I.1 Hubungan Kandungan
Volatil Magma dengan Erupsi Vulkanik yang dihasilkan
Gas vulkanik
memainkan peran penting dalam mengontrol kelakuan suatu gunung api (Delmelle
& Stix, 2000) terutama terkait dengan volumenya di dalam magma (Lockwood
& Hazlett, 2010). Selain
itu, erupsi gunung api juga ditentukan oleh komposisi kimia magma karena
mengontrol sifat fisiknya yaitu viskositas dan kandungan gas. (Parfitt &
Wilson, 2010). Berdasarkan
percobaan eksperimental, terdapat kenaikan kandungan volatil seiring dengan
naiknya kandungan SiO2 pada magma, kecuali gas CO2
(Schminke, 2003). Selain itu, peningkatan
volume gas dalam suatu gunung api pada umumnya akan meningkatkan aktivitas
keeksplosifan gunung tersebut.
Proporsi relatif dari gas-gas vulkanik yang diemisikan oleh
suatu gunung api biasanya konstan, tetapi sangat bergantung kepada temperatur
dan komposisi magma. Adanya penyimpangan volume emisi bisa menyebabkan erupsi
baru. Komposisi dari gas vulkanik sangat bergantung kepada proses-proses yang
terjadi di kedalaman seperti pemisahan gas dan lelehan selama naiknya magma.
Adanya perbeaan komposisi gas yang dikeluarkan oleh suatu gunung api sangat
ditentukan oleh proses-proses yang terjadi di dekat permukaan seperti
penyeimbangan kembali komposisi gas selama pendinginan dan percampuran dengan
air meteorik, selain interaksi dengan fluida pada sistem hidrotermal (Schminke,
2003).
I.1 .1 Erupsi Efusif
Erupsi efusif adalah erupsi yang dicirikan oleh pengeluaran
lava ke permukaan bumi yang sesekali disertai letusan eksplosif kecil
(MacDonald, 1972). Erupsi efusif akan terjadi saat kandungan gas dalam magma
sangat kecil sehingga volume gelembung gas yang terbentuk tidak akan mampu
untuk membuat fragmentasi magma (Parfitt & Wilson, 2008). Berdasar
permodelan komputer, dibutuhkan kandungan gas < 0,02 % berat untuk erupsi
efusif. (Parfitt & Wilson, 2008).
Erupsi efusif juga bisa disebabkan karena magma kehilangan
kandungan gas yang cukup banyak saat perjalanannya ke atas (Parfitt &
Wilson, 2008). Kehilangan gas ini bisa terjadi pada saat stagnansi pada dapur
magma ataupun lepasnya gas melalui batuan dinding yang permeabel saat magma
keatas (Parfitt & Wilson, 2008). Selain itu, erupsi efusif bisa terjadi saat
magma sudah beberapa kali erupsi sehingga kebanyakan kandungan gasnya sudah
hilang (Parfitt & Wilson, 2008).
Ketika suatu magma mempunyai kandungan SiO2 rendah
(viskositas rendah), maka gas akan mengembang dengan mudah. Ketika magma
mencapai permukaan bumi, gelembung gas akan mengembang dengan cepat
menyesuaikan tekanan atmosfer dan selanjutnya pecah, menyebabkan terjadinya
erupsi non eksplosif yang berbentuk aliran
lava.
Gambar 1.1. Erupsi efusif tipe Hawaiian
sumber: explorevolcanoes.com
I.1.2 Erupsi
Eksplosif
Ketika suatu magma mempunyai kandungan SiO2 tinggi
(viskositas tinggi), maka gelembung gas akan sulit mengembang karena adanya
tekanan yang berkerja didalam gelembung gas. Ketika magma mencapai permukaan
bumi, maka gelembung gas tadi akan menjadi bertekanan tinggi dan selanjutnya
akan meledak dengan eksplosif untuk menyesuaikan tekanan atmosfer. Dalam
perjalanan magma keatas, pembentukan gelembung gas tersebut menyebabkan
terjadinya fragmentasi pada liquid disekitarnya
yang akan dierupsikan sebagai material piroklastik saat erupsi eksplosif
berlangsung (Parfitt & Wilson, 2008).
Gambar 1.2. Erupsi eksplosif tipe Freatoplinian yang terjadi pada Gunung Krakatau (1883)
sumber: photovolcanica.com
Berdasarkan
permodelan yang dilakukan pada erupsi eksplosif silisik, terlihat bahwa
kecepatan material yang dierupsikan gunung api sangat bergantung pada jumlah
gas yang terlarut. Sebagai contoh, erupsi yang menghasilkan endapan berupa blok
di dekat rekahan memerlukan kecepatan lontar sebesar 400-600m/s, yang
membutuhkan kandungan H2O terlarut sekitar 3-6 %. Ketika
erupsi terus berlanjut, proporsi dari material aliran debu vulkanik meningkat,
jumlah H2O pada inklusi lelehan meningkat serta jumlah dari gas
terlarut akan semakin berkurang. Maka sangat penting untuk mengetahui jumlah
gas terlarut pre-erupsi untuk mengetahui model erupsi suatu gunung api.
Penurunan kandungan volatil magma bisa merupakan petunjuk terjadinya transisi
erupsi eksplosif menjadi erupsi efusif demikian juga sebaliknya (Wallace &
Anderson, 2000). Selain itu, monitoring aktivitas pengeluaran SO2
dari suatu gunung api sangat penting karena akan menunjukkan kesiapan suatu
gunung api erupsi (Edmonds et.al 2003 dalam Lockwood & Hazlett 2010). Volume SO2 akan meningkat
seiring dengan naiknya magma ke permukaan yang dangkal (Lockwood & Hazlett,
2010).
Oleh karena itu
gas vulkanik terutama SO2 serta H2O, CO2, HCl, HF,
dll juga akan mengalami peningkatan
tajam saat erupsi akan berlangsung. Tetapi untuk memprediksi erupsi lebih
lanjut, akan lebih baik jika data gas vulkanik ini digabungkan dengan data-data
yang lain seperti seismisitas dan perubahan topografi untuk mendapatkan prediksi yang lebih akurat.
I.1.3 Tipe Erupsi Efusif dan Erupsi Eksplosif
Gambar 1.3. Berbagai tipe erupsi berdasarkan kekuatan letusan, ketinggian kolom letusan dan karakteristik aliran material
sumber: web.britannica.com
Gambar 1.4. Berbagai tipe erupsi berdasarkan ketinggian kolom erupsi dan tingkat keeksplosifannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar