lockwood & Hazlett, 2010) dan
berkurangnya kandungan SiO2 (pada ion karbonat (CO32-)
) (Wallace & Anderson, 2000)
Berdasarkan data eksperimental, didapatkan bahwa solubilitas
CO2 lebih kecil daripada H2O (Wallace & Anderson,
2000). Karena hal ini, maka CO2 bisa membentuk fase gas bebas pada
tekanan yang tinggi (i.e. di mantel) untuk selanjutnya lepas ke atmosfer/laut
(Schminke, 2003). Karena pelepasan gas dimulai dari tempat yang sangat dalam,
CO2 merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan sebagai inklusi
fluida pada mineral yang terbentuk pada tekanan tinggi (Schminke, 2003).
Monitoring aktivitas pengeluaran CO2 dari suatu gunung api
sangat penting karena penambahan emisinya akan mengawali aktivitas erupsi
(Lockwood & Hazlett, 2010).
Gas hasil ikatan unsur karbon dan oksigen lainnya yang dilepaskan oleh
gunung api adalah karbon monoksida (CO) dan methan dalam jumlah yang lebih
kecil. CO terbentuk ketika terjadi pemanasan (i.e. perubahan temperatur erupsi
dari 800 ke 12000C) (Lockwood & Hazlett, 2010). Karena pemanasan
ini, ikatan oksigen pada CO2 akan lepas dan membentuk CO (Lockwood
& Hazlett, 2010).
I.4.3 SO2 dan H2S
Karena mempunyai
beberapa valensi (sulfur bisa mempunyai muatan 0, -2 atau +6), maka reaksi
sulfur bisa membentuk berbagai macam gas vulkanik. Gas-gas vulkanik tersebut
antara lain S2, SO, SO2, SO3, H2S, COS
dan CS2, dimana kesemuanya hadir pada uap vulkanik tetapi spesies
yang paling umum dijumpai adalah SO2 dan H2s. Kedua
senyawa tersebut sangat mudah dikenali berdasar baunya yang khas yaitu bau asam
yang seperti bau busuk (SO2) atau berbau seperti telur busuk (H2S)
(Schminke, 2003). Pada gunung api tatanan tektonik zona subduksi, umumnya SO2
akan lebih melimpah daripada H2S. Tetapi kelimpahan tersebut
sangat ditentukan oleh konsentrasi oksigen dan temperatur magma (Schminke,
2003). Pada konsentrasi oksigen yang sama, sulfur membentuk SO2 pada
temperatur tinggi dan H2S pada temperatur rendah. Pada temperatur
yang sama dengan kandungan oksigen yang berkurang, SO2 berkurang
terhadap H2S (Schminke, 2003).
Senyawa S yang
berkembang pada suatu magma sangat ditentukan oelh fugasitas relatif oksigen,
dimana pada fugasitas oksigen yang rendah, S hadir sebagai bentuk sulfida (S2-)
sementara pada kondisi yang lebih teroksidasi hadir sebagai sulfat (S6+)
(Wallace & Anderson, 2000). Dengan menerusnya proses diferensiasi dan
oksidasi dari magma, rasio dari sulfat S6+ terhadap
sulfida S2- akan bertambah (Schminke, 2003).
Solubilitas dari S pada magma cukup sulit
ditentukan karena adanya pembentukan senyawa non volatil diantara senyawa
volatil seperti sulfida, sulfat dan metal klorida. Tetapi solubilitas ini
secara umum sangat bergantung kepada komposisi, derajat oksidasi dari magma
(Schminke, 2003) serta fugasitas oksigen (Wallace & Anderson, 2000). S
mempunyai solubilitas tinggi pada fugasitas oksigen yang lebih tinggi (dimana S
akan hadir sebagai sulfat) sementara solubilitas dari sulfida (S2-)
akan bertambah seiring dengan kenaikan konsentrasi Fe pada magma. Solubilitas
sulfur baik dalam bentuk sulfida maupun sulfat akan meningkat dengan kenaikan
temperatur (Wallace & Anderson, 2000).
Gambar 1.4. Grafik yang menunjukkan hubungan berbanding lurus
antara total S dengan FeO pada magma basalt MOR (kotak hitam) dan hotspot
(kotak putih) bersuhu 12000C (Wallace & Anderson, 2000)
Monitoring aktivitas pengeluaran SO2 dari suatu gunung api
sangat penting untuk memonitor kesiapan suatu gunung api erupsi (Edmonds et.al
2003 dalam Lockwood & Hazlett 2010). Volume SO2 akan meningkat seiring dengan naiknya magma ke
permukaan yang dangkal (Lockwood & Hazlett, 2010).
Karena konsentrasi ketiga gas utama (H2O, CO2 dan
SO2&H2S) pada magma adalah paling tinggi, maka dalam
perhitungannya biasa digunakan % berat.
I.4.3 Halogen
Hidrogen halogenida seperti HCl, HF dan Hbr merupakan
pembawa halogen yang paling penting selama pelepasan gas vulkanik (Schminke,
2003). Hidrogen halogenida tersebut dihasilkan dari reaksi antara H2O
dengan klorin (HCl) serta H2O dengan fluorin (HF). Kandungan halogen
dalam magma salah satunya dipengaruhi oleh komposisi lelehan dimana magma
basalt alkalin akan mempunyai lebih banyak kandungan halogen daripada magma
toleitik, sementara magma alkalin yang sudah terdiferensiasi akhir mempunyai
kandungan halogen yang paling tinggi (Schminke, 2003).
Halogen mempunyai sifat solubilitas yang tinggi sehingga
selama erupsi, hanya 20-50 % gas yang dilepaskan dimana Cl mempunyai
solubilitas yang lebih rendah dari F (Schminke, 2003). Sementara itu, Cl
mempunyai solubilitas yang lebih rendah dari CO2 dan CO2
lebih rendah dari sulfur. Hal ini berarti pelepasan gas pertama kali dari magma
yang naik akan menjadi kaya unsur klorin relatif terhadap sulfur dan CO2
(Lockwood & Hazlett, 2010). Solubilitas klorin pada megma sangat bergantung
kepada komposisi magma dan kenaikan rasio (Na+K)/Al. Ketika suatu magma jenuh
dengan lelehan garam, maka magma tersebut mempunyai Cl larut maksimum.
Konsentrasi kejenuhan dari Cl bervariasi dengan tekanan, temperatur,
konsentrasi air terlarut dan komposisi lelehan (Wallace & Anderson, 2000).
Fluorin, karena solubilitasnya yang tinggi pada magma,
maka tidak akan memasuki fase gas selama erupsi, melainkan tetap berada di
magma. Senyawa lainnya seperti HF mempunyai sifat mudah larut dalam air
(Schminke, 2003). Solubilitas dari F sangat bergantung pada komposisi lelehan,
dimana pada magma dengan kandungan SiO2 tinggi lebih besar (Wallace
& Anderson, 2000).
Rasio antara sulfur (terutama SO2) terhadap
klorin pada suatu pelepasan uap vulkanik bisa digunakan sebagain indeks
kesiapan suatu gunung api untuk erupsi, tetapi pada beberapa kasus sulit
dilakukan karena konsentrasi klorin yang terlalu kecil (Lockwood & Hazlett,
2010) sehingga hanya digunakan rasio SO2 untuk menentukan kesiapan
erupsi.
I.4.3 Hidrogen, Nitrogen, Helium & Gas Mulia
Hidrogen, nitrogen, helium dan gas-gas mulia adalah gas vulkanik dengan
konsentrasi terkecil yang dijumpai pada gunung api tatanan tektonik zona
subduksi (Lockwood & Hazlett, 2010). Meskipun konsentrasinya kecil, gas-gas
tersebut mempunyai peranan yang penting seperti helium bisa melacak kontribusi
mantel dalam erupsi gunung api (Lockwood & Hazlett, 2010), sementara gas
mulia untuk mengetahui sejarah pelepasan gas di bumi (Wallace & Anderson, 2000).
Terdapat 2 isotop utama dalam helium yaitu 3He
dan 4He. 4He merupakan senyawa radioaktif yang dihasilkan
oleh peluruhan thorium dan uranium dari kerak bumi, sementara itu 3He
hanya terkonsentrasi pada mantel sebagai eleman sisa yang ditinggalkan oleh
pembentukan planet bumi (Lockwood
& Hazlett, 2010) .
Hanya sejumlah kecil 3He yang bisa keluar dari interior bumi yang
dalam dimana kemudian terkait dengan proses vulkanisme. Sekarang ini rasio 3He
terhadap 4He di atmosfer adalah 1:100.000.000. Adanya rasio yang
lebih tinggi menandakan kontribusi mantel dalam magma (Lockwood & Hazlett, 2010). Pada fumarol dan mata air panas, kandungan 3He:
4He adalah 5 sampai 10 kali lebih besar daripada di atmosfer, sementara
pada hot spot 15 kali lebih besar, pada punggungan tengah samudera mencapai 10
kali lebih besar. Adanya kerak benua yang tebal bukan merupakan penghalang
pengelouaran 3He dari mantel (Sorey et.al 1998; Christiansen et.al
2002 dalam Lockwood dan Hazlett, 2010).
Berdasarkan penelitian terbaru oleh Spain’s Technological Institute yang diketuai oleh Eleazar Padrón pada 8000
sampel air dan tanah yang mengandung helium selama erupsi pulau gunung api El
Hierro di Spanyol, diketahui bahwa konsentrasi gas helium bisa digunakan
sebagai deteksi pergerakan magma ke permukaan (Padrón, 2012). Menurut Padrón
(2012), helium merupakan kandidat yang baik untuk memprediksi erupsi karena gas
ini tidak bereaksi dengan batuan atau air tanah saat perjalanan magma
keatas.Dengan melihat proporsi antara 3He dan 4He pada
sampel gas, peneliti dapat menentukan seberapa banyak helium yang berasal dari
mantel maupun kerak yang lebih dangkal (Padrón, 2012).
I.5 Kelimpahan Volatil Magma pada Gunung Api Zona
Subduksi
Pada gunung api tatanan tektonik zona subduksi, H2O
merupakan volatil yang paling melimpah konsentrasinya (Schminke, 2003). Asal
muasal H2O ini dalam magma berasal dari percampuran sejumlah kecil
gas magmatik dengan sejumlah besar air permukaan, heated ground dan air
atmosfer (Schminke, 2003). Menurut Lockwood dan Hazlett (2010) kebanyakan H2O
yang diemisikan dari gunung api berasal dari air meteorik.
Setelah H2O, CO2 merupakan gas vulkanik paling
melimpah selanjutnya. Pengkayaan CO2 pada suatu magma diperkirakan
berasal dari berbagai sumber seperti subduksi sedimen laut dalam yang banyak
mengandung material organik, pelelehan sebagian dari batuan karbonat silikaan
yang termetamorfkan serta volatilisasi dari air laut yang terjebak oleh batuan
(sering disebut air fosil) (Lockwood & Hazlett, 2010) dimana hampir 80 % CO2
yang dilepaskan pada zona subduksi utamanya berasal dari subduksi kerak
samudera yang membawa sedimen kaya material organik (Schminke, 2003).
Setelah H2O dan CO2, sulfur merupakan gas
vulkanik paling melimpah selanjutnya yang dijumpai pada gunung api tatanan
tektonik zona subduksi (Lockwood & Hazlett, 2010). Karena mempunyai
beberapa valensi, sulfur bisa membentuk berbagai macam gas seperti S2, SO, SO2, SO3,
H2S, COS dan CS2 dimana yang paling utama adalah SO2 dan H2S. Pada
umumnya SO2 lebih melimpah daripada H2S.
Setelah ketiga gas utama diatas, maka gas vulkanik lainnya yang
dijumpai pada gunung api tatanan tektonik zona subduksi dalam jumlah minor
(ppm) adalah halogen (Lockwood & Hazlett, 2010) seperti HCl dan HF. Pada
umumnya, HCl lebih melimpah dari HF. Selanjutnya dalam jumlah yang lebih
sedikit berupa H2, N2, CO, CH4, NH3,
Ar dan He.
Kenapa tidak disebutkan sumber pustakanya?
BalasHapus