1.09.2015

Erupsi Efusif dan Erupsi Eksplosif

I.1 Hubungan Kandungan Volatil Magma dengan Erupsi Vulkanik yang dihasilkan
      Gas vulkanik memainkan peran penting dalam mengontrol kelakuan suatu gunung api (Delmelle & Stix, 2000) terutama terkait dengan volumenya di dalam magma (Lockwood & Hazlett, 2010). Selain itu, erupsi gunung api juga ditentukan oleh komposisi kimia magma karena mengontrol sifat fisiknya yaitu viskositas dan kandungan gas. (Parfitt & Wilson, 2010). Berdasarkan percobaan eksperimental, terdapat kenaikan kandungan volatil seiring dengan naiknya kandungan SiO2 pada magma, kecuali gas CO2 (Schminke, 2003). Selain itu, peningkatan volume gas dalam suatu gunung api pada umumnya akan meningkatkan aktivitas keeksplosifan gunung tersebut.

      Proporsi relatif dari gas-gas vulkanik yang diemisikan oleh suatu gunung api biasanya konstan, tetapi sangat bergantung kepada temperatur dan komposisi magma. Adanya penyimpangan volume emisi bisa menyebabkan erupsi baru. Komposisi dari gas vulkanik sangat bergantung kepada proses-proses yang terjadi di kedalaman seperti pemisahan gas dan lelehan selama naiknya magma. Adanya perbeaan komposisi gas yang dikeluarkan oleh suatu gunung api sangat ditentukan oleh proses-proses yang terjadi di dekat permukaan seperti penyeimbangan kembali komposisi gas selama pendinginan dan percampuran dengan air meteorik, selain interaksi dengan fluida pada sistem hidrotermal (Schminke, 2003).

I.1 .1 Erupsi Efusif
Erupsi efusif adalah erupsi yang dicirikan oleh pengeluaran lava ke permukaan bumi yang sesekali disertai letusan eksplosif kecil (MacDonald, 1972). Erupsi efusif akan terjadi saat kandungan gas dalam magma sangat kecil sehingga volume gelembung gas yang terbentuk tidak akan mampu untuk membuat fragmentasi magma (Parfitt & Wilson, 2008). Berdasar permodelan komputer, dibutuhkan kandungan gas < 0,02 % berat untuk erupsi efusif. (Parfitt & Wilson, 2008).

Erupsi efusif juga bisa disebabkan karena magma kehilangan kandungan gas yang cukup banyak saat perjalanannya ke atas (Parfitt & Wilson, 2008). Kehilangan gas ini bisa terjadi pada saat stagnansi pada dapur magma ataupun lepasnya gas melalui batuan dinding yang permeabel saat magma keatas (Parfitt & Wilson, 2008). Selain itu, erupsi efusif bisa terjadi saat magma sudah beberapa kali erupsi sehingga kebanyakan kandungan gasnya sudah hilang (Parfitt & Wilson, 2008).

Ketika suatu magma mempunyai kandungan SiO2 rendah (viskositas rendah), maka gas akan mengembang dengan mudah. Ketika magma mencapai permukaan bumi, gelembung gas akan mengembang dengan cepat menyesuaikan tekanan atmosfer dan selanjutnya pecah, menyebabkan terjadinya erupsi non eksplosif yang berbentuk aliran  lava.
             
           Gambar 1.1. Erupsi efusif tipe Hawaiian
       sumber: explorevolcanoes.com

I.1.2 Erupsi Eksplosif
Ketika suatu magma mempunyai kandungan SiO2 tinggi (viskositas tinggi), maka gelembung gas akan sulit mengembang karena adanya tekanan yang berkerja didalam gelembung gas. Ketika magma mencapai permukaan bumi, maka gelembung gas tadi akan menjadi bertekanan tinggi dan selanjutnya akan meledak dengan eksplosif untuk menyesuaikan tekanan atmosfer. Dalam perjalanan magma keatas, pembentukan gelembung gas tersebut menyebabkan terjadinya fragmentasi pada liquid disekitarnya yang akan dierupsikan sebagai material piroklastik saat erupsi eksplosif berlangsung (Parfitt & Wilson, 2008).
               
                     Gambar 1.2. Erupsi eksplosif tipe Freatoplinian yang terjadi pada Gunung Krakatau (1883)
sumber: photovolcanica.com

      Berdasarkan permodelan yang dilakukan pada erupsi eksplosif silisik, terlihat bahwa kecepatan material yang dierupsikan gunung api sangat bergantung pada jumlah gas yang terlarut. Sebagai contoh, erupsi yang menghasilkan endapan berupa blok di dekat rekahan memerlukan kecepatan lontar sebesar 400-600m/s, yang membutuhkan kandungan H2O terlarut sekitar 3-6 %. Ketika erupsi terus berlanjut, proporsi dari material aliran debu vulkanik meningkat, jumlah H2O pada inklusi lelehan meningkat serta jumlah dari gas terlarut akan semakin berkurang. Maka sangat penting untuk mengetahui jumlah gas terlarut pre-erupsi untuk mengetahui model erupsi suatu gunung api. 

Penurunan kandungan volatil magma bisa merupakan petunjuk terjadinya transisi erupsi eksplosif menjadi erupsi efusif demikian juga sebaliknya (Wallace & Anderson, 2000). Selain itu, monitoring aktivitas pengeluaran SO2 dari suatu gunung api sangat penting karena akan menunjukkan kesiapan suatu gunung api erupsi (Edmonds et.al 2003 dalam Lockwood & Hazlett 2010). Volume SO2 akan meningkat seiring dengan naiknya magma ke permukaan yang dangkal (Lockwood & Hazlett, 2010).

      Oleh karena itu gas vulkanik terutama SO2  serta H2O, CO2, HCl, HF, dll  juga akan mengalami peningkatan tajam saat erupsi akan berlangsung. Tetapi untuk memprediksi erupsi lebih lanjut, akan lebih baik jika data gas vulkanik ini digabungkan dengan data-data yang lain seperti seismisitas dan perubahan topografi untuk mendapatkan  prediksi yang lebih akurat.

I.1.3 Tipe Erupsi Efusif dan Erupsi Eksplosif

Gambar 1.3. Berbagai tipe erupsi berdasarkan kekuatan letusan, ketinggian kolom letusan dan karakteristik aliran material
sumber: web.britannica.com


Gambar 1.4. Berbagai tipe erupsi berdasarkan ketinggian kolom erupsi dan tingkat keeksplosifannya
                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar